Tuesday, August 4, 2020

Fortnightly updates on Papua in Bahasa

Hi All,

FYI. Below  are 2-weekly updates on Papua  by Theo van den Broek. The updates are written in Bahasa (although people can use google translate, if maybe  not perfect). The two below cover July.
---------------------------



PAPUA  2020
1–15 JUlI
Oleh: Theo van den Broek

[1] Memang bukan suatu masalah yang baru. Sudah lama ada kebiasaan anak-anak jalan, termasuk juga anak-anak sekolah, untuk menghirup ‘lem Aibon’. Hasil penghirupan itu anak merasa enak (high dan fly) dan mungkin pusing sedikit juga. Rupanya sekarang anak-anak usia SD hingga SMP ternyata menjadi suatu masalah betul di kota Timka (kemungkinan besar di kota-kota lain juga, termasuk Jayapura) karena terlihat hampir di seluruh sudut kota. Mereka bahkan sampai tertidur di emperan toko-toko. Tidak hanya anak-anak penghirup ‘lem Aibon’, para pemabuk juga semakin banyak di Timika. Sangat memprihatinkan maka para penguasa di Timika mulai mengangkat pesoalan ini untuk ditangani dengan lebih serius[1].
[2] Menurut Komisi Orang Terhilang dan Korban Kekerasan (Kontras), 1/7/2020selama periode Juli 2019 sampai dengan Juni 2020 Polisi terlibat dalam 921 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM. Hasilnya: 1.627 orang terluka, 304 meninggal selama kekerasan polisi di Indonesia[2].

[3] Soal pasal ‘makar’. Dalam suatu ‘pernyataan pers’ (24/6/2020) dijelaskan secara rinci  oleh Koalisi Penegakan Hukum dan HAM untuk Papua kedudukan persoalan istilah ‘makar’ secara yuridis. Kebanyakan tuduhan ‘makar’ tidak memiliki landasan hukum, maka dapat dikategorikan sebagai ‘kriminalisasi’. Selama tahun 2019 tidak kurang daripada 72 orang Papua menjadi korban kriminalisasi oleh pihak Penegak Hukum di Papua. Mereka dari Sorong, Manokwari, Fakfak, Timika, Jayapura dan Jakarta. Maka seruannya: “Aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal makar sehingga tidak jadi alat membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam Negara demokratis yang menjadi semangat UUD 1945”[3].

[4] Berhubungan dengan perkembangan politik di Papua pada pertengahan kedua 2019, dapat dicatat terbitan dari Sekretariat Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, yang berjudul “Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum”. Buku ini menggambarkan kejadian insiden rasis di Surabaya dan Malang pada 15-17 Agustus 2019 serta dampaknya insiden rasis ini di Papua. Penulis buku, Theo van den Broek, dalam presentasinya mencatat tiga perkembangan pokok selama 4,5 bulan terakhir 2019 di Papua ini. {a} bagaimana suatu masalah rasis dialihkan oleh Negara menjadi suatu operasi militer lawan perjuangan hak-hak/separatism di Papua; {b} bagaimana rakyat Papua pelahan-lahan merasa kehilangan segala kepastian hukum; dan {c} bagaimana dalam proses ini pemerintah sipil Papua dipinggirkan dan kuasa dialihkan pada pemerintahan pihak keamanan[4].

[5] Akhir-akhir ini wilayah Maybrat dan sekitarnya cukup menarik perhatian. Ada soal pembunuhan seorang Brimob yang dikaitkan dengan orang di Maybrat; ada operasi penyisiran daerah oleh pasukan gabungan; ada soal pembangunan Kodim yang ditolak masyarakat adat. Kali ini ada berita bahwa Ketua KNPB Wilayah Maybrat, Adam Sorry, dijemput oleh polisi Sorong Selatan di kantor sekretariat KNPB dan ditangkap. Penangkapannya disertai pukulan dan tembakan. Alasan penangkapannya adalah soal pembunuhan Brimob, namun alasan itu dinilai tidak tepat oleh staf lain sekretariat KNPB Wilayah Maybrat ini[5].

[6] ”Papuan lives matter”. Kematian George Floyd memberikan dorongan kepada suatu gerakan di Indonesia: ‘Papuan Lives Matter’. Dalam Los Angeles Times dijelaskan bahwa segala gerakan anti-rasis mempunyai dampak jauh dari Amerika. Kami hanya mengutip beberapa ungkapan dalam artikel itu, sbb:
·       “Banyak orang tidak akan merefleksikan ketidakadilan terhadap Papua kalau tidak didorong oleh George Floyd”, keterangan Fajar Nugroho, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, yang menyelenggarakan webinars (tele-discussions) untuk mempromosikan “Papuan Lives Matter”. “Orang melihat kemiripan dengan diskriminasi rasial disini dan mau tahu”, lanjutnya Nugroho, yang berasal dari kelompok etnis yang dominan di Indonesia, orang Java. “Mereka ingin tahu lebih banyak mengenai kenapa semuanya ini terjadi. Sejarah yang kompleks ini harus dicerita”.
·       Ligia Giay, seorang mahasiwa pasca sarjana pada Murdoch Univeristy di Australia menyatakan bahwa sangat sulit untuk menghindari diri dari prasangka-prasangka inheren banyak orang Indonesia terhadap orang Papua. “Kulit saya masih agak terang, maka saya tidak mengalami yang paling buruk”, katanya Ligia Giay, yang lahir dan dibersarkan di Jayapura. “Namun, saya dapat ‘penghargaan/pujian’ seperti ‘kamu buktinya bahwa tidak semua orang Papua bodoh dan kasar’”. Giay tidak pasti bahwa bangsa hitam di Amerika menghadapi tingkat yang tindakan rasisme sama terbuka itu yang kami alami sehari-hari, karena dia tidak pernah di Amerika, namun dia melihat kesamaan pengalaman dalam pertumbuhan ketidakpercayaan terhadap polisi. “Ada suatu sejarah trauma”, dia bilang. “Ketidakpercayaan tadi membuat bahwa kami mencurigai apa saja yang negara buat. Kami tidak pernah pikir bahwa mereka bertindak karena disemangati oleh kepentingan kami”.  
·       “Pemerintah menjadi takut”, kata dari Buchtar Tabuni baru-baru ini dari sel penjaranya melalui pengacaranya. “Black Lives Matter telah menghasilkan dukungan bagi yang tertindas di Papua”. “Saya akan melanjutkan melawan rasisme”, kata Tabuni, yang akan dibebaskan tgl 4 Agustus 2020. “Saya turut menyampaikan sympati pada George Floyd sekeluarga. Kami memang tahu persis bagaimana perasaannya. Dan kami memohon bangsa Amerika untuk solider dengan kami, membantu kami untuk berdiri di atas dua kaki kami sendiri di West Papua yang merdeka” [6].

[7] Ternyata tata bangunan irigasi di kota masih sering menjadi suatu masalah. Baru-baru ini kota Sorong mengalami kebanjiran besar-besaran setelah 3 jam hujan deras. Air tidak hanya masuk kedalam rumah penduduk saja, namun juga mengisi ruas jalan raya (1,5-2m tinggi)[7].

[8] Karena jauh dari pengamatan banyak orang, ‘pedagangan bergaya mengisap orang’ dapat berkembang di tempat-tempat dimana persediaan makanan terbatas dan dimonopoli orang. Contoh yang sangat nyerikan terdapat di suatu pelosok di Pegunungan Bintang: beras ditukar dengan emas dengan harga yang tidak masuk di akal, apalagi yang jauh dari etika yang wajar. 
Harga satu karung berukuran 10 kg di kawasan tambang emas tradisional di Korowai, Distrik Kawinggon, Kab Pegununga Bintang, mencapai 2 juta. Tak hanya beras. Harga satu kardus Mi Instan dijual seharga Rp. 1 juta. Bahkan ada satu kardus Mi Instan ditukar dengan emas dua gram [Harga pasar emas: 1 gram sekitar Rp. 950.000]. “Mi Instan satu karton kalau ditukar dengan emas itu, dua gram, satu karton 1 juta, satu bungkus Rp. 25.000”, kata seorang pengelola Koperasi Kawe Senggaup Maining, Hengki Yaluwo di Korowai[8]

[9] Soal OTSUS mulai ramai diangkat (2/7/2020) sejak Mendagri menunjukkan sikapnya untuk cepat membulatkan Otsus Jilid II tanpa memungkinkan suatu evaluasi oleh rakyat Papua. Sejumlah organisasi menolak bulat sikap Mendagri melalui suatu “Petisi Rakyat Papua”. Penolakan ini ditandatangani 17 organisasi di Papua. Dalam Konperensi Pers yang di-viral-kan masing-masing organisasi menyatakan sikapnya. Pada dasarnya unsur pertimbangan adalah: {a}Otsus tidak menyelesaikan masalah di Papua, {b}Otsus tidak melibatkan orang Papua, {c}Otsus bukan respons yang layak, hanya peluang untuk referendum adalah respons layak. {d}Otsus mengutungkan elite saja dan/atau para pedatang. 

Karena pokok OTSUS akan menjadi suatu isyu sangat sentral selama bulan-bulan mendatang, alangkah baiknya, isi petisi kami cantumkan secara singkat sekaligus memperkenalkan sejumlah organisasi, dibawah ini:
[1] DAP, Dewan Adat Papua, Samuel Awom: menolak Otsus. Ia menyesalkan kelompok-kelompok bayaran Negara yang membelokan situasi Papua hari ini untuk kelanjutan Otsus; Otsus tidak pernah dikonsultansi dengan DAP atau mendengar aspirasi rakyat Papua.
[2] KBPB, Komite Nasional Papua Barat, Victor Yeimo: dasar konflik Papua-Indonesia yang belum terdamaikan adalah manipulasi Pepera 1969. Menolak Tim bentukan Jakarta yang oportunis memanfaatkan orang Papua melakukan kompromis sepihak. Solusi damai dan demokratis adalah referendum: rakyat Papua bisa menentukan nasibnya sendiri.
[3] ULMWP, United Liberation Movement for West Papua, Markus Haluk: Jakarta sepihak berikan Otsus. Otsus nyatanya jadi alat pendudukan kolonial Indonesia di Papua. Pemberian 97 miliar adalah bagian dari propaganda dan pembohongan dan sebagai upaya melegalkan pendudukan sipil politik dan militer.
[4] AMP, Aliansi Mahasiswa Papua, John Gobay: Otsus itu diberikan dengan label separatis, bukan karena ingin membangun Papua, tetapi karena alasan meredam separatism. Hukum, TNI/Polri itu dikerahkan selama Otsus untuk mengamankan akses modal. Hanya memperkuat status penjajahan dan orang Papua sudah mulai punah. Minta referendum saja.
[5] GEMPAR, Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat Papua, Alva Rohrohmana: Otsus bukan win-win solusi, tetapi Otsus adalah gula-gula politik Indonesia untuk menutupi kejahatannya dan menutupi manifesto politik orang Papua untuk kedaulatannya.
[6] GARDA-P, Gerakan Rakyat Demokratik Papua, Dewo Wonda: pelanggaran HAM terus menerus terjadi. Menuntut referendum.
[7] SONAMAPPA, Solidaritas Nasional Mahasiswa Pemuda Papua, Claus Pepuho: Otsus tidak menjadi solusi penyelesaian konflik di Papua. Berikan kesempatan menentukan nasibnya sendiri sebagai solusi demokratis. Mengutuk elit Papua dan menolak Pansus DPD RI yang mengatasnamakan orang Papua. Mencabut permintaan Mendagri perpanjangan Otsus.
[8] FIM-West Papua, Forum Mahasiswa Independen West Papua, Arnold Yarinab : kenyataannya pembunuhan, perampasan tanah adat dll terus jalan. Dampaknya akan tambah buruk bila kita kembali menerima Otsus Plus. Menuntut referendum.
[9] WPNA, West Papua National Authority, Marthen Manggaprow: tidak ada masa depan untuk membangun orang Papua dalam Indonesia. Minta menentukan nasibnya sendiri.
[10] FNMPP, Front Nasional Mahasiswa Pemuda Papua, Sayang Mandabayang: Otsus bukan solusi konflik. Juga bukan pembangunan. Karena akarnya kesalahan sejarah politik.  Diminta Indonesia membuka jalan untuk Tim Pencari Fakta PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk investigasi pelanggaran HAM dan sejarah politik di Papua. Minta rakyat Papua menolak Otsus dan solidaritas rakyat Indonesia turut menolak Otsus. Tolak Pansus DPD RI.
[11] MAI, Masyarakat Adat Independen, Benny Magal: Otsus dan Freeport tidak terlepas. Masyarakat adat termarginalisasi. Perusahaan-perusahaan ambil alih. Kami di Timika tubuh ada tapi jiwa mati. Militer kuasai. Railing racun hancurkan kami. Tolak Otsus, tutup Freeprt.
[12] APAP, Asosiasi Pedagang Asli Papua, Maikel Kudiyai: Otsus gagal; tidak menghasilkan pembangunan; berikan kebebasan kepada rakyat menentukan nasibnya sendiri.
[13] Green Papua, Yohanes Giay: Otsus dikendalikan boneka Jakarta. Otsus bikin hutan dibabat. Masyarakat dimarginalkan dan dieksploitasi. Jakarta kontrol lewat wadah-wadah perusak SDA (Sumber Daya Alam). Rakyat Papua berhak penuh mengelola SDAnya.
[14] FRI-WP, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua, Surya Antar: mendukung rakyat Papua menolak Otsus, sebab Otsus bukan penentuan nasib sendiri. Masalah mendasar adalah manipulasi sejarah politik, genosida, diskriminasi rasial, penghancuran lingkungan, eksploitasi, dan militerisme di Papua. Orang Papua dilarang berekspresi, demo diam pun dilarang. Mengajak orang non-Papua bergabung dan menjadi bagian dari perjuangan pembebasan Papua.

Konperensi Pers bersama ini dilaksanakan sebagai awal konsolidsi gerakan dan elemen rakyat Papau untuk bersatu pada menyatukan sikap terhadap Pemerintah Indonesia di Papua. Yang mendukung isi petisi penolakan Otsus ini diajak untuk bergabung dan bergerak bersama.
Petisi ditandatangani 14 organisasi yang disebut diatas satu demi satu, ditambah tiga organisasi yang tidak langsung bersuara dalam konperensi itu, yakni: [15] LEPEMAWI TIMIKA, Lembaga Peduli Mimika Timur; [16] AMAN, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sorong) dan [17] BABEOSER BIKAR[9].

[10] Juga MRP bersuara. MRP menuntut suatu evaluasi yang betul dan yang dijalankan oleh rakyat Papua. MRP menolak bulat saran dari Mendagri yang ingin mempercepat pembahasan UU Otsus dalam DPR RI (2/7/2020). Dia memberikan dua kemungkinan: {a} meneruskan saja apa yang ada, dengan ”sedikit dipercantik termasuk aspirasi dari Papua. Prinsipnya kita igin melakukan percepatan pembangunan di Papua, affirmative action, sehingga isu-isu yang bisa merusak keutuhan NKRI itu terjaga”, kata Mendagri. {b} Alternatif lain, menurut Mendagri, DPR RI membahas rancangan Otsus Plus dari tahun 2014. Jelas Majelis Rakyat Papya (MRP) tidak setuju rancangan UU itu dibahas, apalagi mengeluarkan satu kebijakan dalam bentuk Peraturan Presiden tanpa mekanisme. MRP minta Jakarta harus menghargai mekanisme legal, sesuai dengan UU nomor 21 pasal 77: suatu evaluasi diadakan dan evaluasi ini dijalankan oleh rakyat Papua. Mendagri akan melanggar hukum kalau teruskan desakannya kepada DPR RI untuk menuruti sarannya[10]. Apalagi teringat pada pernyataan Presiden beberapa bulan lalu waktu beliau mengonfirmasikan bahwa suatu evaluasi total akan diadakan[11].

[11] Dewan Gereja Papua (WPCC) menyikapi soal Otsus. Isi pernyataan pers, 6/7/2020, adalah hasil suatu ‘Refleksi Tahunan’ yang berjudul: Tuhan “Otsus & Pembangunan Indonesia di Papua sudah Mati”. Sebagai akar segala permasalahannya WPCC menonjolkan unsur rasialis, yakni segala tindakan Indonesia “dijiwai superioritas etnis”. “Keberadaan Negara Indonesia sejak tahun 1963 disemangati dengan diskriminasi rasial”. WPCC minta keadilan untuk Papua dan mendesak Pemerintah Indonesia supaya suatu dialog ‘gaya GAM Aceh’ dengan segera dimulai guna menangani akar-akar permasalahan di Papua[12].
Pesan yang sama secara lebih terinci lagi disampiakan melalui laporan terbuka oleh Pdt Socrates Nyoman. Dalam laporannya yang berjudul Laporan Pelanggaran Berat HAM sebagai Kejahatan Negara dalam Otsus 2001, banyak informasi faktual (data) dicantumkan[13].

[12] Tambah lagi suara dari perwakilan tujuh wilayah adat (8/7/2020). Ratusan Pemuda Pemudi Papua dari  tujuh wilayah adat (Mamta, Saireri, Domberai, Bomberai, Meepago, Laapago, A-Hanim) bersepakat menolak Otsus dan meminta pemerintah segera menggelar Referendum bagi West Papua. Sekaligus mereka menolak pemekaran yang sedang direncanakan ‘Jakarta’[14].
 [13] Bagi bangsa Papua, 6 Juli adalah suatu tanggal yang sangat penting. Pada hari itu diperingati bahwa pada tahun 1998, 6 Juli, di Biak puluhan orang pejuang pengakuan hak bangsa Papua dilukai, disiksa, dibunuh, dipenjarakan atau dibuang di laut[15]. Puluhan korban, sedangkan tidak pernah diinvestigasi atau diselesaikan sebagai pelanggaran HAM berat Negara Indonesia.[16] Sebenarnya sangat menyedihkan kalau mendengar bahwa rencana korban selamat serta kerabat para korban pembunuhan asal waktu itu untuk menabur bunga disekitar Menara Air (pusat aksi tahun 1988) dilarang pihak keamanan.
Salah satu korban selamat, Tineke Rumbaku, meningatkan aparat keamanan untuk tidak mengganggu penaburan bunga di sekitar menara: “saya bilang, saya taruh bunga karena mereka (korban) tidak ada pusara. Kalau kamu kasi tahu di mana kuburnya, setiap tahun saya akan ke sana menabur bunga dan tidak lagi taruh bunga di sekitar menara”. Ketika pihaknya menuju lokasi peringatan Tragedi Biak Berdarah mereka pagi hari, anggota TNI-Polri telah melakukan penjagaan di jalan. Namun pihaknya tak peduli, tetap melanjutkan aksi[17]

Ada berita (7/7/2020) bahwa Polisi di Denpasar, Bali memakai ‘water canon’ (meriam air) untuk membubarkan suatu demo damai yang diselenggarakan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Demo ini diadakan untuk memperingatkan HUT ke-22 Tragedi Biak Berdarah[18].
Media suarapapua.com/2020/07/06 menerbitkan suatu artikel panjang mengenai Tragedi Biak Berdarah. Disitu banyak informasi laterbelakangnya, peristiwanya sendiri dan bagaimana penyelesaiannya secara hukum masih tetap macet setelah 22 tahun![19]

[14] Akhir ini media national memberikan lebih banyak perhatian pada persoalan di Papua. Jakarta Post mengajak Indonesia untuk berhenti menyangkal segala keluhan dan masalah dan mulai mendengar suara orang Papua yang biasa-biasa. Dalam artikelnya beberapa cerita konkrit yang menggambarkan pengalaman sehari-hari orang Papua diangkat. Sekaligus dicatat bahwa dalam suatu diskusi internet yang diselengarakan Komisi Nasional HAM (Komnas Ham) salah satu komisioner, Choirul Anam, menyatakan bahwa belum ada Undang-Undang penegakan hukum yang menangani rasisme secara effektif. Pelaku rasisme tahun lalu di Surabaya malahan tidak dibebankan dengan tuduhan tindakan rasis. Mereka, termasuk beberapa anggota TNI, dituduh karena “membuat kacau dan bertindak agrresif’. “Kita sudah gagal menghadapi substansi dalam inti kasus rasis ini”, lanjutnya. “Pemerintah harus memakai segala peralatan yang dimiliki – dari penegakan hukum sampai pencegahan dan koreksi diri – untuk mengakhiri rasisme”[20].  

[15] Dalam suatu webinar lain menjadi sangat jelas betapa besarnya perbedaan pendapat antara pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri (Menlu), Sade Bimantara, dan seorang pengamat dari luar – seorang ahli kewartawan di Sealandia Baru, David Robie -  sesaat membicarakan keterbukaan Papua untuk para media/wartawan. Walau soal ketertutupan Papua buat wartawan dari luarnegeri diangkat dengan data yang jelas, pejabat Menlu menyatakan bahwa ruang itu besar dan puluhan wartawan diberikan izin. Dalam diskusi yang sama sikap rasis terhadap orang Papua sekali lagi dinilai pejabat Menlu sebagai ‘pola terisolir’ alias ‘diremehkan’ atau ‘sebenarnya tidak ada’. David Robie menanggapi ungkapan penilaian itu dengan menarik perhatian pada seorang tokoh agama di Papua, yang menilai bahwa rasisme adalah akar segala masalah di Papua; hal ini terungkap dalam suatu surat terbuka kepada Mendagri[21]. Pejabat Menlu juga menyatakan bahwa internet di Papua ditutup untuk  ‘menhindari gerakan berita kebencian’ dst, walau Pengadilan di Jakarta sudah menyatakan bahwa penutupan internet itu ilegal dan menvonnis Presiden dan Menteri Informasi dan Komunikasi  untuk meminta maaf secara publik[22].
Informasi mengenai segala macam insiden di Papua yang keluar dinilai pejabat Menlu sebagai ‘fake news’, ‘berita palsu’. Memang nyata bahwa kebijkan Indonesia dalam diskusi semacam ini hanya berpola ‘budaya menyangkal saja’ dan menyatakan bahwa semuanya ‘baik-baik saja’. Disamping menjadi bosan dengan ‘tradisi ini’ gaya diskusi itu sangat memalukan, menjengkelkan dan menunjukkan kekurangan ‘political will’ (kehendak politik) untuk memahami permasalahan di Papua dan menyelesaikannya dengan tepat dan benar. Ketertutupan Papua untuk para wartawan asing tetap diberlakukan! 

[16] Ternayta penyaluran Dana Desa sering terdengar tidak sampai pada kelompok sasarannya. Cerita demikian ramai di lapangan namun lazimnya kurang ditindaklanjuti, karena mungkin terlalu banyak orang ‘dalam proses penyaluran’ sudah menikmati keuntungannya, maka sulit diketahui dimana ‘bocornya’.  Sekarang salah satu contoh saja. Di Timika ternyata penyaluran Dana Desa sebesar 250 juta per kampong, baik tahap pertama maupun tahap kedua ternyata tidak sampai di kampong atau diterima sebagian saja, menurut Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Timika, Anggaraini Latupeirissa (6/7/2020). Tidak diperjelaskan dari total 133 kampong di Timika, berapa banyak kampong tidak menerimanya atau sebagian saja. Namun jelas ada masalah cukup rumit dan sangat berbau ‘pencurian terorganisir’. Bagaiaman mengatasinya? [23]

[17] Selama tahun 2020 ini sudah beberapa kali kami menarik perhatian pada kecendrungan di kalangan pemerintahan Indonesia untuk memperbesar peranan aktif dari pihak aparat keamanan. Sekarang sekali lagi ada suatu upaya kearah itu, yakni rencana Menteri Agama (Menag), Fachrud Razi, untuk melibatkan anggota TNI/Polri dalam mewujudkan kerukunan antar umat. Upaya ini sangat dikritik oleh anggota DPR RI, maka mendapat perhatian luas. Fraksi PKB Komisi VIII DPR menolak dengan keras rencana ini (7/7/2020) “karena itu bertentangan dengan prinsip demokrasi, human rights atau HAM, agenda reformasi sektor keamanan serta Undang-undang TNI”, kata Maman[24]. Dalam suatu reaksi kemudian Menag menyatakan bahwa memang dia ‘hanya mau meminta masukan logistik saja’[25].
Mungkin dengan demikian soal ini sudah lewat lagi. Namun tetap sangat memprihatinkan bahwa ternyata di segala tingkat pemerintahan makin nyata kecenderungan untuk kembali pada situasi dimana ‘dwifungsi’ aparat keamanan diberikan tempat luas.
Yang menarik sekaligus membingungkan juga bahwa ditengah-tengah segala kritik yang sudah diutarakan dalam hal ini karena kelibatannya bertentangan dengan UU TNI, Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Ham (Menpolhukam)menyatakan persetujuannya kalau dalam kerangka kegiatan anti-teroris anggota TNI/Polri aktif dilibatkan[26].

[19] Menurut informasi dari pusat Freeport McMoran Inc, Amerika (7/7/2020) pertambangan emas & tembaga di Papua sangat produktif. Untuk tahun 2021 dinantikan hasil sebanyak 1,4 juta ons emas; sama dengan sekitar 39.690 kilogram. Sedangkan untuk tembaga dinantikan produksi sebesar 1,4 miliar ton; sama dengan sekitar 635.790.000 kilogram. Pertambangan bawah tanah sekarang sudah berjalan sesuai dengan rencana, dan ternyata tidak diganggu oleh ramainya penyebaran Covid-19 di wilayah operasi Freeport[27].

[20] Dibawah item [26] dalam laporan 16-30 Juni 2020 kami telah mengangkat persoalan pembayaran jumlah uang besar pada ‘konsultan’ untuk memperoleh suatu mega-proyek konsesi di Papua. Soalnya dikaitkan dengan perusahaan Korindo. Sekarang sejumlah aktivis mendesak pemerintah Indonesia untuk[28] :
·       Mengadakan investigasi keuangan Korindo Group yang membayar US$ 22 juta sebagai ‘biaya konsultan’ demi perizinan beroperasi di perkebunan kelapa sawit di Papua.
·       Meneliti dengan saksama situasi/setting sekitar pembayaran itu yang ditemukan dalam investigasi gabungan oleh Mongabay, The Gecko Project, the Koream Center for Investigative Journalism-Newstape dan Al Jazeera
·       Memohon bantuan KPK Indonesia untuk meneliti kemungkinan bahwa uang itu disalurkan sebagai uang pelicin kepada pejabat-pejabat pemerintah.
·       Memohon Indonesia untuk menjamin keamanan segala komunitas yang mengambil bagian dalam dokumentasi mengenai pembayaran tadi yang disiarkan oleh Al Jazeera. Permintaan ini dibuat mengingat rekor pelanggaran hak berkaitan dengan operasi Korindo sampai saat ini. 

[21] Pengumuman (8/7/2020) dari anak Theys Eluay, Yanto Eluay, bahwa sedang disiapkan pendirian suatu organisasi khusus bagi anak-anak dan cucu-cucu para pejuang Pepera (1969).”Kita mau mempertanggungjawabkan keputusan daripada orang-orang tua kita yang pada saat itu mereka putuskan untuk Papua menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”, kata Yanto Eluay.  “Tujuan organisasi untuk menyelamatkan orang Papua. Jangan lagi mati sia-sia, jangan lagi dibunuh dan mati diculik”[29].

[22] Sudah berbulan-bulan proses penyeleksian ’14 anggota DPRP utusan adat’ berjalan. Sekarang sampai penetapan 42 calon terakhir. Walau dari awal mula sudah ada protes kiri-kanan, sekarang mulai terdengar dengan lebih jelas. Theo Sitokdana salah satu tokoh di Pegunungan Bintang berprotes karena ternyata dalam daftar 42 orang itu tidak ada satu pun dari wilayah perbatasan. “Tim seleksi tidak memiliki pemahaman komprehensif  mengenai keadaan suku-suku di Papua”, penilaiannya[30]
Proses penyeleksian sangat lambat – sebagian karena covid – dan sebenarnya kurang transparan. Walau ada Tim Seleksi, seluruh proses dikawal oleh Dinas Kesbang Propinsi. Pasti akan diprotes lagi sebelum akhirnya 14 orang dapat bergabung dengan DPRP nanti.

[23] Dalam laporan kami 1-16 Mei 2020 kami pernah mengangkat kematian seorang warga, Marius Batera, di Asiki, Boven Digoel (lihat item [23] laporan itu). Dugaan bahwa seorang disiksa sampai meninggal karena dia memprotes beroperasinya salah satu perusahaan (Korindo Group). Baru ini koordinator Komnas HAM RI Perwakilan Papua, Frits Ramandey sempat berkunjung ke tempat kejadian itu.  Seusai kunjungannya KomNas HAM Papua mengemukakan hasil penelitiannya. Salah satu rekomendasi adalah meminta Kapolda menghukum anggota polisi yang terlibat. “Dia akan diproses sesuai hukum pidana dengan dugaan melakukan penganiayaan”, kata Kapolda. Komnas HAM Papua menyebut tak ada pelanggaran HAM yang dilakukan PT TSE terkait insiden yang menimpa Marius Batera. Sebab, secara legalitas pohon pisang milik korban yang rusak itu berada di area perkebunan dan bukan lahan pribadi[31].

[24] Ternyata Kapolda Papua menjadi gelisah sedikit karena ‘asrama-asrama mahasiswa Papua’. Dia meminta Gubernur Papua untuk menertibkan asrama-asrama mahasiswa Papua. Alasannya: semua asrama itu dibayar oleh pemerintah, dan menurutnya pengaruh dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) terlalu besar pada para penghuninya. AMP dari dulu menjadi salah satu organisasi intern para mahasiswa Papua yang berstudi di luar Papua. Dalam organisasi ini para mahasiswa juga memiliki suatu forum untuk mengangkat suaranya, dan lazimnya hal demikian dijalankan. Ternyata Kapolda kurang mendukung peranan AMP karena  AMP punyai organisasi yang cukup rapi, kritis dan vokal mengenai sejumlah perkembangan di Papua[32]

[25] Suatu berita yang memberikan harapan dan rasa optimis terungkap oleh Pimpinan nasional Task Force Covid-19,Doni Monardo, selama pertemuan koordinasi di Manokwari,. Beliau menyatakan bahwa provinsi Papua Barat sudah berhasil mengontrol Covid-19 di wilayahnya. Dari 13 Distrik/Kabupaten hanya 9 dikena virus, sedangkan empat distrik tetap bebas-virus. Yang bebas-virus (zone hijau) adalah Tambrauw, Maybrat, Sorong Selatan dan Pegunungan Arfak. Mereka akan digabung oleh dua distrik lagi yang sudah menangani para pasiennya sampai sembuh dan di mana tidak ada kasus baru sekarang, yakni Manokwari Selatan dan Teluk Bintuni. Maka ada 6 zone hijau. Dalam proses penanganan di provinsi Papua Barat totalnya 265 kasus positif ditemukan; dari mereka 184 sudah sembuh, sedangkan jumlah orang mati terbatas pada 4 (1,5%). Cukup mengesankan! Syukurlah dan sekarang menjadi penting untuk menjamin bahwa situasi ini tetap membaik saja hingga kemunculan ulang virus tak terjadi[33].
Helas, berita Covid-19 di provinsi lainnya, Papua, adalah cerita lain… Perkembangannya dapat dibaca dibawah ini.

[26] Setelah beristirahat total di Jakarta selama 3 bulan, Bp Gubernur, Lukas Enembe naik pesawat lagi tgl 14 Juli pulang ke Papua[34].  

[27] Pengiriman prajurit ke Papua terus berjalan. TNI Angkatan Darat (AD) memberitahukan bahwa sejumlah pasukan non-organik akan dikirim untuk bertugas selama satu tahun di Papua dan Papua Barat. Mereka akan membantu mengembangkan Kodim dan Koramil di sana supaya setiap Kabupaten/Kota dilengkapi dengan Kodim dan Koramil. “Pengembangan Kodim dan Koramil merupakan bagian dari kebijakan strategis untuk pemerataan kekuatan TNI AD di seluruh wilayah”, keterangan TNI AD. Seandianya, setalah membantu selama satu tahun, mereka mau beralih secara sukarela pada pasukan organik, ya, bisa saja. Sementara diberikan rincian mengenai pengiriman 411 orang ke Kodam XVIII/Kasuari di Papua Barat. Diantaranya Kodim 1809/Teluk Bintuni 59 orang, Kodim persiapan Sorong Selatan 59 orang, Kodim persiapan Maybrat 59 orang, Kodim persiapan Tambrauw 59 orang, Kodim persiapan Manokwari Selatan 58 oramg, Kodim persiapan Pegunungan Arfak 58 orang dan Kodim persiapan Teluk Womdama 59 orang[35].

[28] Tahanan politik yang diproses di Balikpapan, Kalimantan Timur, mulai tiba kembali di Jayapura setalah dinyatakan bebas. Hari ini (12/7/2020) tiga yang pertama tiba di Jayapura, yakni: Fery Kombo, Alexander Gobai dan Irwanus Uropmabin. Selamat datang dan bergabung kembali dengan keluarga di Papua! Yang lain akan menyusul dalam sekitar 1 bulan[36].

[29] Ternyata pemekaran Provinsi Papua Barat sudah mulai mendekati perwujudannya. Salah satu langkah penting diambil sewaktu Gubernur menyerahkan ‘surat persetujuannya’ pembentukan Provinsi Papua Barat Daya (PPBD)kepada Sekretariat Percepatan Pemekaran Provinsi di Sorong pada tanggal 13 Juli 2020[37].

[30] Kegiatan praktik perdagangan ‘kayu ilegal’ ternyata masih sangat hidup. Tanggal 14 Juli 8 truk pengangkut ‘kayu merbau ilegal’ ditangkap di Km 24, distrik Aimas, Kab Sorong, dan akan diproses selanjutnya[38].

[31] Perhatian untuk soal OTSUS makin besar. Suatu demo diselenggarakan oleh Komite Aksi Penolakan Otsus(dibentuk mahasiswa Papua di Jakarta) bertujuan membawa pesannya kepada Mendagri. Isi pesannya dirincikan dalam pernyataan pers (14/7/2020) sbb: {a} menolak Otsus Jilid II karena bukan kehendak rakyat Papua; {b} mengutuk keras elit politik Papua yang mengatasnamakan rakyat Papua untuk agenda dialog dan perpanjang Otsus; {c} bebaskan seluruh tahanan Politik dan Rasis di Papua; {d} hentikan segala bentuk diskriminasi dan rasisme terhadap tahanan politik dan mahasiswa Papua; {e} buka seluas-luasnya akses jurnalis asing ke Tanah Papua; {f} cabut SK DO 4 mahasiswa Unhair Ternate; {g} tarik militer organik dan non organik dari tanah Papua; {h} menolak hasil PEPERA 1969 yang tdak demokratis; {i} memberikan hak menentukan nasib sendiri sebagai solusi demokrastis bagi rakyat Papua[39].

[32] Menurut berita di media sosial Kementerian Agama berniat untuk mengangkat kembali suatu rencana yang sementara tertunda pelaksanaannya karena Covid-19. Judul programnya “Kita cinta Papua. Membangun Jembatan Setiakawanan Aceh Papua”. Dari berita masih kurang jelas programnya. Salah satu unsur adalah mempertemukan tokoh agama dari Papua dengan tokoh agama dari Aceh, sedangkan lainnya adalah ‘memajukan pendidkan dan keagamaan di Papua baik melalui lembaga pendidikan maupun rumah ibadah. Kemenag juga akan memberi beasiswa kepada generasi muda Papua untuk memgikuti pendidikan di berbagai kota di Indonesia’ [40].
Sedikit mengejutkan bahwa diberikan tekanan pada ‘kita cinta Papua’; berbunyi seakan-akan belum jelas ‘Papua dicintai’ di masa yang lampau selama 57 tahun Papua bergabung dengan NKRI. Tidak heran bahwa langsung kiri-kanan ada reaksi yang mencurigai progam ini; ada apa di belakang program Kemenag ini? [41] Bagaimana nanti programnya persis dan sejauh mana bermakna lebih jauh daripada seremonial, tinggal dilihat. 

[33] Update Covid-19 pada tanggal 14 Juli: Kasus Positif: 2.353; sedang Dirawat 1.172; sudah Sembuh 1.155; yang Meninggal 26; ODP 2.861; PDP 255; dan PCR+TCM tests 19.703.
COVID-19
14 Juli 2020
JUMLAH POSITIF
JUMLAH DIRAWAT
JUMLAH SEMBUH
JUMLAH MENINGGAL
ODP
PDP
Kota Jayapura
1418
957
442
19
905
173
Kab Mimika
441
59
376
6
1125
8
Kab Jayapura
217
86
138
1
33
43
Kab Biak Numfor
83
5
78
0
4
0
Kab Keerom
56
23
33
0
1
5
Kab Jayawijaya
31
7
24
0
17
0
Kab Nabire
24
6
18
0
16
0
Kab Boven Digoel
17
0
17
0
15
0
Kab Merauke
18
2
16
0
24
1
Kep. Yapen
15
6
9
0
178
0
Kab Lanny Jaya
8
7
1
0
6
0
Kab Sarmi
7
3
4
0
4
0
Kab Superiori
7
4
3
0
6
0
Kab Tolikara
4
4
0
0
35
0
Kab Mambera-
mo Tengah
2
0
2
0
0
0
Kab Yalimo
2
1
1
0
3
0
Kab Waropen
1
0
1
0
13
0
Kab Puncak Jaya
1
1
0
0
3
0
Kab Peg Bintang
1
1
0
0
158
8
Total 
2353
1172 = 50%
1155 = 49%
26 = 1%


Orang dalam Pemantauan (ODP)
2.885
Pasien dlm Pengawasan (PDP)
247
Tes PCR
13.855



Sejumlah catatan tambahan
1.    Perkembangan selama 2 minggu terakhir: Kasus positif: 1.719 menjadi 2.353; Perawatan 832 menjadi 1.172; Sembuh: 869 menjadi 1.155; Meninggal: 18 menjadi 26; ODP: 2.861 menjadi; PDP: 255 menjadi; TES PCR 13.855 menjadi 19.703[42].
2.   Kenaikan signifikan di Jayapura sangat menonjol: hampir dua kali lipat dalam 2 minggu, baik jumlah kasus positif maupun yang dirawat. Positif dari 898 menjadi 1.418 (kenaikan sekitar 35 per hari); dirawat dari 585 menjadi 957; sembuh dari 302 menjadi 442; meninggal dari 11 menjadi 19; juga peningkatan kematian menjadi tanda perhatian. Dalam komentar dr Sikwanus Sumule, (Task Force Covid-19) terangkat kenyataan sikap masyarakat yang kurang mematuhi peraturan kesehatan Covid-19 turut mempengaruhi perkembangan ini[43].
3.   Jumlah paling tinggi Orang Dalam Pemantauan di Papua ternyata terdapat di Kab Mimika, yakni: 1.125. Kab Jayapura 905, Kepulauan Yapen 178 (semua dari penumpang dari Jayapura pulang ke kampong halamannya), dan Kab Pegunungan  Bintang 158 orang. 
4.   Tgl 2 Juli, Kepala Dinas Kesehatan Kab Pegunungan Arfak, Papua Barat meninggal karena kena covid-19[44].
5.   Menjelang dipakai lagi untuk beribadah sejumlah gereja dan masjid diperiksa petugas  sejauh mana memenuhi peraturan yang ditetapkan oleh Walikota Jayapura![45].
6.   Tgl 8 Juli, jumlah tenaga medis di Papua yang kena Covid-19 adalah 84 orang[46].
7.   Di Mimika sudah memberlakuan ‘normal baru’, maka sejumlah pemberbatasan gerak-gerik dicabut sejak 1 Juli. Namun, karena jumlah kasus naik lagi secara signifikan, sejumlah unsur pembatasan (PSDD) diberlakukan lagi[47].
8.   Rumah Sakit Provita sementara tertutup sebagian karena 43 tenaga medis sakit kena corona, dan perlunya sterilisasi sejumlah ruangan RS. Akan buka lagi penuh tgl 29 Juli[48].

Untuk direfleksi  
Mama-mama Tembagapura:
“Cukup Emas Dikeruk Habis, Jangan Manusia Lagi”[49]
Masyarakat adat Waa, distrik Tembagapura, Mimika, Papua mengaku sudah tak mampu bertahan di wilayah perkotaan Timika setelah dievakuasi pada Maret 2020 lalu. Mereka di antaranya kaum perempuan, laki-laki lanjut usia, serta sejumlah berstatus janda maupun duda, dipaksa meninggalkan kampung halaman akibat konflik bersenjata TNI/Polri dengan TPNPB-OPM. 
Seperti dilansir seputarpapua.com Mama Martina Narkin, tokoh perempuan Amungin, menyesalkan sikap berbagai pihak yang awalnya menyambut mereka pada gelombang evakuasi. Kini tidak ada kepastian bagi mereka untuk dikembalikan. Warga pun mulai beranggapan ada kepentingan dibalik evakuasi massal dari wilayah adat mereka, di dekat raksasa tambangan PT Freeport Indonesia yang mengeruk gunung Nemangkawi.
Kondidisi yang paling memprihatinkan adalah ketika mereka tidak mampu beradaptasi dengan iklim di wilayah perkotaan serta kebiasaan budaya dan bergantung dengan alam.
“Beberapa diantara kami mengalami kondisi kesehatan yang buruk, baik secara fisik maupun mental. Perobahan iklim yang berbeda dengan tempat kami berasal, kami tidak mampu beradaptasi di kota”, kata Martina (Selasa, 14/7/2020). Dengan demikian, sebagai masyarakat adat dan juga korban yang dievakuasi 4 bulan lalu “kepada Pemerintah Daerah, TNI/Polri, PT Freeport Indonesia, lembaga musyawarah adat suku Amungme (Lemasa), pihak gereja di Tanah Papua untuk segera kembalikan kami di kampong halaman Waa Tembagapura”, pinta Martina. “Kami sudah tua, kami tidak kuat di kota (Timika). Kembalikan kami bersama roh dan leluhur kami. Sudah cukup kekayaan (emas) kami dikeruk habis, jangan kami manusia lagi”, sambunnya penuh pilu..
Sebagai bentuk sikap tegas, korban evakuasi telah membuat Posko di Jalan Baru Timika, dan menggalang segala kekuatan agar bagaimana mereka bisa kembali ke kampong halaman. “Tuhan Allah yang telah memberikan semua manusia sesuai dengan kecukupan, kenapa harus melanggar bahasa Tuhan,” katanya.
Ia juga mengutip deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat pribumi Pasal 30 bahwa: aktivitas kemiliteran tidak diperbolehkan dilakukan di wilayah masyarakat pribumi kecuali mempunyai alasan yang berhubungan dengan kepentingan umum. “Berdasarkan hal itu, kami dengan tegas menolak dan tidak menyetujui aktivitas militer baik dari pihak TPNPB dan pihak TNI/Polri di wilayah kami masyarakat adat Waa”, pungkasnya.
Ada pun Pemkab Mimika mencatat sekitar 1.700 pengungsi, sementara masyarakat adat menyebut total 2.114 jiwa. Mereka dibawa ke Timika dalam beberapa kali gelombang evakuasi pada 2-8 Maret 2019. Hingga Juli 2020, atau sekitar 4 bulan sudah mereka meninggalkan kampong halaman. Mereka tersebar di sekitar Mile 32, SP 2, Jalan Baru, sebagian bergantung kepada keluarga di Timika, dan bahkan tinggal di rumah kost.

Jayapura, 17 Juli 2020
-->


[2] CNN Indonesia, 1 July 2020
[12] Dewan Gereja Papua (WPCC), Jayapura, 6 Juli 2020
[13] Media sosial tgl 13 Juli 2020
[15] Hasil investigasi Elsham Papua yang diterbitkan beberapa tahun lalu dengan judul “Papua Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara” menyebut akibat peristiwa itu delapan orang meninggal, tiga orang hilang, empat orang luka berat, 33 orang luka ringan, 150 orang ditangkap dan disiksa, dan 32 mayat ditemukan mengapung di perairan Biak.
[42] Info Grafis, 14 Juli 2020, 17.00 WIT, Provinsi Papua


----------------------------

PAPUA  2020
16–31 JUlI
Oleh: Theo van den Broek
[1] Organisasi nir-laba Gerakan Papua Mengajar (GPM) memberitahukan bahwa programnya telah diperluas dengan menjalankan suatu kampanye sambil menyajikan program membaca buat anak-anak yang tinggal di pelosok-pelosok di Papua. Menurut sekjennya, Orgenes Ukago, suatu ‘kelompok belajar’ ditetapkan di desa Tenedagi subdistrict Tigi Barat, Kab Deiyai dengan nama Kebada; kata lokal itu berarti ‘sedang dibuka’ (12/7/2020). Setiap orang - termasuk yang masih buta huruf - dapat berpartisipasi dalam kelompok belajar ini. Kelompok sejenis ditetapkan juga di desa Tuguai, Kab Paniai, dan di Waghete Kota[1].

[2] Protes masyarakat karena rencana pembangunan kompleks militer tetap terdengar. Kali ini giliran masyarakat distrik Gome, Kab Puncak-Ilaga yang memprotes pembangunan Kodim di wilayahnya. Latarbelakangnya: pembangunan mau diadakan di atas lahan adat milik masyarakat di Kampong Yenggernok. Bupati Puncak-Ilaga, Willem Wandik, dituding menyalahgunakan kepercayaan masyarakat. “Rencana yang kami dengar [lokasi] itu untuk bangun kantor pemerintah, jadi masyarakat setujui. Tapi di tengah jalan, kam dengar [lokasi itu] mau dibangun Kodim. Malah Bupati sudah bawa masuk alat berat Selasa ini (14/7/2020)”, ungkap Moses[2].

[3] Informasi yang menggelisahkan. Dalam suatu diskusi daring (14/7/2020) bertema ‘Teroris atau Kelompok Kekerasan Bersenjata; kekerasan berbasis Agama, Etnis dan Politik di Papua’, mantan anggota Al Qaeda Asia Tenggara, Ustad Sofyan Tsuri menyatakan bahwa kelompok Jafar Umar Thalib (JUT) dikirim ke Papua beberapa tahun lalu untuk berdakwah. “Iya saya [dengar] mereka [JUT] sempat dikirim oleh TNI kalau tidak salah pada waktu itu. Mereka sempat berdalkwah di Papua situ. Saya nggak tahu maksud tujuannya apa. Tapi saya merasa seperti itu ketika [konflik] di Ambon”[3].

[4] Rupanya sekarang Presiden pun menjadi sedikit bosan dengan soal pembahasan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) di DPR. Menurut berita terakhir (16/7/2020) Presiden berpendapat bahwa semuanya sekitar Pancasila sudah jelas dan bisa tetap demikian. Tidak perlu ada perubahan maka beliau tidak mendukung pembahasan RUU HIP di DPR RI[4].  Setelah ditolak oleh Presiden, inisiator RUU HIP - partai politik PDIP - mengubah nama usulannya menjadi RUU BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), yang dinilai hanya perobahan kulit saja. Dianjurkan dengan sangat supaya DPR berhenti membahas RUU ini dan memberikan perhatian penuh pada hal yang lebih penting, a.l. Covid-19[5].

[5] Massa besar ‘PA 212’ yang lazimnya terdukung sejumlah organisasi moslim yang besar mengadakan protes di depan DPR  di Jakarta (16/7/2020) untuk menolak RUU HIP (dan Omnibus Law). Protes terhadap sejumlah rancangan UU memang sudah tidak baru lagi. Namun yang cukup menarik perhatian juga, bahwa dalam tuntutan para demonstran juga tercatat ‘permakzulan Presiden’ dan ‘pembubaran PDIP’[6]. Menurut sejumlah kritisi penambahan dua unsur tuntutan tadi tidak cocok untuk diangkat[7]. Sedangkan catatan lain di sekitar demo ini, TV-TV nasional kurang menyiarkannya. Kenapa? Sedangkan soal Omnibus Law sangat penting karena mempunyai dampak luarbiasa atas sejumlah sektor ekonomi, sosial politik serta budaya yang krusial, termasuk atas lingkungan. Kenapa berita ‘diblokir’ oleh TV?[8].

[6] “Ketahanan gizi anak dan ibu hamil di masa pandemi Covid-19 mesti menjadi perhatian serius”, ungkapan Kepala Bidang Keshatan Masyarakat Dinas Kesehatan Provinsi Papua Barat, dr Feny Mayana Paisey. Kesannya bahwa pemerintah sekarang terlalu fokus pada penguatan Pengamanan Jaring Sosial (JPS) melalui [a] bantuan tunai/non-tunai, dan [b] bantuan pangan, tanpa mengusik pentingnya ketahanan gizi. Pengeluaran sudah sebesar 55 miliar. Dia menyatakan bahwa dinasnya tidak punyai program khusus [makanan bergizi] untuk menjaga ketahahan gizi anak dan ibu hamil selama masa pandemi. BPOM (Balai Pengawasan Obat dan Makanan) mencatat bahwa dalam paket bantuan sering terdapat produk yang deluarsa dan tanpa label BPOM[9].

[7] Berita gembira: akhirnya ada teknisi Telkom tiba di Wamena untuk memperbaiki kelancaran internet di wilayah Wamena dan sekitarnya[10].

[8] Berita yang kurang menggembirakan datang dari Kota Sorong: ada banjir lagi (16/7/2020)[11]. Bukan itu saja, ada 5 yang meninggal dan puluhan yang terluka. Sedangkan banyak orang terpaksa mengungsi (18/7). Menurut seorang pejabat terjadinya banjir kemungkinan besar ada kaitan dengan banyak penggalian tanah di sekitar Sorong, maka tanah longsor[12]Apakah mirip dengan apa yang terjadi di Sentani tiga tahun lalu?

[9] Kegiatan penambangan emas ilegal di Korowai dimulai karena pembangunan jalan trans dari Yahukimo ke Oksibil. Kala itu, warga Korowai tak tahu cara mendulang emas, sehingga hanya sebagai penonton. Orang lain memanfaatkan ketidaktahuan warga menguasai emas yang ditemukan. Bahkan menyuruh warga lokal mendulang emas[13].

[10] Syukurlah bahwa di distrik Muting (Kab Merauke) tertangkap seorang ‘ahli kesehatan’ yang palsu. Dia bekerja di salah satu klinik perusahaan kelapa sawit milik PT BIA. Dia sudah mengobati sekitar 40 pasien yang tinggal di wilayah perusahaan ini. Ternyata jarum pengambilan darah dipakai untuk 12 pasien berturut-turut, setelah dicuci sebentar dalam air panas saja. Orang ini ternyata pernah putus kuliah di fakultas kedokteran setelah 2 sementer. Syukur, belum terjadi korban mal-praktik ini[14].

[11] Salah satu unsur inti Kebijakan Nasional apalagi Otonomi adalah niat untuk memprioritaskan peningkatan kwalitas pendidikan dan pelayanan kesehatan. Untuk itu ditetapkan bahwa minimal 20% APBP perlu dipakai untuk memperbaiki pelayanan di bidang pendidikan. Ternyata dalam praktik anggaran yang dipakai untuk pelayanan pendidikan tidak mencapai 20% itu. Dalam suatu diskusi di webinar Kepala Dinas Pendidikan Papua menyatakan bahwa ada wilayah dimana hanya 9, 12 atau 14 % diandalkan untuk pendidikan. Situasi pendidikan sangat dibawah standar yang dibutuhan. Sebagian karena kekurangan sumber manusia, sebagian prasarana lingkungan tidak memadai, sebagian karena kekurangan tegasnya regulasi. Sampai saat ini juga belum ada suatu Grand Design Pendidikan Jangka Panjang [15].  Yang juga menonjol adalah kesenjangan kwalitas antara sekolah-sekolah, apalagi kalau membandingkan pelayanan pendidikan di kota dengan yang di pelosok. Anggota Komisi Pendidikan dan Kesehatan DPR Papua, Natan Pahobol, berpendapat bahwa mesti ada terobosan pemerataan pendidikan di Papua. Pendidikan dan kesehatan merupakan satu di antara sekian masalah yang hingga kini belum dapat diselesaikan para pengambil kebijakan di Papua[16].

[12] Tidak dapat dihindari untuk sekali lagi mengangkat soal Otsus karena penilaian terhadap hasil Otsus sampai saat ini sangat berbeda; juga terhadap pertanyaan ‘Otsus perlu dilanjutkan tidaknya?’ beda pendapat makin menegangkan. Sejumlah organisasi sudah menyatakan bahwa ‘Otsus telah gagal’ dan ‘tidak perlu perpanjangan Otsus’ hingga menolak secara bulat segala pembahasan serta urusan sekitar Otsus. Hal demikian dapat dibaca dalam laporan Juli, bagian 1 (butir 9).
Menjadi cerita lain lagi pada saat kelompok yang melawan Otsus juga mulai membubarkan secara aktif pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Majelis Rakyat Papua untuk mendapat masukan dari masyarakat. Alasan mereka: ‘MRP tidak boleh menggelar pertemuan yang mengatasnamakan rakyat untuk melanjutkan Otonomi Khusus Jilid II’. Mereka mengklaim bahwa rakyat Papua sekarang sudah mendukung Petisi Rakyat Papua. Anggota-anggota dari organisasi yang mendukung  pernyataan bersama, Petisi Rakyat Papua (PRP) menjadi orang yang membubarkan pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh MRP. Yang dibubarkan: pertemuan bertempat Asrama Mimika di Waena, pertemuan bertempat di Dapur Papua di Sentani dan pertemuan bertempat Green Hotel di Abepura (17/7/2020). Kemudian juga pertemuan bertempat di aula Yayasan Putri Kerahiman di Sentani (18/7/2020); spanduk, kertas-kertas kuestioner dan dari Green Hotel dafter peserta dibawa oleh kelompok pembubar. Mereka berpesan agar MRP tidak mempertahankan nyawa Otsus yang telah menjadi alat kejahatan kolonialisme di West Papua. Jurubicara untuk PRP, Victor Yeimo, mengajak “mari semua pihak menggunakan mata nurani untk melihat penderitaan bangsa Papua. Jangan sebaliknya menjual martabat orang Papua untuk menlanjutkan Otsus … Mari kita selamatkan tanah dan manusia Papua dengan satu sikap bersama kepada Indonesia”. MRP menyatakan bahwa mereka mengadakan pertemuan untuk menampung aspirasi rakyat tentang Otsus dan mereka menerima protes delegasi PRP ini sebagai salah satu masukan yang berarti bagi mereka[17].

[13] Bukan saja MRP sibuk dengan Otsus. Dalam coffeemorning Kapolda yang bertema ‘Kebangsaan menyambut HUT ke-75 Kemerdekaan Indonesia’ (17/7/2020), ternyata banyak tempat diberikan kepada soal Otsus. Kapolda kurang senang dengan perkembangan, apalagi kritik Petisi Rakyat Papua (PRP), sekitar Otsus, dan beliau berupaya menjelaskan bahwa Otsus tidak gagal karena a.l. peluang pendiidikan bagi orang Papua sudah luas sekali. “Saya tidak setuju kalau mereka melalukan upaya kampanye, itu namanya provokasi”, kata Kapolda. Dengan kata lain dia melarang kampanye oleh kelompok PRP ini[18]. Sikap demikian disambut dengan banyak kritik karena sekali lagi ruang diskusi dan pendapat di Papua dibatasi. Kapolda “tidak menghargai demokrasi yang berlaku”, kata Alfred Anouw, anggota DPR Papua. “Kami dewan perwakilan rakyat Papua selalu siap untuk menerima aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat Papua”, katanya. Sedangkan Ketua Diplomasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Ogram Wanimbo mengatakan, Kapolda jangan menutup ruang demokrasi. “Kami tegaskan Kapolda Papua jangan menutup kebebasan berekspresi.Kalau Gubernur, DPRDP, MRP jangan menghalangi masyarakat Papua tetapi bagaimana mereka bisa mendukung petisi yang dihalalkan oleh 24 organisasi”, katanya[19]

Masih sekitar Otsus. Ternyata kampanye Petisi Rakyat Papua berjalan terus dan mengajak segala lapisan masyarakat untuk bergabung. Termasuk ‘warning’ (peringatan) pada para akademisi (Uncen dan Unpa) untuk tidak membahas lagi Otsus karena Otusus ‘bukan produk rakyat’. Malahan dipasang suatu ancaman dalam perkataan ‘warning’ ini dimana para akademisi diingatkan: “stop, bila pihak akademisi terlibat pengadilan rakyat yang akan mengadili mereka”[20]. Juga kelompok Imam Katolik Pribumi se-Regio 5 Keuskupan di Papua mengangkat suaranya memperkuat Petisi Rakyat Papua dengan menyatakan bahwa Otsus Jilid II tidak boleh dipaksakan, dialog tetap diutamakan dan meminta pemerintah untuk memilih suatu solusi yang bermartabat dan spektakuler, yakni, membuka kesempatan bagi suatu referendum[21]. Juga dari pihak Gereja Baptis Papua terdengar suara lagi, yang secara khusus meminta supaya Pemerintah bersedia membuka dialog langsung dengan ULMWP[22]. Sedangkan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Harris Azhar, menyatakan: “Otsus itu kalau dilihat dari sejarahnya dijadikan rujukan mengembangkan kemajuan bagi Papua. Maka penting untuk ada evaluasi. Jika pemerintah pusat tidak mau, justru akan membahayakan semua pihak”. Selanjutnya ditegasnya: “persoalan penegakan hukum, hak asasi manusia, ekonomi rakyat, identitas orang Papua, setidaknya harus jadi catatan serius”[23].

[14] Bagaimana tanggapan dari Pemerintah Pusat. Sampai saat ini tidak ada banyak tangapan secara publik, namun sikap pemerintah pusat mungkin dapat dibaca dengan mengikuti isi kunjungan Menkopolhukam, didampingi Mendagri, Wakapolri, Pansus Papua DPD RI dan sejumlah pejabat TNI/Polri. Kunjungan ini dimulai 22 Juli di Timika. Dalam pertemuan-pertemuan di Timika, antara lain, diberikan perhatian kepada Otsus. Mendagri menjelaskan bahwa Otsus Jilid II akan jadi karena sangat bermanfaat dan dibutuhkan untuk 20 tahun mendatang lagi. Kesuksesan diukurnya dengan menunjuk pada peningkatan infrastruktur, jalan dan pelabuhan. Argumen intinya: banyak anggaran tersedia. Menkopolhukam menyinggung bahwa memang ada keluhan dari masyarakat karena uang tidak selalu sampai di sasarannya. Keluhan-keluhan itu ‘kami dengar dan akan diperhatikan supaya hal demikian tidak terjadi nanti selama Otsus Jilid II’. Kepastian adanya Otsus Jld II juga dikonfirmasikan oleh anggota Pansus DPD ‘yang akan pasang badan sampai habis-habisan’[24]. Pokoknya dalam ‘dialog’ mengenai Otsus pejabat-pejabat tinggi ini berniat menyampaikan “keputusan yang ternyata sudah ada”. Dengan demikian mereka membenarkan pendapat dari anggota DPRP, Kadepa, yang sangat prihatinan karena ternyata “suara rakyat tidak didengar dan tidak dinilai serius oleh pemerintah pusat”, maka kepercayaan antara rakyat Papua dan pemerintah makin menhilang, hingga konflik makin parah[25].

Refleksi sepintas lalu
Mendengar pendapat yang berbeda sekitar Otsus bukan sesuatu yang baru. Sudah lama ada yang bilang ‘Otsus gagal’, termasuk MRP Jilid I mengakhiri masa penugasannya dengan kesimpulan demikian (th 2010). Namun juga ada yang merasa bahwa Otsus membawa peluang yang positif bagi pemerintah daerah untuk lebih berpihak pada masyarakat asli Papua, maka sangat dibutuhkan. Yang membuat banyak orang bingung adalah bahwa dari sisi satu tujuan Otsus memang ‘memajukan orang asli Papua dengan prioritas’, namun dari sisi lain Otsus dipasang oleh pemerintah pusat ‘sebagai sarana saja untuk menghindari pengembangan sikap mau merdeka’. Buat pemerintah pusat ‘tujuan politik’ itu selalu paling utama dan kurang dihiraukan pemerintah pusat bahwa sebenarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat adat tidak tercapai, malahan sebaliknya, masyarakat adat makin termarginalisasi. Sekaligus banyak pendatang memanfaatkan peluang adanya Otsus. Perasaan itu sudah menjadi milik banyak orang, maka tidak heran bahwa masyarakat luas berpendapat ‘otsus tidak perlu lagi; lebih baik kita atur diri saja’. Sekaligus ‘sikap mau merdeka’ tidak mereda melainkan menjadi makin kuat.
Maka, sudah tentu akan ada perbedaan pendapat mengenai ‘perlu tidaknya Otsus Jilid II’. Tidak apa-apa juga karena semua berhak untuk mengembangkan pikirannya. Sehingga cukup tepat bahwa sikap Kapolda disambut dengan sangat kritis, karena beliau sekali lagi ingin membatasi ruang berpendapat bebas semua warga. Beliau menilai Petisi Rakyat Papua suatu ‘provokasi’, namun beliau kurang sadar bahwa melarang perbedaan pendapat tidak kalah merupakan suatu ‘provokasi’ yang besar. Apalagi ‘soal Otsus’ sebaiknya ditangani oleh Gubernur bersama MRP, dan bukan oleh Kapolda. 
Beda pendapat boleh saja, malahan membantu menjernihkan masalahnya. Yang mengganggu adalah bahwa ada yang klaim memiliki kebenaran tunggal sedangkan yang berlainan pendapatnya dinyatakan semua salah. Bukan saja Kapolda menunjukkan sikap itu, namun juga KNPB - dalam upayanya  untuk mendapat dukungan seluruh rakyat Papua[26] - sewaktu tidak menginzinkan warga lainnya, termasuk saudara-saudaranya sendiri, untuk membahas soal Otsus ini. Dengan mengganggu pertemuan  yang diselenggarakan MRP untuk mendengar suara rakyat, pendukung Petisi Rakyat Papua menunjukkan suatu sikap yang tidak menghargai kebebasan pendapat saudaranya. Juga gaya ancaman pada para akademisi yang membahas Otsus kurang dapat diterima dalam kerangka kebebasan pendapat yang perlu kita junjung tinggi bersama. Jangan kita menuju dan akhirnya terjerat dalam suatu jalan buntu yang tidak akan membantu siapapun untuk mencari suatu solusi bermartabat di Papua. 
Sudah tentu bahwa tanggapan pemerintah pusat sampai saat ini juga tidak membantu untuk meredakan emosi yang makin meningkat. Apalagi ungkapan anggota Pansus DPD RI, Yoris Raweyai, – yang ternyata ikut dalam kunjungan kerja Menkopolhukam baru ini -  yang meminta dengan sangat supaya segala perlawanan pada NKRI ditumpas. Dengan kata lain: silahkan polisi/tentara hantam saja! [27]. Menurut Mendagri pemerintah pusat sudah mengambil keputusannya. Maka, Pemerintah Pusat de facto tidak berminat mendengar suara yang jelas di Papua. Sedangkan Menkopolhukam mengajak masyarakat supaya tidak mudah diprovokasi. Hanya pertanyaan yang makin relevan adalah: siapa memprovokasi siapa? Arti ‘dialog’ bagi para pejabat tinggi ternyata sama dengan ‘memaksakan kehendak pemerintah pusat’. Maka,  kesannya  kuat bahwa Otsus lebih merupakan ‘kepentingan pusat daripada kepentingan rakyat Papua’. Kenapa begitu?

[15] Ternyata di Provinsi Papua Barat 190 perusahaan menunggak pembayaran iuran BPJS Kesehatan (asuransi kesehatan para pekerjanya) sampai 1,1 Miliar[28].

[16] Kami menerima berita bahwa di wilayah Ndugga dua warga sipil tewas dalam operasi TNI di wilayah itu (18/7/2020). Dua warga: Elias Karanggu (40 th) dan anak kandungnya Seru Karanggu 20 th). Rakyat di Nduga demo berprotes dan sekali lagi minta pasukan ditarik dari wilayahnya.
Dalam suatu reaksi atas berita ini, anggota DPRP Komisi Polhukam, Emus Gwijangge, menyatakan “Hingga kini situasi keamanan di Nduga tak kunjung membaik. Selalu ada warga sipil korban. Kalau situasi terus seperti ini, sebaiknya masyarakat Nduga suaka ke Papua New Guinea atau Australia”[29].

[17] Selama ini soal RUU Omnibus Law sudah beberapa kali diangkat. Dalam suatu makalah yang sangat informatif Yayasan Pusakamenjelaskan sejumlah unsur dampak yang akan dialami di Papua seandainya Omnibus Law ini disetujui dan diterapkan. Omnibus Law (termasuk RUU Cipta Kerja) akan sangat berdampak kepada kelangsungan masyarakat adat Papua dan perlindungan sumber daya alam. Mengingat dampak besar Omnibus Law ini kami mengutip secara bebas dari makalah Pusaka sbb:
Di sektor lingkungan: akan terhapus pasal-pasal kunci perlindungan seperti [a] menghapus izin lingkungan dan kriteria Amdal (Assesmen Dampak atas Lingkungan), [b] mempermudah proses berbagai perizinan, [c] menghilangkan keterlibatan pemerintah melakukan pengawasan dan penjatuhan sanksi bagi pelaku kerusakan lingkungan, dan [d] menghilangkan pasal yang melindungi kearifan lokal masyarakat adat. Seluruhnya dikendalikan pemerintah pusat yang menjadi pemain inti dalam ketetapan  proses investasi. Omnibus Law menghilangkan partisipasi masyarakat terlibat dalam proses itu. 
Di sektor perkebunan Omnibus Law [a] merubah pengaturan ulang penetapan batasan luas maksimum dan minimum penggunaan lahan usaha perkebunan, [b] menghapus syarat-syarat pertimbangan penetapan luas perkebunan, [c] menghapus larangan pemindahan hak atas tanah usaha perkebunan, [d] menghapus batasan jangka waktu kewajiban pengusahaan hak atas tanah sejak diperoleh, [e] mempermudah peralihan perusahaan ke modal asing, [f] menghapus kewajiban pelaku untuk usaha menfasilitasi perkebunan masyarkat minimal 20%, [g] menghapus kewajiban pengusaha untuk melakukan pengelolaan Amdal, analisi resiko dan pemantauan lingkungan.
Melalui UU Kehutanan Omnibus Law memfasilitasi [a] pemanfaatan hutan lindung dalam perizinan usaha, [b] mempermudah perolehan izin dikawasan hutan lindung, dan [c]menghapus kontribusi atas usaha yang diperoleh (dana reboisasi, dan jaminan kenerja).
Maraknya investasi’ akan mewarnai penerapan Omnibus Law dan bukan pengembangan ‘ekonomi rakyat’; justru akumulasi investasi menyingkirkan kebudayaan dan kedaulatan masyarakat Papua atas sumber daya hutan dan alam yang dimiliki secara lintas generasi. Politik hukum melalui Omnibus Law yang berpihak pada investasi kapital serta mengabaikan hak masyarakat adat Papua kedepan akan mengancam keberadaan hutan alam dan sumber daya alam lain di Papua. Proses pengisapan kekayaan alam dan penyingkiran masyarakat Paua akan semakin massif, hal ini tentunya akan meningkatkan ekskalasi konflik. Maka kita perlu menolak RUU Omnibus Law ini[30]!
Ternyata Bank Dunia/World Bank juga ada komentar dimana mereka mencatat: “Omnibus Law dapat menjadi salah satu solusi pemulihan ekonomi di tengah pandemi Covid-19”. Namun Bank Dunia “meminta pemerintah sebaiknya merevisi pasal di RUU Cipta Kerja bagian lingkungan hidup yang dinilai memberi dampak negatif pada lingkungan”[31].
Juga Konfederasi Serikatan Pekerja Indonesia(KSPI) makin marah dan kecewa karena ternyata DPR RI tetap ngotot mau membahas Omnibus Law, termasuk UU Cipta Kerja, walau berulang kali diberitahukan bahwa UU ini tidak dapat dibahas tanpa ada ruang luas untuk masukan dari rakyat yang sudah berulang kali juga menyatakan bahwa tidak setuju dengan RUU itu. Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan, aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI serta Kantor Kemenko Bidang Perekonomian hari ini (29/7/2020) menuarakan dua tuntutan. Pertama, menolak Omnibus Law. Kedua, meminta agar perusahaan stop melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) masal akibat dampak virus corona. Dia mengancam bahwa kalau DPR RI tidak menhargai protes KSPI, mereka akan berprotes di Gedung DPR RI setiap minggu[32].

[18] TNI/Polri sudah siap mengamankan Pilkada 2020 (Pemilihan Kepala Daerah) di Papua; rincian personil yang akan dikerahkan: BKO Organik TNI 627, personil Organik Polri 2.577, personil BKO Polda papua 813, personil Unsur Linmas 7.174, personil BKO TNI bersifat plus minus tergantung situasi dan kebutuhan di lapangan[33]

[19] Mendengar terus-menerus bahwa banyak anggaran diandalkan untuk segala macam kebutuhan mendadak, masyarakat mulai gelisah karena utang Indonesia meningkat terus sampai 5.868 triliun. Menteri Keuangan meminta supaya debat/kritik diadakan dengan memenuhi standar kesopanan[34].

[20] Yang membuat masyarakat di provinsi Papua Barat gelisah lagi adalah pengumuman bahwa 36 prajurit dari 411 yang dikirim dari wilayah lainnya di Indonesia – lihat item [27] laporan Juli Bagian 1 - ke Manokwari ternyata tes positif Covid-19. Lebih memprihatinkan lagi bahwa, katanya, mereka semua sudah dites sebelum diberangkatkan ke Papua. Penginfeksian 36 prajurit ini ditemukan sewaktu mereka dites sebelum dikirim ke lsapangan di Kab Sorong Selatan, Kab Maybrat dan Kab Tambrauw[35]

[21] Aksi solidaritas yang ‘mahal’. Mahasiswa dari Universitas Khairun (Unkhair), Arbi M yang pernah berpartisipasi dalam aksi damai (2/12/2019) berprotes berhubungan dengan situasi di Papua, bukan saja diskors oleh universitasnya sebagai mahasiswa, namun sekarang juga dituduh melakukan ‘makar’ oleh Polres Ternata[36].

[22] Karena pandemi banyak hal perlu diatur melalui ‘online’. Berhubugan dengan ini perwakilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di Manokwari, Musa Y Sombuk, menkritik pemerintahan karena tidak mengawasi atau intervensi untuk menangani halangan yang ada. Sekarang ada ‘musin pendaftaran sekolah’; ternyata banyak orang tidak dapat mendaftar. Hambatan utama adalah tidak ada jaringan internet. Dia juga mengangkat persoalan bahwa salah satu SMK di Manokwari menuntut uang pendaftaran Rp. 3.775.000, dan salah satu SMA di Ransiki (Kab Mansel) juga minta pembayaran seragam olahraga dan batik; salah satu SMP di Manokwari minta Rp. 3.250.000 dan salah satu SD di Manokwari menuntut Rp. 900.000. Apalagi ORI mencatat bahwa protokol kesehatan di kebanyakan sekolah tidak diterapkan. Inilah bahan evaluasi yang disajikan ORI kepada pemeritah[37].  

[23] Api tidak tahu ampun. Setalah terganggu karena banyak infeksi Covid-19, hari ini (20/7/2020) ratusan kios di Pasar Youtefa habis terbakar. Pasar ditutup[38].

[24] Walaupun sudah tidak berjabat lagi sebagai Kapolri, Tito Karnavian (Mendagri) masih sangat sibuk dengan isyu keamanan selama kunjungan kerja bersama Menkopolhukam. "Negara tidak boleh kalah dengan siapa pun juga pelanggar hukum, termasuk kelompok bersenjata ini. Kalau dia bunuh orang ya kita tegakkan, kalau kurang pasukan di organik yang ada di daerah (Papua) kurang ya kita tambah," ucap Tito Karnavian[39].  
Ternyata kita masih sangat jauh dari suatu upaya mengubah pendekatan akan masalah di Papua walau sudah terbukti dengan begitu jelas bahwa ‘pendekatan keamanan’ tidak membawa hasil positif sedikit pun, sebaliknya memperparah situasi di Papua terus menerus! Sampai kapan?

[25] Sangat memprihatinkan: di Jayapura dan sekitarnya tidak akan ada PCR testing Covid-19 lagi selama persediaan ‘reagent’ dan ‘peralatan yang hanya satu kali boleh dipakai’ belum dilengkapi dulu. Barang inti untuk testing semua akan habis, maka tidak dapat menerima lagi ‘sample baru’. Laboratorium yang dijalankan oleh Badan Penelitian Kesehatan Papua (Balitbangkes) sebenarnya menangani separuh dari seluruh testing di provinsi Papua. Balitbangkes dioperasikan Kementerian Kesehatan dan lazimnya menerima 400 sampai 500 sample sehari, dan mampu mengecheck 300 sampai 400 sample sehari. Menurut kepala Balitbangkes, Antonius Oktavian, sekarang masih ada 1.482 samples yang belum diselesaikan. Tidak jelas kapan persediaan baru dapat diharapkan. Sementara waktu Indonesia perlu mengatasi kesenjangan kapasitas testing antara pulau Jawa dan seluruh wilayah lainnya. Di Indonesia ada 269 PCR testing laboratorium, separuh daripadanya ada di Jawa. Sekarang ini tidak satu dari 10 laboratorium di Papua dapat menerima ‘sample baru’[40].

[26] Sekali lagi seorang warga sipil tewas ditangan anggota TNI. Oktovianus Warip Betera (16 tahun) dari Asiki, Kab Boven Digoel, tewas, diduga dia dianiaya anggota Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) 561 Caraka Yudha Kodam Brawijayat  yang bertugas di Asiki. Menurut Pastor Paroki Asiki, penganiayaan terjadi siang hari di pos Satgas pada Jumat 24 Juli 2020. Lalu korban tewas di pos. Karena saat dibawa ke klinik Asiki dan dilakukan pemeriksaan, korban telah meninggal dunia. Memang ada tanda kekerasan di tubuh korban (visum medis). Sesuai informasi Pastor Paroki Asiki, sebelumnya kemungkinan ada warga melapor ke Satgas Pamtas 561 kalau korban diduga mencuri[41]

[27] Di tengah segala kesusahan Covid-19 yang sudah menggelisahkan masyarakat banyak, sekarang wilayah Timika juga diganggu oleh banjir di bagian Iwaka dan jalan Trans Nabire (29/7/2020). Syukurlah ada masyarakat biasa yang ingin membantu para korban, sedangkan Bupati hanya akan menangani banjir di sekitar Iwaka, bukan di sekitar “jalan Trans Nabire karena bagian itu adalah tanggungjawab pemerintah pusat”, katanya[42].

[28] Pada akhir bulan Juli ini dapat dicatat bahwa bulan ini sangat ditandai oleh tanggapan atas soal Otsus. Yang dominan adalah ungkapan ‘penolakan Otsus’ sampai mendukung “Petisi Rakyat Papua”[43]; lebih daripada 30 organisasi mendukung Petisi ini. Tanggapan melawan Petisi ada juga; di sosial media ada ‘suara campuran’ namun suara ‘mau Otsus Jld II’ tetap kalah dari yang menolaknya. Makin ditekankan bahwa sama sekali tidak dapat diterima Otsus Jilid II dipaksakan oleh pemerintah pusat secara sepihak kepada orang Papua[44]. Ada juga yang melihat diskusi sekitar Otsus Jilid II sebagai ‘kesempatan bargaining’ dengan pemerintah pusat, untuk mendorong ‘dialog dengan ULMWP’[45]. Nasib MRP juga dikaitkan dengan menerima atau menolak Otsus Jilid II[46]. Menarik juga untuk membaca bahwa dari kalangan mahasiswa masih ada yang secara nyata meminta suatu evaluasi oleh lembaga MRP dengan mengundang seluruh masyarakat Papua[47]. Dari pihak ‘institusi pemerintahan’ sikapnya lebih bersifat “wait and see”. Gubernur Provinsi Papua juga belum bersuara. Suasana akhir bulan ini kami rangkumkan dengan mengutip pernyataan tujuh butir yang diserahkan oleh Ibu Sayang Mandabayan – jurubicara Petisi Rakyat Papua di Manokwari kepada Ketua MRP Provinsi Papua Barat, sbb:[48]
1.     Menolak dengan tegas perpanjangan pemberlakuan Otsus Jld II dalam bentuk dan nama apapun di teritori West Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat)
2.     Menolak segala bentuk kompromis sepihak serta agenda-agenda pembahasan dan keputusan yang tidak melibatkan rakat Papua selaku subjek dan objek seluruh persoalan di Papua
3.     Segera kembalikan kepada rakyat Papua untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri; apakah menerima Otsus atau merdeka sebagai sebuah Negara
4.     Kami mendukung suara 1,8 juta rakyat Papua yang telah menandatangani petisi pada tahun 2017 yang meminta supervisi internasional dalam penentuan nasib sendiri melalui referendum
5.     Kami meminta Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) untuk menyetujui dan menandatangani PETISI RAKYAT PAPUA untuk menentukan nasib dan masa depan rakyat Papua
6.     Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) segera menggelar musyawarah besar Rakyat Papua (MUBES) untuk mendengar aspirasi rakyat Papua terkait status Otonomi Khusus di tanah Papua
7.     Bila pernyataan butir 1,2,3,4,5 dan 6 tidak dilakukan, maka seluruh rakyat Papua akan melakukan Mogok Sipil Nasional secara damai di seluruh wilayah West Papua.

 [29] Update Covid-19 pada tanggal 1 Agustus 2020: Kasus Positif: 3.040; sedang Dirawat 1.565; sudah Sembuh 1.442; yang Meninggal 33; ODP 2.677; PDP 237; dan PCR+TCM tests 28.381.
COVID-19
1 Agustus 2020
JUMLAH POSITIF
JUMLAH DIRAWAT
JUMLAH SEMBUH
JUMLAH MENINGGAL
ODP
PDP
Kota Jayapura
1854
1291
539
24
917
174
Kab Mimika
542
84
452
6
954
8
Kab Jayapura
275
91
181
3
21
41
Kab Biak Numfor
97
17
43
0
0
3
Kab Keerom
60
23
33
0
1
5
Kab Jayawijaya
57
15
42
0
8
0
Kab Nabire
39
16
23
0
21
0
Kab Boven Digoel
17
0
17
0
27
0
Kab Merauke
26
7
19
0
257
0
Kep. Yapen
26
12
14
0
41
0
Kab Lanny Jaya
14
13
1
0
16
0
Kab Sarmi
7
3
4
0
4
0
Kab Superiori
7
0
7
0
6
0
Kab Peg Bintang
7
6
1
0
158
8
Kab Tolikara
4
0
4
0
46
0
Kab Yalimo
4
1
3
0
0
0
Kab Mambera-
mo Tengah
2
0
2
0
0
0
Kab Waropen
1
0
1
0
13
0
Kab Puncak Jaya
1
0
1
0
1
0
Total 
3.040
1.565 = 52%
1.442 = 47%
33 = 1%


Orang dalam Pemantauan (ODP)
2.677
Pasien dlm Pengawasan (PDP)
237
Tes PCR
28.831



Sejumlah catatan tambahan
·       Perkembangan selama 17 hari terakhir: Kasus positif: 2.353 menjadi 3.040 =  naik 40 per hari; Perawatan 1.172 menjadi 1.565; Sembuh: 1.442 menjadi ; Meninggal: 26 menjadi 33; ODP: 2.677; PDP: 237; TES PCR 19.703 menjadi 28.381[49].
·       Menurut kantor Pelni, KM Ceremai yang dijadwalkan tiba di Jayapura (20/7/2020) tetap layani penumpang baik yang turn maupun naik. Juga bongkar muat barang[50].
·       Dalam rapat Forkopimpa (21/7/2020) dibahas pengadaan ‘lock down’ sejumlah keluruhan di Jayapura City karena jumlah infeksi bertambah banyak[51]. Keluruhan: Bayangkara, Gurubesi, Hamadi, Entrop dan Wainborok. Sementara waktu Walikota Jayapura menolak ‘lock down’ ini karena kurang ada koordinasi dengan kantornya dan tidak ada anggaran tersedia[52]
·       Testing sementara waktu dihentikan karena tidak ada persediaan reagent serta peralatan lagi!

Untuk direfleksi  

Papua di Mata Pusat dan Indonesia as a Common Project

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*

Di mata Pusat Papua adalah daerah pinggiran namun kaya, karena itu tidak boleh lepas. Ketika Bung Karno berkuasa Papua tidak boleh lepas mungkin bukan karena kekayaannya, waktu itu tidak ada yang tahu ada kekayaan apa di Papua, namun karena orangnya. Orang Papua di mata Bung Karno harus dimerdekakan dari Belanda seperti orang Indonesia di wilayah republik yang lain. Seperti di daerah lain Bung Karno memiliki afinitas dengan tokoh dan pemimpin daerah. Bung Karno selalu menyerahkan kepemimpinan daerah pada tokoh daerah. Sebelum Papua sepenuhnya menjadi wilayah republik Sukarno pun sudah memilih Elias Jan Bonai kemudian Frans Kaisiepo sebagai gubernur Irian Barat, nama Papua saat itu. Setahun setelah PBB secara resmi menyerahkan Papua ke Republik Indonesia (1969), Bung Karno wafat (1970). Setelah itu saya kira pusat melihat Papua bukan karena orangnya tetapi karena kekayaannya. Sikap pusat yang memandang Papua seperti inilah yang menyebabkan mengapa selama 50 tahun Papua bersama Republik Indonesia, penduduknya tidak bahagia, dan selalu saja ada yang ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia. Akal sehat (common sense) pasti akan mengatakan persoalannya bukan pada orang Papua tetapi bagaimana pusat memperlakukan Papua.

Selama pusat melihat Papua karena kekayaannya, bukan melihat orangnya, Papua akan terus resah karena penduduknya merasa “tidak di-orang-kan”, di bawah Republik Indonesia hidup merasa tidak sejahtera, merasa tidak aman karena ketegangan dan konflik ada di mana-mana. Ada iklim ketakutan (climate of fear) yang membuat hidup terasa tidak nyaman. Saya merasakan iklim yang sama ketika awal tahun 1990an melakukan penelitian di Timor Timur, dan keresahan itu paling terlihat pada anak-anak mudanya. 50 tahun sebenarnya bukan waktu yang pendek untuk membuat orang Papua memiliki sense of belonging terhadap Republik Indonesia, tetapi mengapa masih selalu terjadi protes terhadap pusat? Mengapa protes terhadap pusat setiap kali bisa mencapai titik didih yang tinggi dan Papua menjadi perhatian dunia internasional? Ketika gelombang protes terhadap tindakan rasialis terhadap mahasiswa Papua dilakukan merata di semua kota di Papua, nalar kita mengatakan pasti ada keresahan yang merata dirasakan oleh Orang Papua. Gelombang protes itu mencerminkan adanya keresahan yang mendalam, dan memperoleh kesempatan untuk diekspresikan ketika ada pemicu yang menggerakkannya.

Ketika gelombang protes terhadap rasisme akibat matinya George Floyd di tangan polisi berkulit putih tidak hanya membakar kota-kota di Amerika, tetapi menjalar ke seantero dunia, kita tahu, ada keresahan yang bersifat global dan selama ini tersembunyi di bawah sadar, yaitu kolonialisme dan perbudakan, yang mendapatkan kesempatan untuk diekspresikan. White supremacy dalam arti yang sempit jelas tidak ada di Indonesia, namun dominasi dan represi dalam bentuknya yang lain, mudah ditemukan di negeri ini. Dalam konteks dominasi dan represi inilah Papua, sangat wajar dan tidak sulit menjelaskannya menjadi yang paling exposed. Dominasi dan represi selalu dilakukan oleh pusat kekuasaan, baik yang bersifat politik maupun ekonomi, dan akan selalu menghasilkan marjinalisasi dari mereka yang ada di pinggiran. Slogan Black Live Matters (BLM) yang di-echo di sini menjadi Papuan Live Matters (PLM) hanyalah sebuah koinsidensi, marjinalisasi karena dominasi dan represi yang telah lama dirasakan, hanya perlu sebuah pemicu untuk diekspresikan[53]

Kemelut yang sedang berlangsung di Papua tentu menjadi perhatian pemerintah pusat, dan pusat merasa perlu membela diri untuk tidak begitu saja menjadi pihak yang dipersepsi sebagai sumber persoalan Papua. Sejauh yang bisa diikuti dari media massa, paling tidak ada dua teks yang bisa dibaca yang memperlihatkan bagaimana para birokrat yang mewakili pemerintah pusat berusaha membela kebijakan pemerintahnya. Teks yang pertama merupakan kolom opini yang ditulis oleh Teuku Faizasyah, Penasihat Menteri Luar Negeri dan Mantan Dubes di Kanada, di The Jakarta Post, 13 Juli 2020, dan yang kedua adalah kolom opini yang ditulis oleh Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Polhukhankam Kantor Staf Presiden, di Kompas 16 Juli 2020. 

Teuku Faizasyah dalam tulisan yang berjudul "Decoupling global movement for equality with a call for separatism in Papua” berharap bisa membantah bahwa BLM dan PLM merupakan dua hal yang seharusnya tak bisa dikait-kaikan, karena merupakan dua isu dengan konteks sejarah sosial politik yang berbeda. Menurut sang penulis, BLM isunya adalah kesetaraan (equality) yang menurut pendapatnya tidak merupakan masalah lagi di Papua karena Orang Papua adalah warganegara yang setara dengan warganegara dari etnis lain di Indonesia. Penulis ini juga menilai bahwa narasi rasisme yang bersifat struktural (structured racism) yang banyak dipakai oleh berbagai media menurut dia juga sesuatu yang tidak benar. Pemerintah Indonesia, melalui paket otonomi khusus justru membuktikan telah memberikan prioritas pembangunan untuk Papua. Agitasi separatisme yang dikandung oleh slogan PLM menurut pendapatnya adalah sebuah ofensif yang berbahaya bagi integritas Indonesia. Sebagai spoke person Kemenlu memang menjadi tugasnya untuk membantah dan meng-counter, tuduhan-tuduhan dari luar terhadap pemerintah Indonesia, namun mengatakan bahwa equality bukan masalah di Papua merupakan pernyataan yang bertentangan dengan kenyataan yang ada. Inequality (ketidaksetaraan) menjadi semakin nyata bersamaan dengan semakin kuatnya istilah OAP (Orang Asli Papua) dalam diskursus kita tentang Papua. Istilah OAP adalah cerminan paling nyata dan tak terbantahkan dari marjinalisasi Orang Papua yang justru muncul dalam sepuluh tahun terakhir ini. Mengapa istilah OAP muncul dan menguat, itulah tugas bagi Teuku Faizasyah untuk merenungkannya agar bisa menjawab berbagai tuduhan dari luar dengan lebih berwibawa. 

Dalam kolomnya yang berjudul "Melihat Papua dengan Mata Data", sang penulis berupaya membela pusat dengan pretensi kalau argumentasinya ilmiah karena berdasarkan data. Data yang pertama bermaksud menunjukkan kalau orang Papua tingkat kesejahteraannya telah meningkat. Sang penulis memperlihatkan angka IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang naik beberapa poin dalam kurun waktu 2014-2018. Yang disembunyikan sang penulis adalah tidak dibandingkannya angka IPM Papua dan Papua Barat dengan provinsi-provinsi lain. Mereka yang belajar indeks pada tingkat dasar pun tahu bahwa sebuah indeks baru punya arti jika dibandingkan dengan indeks yang lain. Papua dan Papua Barat selalu berada di ranking paling bawah dibandingkan provinsi-provinsi lain. Data yang kedua bermaksud menepis tuduhan bahwa pusat telah melakukan pelanggaran HAM di Papua dengan menunjukkan bahwa Indonesia terbukti terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB (2020-2022), bahkan mengalahkan Jepang dan Korea Selatan. Mengatakan bahwa tuduhan adanya pelanggaran HAM di Papua sebagai tidak berdasar dengan argumentasi bahwa Indonesia terbukti terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB selain terasa dicari-cari juga memperlihatkan ketidakberanian menerima kenyataan atas pelanggaran yang data-datanya telah dipublikasikan oleh Komnas HAM dan lembaga-lembaga lain yang jumlahnya tidak sedikit. 

Ben Anderson, setelah diperbolehkan masuk lagi setelah dicekal oleh Orde Baru selama 26 tahun, pada bulan Maret 1999 diminta oleh Majalah Tempo untuk memberikan kuliah umum. Dalam kuliah umum yang diberikan ketika Indonesia sedang mulai memasuki masa transisi dan berbagai konflik komunal dan politik berkecamuk di mana-mana (Aceh, Riau, Sampit, Poso, Ambon, Timor Timur dan Papua), mengingatkan kita akan sesuatu yang sangat penting. Menurut pendapatnya, Indonesia harus ditempatkan kembali sebagai proyek bersama (a common project) seperti yang diinginkan oleh para pendiri bangsa. Meskipun Papua telah 50 tahun menjadi bagian dari Republik Indonesia yang tampaknya terus terjadi adalah kegagalan kita untuk mengajak Orang Papua untuk menjadikan Indonesia sebagai proyek bersama. Orang Papua kehilangan rasa memiliki (sense of belonging) sebagai warganegara yang setara karena perlakuan kita yang tidak “meng-orang-kan” Orang Papua, kita hanya mempertimbangkan kekayaan bumi Papua, bukan orangnya. 


Jayapura, 2 Agustus 2020
-->


[43] https://office.com/getword  Bukti Otsus Gagal.pdf
[49] Info Grafis, 1 Agustus 2020, 17.00 WIT, Provinsi Papua
[53] http://www.kajanglako.com/id-11048-post-pandemi-george-floyd-dan-marginalisasi-papua.ht ml  
-------------------------
--> --> -->

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.