Monday, November 2, 2020

Second part of the October report in Bahasa. PAPUA 2020 16 –31 OKTOBER

 PAPUA  2020

16 –31 OKTOBER

Oleh: Theo van den Broek

[1] Sudah lama ada rencana untuk membangun suatu ‘hydro-power plant’ (pembangkit listrik yang memakai air) di wilayah Kabupaten Mamberamo Raya. Baru ini tercapai suatu kesepakatan awal antara Indonesia dan salah satu perusahaan dari Australia, Fortescue Metals Group Ltd (FMG), untuk mulai mewujudkan rencana besar itu. Biaya ‘hydro-power plant’ adalah sekitar Rp 50 triliun, dan dinantikan bahwa pembangkit listrik itu akan menghasilkan 20 GW. Adanya pembangkit listrik ini juga dapat turut mendorong pembangunan ekonomis lain di wilayah itu[1].

[2] Tanggal 19 Oktober adalah hari ulang tahun Kongres Rakyat Papua ke-III di Lapangan Zacheus Abepura, Padang Bulan, 2011. Presiden Negera Federal Republik Papua Barat (NFRPB), Fokus Yaboisembut, meminta masyarakat untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 19 Oktober[2]. Akhirnya perayaan HUT NFRPB digelar secara sederhana di kantor NFRPB di Kertosari (distrik Senani). Dihadiri 100 orang dan diawasi ketat oleh polisi. Bintang Kejora tidak dikibarkan, namun diletakkan di tiang bendera dan dilakukan ibadah[3].

[3] Penolakan masyarakat atas pembangunan markas-markas pasukan keamanan sudah sering terdengar. Baru ini (10/10) Forum Masyarakat Jayawijaya Pengungan Tengah Papua (FMJ-PTP), menyatakankan tegas menolak wacana pembangunan Korem di Wuluwaga, distrik Asologaima, Kab Jayawijaya dan mengutuk oknum  –yang dilibatkan oleh TNI- yang mengatasnamakan sebagai kepala suku dan mewakili masyarakat adat yang mengizinkan rencana itu. Artinya TNI tidak melibatkan seluruh lapisan masyarakat adat, termasuk pemuda dan intelektual yang mendiami wilayah ini[4].

[4] Akhir-akhir ini nasib para ‘tenaga honorer pemerintahan’  mulai diperhatikan dan diatur supaya mereka yang bertahun-tahun sudah mengabdi diri akhirnya diberikan kepastian status sebagai ‘pegawai’ tetap’. Segala kesusahan dengan kelompok besar ini sampai saat ini memberikan alasan pada Bupati Mimika untuk tidak menerima lagi ‘tenaga honorer’ di masa mendatang[5].

[5] Keluarga Pastor Yeremias yang dibunuh di Intan Jaya, diminta untuk menandatangani laporan kunjungan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF); termasuk dalam laporan ini memberikan izin untuk otopsi jenazah (15/10). Keluarga sebenarnya keberatan – membuka kuburan lagi adalah pelanggaran adat - dan akhirnya hanya menandatangani asal laporan lengkap diserahkan langsung kepada Presiden Jokowi[6].

[6] Isi laporan TGPF dibuka dalam a.l. siaran langsung (TV Metro 22/10, 22.05 WIB).  Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menyatakan bahwa seusai kunjungan kerjanya, TGPF menyimpulkan bahwa ada dugaan nyata bahwa memang pastor Yeremias tewas karena penembakan oleh anggota TNI[7]. Latas beliau menambah “namun ada kemungkinan bahwa ‘pihak ketiga’ terlibat dalam penembakan itu”; artinya: memang TNI terlibat tetapi mungkin meminta ‘pihak ketiga’ untuk melaksanakan penembakan[8]. Dengan catatan tambahan ini semuanya agak ‘dikaburkan’, maka tidak heran ada sejumlah tanggapan kritis. Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengemebangan Bantuan Hukum (LP3BH),  Christian Warinussy, mengatakan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGFP) sangat lemah dan menggelikan. “Sudah terbaca dan bisa diprediksi sejak awal sebelum TGPF Intan Jaya dibentuk. Benar-benar menggelikan. Hasil ini semakin menujukkan kemerosotan nilai kemanusiaan di atas demokrasi seperti Indonesia”, kata Warinussy (22/10). “Laporan TGPF sama sekali tidak menyentuh konteks persoalan yang menjadi latar belakang hadirnya pasukan keamanan Negara di sekitar wilayah Sugapa, Kabupaten Intan Jaya. Apalah karena ada gangguan keamanan yang mengancam keutuhan Negara? Atau karena alasan ketersediaan potensi sumber daya alam yang sangat menjanjikan?” Selanjutnya Warinussy mencatat bahwa hal ini sebenarnya perlu ditangani Komnas HAM. ”Sama sekali kita heran saja, karena tak ada catatan atau rekomendasi TGPF yang ditujukan dan perlu ditindaklanjuti oleh sebuah lembaga Negara resmi di bidang pro justitia pelanggaran HAM”, katanya. Hal yang sama diangkat oleh Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) Papua, Gustaf Kawer. Laporan TGFP tidak tegas dalam pengungkapan penembakan pendata Yeremias, dan penyelidikan kasus itu seharusnya dilakukan “tim ad hoc” bentukan Komnas HAM, sehingga hasilnya bisa ditindaklanjuti dengan penyidikan dan proses hukum (21/10)[9].  Senada dengan catatan diatas, staf Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Arif Nur Fikri, menyatakan bahwa “melihat kasus penembakan pastor Yeremias, tidak ada rugi sedikitpun bagi TNI kalau kasus ini dibawa ke pengadilan sipil, jika ada anggota TNI dibuktikan salah dalam kematian pastor ini”. KontraS berpendapat bahwa “tidak ada alasan untuk membawa proses hukum ini ke pengadilan militer”[10]. Sejumlah aktivis nasional turut mendukung ketegasan supaya suatu proses hukum yang sungguh -sungguh diadakan. Menkopolhukam menyerahkan laporan TGFP kepada polisi dan lembaga hukum Negara namun mencatat juga bahwa ‘isi laporan ini tidak mengikat’. Maka ada kekawatiran bahwa dengan adanya laporan ini semuanya akan ‘dianggap sudah selesai’, kata Anum Siregar[11].

Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sedang menyusun suatu laporan faktual tersendiri dan ingin mengajukan suatu rekomendasi yang konkrit dan yang mengikat secara hukum supaya kasus ini diselesaikan seharusnya (21/10)[12].

Sementara dalam laporan Komisi Independen Kemanusiaan untuk Intan Jaya, yang diketuai Haris Azhar, dalam siaran pers (29/10) menjelaskan dengan sangat konkrit siapa sebenarnya pelaku pembunuhan dan bagaimana kejadiannya secara kronologis. Ditekankan juga bagaimana suasana menuju pembunuhan ini sudah terungkap dalam beberapa pertemuan pihak pasukan dengan masyarakat setempat dimana ditekankan bahwa masyarakat bertanggungjawab atas pengembalian senjata yang dirampas PTNPB dan bahwa sejumlah orang setempat sudah dinilai menjadi pelawan pihak TNI/Polri, termasuk pastor Yeremias. Nama anggota Koramil yang diduga terlibat nyata disebut dengan jelas dalam laporan ini[13]. Laporan ini berdasarkan segala informasi yang diperoleh di lapangan sambil mendengar warga-warga setempat.  Tim Independen Kemanusiaan juga merekomendasi {a} kepada Presiden untuk memerintahkan Panglima TNI menarik pasukan dan menghentikan operasi militer di Intan Jaya; {b} kepada Komnas HAM untuk segera melakukan penyelidikan lanjut; dan {c} kepada Gubernur Papua untuk membantu Pemerintah Daerah Intan Jaya melakukan pemulihan psikologi sosial ke masyarakat Hitadipa yang trauma[14]. Laporan ini juga sempat dipresentasi secara nasional dalam acara Kompas TV (30/10). Baca juga kutipan dari laporan ini yang kami cantumkan sebagai bahan refleksi (TvdB).

Dalam kerangka yang sama juga penting untuk mencatat suatu penemuan oleh Komnas HAM Republik Indonesia dimana mereka menyatakan ratusan siswa sekolah satu atap SD dan SMP di distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya tidak bersekolah selama beberapa bulan terakhir. Kondisi itu terjadi karena gedung sekolah mereka ditempati TNI yang bertugas di sana. “Muridnya jumlahnya sekitar 100 orang. Ketika kami disana ada kepala sekolahnya bilang, sekolahnya dipakai untuk pos persiapan tentara (Koramil persiapan)”, kata Komisioner Pemantau dan Penyelidikan Komnas HAM RI, Choirul, saat bertemu dengan Pansus Kemanusiaan DPR Papua (16/10)[15].

 

[7] Kongres Nasional ke-IV Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) –lihat item 25, laporan 1-15 Okt), sudah selesai (15/10). Kongres berakhir dengan merumuskan 9 unsur resolusi untuk diberikan perhatian selanjutnya: {1} Otsus sudah gagal, maka bubarkan saja Majelis Rakyat Papua (MRP) dan AMPTPI mendukung penuh hak penentuan nasib sendiri Papua; {2} AMPTPI mendukung perjuangan United Liberation Movement West Papua (ULMWP); {3} AMPTPI memohon kepada Melanesian Spearhead Group (MSG)Pacific Islands Forum (PIF) dan African Caribean and Pacific (ACP) untuk mendesak Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengirim tim pencari fakta menyelidiki pelanggaran HAM di Papua; {4} AMPTPI mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka akses di Papua bagi wartawan asing, diplomat, senator, akademisi dan pemerhati HAM; {5}  AMPTPI menolak semua bentuk pemekaran diatas tanah Papua; {6} AMPTPI mendesak Gubernur Papua mencabut rekomendasi izin usaha pertambangan di Papua, terlebih di wilayah Intan Jaya; {7} AMPTPI menolak investasi di Papua, dari Sorong sampai Merauke dan menolak Omnibus Law; {8} AMPTPI mendesak Pemerintah Indonesia menarik pasukan organik dan non-organik, serta menghentikan pengembangan semua infrastruktur TNI dan Polri di Tanah Papua; secara khusus menolak pembangunan markas militer di Kab Jayawijaya; dan {9} AMPTPI mendesak Gubernur baik provinsi Papua maupun Papua Baratmenutup semua tempat penjualan minuman keras dan prostitusi. AMPTPI akhirnya juga mengajak ULMWP, Pimpinan Adat, Pimpinan Gereja, LSM dan komponen strategis untuk mengambil bagian dalam penyelematan Tanah Papua[16].

 

[8] Akhir ini Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Johnny G. Plate buat banyak orang kaget dan prihatin. Menurut beliau “kalau Pemerintah bilang bahwa suatu berita ada berita hoaks, maka itu betul berita hoaks “(dalam acara Mata Najwa 14/10/2020). South Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), menilai pernyataan ini sangat berbahaya. “Ini berbahaya sekali, karena ‘hoaks’ itu harus bisa diverifikasi dari berbagai sisi, tidak hanya bisa melihat satu sisi seperti dari pemerintah saja”. Ditambah ‘pernyataan itu bisa jadi dogmatis bahwa apa yang disampaikan pemerintah adalah kebenaran tunggal’. “Ini bisa dilihat jadi upaya mengontrol informasi dengan abuse of power karena sangat bisa sekali sarat kepentingan pemerintah”, ujarnya[17].

 

[9] Yang asyik ditanggapi adalah berita sebagian wilayah pertambangan yang sudah ditinggalkan oleh PT Freeport Ind (PTFI) akan dikelola oleh perusahaan pertambangan domestik. Yang lazimnya dinamakan ‘ex tambang emas blok Wabu’ sudah dikelola PTFI bertahun-tahun dan sekarang ditinggalkan, selesai. Namun ternyata masih ada ‘sisa yang berharga’ untuk diekstrak. Maka, izin beroperasisan ‘sisa blok Wadu’ diberikan kepada perusahaan Mining Industry Indonesia (Mind Id) [18]. Lokasi ‘blok Wadu’letaknya dalam Kabupaten Intan Jaya. Mendengar berita ini, pelbagai pihak berprotes, a.l. pihak Keuskupan Timika, yang sangat tidak setuju karena kehadiran Mind Id akan sangat mengganggu masyarakat setempat. Administrator Keuskupan Timika, Marthen Kuayo Pr meminta Gubernur Provinsi Papua untuk mencabut rekomendasinya izin khusus itu. Alasannya: kalau perusahaan ini masuk, masyarakat lokal diapakan? Pasalnya, hanya daerah itu saja orang asli bertahan hidup seperti bertani dan berburu. “Saya tujuh tahun tugas pastoral di Intan Jaya, saya tahu persis lokasi itu. Lokasi itu milik marga Belau, Japugau dan Sondegau. Kalau perusahaan ambil daerah itu, mau kemanakan masyarakat?” ujarnya[19]TPNPB senada dalam komentarnya (25/10)[20] dan hal ini juga diangkat dalam laporan Tim Independen Kemanusiaan Intan Jaya (lihat item 6 diatas). 

 

[10] PT Freeport Ind (PTFI) ternyata meninggalkan pertambangan sites tertentu dari satu segi, namun mengintensifkan operasinya dari segi lain; dengan kata lain PTFI tetap mengekspansi operasi penambangannya. Hal ini menjadi jelas dari suatu berita (Global Mining Review, 21 Oct 2020) mengenai kontrak yang diterima Wartsila untuk membangun suatu ‘powerplant’ (pembangkit listrik) sebesar 128 MW; dipesan oleh PT Freeport Indonesia (PTFI). ‘Powerplant’ ini akan ditempatkan di Amamapare, Freeport punya pelabuan , Port Site, di Papua. Dari sana listrik akan disediakan pada lokasi penambangan melalui kabel transmisi sepanjang 100 km[21].

 

[11] Berita yang menyedihkan (17/10), yakni, ternyata Covid-19 sudah mempunyai korban di wilayah Asmat yang sampai saat ini masih bebas-covid[22]. Menurut dokter Steven, delapan (8) orang yang dipapar Covid-19 tidak memiliki riwayat perjalanan keluar selama 14 hari terakhir ini. Maka infeksi terjadi karena transmisi lokal di kota Agats. Sementara waktu (24/10) muncul berita tambahan bahwa jumlah total sudah menjadi 19 orang terpapar; 13 diantaranya adalah tenaga kesehatan: 12 tenaga di RSUD dan 1 di Puskesmas, semuanya di Agats[23].


[12] Massa pendukung salah satu pasangan calon (paslon) Pilkada di Asmat merusak kantor Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) setempat (18/10). Fasilitas dirusak dan sejumlah staf yang ada di kantor dilempari dengan kayu. Tidak ada yang luka, namun 4 staf merasa agak trauma[24]. Sudah tentu kejadian ini perlu ditindaklanjuti secara hukum. Mungkin berhubungan Pilkada dan secara khusus dengan kejadian tadi, suatu pleton Brimob dikirim dari Timika ke wilayah Asmat[25].

 

[13] Sudah beberapa tahun ada hubungan jalan darat antara Wamena dan Jayapura. Namun trayek itu sering mengalami kesulitan karena jalan dan jembatan sering rusak berat karena truk yang memakai jalan satu-satunya ini antara Wamena dan Jayapura. Maka, ketua Asosisi DPRD Kabuaten Sekruruh Indonesia (ADKASI) Provinsi Papua, meminta pemerintah provinsi Papua dan pemerintah Pusat memperhatikan infrastruktur dan bergerakan pengendara yang dinilai tanpa aturan merusak jalan dan jembatan di jalan Wamena-Jayapura. “Bagaimana jembatan tidak rusak jika beban kendaraan dan angkutan tidak sesuai beban jalan dan jembatan”, tanyanya[26].

 

[14] Selama apel pagi hari Senin (19/10) diumumkan keputusan Gubernur provinsi Papua untuk ‘meliburkan’ semua pegawai kantor Gubernur di Jayapura selama 3 bulan, mulai tanggal 19 Oktober 2020 sampai 19 Januari 2021. Alasannya: sekitar 25% dari tenaga di kantor Gubernur terpapar Covid-19.

 

[15] Rabu malam (21/10) kita di Jayapura dikagetkan dengan kebakaran sangat luas di Dok IX di Jayapura. Lebih daripada 150 rumah terbakar habis sedangkan sekitar 800 orang menjadi ‘tuna wisma’, tidak tahu lagi mau ke mana karena rumahnya tidak ada lagi[27]. Sementara waktu diduga bahwa sumber kebakaran adalah ‘kortsleting’ (aliran listrik pendek).

 

[16] United Liberation Movement West Papua (ULMWP) telah menyelenggarakan Sidang Tahunannya yang ke-III di Jayapura (14-17 Ok 2020). Ketua legislatif ULMWP, Edison Waromi, menjelaskan dalam konperensi pers seusai Sidang Tahunan  bahwa Sidang membahas dinamika sosial politik, hukum dan 

HAM di Papua dewasa ini. Dicatatnya a.l.: {1} ujaran rasis yang mengakibatkan banyak protes, perusakan, korban dan penangkapan; {2} penolakan massal Otsus Jilid II; {3} pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan pastor Yeremias di Intan Jaya; dan {4} operasi militer di Timika, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Nduga dan tempat lainnya di Papua. 

Sejumlah cara penyelesaian ditawarkan, a.l. {1} pihak agama tetap menawarkan dialog; {2} kalangan pemuda dan mahasiwa bersama rakyat Papua sendiri, melalui Petisi Rakyat Papua (PRP) dan hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh MRP sebenarnya menuntut satu hal saja, yaitu Referendum sebagai solusi demokratis bagi Bangsa Papua; {3} Pemerintah Pusat menawarkan perpanjangan Otsus dan penerapan Pemekaran. Lantas masih ditambah dengan tindakan sepihak, yakni, pengeluaran Keputusan Presiden (Keppres) No. 20 dan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tentang suatu Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua yang diketuai Wakil-Presiden. 

ULMWP mendengar beberapa dinamika itu termasuk juga dorongan Gereja supaya Indonesia membuka dialog dengan ULMWP dan desakan Pacific Island Forum (PIF) untuk kunjungan suatu ‘misi HAM’ dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke Papua.

Akhirnya dalam Sidang Tahunan Ke-III diputuskan untuk meningkatkan status politik dan hukumnya dengan {1} tetap menerima aspirasi referendum Bangsa Papua, {2} memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) di wilayah territorial West Papua, dan {3} menegaskan bahwa rakyat West Papua siap bernegara (20/10)[28].

Secara khusus dalam UUDS ditetapkan suatu pemerintahan yang diarahkan oleh peraturan dan norma demokrasi, hak-hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri (self determination). Melalui UUDS kebudayaan serta gaya/cara hidupnya Papua terlindung. Dalam UUDS ini diberikan tempat a.l. pada 

{1} hak-hak masyarakat pribumi (orang asli Papua), termasuk pemilikan tanah adat dan kesetaraan gender maupun hak-hak para migran Indonesia di Papua; 

{2} jaminan pendidikan, kesehatan dan ‘renewable energy’ (tenaga terbarukan); dan

{3} penetapan perlindungan dalam hukum untuk lingkungan, semua agama dan setiap makluk hidup[29].

 

[17] Salah satu venue Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-XX jadi diresmikan oleh Gubernur, Lukas Enembe (23/10). Peresmian venue PON XX 2021 juga ditandai perobahan nama stadion yang berubah dari Stadion Papua Bangkit menjadi Stadion Lukas Enembe. Juga nama bandar udara di Sentani diberikan nama baru menjadi Bandar Udara Dortheys Hiyo Eluay. Segala upaya perobahan nama juga disambut dengan cukup banyak protes[30]. Walikota melarang perobahan nama lapangan tenis yang sudah diberikan nama sesuai dengan lokasi aslinya. Protes sangat hebat menjelang peresmian, namun cepat hilang setelah peresmian sudah menjadi fakta. Nama lapangan tenis tetap nama aslinya[31].

 

[18] Papua Tanah Kosong! Isikanlah dengan aparat! Begitulah arah rekomendasi dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, dalam konperensi pers sewaktu beliau menjelaskan hasil Tim Gabungan Pencari Fakta untuk Intan Jaya (21/10). Setelah memberitahukan bahwa memang ada dugaan bahwa TNI terlibat dalam pembunuhan pastor Yeremias, Menkopolhukam menguraikan juga keadaan wilayah Intan Jaya. Banyak tempat disana masih kosong, maka masyarakat merasa tidak aman, menurut Menkopolhukam. Maka, alangkah mendesaknya adalah supaya TNI mengisi semua tempat kosong itu dengan segera, supaya masyarakat merasa aman[32]Pernyataan serta rekomendasi resmi ini kedengaran agak sinis kalau disadari bahwa seluruh isi konperensi pers ini diawali dengan pernyataan bahwa TNI terlibat dalam pembunuhan seorang warga yang sangat dihormati masyarakat. Disamping itu ternyata Menkopolhukam masih tetap berpendapat bahwa Papua adalah “Tanah Kosong”; kekeliruan visi demikian sudah mengakibatkan banyak sengsara buat masyarakat asli Papua, karena tanahnya dianggap dapat dialokasikan oleh penguasa secara sepihak saja kepada siapapun dan sesuai kepentingan penguasa saja. Policy dan strategi pemerintah pusat berhubungan dengan Papua sebagaimana tercermin dalam rekomendasi tingkat tinggi ini sangat memprihatinkan dan membuat suasana di Papua makin suram. Terlepas dari semuanya ini, sebaiknya menkopolhukam menyadari bahwa masyarakat tidak pernah merasa tidak aman di ‘tempat kosong’, artinya: di tempat dimana tidak ada aparat.(TvdB)

 

[19] Berhubungan dengan catatan diatas, cukup penting juga memberikan perhatian pada suatu berita uraian dalam Tabloid Jubidimana diberikan tempat pada uraian sekaligus ‘seruan hati’ oleh Dewan Adat Papua (DAP) melalui sekretaris II-nya, John Gobay (20/10). Menurut John Gobay, chaos di Intan Jaya mulai dengan aparat keamanan memasuki di wilayah itu sambil memakai helikopter dan melalui jalan darat, mulai  bulan Desember 2019. “Sebelumnya, wilayah itu aman saja”, pernyataan John. Masalah sekarang ini bukan masalah sosial. Masyarakat asli di tempat betul tahu bagaimana mengakhiri suatu masalah sosial. “Ini juga bukan masalah izin pertambangan”, lanjutnya. “Jika masyarakat Intan Jaya menolak masuknya Mining Industry Indonesia (MIND), maka tidak akan jadi”. Rekomendasi Gubernur memang dalam hal ini adalah salah satu sumber permasalahan.  Namun, masalah utama adalah kehadiran pasukan non-organik yang mengakibatkan korban-korban di pelbagai pihak. 

“Yang kita butuhkan adalah suatu upaya strategis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yakni penarikan kembali segala pasukan non-organik dari Paniai dan Intan Jaya, maka wilayah ini dapat dibangun tanpa bunyi senjata”, kesimpulan John. 

Masalah Papua, jangan diselesaikan dengan kekerasan! Dan jangan mengangkat isyu-isyu yang palsu di mass media, permintaannya kepada segala pihak. “Itu hanya akan memperparah situasi”! Dia juga mendesak pemerintah Papua untuk tidak membebankan masyarakat Intan Jaya dengan segala macam tawaran program, melainkan mengambil bagian aktif dalam penyelesaian masalah yang sebenarnya. 

Akhirnya John menyeru. “Kita perlu memberikan perhatian pada semua pihak, entah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), entah Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi , dan ‘saya punya masyarakat’. Saya berdiri di tengah mereka. Saya tidak bisa berpihak satu. Mari kita mengakhiri masalah ini bersama”, seruan hatinya[33].

 

[20] Ternyata praktik penjualan senjata oleh pihak keamanan kepada kelompok lain yang berniat memiliki senjata tetap berjalan. Baru ini (21/10) suatu transaksi jual-beli di Nabire diketahui dan dibongkar. Seorang anggota Brimob ternyata terlibat dan kerjasama dengan dua orang lainnya, a.l. seorang mantan-anggota TNI. Menurut info sampai saat ini transaksi yang mau dijalankan adalah yang ke-enam dalam suatu seri transaksi jual-beli senjata. Anggota Brimob sudah ditangkap dan sedang ditahan[34]. Juga pihak TPNPB membenarkan bahwa praktik pembelian senjata dari pihak aparat sudah lama dijalankan[35].Jelas, praktik ini sangat mempersoalkan sikap kalangan TNI[36].

 

[21] Pasti suatu berita yang kurang menyenangkan bagi banyak orang, yakni: Presiden Jokowi sudah menyetujui bahwa mulai 1 Jan 2021 gaji para pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI dan Polisis akan dipotong 2,5% untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Program ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2020. Tahap pertama adalah pemotongan gaji PNS; lantas akan menyusul pemotongan TNI dan Polisi; akhirnya juga akan membebankan gaji orang swasta. Semua hasil potongan ini dimasukkan dalam suatu dana khusus yang modal awal adlah 2,5 triliun rupiah. Dana ini akan dikelola oleh suatu badan khusus yang dibentuk oleh pemerintah[37]

 

[22] Buntut dari kekecewaan rakyat karena UU Omnibus Law Cipta Kerja (OminibusLaw) disahkan oleh DPR, belakangan ini muncul seruan untuk melakukan pembangkangan sipil terhadap pemerintah. Dengan pembangkangan sipil  dimaksudkan suatu reaksi yang muncul pada saat masyarakat merasa bahwa aksi protesnya tidak berhasil dan tidak akan berhasil, alias mengalami jalan buntu. Pada saat itu hanya masih terbuka bentuk protes lainnya, yakni pembangkangan sipil. Bentuk konkritnya dapat bervariasi dan perlu ditemukan secara kreatif. Seruan untuk mengadakan pembangkangan sipil dicetuskan ahli hukum Universitas Gajah Mada (UGM). Seruan itu ditanggapi direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru , Haris Azhar (23/10). Menurutnya “pembangkangan sipil itu sudah terjadi, bukan sekedar demonstrasi, pasif dan diam saja, tidak dibayar pajak ramai-ramai itu bagian dari simbol, bahwa mereka menolak”. Saat ditanya tentang ajakan melakukan pembangkangan sipiI, Haris menegaskan bahwa dirinya hanya mengkonstruksikan apa yang sudah terjadi di masyarakat. Di sisi lain Menteri Hukum dan HAM (Menhumkam), Yasonna Laoly, menyanggah seruan pembangkangan sipil sebagai sesuatu yang mengerikan karena hal ini merupakan suatu bentuk provokasi politik. Merupakan “ajak tidakpercaya pemerintah, nggak bayar pajak ini sudah keterlaluan”, tegasnya. Yasonna lantas mengkritik pihak-pihak yang menyerukan pembangkangan sipil karena menggerakkan massa yang tidak paham untuk melawan[38].

 

[23] Terbukti lagi bahwa kekerasan hanya memperparah situasi di Intan Jaya. Sekali lagi ada berita bahwa seorang katekis (tenaga pembantu pastoral katolik) ditembak mati. Inilah katekis yang kedua yang ditembak TNI/Polri dalam bulan ini! –lihat item [21] lap 1-15 Okt. Kali ini di kampung Jalae, dimana pasukan gabungan TNI-Poliri mengadakan suatu operasi penyisiran pada pagi hari (26/10). Seorang anak pun yang berumur 6 tahun terkena peluru, maka perlu dievakuasi untuk dirawat di Timika. Katekis yang dibunuh namanya Rufinus Tigau, 44  tahun, sedangkan anak namanya Meinus Bagubau. Pihak keamanan menyatakan bahwa bapa Rufinus diduga anggota TPNPB, sedangkan pihak Keuskupan Timika mengeluarkan suatu pernyataan resmi bahwa bapa Rufinus adalah tenaga pastoral resmi di kampong Jalae, distrik Sugapa, dan bukan anggota TPNPB. TPNPB juga menyatakan bahwa yang bersangkutan bukan anggotanya. Setelah ditembak mati janazah bapa Rufinus dimasukan dalam suatu lobang dekat rumahnya dan ditutup dengan daun pisang. Masyarakat yang datang memeriksa keadaan seusai penyisiran pihak keamanan menemukannya dalam keadaan demikian[39]

Pada tgl 1 November sudah tersedia suatu kronologi kejadian yang disusun Keuskupan Timika setelah mengadakan pemeriksaan di tempat dan mendengar para saksinya[40]. Dalam kronologi ini jelas bahwa Rufinus ditembak mati di tempat sewaktu dia pulang dari rumah kepala suku (15 meter dari rumahnya sendiri) ke rumahnya guna melihat keadaan isteri, anak dan mamatuanya setelah mendengar bunyi rentetan senjata. Sebelum bisa masuk rumahnya dia berhadapan dengan pasukan dan ditembak mati. Dalam laporan ini juga diangkat tuduhan pihak Polisi bahwa Rufinus adalah anggota OPM; menurut pihak polisi fakta itu berlandasan pengakuan ayah tiri Rufinus, Antonius Abugau dan adik Rufinus, Julius Abugau. Pernyataan polisi itu tidak dibenarkan dalam laporan Keuskupan. Laporan Keuskupan menyebutkan Antonius dan Julius yang dipaksa aparat menggali lubang sedalam setengah meter untuk menguburkan Rufinus. Administrator Keuskupan telah menyatakan sebelumnya bahwa Rufinus tidak ada kaitannya dengan aktivitas TPNPB di Intan Jaya.  

Dengan penembakan pastor Yeremias (19/9) masih segar dalam ingatan kita semua sekarang tambah lagi satu kisah yang sama dan sangat menyedihkan serta menimbulkan ketakutan seluruh warga di Intan Jaya. Bagaimana tokoh-tokoh agama atau siapa saja yang mereka hormati dan yang mereka cari untuk dilindungi bisa ditembak mati begitu saja. Perlu upaya tambahan Komnas HAM menyelesaikan kejadian ini supaya tidak tenggelam dan dilupakan seakan-akan ini kejadian biasa saja. (TvdB)

 

[24] Kasus 23 terdakwa ‘makar’ di Fakfak akhirnya juga dirampungkan dan vonis diberikan. Inilah kasus pengadilan terakhir yang berjalan berkaitan dengan protes selama ‘krisis rasis’ pertengahan kedua 2019 dan persiapan perayaan 1 Desember 2019. Ke-23 terdakwa divonis ‘rata-rata satu tahun’. Mereka sudah ditahan di penjara sejak 1 Des 2019[41].

 

[25] Sewaktu peresmian venue PON XX 2021, disampaikan juga data kependudukan, khusus jumlah penduduk asli, sebagaimana dikeluarkan oleh Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Jumlah total penduduk Papua sebanyak 4.349.344 pada tanggal 31 Desember 2019, sementara orang asli Papua berdasarkan marga sebanyak 2.386.048 jiwa. Penduduk asli terdiri dari 18.054 marga. Lima marga terbesar disebut secara khusus, yakni: marga Kogoya, 160.292, marga Wenda berjumlah 110.556, marga Tabuni 82.180, marga Wonda, 79.039 dan marga Murib 68.743 orang. 

Kepala Dinas Sosial, Ribka Haluk, yang menyampaikan data ini menjelaskan bahwa ini hasil updating data kependudukan yang mereka lakukan selama tahun-tahun terakhir ini. Dia menyatakan juga bahwa data belum lengkap, namun diupaya terus untuk mengupdate supaya data makin akurat[42].  

Sebenarnya info ini masih cukup membingungkan, karena justru tahun ini, 2020, perlu diadakan sensus untuk mengupdate dan memperoleh data menjadi lebih akurat, sedangkan angka yang diberikan adalah dari 31 Des 2019. Bukan rahasia lagi bahwa angka-angka kependudukan di Papua sangat kacau dan jauh dari akurat, maka diharapkan bahwa melalui sensus 2020 situasi itu dapat berubah signifikan. Kenapa tidak tunggu hasil sensus 2020? Apa niatnya dibelakang pengumuman ini? (TvdB)

 

[26] Dalam laporan-laporan sebelumnya kami telah mengangkat persoalan sekitar 1.800 warga yang mengungsi keluar dari kampungnya (Banti dan Opitawak), di distrik Tembagapura, pusat wilayah operasi PT Freeport Indonesia (PTFI). Mereka meninggalkan kampungnya bulan Maret 2020 karena operasi militer pada saat itu. Mereka disuruh tinggal di Timika. Mereka sudah lama minta supaya diantar kembali ke kampungnya karena disana sudah tenang dan aman. TNI sudah janji akan mengantar kembali kalau sudah aman. Namun sampai saat ini tidak ada tindakan pihak yang berwajib, baik TNI-Polri, maupun PTFI, maupun Pemerintah Daerah untuk membantu mereka. Sementara mereka sudah lama mengeluh bahwa tidak merasa betah di Timika, dan sudah kehilangan 8 orang karena mati. Kenapa mereka sampai saat ini belum diantar ke kampung, tanah yang mereka miliki? Pertanyaan ini memotivasikan pendiri Yayasan Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar untuk berangkat ke Timika dan mulai beraksi membantu mereka. Beliau menduga ada pihak-pihak tertentu yang tidak menghendaki ribuan warga kembali ke kampung asalnya, sehingga sampai saat ini masih terkatung-katung di Timika. “Saya mencurigai ada siasat jahat untuk membiarkan masyarakat tidak bisa kembali ke kampungnya” kata Haris di Timika(27/10). Haris Azhar yang menjadi juga kuasa hukum Forum Pemilik Hak Sulung Tsinga, Waa-Banti, Aroanop (FPHS Tsingawarop) berjanji untuk memperjuangkan pengembalian sekitar 1.800 warga yang mengevakuasi diri sementara waktu ke Timika[43]. Kesannya bahwa mereka selama 7 bulan dibiarkan saja. Semestinya ada program pengembalian mereka. Dia menuding ada pihak-pihak tertentu yang sangat menikmati situasi dimana ribuan warga ini tidak berada di kampung halaman mereka yang sangat dekat jaraknya dengan kota pertambangan Freeport. “Kalau memang tidak ada siasat jahat, mestinya mereka segera dijemput untuk balik ke kampung. Kalau mereka terus di Timika, pasti menjadi masalah. Banyak warga yang sakit karena malaria, sudah delapan orang meninggal, banyak yang stress karena tidak punya uang untuk membayar sewa rumah kontrakan. Padahal kalau mereka ada di kampungnya, mereka sehat-sehat semua”, kata Haris.

 

[27] Hari Selasa (27/10) mahasiswa Universitas Cendrawasih (Uncen), mengadakan aksi penokakan Otsus di dua titik. Titik kumpul di Expo Waena dan putaran taksi, Perumnas III Waena, 500 meter dari gapura kampus Uncen. Pasukan gabungan Polisi, Brimob dan TNI melakukan penghadangan, pembubaran disertai pemukulan, penembakan peluru dan gas air mata kearah mahasiswa. Seorang mahasiswa, Matias Soo, dikena peluru dan dilarikan ke rumah sakit Dian Harapan di Waena. 13 orang ditangkap dan diantar ke markas polisi.

Kejadian ini langsung ditanggapi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) melalui direkturnya, Gobay. Gobay meminta pihak keamanan untuk menghargai hak setiap warga untuk mengungkapkan pendapatnya secara bebas dan tanpa kekerasan. Konstitusi Republik Indonesia menjamin hak itu. “Sekalipun sudah ada ketentuannya, namun dalam praktiknya aparat keamanan dalam hal ini TNI-Polri di Papua cenderung mengabaikan tugas, pokok dan fungsinya dalam mengawal kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Fakta tersebut terlihat jelas dalam aksi damai menolak UU Otsus Papua yang dilakukan oleh Mahasiswa Papua”, tanggapan Gobay[44].

 

[28] Di tengah segala peristiwa yang sangat memprihatinkan – seperti a.l. tercermin dalam laporan ini – makin terdengar pertanyaan: dimana Guberbur, di mana DPRP, dimana MRP?  Atas situasi itu, anggota DPR Papua, Laurenzus Kadepa angkat bicara dan mengecam Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) seakan masyarakat Papua kehilangan induknya. “Di mana peran Gubernur dan Wakil Gubernur, dimana pimpinan DPR Papua dan MRP. Saya melihat semua diam. Saat-saat situasi butuh pimpinan sebagai pengambil kebijakan harus jelas dalam melindungi rakyatnya yang ada di kota, pesisir, gunung, lembah di Papua besar ini”, ujar Laurenzus (28/10)Dari pandangannya pemerintah daerah sangat miskin dan krisis konsep keberpihakan dan perlindungan terhadap masyarakat. “Sikap pemerintah ini memperlihatkan bahwa perlindungan terhadap masyarakatnya sudah mulai pudar. Sudah tidak ada lagi”, katanya[45].

 

[29] UU OMNIBUS-CIPTA KERJA. Sebenarnya tidak dapat menambah banyak informasi sebanding dengan apa yang sudah dimuat dalam lapran sebelumnya. Aksi-aksi protes masih berjalan[46], dan masih kurang jelas kapan kita akan melihat akhirannya. Sudah tentu bulan November masih akan ditandai aksi protes besar-besaran. Sementara waktu disekitar isyu ini masih ada permainan kekuatan politik. Tuduhan pada siapa yang disugesti sebagai dalang aksi masal ini[47]. Permainan politik berupa ‘menunjuk dalang protes masal’ itu, juga dinilai aktivis HAM bahwa ini caranya pemerintah pusat untuk membungkam kritik masyarakat akan UU Omnibus-Cipta Kerja [48].

Suasana itu masih diperparahkan juga karena perebutan kekuatan politik yang sedang terjadi antara pemerintah Jokowi dan kelompok KAMI serta pendukungnya. Dalam prosesnya sekarang sejumlah tokoh KAMI itu ditangkap dan ditahan[49], dan makin banyak suara terdengar yang mengajak pihak keamanan untuk ‘menangkap mereka’. Dalam suasana demikian tidak mengherankan bahwa ada muncul refleksi atas penggeseran Jokowi, akan ‘kudeta’ dsbgnya[50]Bagi kami yang jauh dari Jakarta sulit untuk menangkap betapa seriusnya semuanya ini, namun jelas keadaan makin rumit dan sulit dikendalikan[51].

Yang masih langsung berkaitan dengan soal UU Omnibus-Cipta Kerja adalah berita bahwa versi UU ini yang akhirnya akan ditandatangani oleh Jokowi (rencana 28 Okt), berbeda dengan versi yang ditawarkan sewaktu DPR mengesahkan UU Omnibus-Cipta Kerja ini. Kalau itu memang benar, akan ada masalah hukum yang besar dan dengan sendirinya  Omnibus-Cipta Kerja itu tidak dapat diberlakukan[52].  

 

[30] OTSUS. Selama pertengahan kedua bulan oktober ini diskusi sekitar diskusi sekitar Otsus mulai agak mereda, kesan umumnya. Yang paling menonjol adalah demo yang diselenggarakan mahasiswa Uncen tgl 27 Okt guna membawa pesannya ke MRP provinsi Papua. Demo ini dibubarkan paksa oleh pasukan keamanan dan ditandai penembakan, pemukulan dan penahanan. Lihat item [26] diatas. Aktivis di Papua tetap bersikap menolak Otsus dan memajukan tuntutan Referendum, sedangkan dari pihak pemerintah baik provinsi maupun pusat sementara waktu tidak ada banyak berita. Pemerintah pusat cenderung memangkas dana Otsus hanya untuk 10 tahun (bukan 20)[53].

 

[31] COVID. Update Covid-19 pada tanggal 31 October: Kasus Positif: 9,590; sedang Dirawat 3,032; sudah Sembuh 6,408; yang Meninggal 150; dan PCR+TCM tests 77,682.

·       Yang paling menonjol dlm 2 minggu ini: munculnya pasien corona di Asmat; 19 kasus.

·       Di Sorong suatu asrama mahasiswa bisa menjadi ‘kluster baru’; 57 tes positif[54].

·       Menurut info-grafis tgl 29 Okt Jayapura Kota tambah 60 dlm satu hari yang tes positif

 

COVID-19

31 Oktober 2020

JUMLAH POSITIF

JUMLAH DIRAWAT

JUMLAH SEMBUH

JUMLAH MENINGGAL

PROBABLE

SUSPEK

Kota Jayapura

4775

1799

2896

80

8

 

Kab Mimika

2532

452

2055

25

27

 

Kab Jayapura

600

124

459

17

7

 

Kab Biak Numfor

547

341

195

11

23

 

Kab Nabire

333

85

240

8

 

 

Kep. Yapen

176

123

48

5

 

 

Kab Jayawijaya

144

27

117

0

 

 

Kab Merauke

134

18

116

0

 

 

Kab Keerom

125

25

98

2

 

 

Kab Boven Digoel

34

3

31

0

 

 

Kab Sarmi

31

8

23

0

 

 

Kab Lanny Jaya

27

0

26

1

 

 

Kab Tolikara

27

0

27

0

 

 

Kab Superiori

26

9

17

0

 

 

Kab Asmat

20

15

5

0

 

 

Kab Paniai

17

1

15

1

 

 

Kab Yalimo

15

0

15

0

 

 

Kab Mappi

13

1

12

0

 

 

Kab Peg Bintang

8

0

8

0

 

 

Kab Mambera-

mo Tengah

4

1`

3

0

 

 

Kab Puncak Jaya

1

0

1

0

 

 

Kab Waropen

1

0

1

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

9,590

3,032=32%

6,408=67%

150=2%

65

1,684

 

 

 

 

Tes PCR

77,682

 

 

 

 

BAHAN REFLEKSI

 

(kutipan dari laporan Tim Indepednen Kemanusiaan Intan Jaya)

 

[….]

Kelima, Rentetan Panjang Kekerasan di Hitadipa 

Bahwa, kami menemukan dalam satu tahun terakhir, ada rentetan peristiwa yang terjadi di Distrik Hitadipa, baik berupa kontak senjata antara TNI-Polri dengan TPNPB, kekerasan terhadap Warga sipil Hitadipa hingga perampasan ruang hidup masyarakat setempat. Dimulai dari peristiwa penembakan terhadap 3 tukang ojek pada 2019. Pada tanggal 17 Desember 2019, terjadi lagi penembakan terhadap 2 anggota TNI AD oleh TPNPB. Kontak senjata antara kedua pihak semakin meningkat pasca insiden dan berdampak langsung pada warga setempat. Beberapa lokasi baku tembak selama bulan ini antara lain Kampung Kulapa (Distrik Hitadipa), Kampung Ndugusiga (Distrik Sugapa), Kampung Bulapa (Distrik Sugapa), Kampung Ugimba (Distrik Ugimba). Berbagai peristiwa ini tidaklah terlepas dari rentetan pendroppingan pasukan selama bulan Desember di beberapa kabupaten, termasuk Intan Jaya. Aparat keamanan juga menduduki Sekolah SD YPPGI dan SMP Satu Atap di Hitadipa yang mengakibatkan ketakutan dari guru dan anak sekolah. 

Memasuki tahun 2020, eskalasi kekerasan semakin meningkat. Pada 26 Januari 2020, Alex Kobogau, seorang warga sipil meninggal karena tembakan TNI. Aparat keamanan menyatakan bahwa Alex adalah kombatan TPNPB, akan tetapi warga menyatakan bahwa Alex adalah warga sipil. Di hari yang sama, seorang anak, Jackson Sondegau (8 tahun) terluka tembak di perut sedangkan Yopi Sani Yegeseni (14 tahun) mendapatkan penganiayaan saat penahanan dari aparat. 

Kekerasan terus berlanjut pada 20 Februari 2020 dimana dua warga sipil lainnya yakni Kayus Sani (51 tahun), kepala suku Yoparu dan Melki Tipagau (11 tahun), siswa kelas VI SD YPPK Bilogai, Sugapa meninggal tertembak oleh TNI. Sedangkan Martina Sani (12 tahun) harus dirawat karena luka tembak pada waktu bersamaan. Juga, bahwa selama bulan Februari, ribuan warga mengungsi dari tempat tinggalnya dan tidak dapat menjalankan aktifitas secara normal. Pada 22 Mei 2020, Yunus Sani meninggal dibunuh oleh TPNPB karena dugaan korban sebagai mata-mata. 

Rentetan peristiwa ini menunjukkan adanya eskalasi kekerasan yang tidak hanya menimbulkan korban dari aparat dan kombatan, tetapi lebih banyak berasal dari masyarakat sipil bahkan beberapa adalah anak-anak. Adapun tipologi kekerasan yang dialami masyarakat sipil selama kurun waktu Oktober 2019 - September 2020 antara lain: intimidasi, ancaman, terror mental dan fisik, pemaksaan, penyisiran, penganiayaan, penghilangan paksa hingga pembunuhan. Trauma dan ketidakberdayaan berlapis atas kekerasan dan perampasan hak hidup telah menghasilkan penderitaan berkepanjangan masyarakat. 

Peristiwa Penghilangan orang secara Paksa 

Peristiwa, pada 21 April 2020, berawal dari adanya kegiatan Sweeping (pemeriksaan) alat kelengkapan pencegahan Covid19 oleh anggota TNI kepada masyarakat di Sugapa. Dari kegiatan tersebut terdapat 3 orang yang diamankan. Dari ketiga, 1 orang dilepas. Dua orang lainnya tidak dilepas. Mereka dibawa ke markas TNI Koramil Sugapa. Setelah itu, dua orang tersebut tidak pernah terlihat lagi. Dikarenakan mereka terkena sweeping Covid19, pihak keluarga menduga bahwa mereka positif menagalami Covid19, sehingga menduga setelah dua minggu akan dilepas. Namun demikian, dalam periode dua minggu tersebut tidak pernah keluarga dicari atau diberitahu keberadaan atau status mereka. Setelah dua minggu pihak keluarga mendatangi dan menanyakan keberadaan mereka, ke pihak TNI. Oleh pihak TNI diakui bahwa mereka ditahan oleh TNI namun tidak diakui ketidakjelasan keadaan dan keberadaan mereka saat itu. Pendeta Yeremiah adalah satu dari 4 orang keluarga yang diminta untuk mengurus. Dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh pejabat Bupati dan Pimpinan TNI dan Polri setempat, Pendeta tegas pernah mengucapkan yang diarahkan kepada Dandim bahwa “jika sudah meninggal mohon tunjukan dimana kuburnya, agar Keluarga bisa berduka. Jika masih hidup, mohon dikembalikan”. 

[….]

Teks lengkap: https://surabaya.tribunnews.com/2020/10/29/sosok-alpius-oknum-tni-koramil-bunuh-pendeta-yeremia-di-intan-jaya-sebelumnya-diduga-kkb-papua

 

Jayapura, 2 November 2020

Dalam gereja katolik ‘2 November’ dikhususkan sebagai

“Hari Pengenangan Arwah Semua Orang Beriman”

 



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.