Thursday, December 2, 2021

PAPUA 2021 20 - 30 November in Bahasa

 PAPUA  2021

20 - 30 November

Oleh: Theo van den Broek

 

 

[1] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] korban tambahan: dalam kontak senjata (27/11) di Yahukimo seorang prajurit, Pratu Rahmat Arief Hakim, terluka dan dievakuasi untuk dirawat. 

 

[b] yang ditangkapsalah seorang pimpinan KKB, Demius Magayang, ditangkap di Yahukimo (27/11). Dalam prosesnya dia dilumpuhkan oleh tembakan di kaki dan lipatan lututnya, karena menurut keterangan pihak keamanan (lebih daripada 40 anggota pasukan), dia melawan penangkapannya. Dia ditangkap bersama empat teman lainnya waktu dalam perjalanannya di sekitar Dekai. Sekarang ada di RS Bayangkara di Jayapura untuk dirawat.[1]

 

[c] kehilangan orang: kehilangan Sem Kobogau (51 th) di Intan Jaya sejak 5 Oktober, masih sangat menggelisahkan masyarakat. Sampai saat ini belum ada keterangan lanjut mengenai keberadaannya, walau sudah lama ada berita bahwa kasus ini diselidiki oleh pihak yang berwajib. Hal terakhir yang diketahui adalah bawha dia ditangkap oleh anggota TNI non-organik awal Oktober. Kenapa begitu lama tidak ada berita lanjut? [2]

 

[d] tambahan pasukan: selain pasukan Batalyon Infanteri 711/Raksatama (Yonif 711/RKS), ratusan (450) prajurit TNI Angkatan Darat yang tergabung dalam Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan Republik Indonesia-Papua Nugini, Yonif 126/Kala Cakti juga sudah tiba di Papua hari Senin 22 November 2021.[3]

 

[2] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA dan SUASANA WILAYAH KONFLIK

Suatu rangkuman suasana wilayah-wilayah konflik dapat dibaca dalam ‘seruan moral’ yang diterbitkan oleh Dewan Gereja Papua, 21 November 2021. [4]

JUBI memberikan perhatian khusus pada para pengungsi di wilayah Maybrat, yang sampai saat ini sama sekali tidak diperhatian secara serius dan berkesinambungan oleh pemerintah. Jumlah mereka sekitar 3.121 dan berasal dari dari 50 kampung. Diantaranya 575 anak-anak berumur 7-18 tahun. Selama 3 bulan terakhir mereka tidak dapat mengikuti pendidikan di sekolah. Disamping itu para pengungsi makin merasa kesulitan kekurangan makanan, masalah kesehatan dan masalah ekonomi. Dalm suatu pernyataan tertulis Pater Bernard Baru OSA, pimpinan Sekretariat Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, Ordo Augustin, (SKPKC OSA), mendesak pemerintah untuk memungkinkan mereka semua pulang ke kampungnya dan keamananya dijamin. Sekaligus diminta membeaskan 8 tahanan, yang menurut infonya, salah ditangkap karena tidak ada kaitan dengan penyerangan Pos TNI di Kisor 3 bulan lalu.[5]

 

[3] OTSUS & PEMEKARAN & POLA PEMBANGUNAN DI PAPUA

[a] Gubernur: sebaiknya pulangkan semua mahasiswa penerima beasiswa Otsus: Gubernur Papua menyatakan bahwa sebaiknya semua mahasiswa bayaran Otsus pulang kampung saja. Saran ini muncul karena tidak ada lagi dana beasiswa yang dapat dikelola oleh pemerintah Papua.  Gubernur berpendapat bahwa segala wewenang otonomi di Papua sudah dipangkas habis oleh pemerintah pusat. Dana beasiswa akan diatur langsung oleh instansi pemerintahan pusat, dan bukan lagi oleh pemerintah provinsi Papua. “UU Nomor 2 ini – UU Otsus - membuat kita tidak ada kewenangan, semua diambil alih, semuanya pusat yang atur. Perencanaan semua mereka”, kata Gubernur. Berkaitan dengan catatan Gubernur, ada catatan juga dari pihak wakil ketua DPR Papua, Yunus Wonda. Yunus  menyebut APBD Papua tahun 2021 bakal mengalami penurunan signifikan dari tahun sebelumnya. “Tahun depan kita hanya mengelola dana Rp 8 triliun dari Rp 14 triliun APBD 2021”, kata Yunus. “Aturan baru untuk pembagian penerimaan dana Otsus diatur oleh Pemerintah Pusat, dan ini akan mempengaruhi khas keuangan Pemprov Papua sehingga secara otomatis APBD juga turun”, jelasnya.[6] Sementara Menteri Keuangan, Mulyani, menyatakan bahwa sudah banyak uang ditransfer ke Papua, hingga tidak menjadi soalnya mereka membayar beasiswa mahasiswanya. [7]

 

Rencana mengajak semua mahasiwa bayaran Otsus pulang kampung saja, merupakan suatu ‘teriakan frustrasi’ yang nyata. Gubernur sudah tidak tahan lagi dengan gaya bertindaknya Pemerintah Pusat yang memberikan ‘Otonomi Khusus’ sekaligus memangkas segala kewenangannya. Teriakan frustrasi memang beralasan kuat, karena betul-betul wewenang pemerintah provinsi sangat dipangkas oleh pemerintah pusat melalui UU Otsus  Jilid II. Hal ini juga dibenarkan oleh ungkapan Menkopolhukam[8]  dimana beliau menyatakan bahwa landasan utama UU Otsus adalah “menjaga NKRI” dan secara khusus unsur ‘pendekatan dari atas ke bawah’ (top down) diberikan suatu tempat yang signifikan, malahan menonjol. 

Memang betul kesannya bahwa pemerintah pusat bukan saja ingin menguasai pemakaian dana Otsus, namun juga seluruh program pembangunan di Papua ditetapkan dan diatur di Pusat Pemerintah. Maka, masuk di akal kalau Gubernur merasa ‘tersingkir’. Sekaligus perlu juga ada introspeksi kritis dalam tubuh pemerintah provinsi sendiri. Introspeksi ini mesti diarahkan secara khusus kepada dua hal: pertama, bagaimana dana Otsus de facto dipakai? apakah perlu ada perbaikan cara penetapan alokasi dana untuk apa dan peningkatan transparansi mengenai pemakaiannya, hingga dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas? Kedua, sejauh mana pemerintah provinsi sendiri betul sibuk mengidentifikasikan dan merumuskan suatu program pembangunan Papua secara konkrit (bukan gaya pidato umum saja). Kegiatan paling nyata dan kelihatan pemerintah provinsi adalah pembangunan sejumlah ‘proyek fisik yang bergengsi’, namun kurang diketahui program apa yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi sendiri mengenai permantapan pelayanan di bidang Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi Rakyat dan Keadilan. Kenapa kegiatan membuat program sendiri secara otonom kurang kelihatan atau kurang ada?

Mengajak semua mahasiswa bayaran Otsus untuk pulang kampung tidak akan menyelesaikan masalahnya. Sikap semacam itu sama dengan sikap pemerintah pusat yang juga tidak menunjuk sikap nyata untuk turut memperbaiki sistem penggunaan dana Otsus oleh pemerintah di Papua, namun justru bertindak dengan ‘mengambil alihnya saja’. Dengan demikian tidak ada perbaikan sistem pengelolaan Otsus, dan sekaligus ‘kewenangan otonomi’ dipangkas secara signifikan. Sama halnya dengan mengambilalih segala penyusunan dan pengantaran program; bukan kapasitas di Papua ditingkatkan untuk membuat program sendiri dengan lebih mantap, melainkan semuanya ditarik saja ke pusat. ‘Demi keutuhan NKRI’, menurut Menkopolhukam. Memang dengan demikian tidak mengherankan lagi bahwa masyarakat Papua, termasuk Gubernur, menilai bahwa ‘otonomi khusus’ di Papua sudah mati/dimatikan. (TvdB)

 

[b] pemekaran provinsi:  kajian kelayakan Provinsi Selatan sudah final: Bupati Merauke, Romanus Mbaraka, menegaskan kajian kelayakan pemekaran Provinsi Papua Selayan (PPS) oleh tim Universitas Gadjah Mada (UGM) selama lima bulan ini telah dinyatakan final. Antara lain juga ditetapkan bahwa Kabupaten Merauke akan menjadi ibukota PPS. Hasil kajian sudah diserahkan kepada pemerintah provinsi di Jayapura dan akan diantar ke Jakarta pula.[9]

 

[5] SOAL HUKUM /KEADILAN

[a] penyisiran di asrama Timika di Manokwari. Para penhuni asrama Timika di Manokwari pagi hari (22/11) dikagetkan karena ternyata sekelompok anggota Polri, Brimob dan TNI yang bersenjata lengkap masuk di kintalnya dan mulai memeriksa barang milik para penghuni. Pemeriksaan dijalan dari lantai satu sampai lantai atas. Sejumlah barang milik pribadi orang disita begitu saja. Tidak ada surat penyisiran atau legitimasi lainnya. Lantas 10 orang dibawa ke markas Brimob untuk diminta keterangan. Alasannya? Ternyata kegiatan ini dalam rangka membantu TNI untuk mencari para pelaku penyerangan pos militer di Kisor, Maybrat. [10] Para korban penyisiran sewenang-wenang ini di Manokwari menilai bahwa tindakan polisi dkk tidak dapat dibenarkan dan mereka telah menghubungi Lembaga Bantuan Hukum untuk membantu mereka.[11]

 

[b] penuntasan ham berat belum ada kemajuan:  Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (jampidsus) untuk segera mengambil langkah-langkah strategis percepatan penuntasan penyelesaian dugaan perkara HAM berat masa kini. Menanggapi pernyataan itu, Amnesty International Indonesia, melalui direkturnya, Usman Hamid, menilai bahwa pernyataan Jaksa Agung “hanya bicara, tidak ada tindakan nyata”. Soal penuntasan perkara hak asasi manusia (HAM) belum membawa kemajuan. Selain itu , Usman, menilai janji Presiden Jokowi di periode pertamanya, yaitu menangani pelanggaran HAM berat di masa lalu  melalui sistem pengadilan juga belum dipenuhi. “Faktanya, meskipun ada desakan dari para korban, para mahasiswa, dan masyarakat sipil untuk mengadili para terduga pelaku Presiden cenderung tidak peduli”, katanya. Pokoknya: kita tetap menunggu. Sampai kapan?[12]

Tambah lagi catatan oleh Menkopolhukam, Mahfud, bahwa 9 dari 13 kasus pelanggaran HAM berat yang sedang didaftar terjadi sebelum tahun 2000, maka tidak dapat ditangani kecuali disetujui oleh DPR terlebih dahulu. [13]

 

[c] posisi perempuan di Papua: Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Yay Pusaka) dalam laporan penelitian  yang berjudul “Mama ke Hutan” menggambarkan posisi perempuan adat dalam kecamuk kontestasi penguasaan sumber daya alam di Papua. Mereka tereksklusi dari proses pengambilan keputusan terkait wilayah adatnya, tersingkir dari ruang hidup dan sumber penghidupannya dan berakhir sebagai buruh harian lepas di atas tanahnya sendiri. Untuk sebagian posisi ini diakibatkan oleh kebiasaan hak milik tanah di Papua umumnya diwariskan kepada garis keturunan laki-laki. Menurut penilaian peneliti Yay Pusaka, posisi tadi diperkuat lagi oleh kebiasaan bahwa dalam proses pengadaan tanah  (untuk food estate, industri etc) pemerintah dan para milik nodal tidak mendengarkan suara perempuan adat, apalagi mempertimbangkannya secare serius. Resistensi para ibu adat berkaitan dengan investasi berbasis tanah makin mulai muncul. Dapat dimengerti karena bagi perempuan adat justru hutan menjadi sumber hidupnya, sumber apotiknya, sumber bahan rumahnya, sejarah dan eksistensinya. Melihat keadaan ini Direktur Yay Pusaka, Franky Samperante, menekankan supaya Pemerintah lebih berkomitmen merealisasi isi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhdap Perempuan (CEDAW). Menurut Lembaga Advokasi Peduli Perempuan (eLAdPPer) di Merauke pemerintah sampai saat ini gagal mencegah diskriminasi terhadap perempuan adat. “Sebaliknya, kebijakan pemerintah secara bersamaan melemahkan hak masyarakat adat dan gagal melindungi hak perempuan”. Kondisi demikian juga diangkat melalui kampanye “16 Hari Anti Kekerasan tehadap Perempuan” (16HAKtP) yang lazimnya setiap tahun dijalankan selama 25 Nov – 10 Desember. Franky Samperante menilai penting kampnye ini dijalankan dan dijadikan momemtum bagi negara untuk mengakui , menghormati dan melinidungi perempuan adat. Juga meminta seluruh pemangku kepentingan untuk menjaga lingkungan dan hutan. Dalam kerangka itu dia juga mendesak pemerintah menghentikan perluasaan konsesi kelapa sawit, penebangan, dan pertambangan di atas tanah masyarakat adat yang mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC).”Pemerintah harus kerja dengan komunitas adat, khususnya perempuan adat untuk mengatasi dampak berbahaya dari agribisnis, memprioritaskan dukungan bagi mata pencaharian tradisional di atas perluasan ekstraksi sumber daya alam.[14]

Dalam kerangka kampannye “16HAKtP” sejumlah kegiatan akan diadakan dengan tema “Perempuan Papua, Militerisme, dan Investasi”. Kegiatan itu akan diadakan antara 25 November sampai dengan 10 December 2021.[15]

 

[5] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYAT di PAPUA

 

[6] LINGKUNGAN, DEFORESTASI, INDUSTRI PERKEBUNAN

[a] deforestasi di Indonesia: selama konferensi global di Glasgow mengenai persoalan iklim, COP26,  ‘deforestasi’ menjadi salah satu topik yang sangat penting. Segala deforestasi perlu dihentikan dalam 10 tahun mendatang ini. Selama konferensi itu, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia sudah sangat membatasi deforestasinya. Hanya 39.285 ha selama periode 2013-2020. Investigation dari Tempo Magazin [16] mencapai suatu kesimpulan lainnya. Hanya dalam periode 2019-2020 saja sudah 19.807 ha ‘dibersihkan’ secara resmi. Deforestasi besar-besaran juga terjadi antara lain karena banyak perusahaan kayu tidak memegang pada peraturan yang berlaku dan tebang pohon-pohon sesuka hatinya. Kesimpulan ini sama dengan hasil investgasi oleh pelbagai lembaga lainnya. A.l. Greenpeace menyatakan bahwa informasi Presiden sebenarnya menyesatkan karena deforestasi selama pemerintahan Jokowi sangat signifikan. Memang memakai data deforestasi dari tahun lalu (2020) yang benar agak rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun dalam uraian selama periode yang lebih lama Greenpeace menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia justru meningkat dari sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Greenpeace juga menekankan bahwa turunnya angka deforestasi (2020-2021) ini bukan hasil dari suatu kebijakan baru pemerintah, melainkan hasil dari lesunya ekonomi karena soal covid dan fenomena La Nina. Juga gambaran hasil foto satelit (Earth Observatory Nasa) [17] membenarkan kesimpulan dari Greenpeace bahwa deforestasi di Indonesia secara khusus di Papua sangat signifikan dan memprihatinkan. Menurut Yayasan Pusaka selama periode 2001-2019 di Papua sudah kehilangan 663.443 hektar hutan, artinya rata-rata 34.918 hektar per tahun.

Sudah tentu deforestasi di Indonesia dan secara khusus di Papua tetap menjadi suatu masalah. Dalam kerangka itu juga menarik (sekaligus memprihatinkan) catatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya, yang menulis pada Twiternya selama selama COP26 bahwa “pemerintah tidak akan memakai ‘argumen deforestasi’untuk menghentikan program pembangunannya”.

 

[b] Greenpeace dilaporkan ke polisi: Sudah tentu kritik Greenpeace terhadap info Presiden pada pertemuan COP26 sulit diterima kalangan pemerintah karena membuat Indonesia ‘kehilangan muka’ di dunia internasional. Maka, akhirnya Greenpeace terus ditekan oleh pejabat tinggi Indonesia sampai ‘dipolisikan’ [18], dan dituntut audit mengenai keuangannya. Reaksi ‘polisikan lembaga yang kritis’  semacam ini tidak mengherankan lagi sejak ada tekanan sejenis pada beberapa lembaga lainnya yang menkritik pemerintah, seperti International Corruption Watch, Yayasan Lokataru, Kontras dll. Salah satu pribadi orang ‘yang dipolisikan’, Haris Azhar, baru ini meminta para pejabat untuk fokus pada konflik yang terus-menerus berjalan di Papua daripada sibuk menkriminalisasikan para aktivis.[19]

 

[c] food estate dan lingkungan, deforestasi: Kementerian Pertanian (Kementan) memprioritaskan pembangunan pertanian di Provinsi Papua agar mampu menyediakan beras sendiri dan dapat diekspor ke negara tetangga.[20]Ini bagian dari “food-estate”-program yang mau dijalankan, a.l. di Papua dimana program ini akan seluas 2.684.680 hektar (Papua Selatan: yakni Meauke, Boven Digoel, Mappi dan Yahukimo). Program ini bukan saja di Papua namun juga di Kalimantan. Pemerintah menklaim bahwa ‘food-estate program’ ini tidak akan merugikan lingkungan dan a.l. akan menjaga kebutuhan habitat orangutan di Kalimantan. Namun, selama hanya 5 bulan terakhir ini saja, Kementerian Pertahanan, pimpinan Prabowo, yang ditugaskan oleh Presiden untuk memimpin program ”food state” ini, sudah membersihkan ‘habitat orangutan’ di Kalimantan dan mengalihkan menjadi plantasi.  Ternyata hal semacam ini dimungkinkan karena pemerintah melonggarkan sejumlah peraturan lingkungan melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law).

Investigasi oleh tim gabungan Tempo, The Gecko Project dan Jubi menemukan bahwa Prabowo bergerak begitu cepat hingga tidak mengikuti peraturan dan membersihkan ratusan ha hutan hujan secara tidak sah. Juga ditemukan bahwa Prabowo berupaya mengarahkan ‘food estate program yang bernilai puluhan triliun’ pada suatu perusahaan yang sebenarnya tidak memiliki pengalaman yang jelas berkaitan dengan plantasi, yakni PT Agro Industri Nasional (Agrinas). Agrinas dimiliki oleh suatu Yayasan nirlaba yang dijalankan oleh Prabowo dengan bantuan sejumlah pejabat militer yang senior dan pensiunan. Sementara waktu ‘food-estate’ di Kalimantan diamankan oleh prajurit. Maka, bisa ada ‘konflik kepentingan’ (conflict of interest). 

Investgasi juga menemukan bahwa Kementerian Pertahanan akan mengembangkan ‘food-estate’ di Papua. Seorang pensiunan pejabat Angkatan Laut sedang menyiapkan pelaksanaan bagian program itu. Maksudnya membuka ribuan ha hutan dan tanah adat menjadi plantasi beras dan cassava di wilayah Merauke. Sementara masyarakat setempat kurang didekati. Katanya: “Kita sudah kekurangan waktu” (we are racing against time), ‘karena coronavirus  dapat mengakibatkan suatu musibah bagi jutaan orang di seluruh dunia yang sekarang di ambang pintu kematian karena lapar”. Untuk mengalihkan hutan, tanah adat menjadi tanah industri agrarian, perlu ada dasar hukum. Namun sejak UU Omnibus Law persyaratan menjadi lebih longgar. Untuk memulai pelaksanaan hanya perlu ada ‘pernyataan komitmen’ untuk menyelesaikan segala dokumen nanti, termasuk suatu ‘penelitian cepat’ Lingkungan Hidup Strategi (KLHS). Walhi, Lembaga Nasional untuk Lingkungan Hidup, berpendapat bahwa suatu ‘penelitian cepat Lingkungan Hidup Strategi’ tidak punyai dasar hukum, maka kemudahan itu sebaiknya dicabut. 

Walau banyak permasalahan diangkat, pemerintah Indonesia tetap berjalan dengan cepat melaksanakan ‘program food estate’ ini. Walau Bank Dunia memperingat bahwa salah satu kunci kesuksesan food estate adalah “manajemen lingkungan dan risiko sosial’ , Indonesia kelihatan justru memperlemah, prinsip-prinsip perlindungan sosial dan lingkungan. September 2021, Moeldoko, kepala staf Presiden, menyatakan bahwa ‘regulasi program food estate sudah sah karena berlandasan suatu situasi urgen, yakni ancaman kekurangan makanan’. “We are racing against time” katanya. [21]

Greenpeace dalam tanggapannya atas banjir di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, dewasa ini, menyatakan penyebab utamanya banjir dikawasan ini adalah deforestasi atau penebangan hutan yang massif. Dalam periode 2001-2020, Kalimantan Barat sudah kehilangan 1,2 juta hektar hutan. Kebanyakan hutan ditebang untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit (seluas 670.000 ha) dan dialihkan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Banjir ini sudah berlangsung selama kurang lebih satu bulan dan belum juga surut. [22]

 

[7] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] Elsham mengirim surat terbuka kepada Presiden: dalam sepucuk surat terbuka 24 organisasi meminta Presiden Jokowi untuk menarik semua pasukan non-organik keluar dari Papua. ELSHAM Papua mencatat bahwa kehadiran pasukan non-organik di Papua sudah menghasilkan banyak korban, baik sipil maupun pihak keamanan. Sekali lagi menjadi jelas bahwa Negara tidak memproteksi warganya, secara khusus para ibu dan anak, hingga ribuan orang terpaksa mencari suatu tempat yang lebih aman, jauh dari mereka punyai rumah, kebun dan pelayanan kunci. Sangat diharapkan Presiden menarik kembali semua pasukan non-organik. Sekaligus diharapkan bahwa TNI-Polri dapat tahan diri dan bahwa semua pihak yang berperang mengutamakan penghargaan kemanusiaan. Dalam surat ini disinggung ada indikasi suatu kaitan antara operasi keamanan dan kepentingan ekonomis (business/pertambangan). Campuran kepentingan ini sangat tidak dapat dibernarkan. Turut dicatat juga bahwa segala stigmatisasi serta pelabelan oleh pemerintah pusat tidak akan mengurangi perjuangan di Papua untuk mewujudkan keadilan, kebenaran dan pengindahan hak asasi manusia. [23]

 

[b] Dewan Geraja Papua minta perhatian internasional:  ingin bergabung dengan 194 pastor Gereja Katolik di Papua, Dewan Gereja Papua (Kingmi, Baptis, GIDI dan GKI) ikut menerbitkan suatu seruan moral. Sambil memberikan gambaran yang cukup mendetil mengenai situasi di wilayah-wilayah konflik (Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo, Puncak, Nduga), serta mengenai para korban pemakaian kekerasan di Papua, mereka menarik perhatian khusus pada para pengungsi – sekarang sudah berjumlah sekitar 60.000 orang. Disamping itu dalam seruan moral ini juga tersinggung: (a) penolakan UU Otsus yang disahkan secara sepihak melulu, (b) penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di tengah penderitaan banyak orang di Papua, (c) migrasi yang makin banyak, (d) program islamisasi, dan (e) kriminalisasi sejumlah orang di Papua. Dalam rekomendasinya, DGP antara lain meminta [a] PBB (Unit HAM) datang ke Papua, [b] Pemerintah Indonesia menghentikan segala kebijakan rasism sistematis, [c] menghentikan segala program islamisasi, dan [d] mencabut UU Otsus. [24]

 

[c] sikap Ketua KWI: ada inisiatif oleh wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar, untuk membahas ”Papua” dengan Ketua Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmojo untuk bersama mencari suatu solusi bagi permasalahan di Papua. Rincian hasil diskusi itu kurang dilaporkan dalam media. Dalam media hanya diangkat ungkapan Bapak Kardinal mengenai sikapnya KWI, sbb: “Sikap Gereja Katolik yang resmi terhadap masalah Papua itu sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah, karena dijamin undang-undang internasional”. [25]

 

Tentu sangat menggembirakan bahwa makin banyak pihak mulai membahas dan mencari suatu solusi untuk mengakhiri ‘tragedi kemanusiaan’ di Papua. Mendengar suara-suara sebagaimana disinggung secara singkat diatas nada seruan sama: stop segala kekerasan dan mulai bicara betul-betul. Dengan kata lain pendekatan pemerintah sampai saat ini dinilai tidak membawa suatu solusi, sebaliknya, hanya memperparah permasalahannya. Karena itu banyak pihak ingin melihat bahwa ‘pendekatan dialog yang bermartabat dan terbuka lagi jujur’ akan diprakarsai, sekaligus supaya para korban, secara khusus para pengungsi diberikan perhatian serius. Syukurlah kalau seruan-seruan itu mulai didengar dan diberikan perhatian oleh sejumlah instansi, pemerintah maupun swasta, di Jakarta. Harapan juga bahwa dalam menanggapi masalah di Papua supaya mereka tidak membatasi diri pada ungkapan diplomatis dan umum saja, namun sungguh-sungguh menunjukkan rasa kepeduliaannya terhadap penderitaan begitu banyak orang, apalagi banyak orang yang tak berdosa. (TvdB)

 

[8] GERAKAN POLITIK PEMERINTAH PAPUA & PAPUA BARAT

[a] DPR Papua membentuk Tim Penyelesaian Konflik di Papua: para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua telah sepakat mengenai sejumlah aspek  dalam penanganan konflik bersenjata di Papua.  Semua partai sepakat untuk membentuk suatu Tim Gabungan yang perlu meneliti situasi dan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada Presiden serta pihak-pihak berkepentingan lainnya untuk mengambil langkah konkrit demi penyelesiaan permasalahan di Papua. Kegiatan Tim Gabungan juga menyangkut pengadaan revisi  mengenai misalnya permisi pertambagan Blok Wabu di Intan Jaya. ‘Tim ini juga akan meminta supaya penempatan pasukan non-organik hanya dapat diadakan kalau diminta secara eksplisit oleh Kepala Polisi atau Pimpinan Cenderawasih Military Command XVII,’ keterangan Ketua DPRP, Jhony Banua Rouw. [26]

 

[9] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA dan INTERNASIONAL

[a] Mahkamah Konstitusi: UU Cipta Kerja/Omnibus Law berlawanan dengan UUD 1945: gugatan terhadap UU Cipta Kerja/Omnibus Law oleh pihak Serikat Buruh akhirnya ditanggapi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK berpendapat bahwa memang UU Cipta Kerja melawan Konstitusi, sehingga perlu diperbaiki oleh DPR RI. Untuk perbaikan itu diberikan 2 tahun, dan selama 2 tahun ini UU Cipta Kerja tetap berlaku sesuai dengan apa yang sekarang sudah diberlakukan. Dengan kata lain ada suatu ‘kompromis’ yang cukup menuai perhatian/kritik, karena dari satu segi dinyatakan inkonstitusional namun sekaligus tetap berlaku selama 2 tahun mendatang. Gaya kompromis ini dinilai: ‘MK memberikan putusan yang menggantung atau tidak berani lurus dan tegas dengan logika hukum dan UU MK’. Seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan BATAL saja, sehingga tidak membuat kebingungan dan mentoleransi pelanggaran. Ini seolah menegaskan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap MK yang tunduk pada eksekutif menjadi terbukti. [27]

Inti keputusan MK terbaca dalam beberapa catatan dibawah ini: 

[a] Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU No 11 Th 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. UU Cipta Kerja tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

[b] MK memerintahkan DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Jika tidak diperbaiki, UU yang direvisi oleh UU Cipta Kerja dianggap berlaku kembali.

[c] tidak hanya itu, MK juga menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. MK menyatakan tidak dibenarkan untuk penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

[d] Putusan MK terkait “UU Omnibus Cilaka” ini membuktikan bahwa tuntutan rakyat untuk mencabut UU Cipta Kerja karena melanggar UUD 1945 adalah benar adanya.

 

Jayapura, 30 November 2021

***************



[2] JUBI, edisi 24-25 Noveber 2021, hlm. 1-2 “Intan Jaya Memanas akibat Sem Kobogau hilang”

[9] https://jubi.co.id/kajian-kelayakan-provinsi-selatan-sudah-final/

[14] JUBI, edisi 29-20 Novembr 2021, hlm. 5, Pemerintah didesak hentikan kekerasan terhadap perempuan Papua”.

[15] JUBI edisi 29-30 November 2021, hlm. 15, Civil coalition raises the theme ‘Papuan Women and Militarism’ at 16 days of activism against GBV (Gender Based Violence)

[26] JUBI, edisi 8-9November 2021, hlm. 3: Hadirkan Damai: perlu dukungan semua pihak akhiri konflik Intan Jaya. & https://papuaterkini.com/temui-kapolda-ketua-poksus-dprp-dan-tokoh-masyarakat-bahas-situasi-kamtibmas-intan-jaya/

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.