Friday, August 21, 2020

PAPUA Summary in Bahasa 2020 1–15 Agustus



PAPUA  2020 1–15 Agustus

Oleh: Theo van den Broek
[1] Sekali lagi ada protes berkaitan dengan pembangunan markas-markas militer di seluruh wilayah Papua. Kali ini gilirannya Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Puncak Papua (IPMAP) yang ‘menolak tegas pembangunan Kodim dan Polres di Kabupaten Puncak’. Dalam demo di Jayapura mereka membawa tulisan seperti “dengan tegas segera tarik militer organik dan non-organik dari kabupaten Puncak Papua” dan “Pemda Kabupaten Puncak Papua stop melakukan penipuan terhadap masyarakat sipil Puncak Papua”. Rencana pembangunan ini dinilai sebagai permainan politik demi kepentingan elit-elit lokal dan sebagai tindakan untuk membungkam ruang gerak masyarakat sipil. Salah satu jurubicara, Kevin Alom, menekankan: “Bangun fasilitas kesehatan yang baik, bangun sekolah dengan fasilitas lengkap agar anak-anak bersekolah juga bisa dapat ilmu secara maksimal dan bisa bersaing dengan daerah lain”[1].

[2] Tiga pelukis perempuan asal Paniai, Deiyai dan Teluk Wondama membuat eksposi lukisannya. Ketiga pelukis muda perempuan Papua ini pun seperti menyampaikan pesan serupa yang mengiris kalbu: diskriminasi dan kekerasan terpaksa diterima sebagai bagian pahitnya kenyataan hidup sehari-hari[2].

[3] Sekitar Omnibus Law. Tekanan pada DPR RI meningkat. Pemerintah ingin supaya Omnibus Law ini disetujui sebelum akhir Agustus supaya dapat memperlancar pemulihan kembali ekonomi. Menurut beberapa fraksi utama sasaran itu tidak dapat dicapai. Antara lain, salah satu bagian yang sangat kontroversiil UU Cipta Kerja sangat sulit diselesaikan. Maka fraksi PDI-P dan Nasdem mengusulkan untuk mengeluarkan bagian itu dari Omnibus Law. Walau demikian target waktu akhir Agustus tetap sulit untuk tercapai. Menurut Hendrawan Supratikmo (PDI-P) 30% Omnibus Law masih perlu dibahas, maka hanya dapat diselesaikan pada akhir tahun. Sekaligus DPR masih tetap ditekan oleh ancaman demo. Konferensi Serikatan Perdagangan Indonesia (KSPI) merencanakan suatu demo ribuan orang pada tgl 14 Agustus di DPR (saat DPR RI akan bersidang penuh lagi). Demo protes diselenggarakan serentak dalam 20 provinsi dan 200 distrik/kota[3]. Pernah dibentuk suatu Tim Teknis Tripartit (Pemerintah, Buruh, Pengusaha) yang juga sudah merampungkan hasil diskusinya. Namun salah satu anggota, Konfederasi Serikat Buruh Sejahteraan Indonesia (KSBSI), tidak puas dengan hasilnya, sedangkan dua konferesai lainnya, Konfederasi Serilat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI), sebelumnya memilih keluar dari Tim Teknis ini karena merasa bahwa pasal-pasal krusial tidak dapat dibahas serius[4]. Melalui demo (13/8/2020) sekali lagi ribuan buruh menuntut pemberhentian pembahasan di DPR dan menolak Omnibus Law[5]. Ternyata DPR tidak mau mengambil pusing dan sekarang melanjutkan saja pembahasan Omnibus Law ini[6].

[4] Masih berkaitan dengan DPR RI, ada catatan dari Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, yang menilai bahwa DPR cenderung lama proses rancangan undang-undang yang diminta masyarakat, khususnya kelompok perempuan. Misalnya , ia menyebut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan Masyarakat Adat (RUU MA).”Itu lama sekali atau terlempar dari daftar prioritas”, katanya. Sebaliknya DPR dan pemerintah malah cepat dalam membahas RUU yang ditolak masyarakat, seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan ada informasi RUU Cipta Kerja akan disahkan pada Agustus ini. Ini menimbulkan kebinggungan di masyarakat dan sekaligus menunjukkan kecenderungan DPR dalam beberapa tahun belakangan ini yang tak mendengarkan suara publik[7].

[5] Setahun lalu, 3/8/2019, Mgr. John Saklil Pr, Uskup Keuskupan Timika, tiba-tiba meninggal dunia. Seluruh umat katolik Papua masih merasa kehilangan yang luar biasa. Hari ini juga dia diingat kembali melalui suatu acara khusus di Timika yang dipimpin Pater Marthin Kuayo, Administrator Keuskupan Timika. Dalam kata sambutannya beliau mengingatkan dan mengajak seluruh umat untuk melanjutkan “Gerakan Tungku Api”, suatu gerakan yang diprakarsai Mgr John selama tahun-tahun terakhir hidupnya. Gerakan Tungku Api merupakan gerakan untuk menyelamatkan umat dan masyarakat secara keseluruhan dengan memanfaatkan peluang alam yang ada untuk dikembangkan demi berkelanjutan hidup[8]Inti filsafatnya: kalau kita semua menjaga ‘tungku api’ di keluarga kita, di kampong kita, hingga selalu menyala, kita punyai hidup terjamin. Sederhana tapi pasti. Memanfaatkan apa yang ada dan yang alam sediakan; jangan merusakkannya! Jangan mencari yang muluk-muluk, jangan mencari keenakan dan kemabukan, namun jagalah kebersamaanmu dan tanahmu! Jagalah tanah yang dimiliki, jangan dijual, namun diandalkan demi keberkelanjutan hidup bersama. Inilah inti pesan Mgr John yang tetap akan diingat, dan kepada seluruh umat untuk memberikan ‘kaki dan tangan’ pada filsafah sederhana ini.  

[6] Index Demokrasi (IDI) di provinsi Papua Barat sekali lagi ternyata yang paling rendah di Indonesia, sehingga masuk di kategori ‘miskin’. Tahun 2019 IDI untuk Papua Barat adalah 57.62. Maka, malahan ada penurunan lagi dibanding 2018 yang mencatat nilai 58.29. Yang berikut dari bawah adalah provinsi Papua dengan IDI 62.25, selanjutnya Sumatra Utara dengan 67,65[9].

[7] Ada isyu baru. Ternyata dimana-mana hasil tes Calon Pegawai Negara Sipil (CPNS 2018) mulai diumumkan, dan ternyata hasil kurang memuaskan. Latarbelakang: 19 September 2018 diadakan testing calon pegawai untuk merekrut 238.015 pegawai baru nation-wide; yang diprioritaskan: tenaga pendidikan, tenaga kesehatan dan tenaga teknis.Protes muncul karena jumlah calon Orang Asli Papua (OAP) tdak sesuai standar yang ditetapkan, yakni 80% OAP dan 20% orang non-OAP. Memang Kepala Dearah adalah hak untuk menjatahkan 80% lowongan PNS untuk OAP[10].Di beberapa tempat seperti di Manokwari pengumuman ditunda (30/7/2020). Walau ratusan orang tunggu pagi sampai malam di pusat pemerintahan untuk mendengar hasil akhirnya mereka pulang tanpa hasil. Menurut wakil pemerintah hasil untuk Manokwari belum diterima dari Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Suasana makin tegang, dan demi antisipasi anarki 400 personel Polisi/TNI sudah siap dikerahkan[11]. Di Paniai, Bupati perlu menjelaskan bahwa di wilayahnya hanya 373 CPNS diterima, bukan 466 yang dikabarkan media. Yang dipuji di Paniai adalah bahwa 373 CPNS semuanya OAP[12]. Menurut CEPOS, 4/8/2020, berita dari Kabupaten Lanny Jaya bahwa Bupati, Befa Yigibalom akan membatalkan 20% untuk non-AOP. Semua yang direkrut mesti prioritas OAP; kalau tidak ada yang melamar, baru tempat terbuka bagi non-OAP[13]
Pada tanggal 3 Agustus ribuan masa mengadakan di Manokwari berprotes dan menolak  hasil CPNS 2018 yang sudah diumumkan, karena tidak sesuai ‘standar 80/20’[14]. Inilah menjadi 4 butir aspirasi yang disampaikan kepada pemerintah[15]:
1.     Kami bersumpah dalam nama Tuhan dengan tegas kami menolak pengumumam Bupati Manokwari … tentang hasil penetapan hasil kelulusan CPNS 2018 yang telah diumumkan tgl 31 Juli 2020 dan tidak dapat dilakukan pemberkasan bagi peserta yang lulus sebelum melakukan peninjauan kembali kuota dengan mengakomodir semua Orang Asli Papua pada seleksi formasi tahun 2018.
2.     Meminta kepada Gubernur, Ketua DPR PB, Ketua MRPB, Ketua Lembaga Masyarakat Adat, Ketua Dewan Adat Papua, Ketua DPR Manokwari agar sesegera mungkin menggelar tikar adat dan rapat besar-besaran dengan mempertanggungjawabkan revisi formasi daftar nama yang dikirim dari daerah ke pusat, serta memberikan alasan kuota kelulusan 22% OAP dan 78% non-OAP dihadapan semua pencaker (pencari kerja).
3.     Kami meminta penerimaan Formasi CPNS tahun 2019 dilakukan secara formalitas dan dikhususkan bagi Orang Asli Papua yang tidak lulus pada tahun 2018.
4.     Apabila aspirasi kami tidak dihiraukan dan ditindaklanjuti, maka jangan salahkan kami apabila setiap hari terus buat keributan, berteriak dipinggir jalan, dan lain-lain sehingga Kamtibmas di Manokwari menjadi terganggu.
Aksi masa menilai bahwa Kepala Daerah Kabupaten Manokwari tidak mampu menjaga jatah 80% OAP[16]. Yang menarik juga bahwa Gubernur Provinsi Papua Barat , Dominggus Mandacan bersama para Bupati dan Walikota memutuskan untuk berangkat ke Jakarta (5/8/2020) untuk mengembalikan dan menolak hasil seleksi CPNS-2018 dan menjelaskan aspirasi masyarakat Papua[17].

[8] Ternyata sudah musim banjir. Di Kabupaten Deiyai, distrik Bouwobado dua kampung dilanda banjir berturut-turut selama dua minggu. Kampung terendam dan jalan trans Mimika-Nabire rusak total. Menurut fraksi PKB DPRD Kab Deiyai, Naftali Magai, banjir ini terjadi karena penebangan liar oleh PT Pal (perusahaan kelapa sawit). Bupati Mimika mulai membantu, namun persoalan dasar tetap ada[18]

[9] Ada suatu berita dari Kalimantan, Samarinda, yang sedikit menggelisahkan. Menurut Direktur Walhi Kalimantan Timur, Yohana Tiko, 29 Juli kantor Walhi didatangi beberapa ‘petugas yang mengakui diri petugas Gugus Tugas Covid-19’ dan ingin mengambil sample swab-test karena memeriksa jaringan kontak seorang yang positif Covid. Dari belakang, menurut Tiko, adanya dugaan kriminalisasi terhadap aktivis HAM dan lingkungan dengan kedok tes swab Covid-19. ‘Petugas medis’ itu merampas data pribadi milik aktivis HAM dan Lingkungan dengan dalih melakukan tes swab secara acak. Tgl 31 Juli kantor didatangi lagi ‘tenaga medis’ yang menyampaikan bahwa 3 orang yang hasil tes swabnya dinyatakan positif Covid dan hendak dijemput untuk diisolasi. Dari belakang sadar ada sejumlah kejanggalan dalam seluruh proses ini: mereka tidak mengenalkan diri, identitasnya, mereka tidak mau didokumentasikan karena ‘tidak mengenakan alat pelindung diri’; hasil test tidak jelas dan hanya disampaikan secara lisan, prosedur pengambilan sample tidak benar, limbah medis testing dibuang saja di tempat sampah tetangga. Segala peristiwa ini membuat Walhi menduga bahwa kejadian ini sangat berkaitan dengan sejumlah kasus yang tengah ditanganinya. “Bagi kami upaya-upaya ini mendekati suatu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai operasi hitam apparatur keamanan dan intelejen dengan cara menunggangi dan memanfaatkan pemeriksaan kesehatan melalui swab test covid-19 untuk merampas data-data pribadi maupun kelompok secara melanggar hukum terhadap aktivis pejuang HAM dan lingkungan hidup” pungkas Yohana Tiko[19].

[10] Pada media sosial, 2/8/2020, muncul suatu video yang menggambarkan kejadiandi kampung Kwoor, Kab Tambrauw, 28/7/2020,dimana sejumlah warga diberlakukan dengan tidak baik oleh empat anggota TNI. Warga-warga diperintahkan membuka pakaian, disepak dan dipukul sambil diteriakkan kata peneguran. Dalam reaksi dari pihak TNI diberitahukan bahwa tindakan para anggotanya tidak merupakan penganiayaan, namun mereka hanya memberikan pembinaan. Pembinaan demikian diminta ‘oleh masyarakat’[20].  Amnesty Internasional Indonesia memberikan penilaian lainnya, 4/8/2020, dan benarkan bahwa tindakan yang ditunjukkan dalam video itu betul merupakan penganiayaan dan hal demikian melanggar Konvension Against Torture, suatu konvensi internasional yang diakui di Indonesia[21].
Mahasiwa dan pemuda di Kab Sorong menggelar aksi protes dan meminta aparat TNI yang menjadi pelaku kekerasan terhadap sejumlah warga di Tambrauw diadili[22]. Masyarakat di Tambrauw makin merasa dampaknya militarisme di wilayahnya[23].

[11] Berita yang menarik perhatian: suatu koalisi dibentuk “untuk menyelamatkan Indonesia”. Artinya apa? Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin dan sejumlah tokoh membentuk Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Koalisi atau gerakan ini juga mendapat dukungan dari  mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, putri Bung Karno, Rachmawati Soekarnoputri dan ekonom senior Rizal Ramli. Pembentukan KAMI akan dideklarasikan tgl 17 Agustus. Maksud dan tujuan KAMI  ini belum terlalu jelas, namun sejumlah catatan dari salah satu inisiator, M. Jumhur Hidayat waktu menjelaskan pilihan 17 Agustus sebagai hari deklarasi gerakan ini, membantu untuk memahami arahnya gerakan ini, seperti: “kita kan mau merdeka dari keterpurukan, dari malapetaka saat ini dan masa depan yang bisa terjadi kalau rezim tidak mengubah orientasi”. Dan “Indonesia belum merdeka. Misal, banyak tenaga kerja asing di Indonesia, kemudian taipan dan asing menguasai tanah. Kita punyai apa? Tidak boleh kita didikte secara politik. Istilahnya, lebih baik makan tempe tapi berdaulat dibanding makan bistik dijajah secara politik”, tegasnya[24]. Dalam suatu keterangan beberapa hari kemudian Din Syamsudin menyatakan bahwa UU Nomer 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negera dan Stabilitas Keuangan untuk Penangan Covid-19 dinilai sebagai upaya mengkristalkan inkonstitutional dictatorship. Maka itu, Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK) menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK)[25]. Sudah jelas pembentukan gerakan ini sudah menuai kritik yang pedas juga. Denny Seriga menilai bahwa ‘mereka yang mendeklarasikan KAMI merupakan barisan sakit hati yang menunggu Pilpres 2024, dan koalisi dianggapnya terdiri dari mereka yang berwajah penipu[26]. Sedangkan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Cak Sunanto menilai sah-sah saja muncul KAMI yang dibentuk Din Syamsuddin. ‘Apa yang dilakukan oleh Din dkk bagian dari otokritik yang diharapkan membangun’, tanggapannya[27].

[12] Kritik yang pedas tentang pemerintah pusat muncul dari aktivis HAM, Natalius Pigai (4/8/2020). Dia menilai bahwa selama berbulan-bulan – selama suasana covid-19 – pemerintah, Presiden & menterinya, masa bodoh, alias tidak mau mendengar rakyat atau kritikan, alias pembiaran. Juga kebijakan pusat dan daerah kadang tak selaras. Masing-masing jalan sendiri, ditambah lagi dana Covid-19 baru 20% dipakai. Presiden Jokowi pun pura-pura mengamuk dan mengancam melakukan reshuffle kabinet. Akhirnya ada kematian akibat pembiaran. Maka, “kalau tidak sanggup urus Negara, sebaiknya Jokowi dan kabinetnya mundur”, tegasnya[28].

[13] Mungkin sedikit dibangkitkan oleh berita banjir kiri kanan di Papua dan masih mengingat musibah banjir di Sentani dua tahun lalu, wakil Ketua DPR Papua, Yunus Wonda, mengaku bahwa kondisi gunung Cycloop belum bagus (5/8/2020). Masih terdapat terlalu banyak kegiatan ‘perkebunan’ yang mengancam erosi dan longsor tanah lagi. Maka, beliau berseru supaya kita semua lebih sadar dan jaga![29]

[14] Kondisi Papua juga dimonitor para peminat dan ahli di luarnegeri. Dalam webinar baru ini seorang pakar, Dr. Richard Chauvel, dosen Universitas Melbourne yang sudah lama memperhatikan situasi di Papua menilai bahwa Pemerintah Indonesia sampai saat ini memakai pendekatan pembangunan serta kesejahteraan di Papua untuk meredam isu politik Papua. Diandaikan saja bahwa dengan demikian isu politik, isu pelurusan sejarah, isu HAM dan lainnya akan hilang dengan sendirinya. Pengandaian itu tidak realistis; strategi pembangunan tidak menghasilkan suatu penyelesaian masalah di Papua. Semestinya strategi dialihkan pada strategi mendengar masyarakat, mengetahui aspirasi masyarakat dan membuka dialog yang terbuka dan serius. Dia mendesak juga supaya penuntasan pelanggaran HAM menjadi lebih diprioritaskan. Pendapatnya didukung oleh peneliti Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, yang mengatakan jika dialog antara pemerintah dan pihak di Papua terus tertunda, dapat menyebabkan dampak fundamental. “Saya kira pembungkaman kebebasan berekspresi akan terus berjalan, formasi pembangunan kapitalistik akan terus berlanjut. Eksploitasi sumber daya alam, kemajuan ekonomi iya, tapi untuk mereka yang sudah siap”, kata Cahyo[30]. Suatu dialog politik sangat urgen untuk diselenggarakan! 

[15] Salah satu Pusat Kesehatan di sub-distrik Kurik, Kab Merauke, telah menghentikan pelayanan ICU (Intensive Care Unit) dari 6 sampai 21 Agustus setelah seorang pasien yang dirawat disana ternyata dites positif Covid-19. Juga dari tenaga medisnya, sebanyak 50 orang, ternyata 9 juga diisolasi, sedangkan yang telah tes positiv Covid-19 dirujuk ke rumah sakit di kota Merauke untuk dirawat[31].
[16] Sisi positifnya dari suasana Covid-19 adalah peningkatan inisiatif untuk berupaya menjamin adanya makanan melalui membuka kebun sendiri. Menurut Elisa Yarusabra, seorang pejabat Kab Jayapura, sekarang sudah 700 ha dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi makanan secara lokal. Program ini menjangkau 5 sub-distrik dan 139 kampung/desa. Setiap desa bisa dapat bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan produksi swadaya ini[32].

[17] Di Kab Mimika sekarang tercipta suatu situasi yang cukup unik lagi mengganggu. Pengadilan Tata Urusan Negara (PTUN) di Jayapura telah memutuskan (5/8/2020) membatalkan Surat Keputusan Gubernur Papua No. 155/266/Tahun/2019 ttgl 24 Sept 2019 Tentang Peresmian Keanggotaan DPRD Mimika periode 2019-2024. Laterbelakang: anggota DPRD periode sebelumnya, karena sangat terlambat dilantik sebenarnya menjalankan baru 4 tahun dari 5 tahun hak kedudukannya. Maka mereka menuntut bahwa masa aktif sebagai anggota DPRD diperpanjang selama satu tahun. Sementara waktu dengan surat dari Gubernur, semua anggota DPRD yang dipilih baru tahun 2019 resmi ditetapkan sebagai anggota DPRD periode 2019-2024. Surat ini dicabut oleh PTUN, maka sekarang pasti kacau karena hak anggota lama untuk masih berkedudukan sebagai anggota DPRD diakui sedangkan kursi mereka sudah diduduki orang lain selama satu tahun terakhir ini[33]Patut dicatat juga bahwa cukup aneh, alias kurang masuk di akal, bahwa baru sekarang ini PTUN mengambil keputusan mengenai surat yang sudah hampir satu tahun berlaku. Ternyata birokrasi punyai irama sendiri dan tidak selalu masuk di akal!

[18] Ternyata Dewan Adat Papua (DAP) berkumpul di Welesi, Kab Jayawijaya untuk merayakan Hari Pribumi Internasional (9/8/2020). Disamping acara peringatan diberikan perhatian pada dua tema khusus, yakni [a] soal Covid-19 dan [b] pelanggaran HAM di Papua. Kesempatan juga dipakai untuk menandatangani suatu Petisi Tolak Otsus. Menurut Ketua DAP versi Mubes Luar Biasa, Dominikus Sorabut, terkait dengan penolakan Otsus, DAP bersama masyarakat tidak akan demo, hanya dengan membuat petisi di seluruh wilayah adat[34].
Di Sorong Hari Pribumi Internasional diingatkan 10/8/2020. Acara diselenggarakan oleh Perwakilan Daerah Alliansi Adat Nusantara (PD AMAN) dengan tema: “Kedaulatan Pangan dan Hak Masyarakat Adat”. Masyarakat adat Papua sedang mengalami tekanan proyek pembangunan Negara dan gempuran ekspansi bisnis ekstrasi dan eksploitasi hasil hutan, tambang dan lahan. Dalam kesempatan ini 21 organisasi masyarakat menuntut supaya hak-hak dasar orang asli Papua diakui, dan dihormati. Mereka juga meminta Pimpinan Kab Sorong mempertanggungjawabkan kebijakannya dan mencabut izin sejumlah perusahaan kelapa sawit, termasuk mencabut izin PT Mega Mustika Plantation dari wilayah adat Kalaban Lembah Kakaso[35]

[19] Lazimnya kami mencatat bahwa ada protes masyarakat kalau ada rencana membangun markas keamanan di salah satu wilayah, dan protes itu memang sering ada dan beralasan. Kali ini kami dapat memuat berita bahwa masyarakat adat menyetujui pembangunan suatu markas keamanan, yakni, pembangunan markas Brimob di Manokwari. Kepala suku Hattam-Moyle di Kampung Susweni, distrik Manokwari Timur, Asani Ulman, menyatakan lahan seluas 22 hektare untuk pembangunan markas komando satuan Brimob Polda Papua Barat, telah resmi menjadi milik Polda Papua Barat[36].

[20] Ada pengumuman pendaftaran dan seleksi beasiswa dokter spesialis afirmasi Otsus Papua 2020, oleh Sekretariat Pemerintah Papua (10/8/2020). Apakah ini bagian dari kampanye mempromosikan Otsus? Dalam hal ini berita berikut juga menarik: diskusi DPR provinsi Papua Barat untuk menjamin biaya pendidikan untuk 1000 TNI Otsus OAP???[37]

[21] Dalam rapat gabungan Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat (MRP dan MRPB) bersama Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Papua Barat (DPRP dan PDRPB) pada tanggal 11/8/2020 dinyatakan: masyarakat Papua harusnya diberikan kebebasan untuk menentukan masa depannya menerima perpanjangan dana Otsus Papua, dan merevisi Undang-Undang Otsus atau mengembalikan semua itu kepada pemerintah pusat. Pernyataan ini dibuat setelah ditetapkan rencana ‘MRP-DPR gabungan’ menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) evaluasi Otsus (11/8/2020)[38].

Refleksi sepintas lalu
Dalam pernyataan serta rencana ‘MRP-DPR Gabungan’ tadi kurang lebih dirangkumkan dengan baik trend utama dalam puluhan tanggapan mengenai Otsus selama dua minggu terakhir ini[39]. Suara penolakan memang kuat, malahan dominan, namun makin mendengar pula bahwa penolakan tanpa evaluasi terlebih dahulu juga kurang masuk di akal, maka perlu evaluasi dulu, baru diambil keputusan dan diambil langkah. Sudah tentu evaluasi ini memang perlu diadakan oleh rakyat Papua bersama Pimpinan Daerah, MRP dan DPR Daerah, bukan oleh pemerintah pusat. Semua di Papua agak sepakat bahwa suatu tindakan sepihak oleh pemerintah pusat dalam hal Otsus ini tidak dapat diterima sama sekali dan merupakan celaka melulu. Sekaligus ada keinginan untuk menghindari ‘jalan buntu’ yang tidak membantu siapapun. 
Dalam sejumlah reaksi juga ditekankan bahwa momentum ‘berakhirnya Otsus’ merupakan kesempatan yang baik untuk mengangkat pembahasan beberapa isyu yang sangat penting dan vital dalam kehidupan di Papua dewasa ini, yakni: soal HAM, soal diskriminasi dan rasisme, soal marginalisasi yang terkait dengan pola ekonomi yang sedang dikembangkan – pengabaian ekonomi rakyat -, pengelolahan sumber alam oleh siapa, soal keamanan, soal identitas, dsb[40]. Ini kesempatan emas untuk menghidupkan pembahasan demikian yang mungkin dapat menuju suatu dialog terbuka, termasuk mengenai aspek politiknya, yang sudah begitu lama diharapkan dan ditolak pemerintah pusat. Menghidupkan kembali suatu pembahasan publik juga bisa menjadi sarana yang tepat untuk ‘merangkul’ kalangan lebih luas masyarakat umum, yakni orang non-Papua di Indonesia, dan secara khusus di Papua. Supaya mereka pun memahami dengan lebih tepat kedudukan permasalahan di Papua dan tidak tergantung saja dari berita-berita nasional mengenai Papua. Pemahaman serta dukungan dari kalangan non-Papua makin hari makin penting dan dibutuhkan, kalau mau bahwa suatu solusi yang tepat diprakarsai pemerintah pusat. Tanpa membuka pintu dialog sejati di segala lapisan dan tingkat, kita bersama-sama menuju musibah saja, kesan kami.
Sudah betul waktu pemerintah pusat membuka diri sambil berpaling dari pendekatan keamanan yang hanya memperparah masalah di Papua tanpa hasil konstruktif apapun, dan mulai mendengar suara rakyat Papua tanpa prasangka hingga bisa duduk bersama untuk mencari suatu solusi yang bermatabat. Inilah keinginan dasar masyarakat luas di Papua! Kenapa pemerintah pusat begitu nekad menolak mengambil langkah yang sangat terhormat ini? Suatu “Roadmap” sudah lama disediakan oleh Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI), maka tidak ada alasan untuk menyangkal isi permasalahan di Papua. 
Sekaligus di Papua sudah saat juga untuk kembali pada cita-cita kita yang terungkap dalam semboyan “Papua Tanah Damai” dengan meninggalkan segala aksi kekerasan dan menjunjung tinggi harga diri sambil menyapa sesame siapapun sebagai orang semartbat dan seharga. Dengan dasar itu kita kuat dan benar hingga boleh menuntut hak bicara dan pendapat sepenuh-penuhnya dan boleh menuntut semua pihak yang memakai kekerasan (entah TNI/Polisi, entah TPNPB/OPM, entah Koalisi Nusantara, entah siapa saja) untuk turut menghargai segala hak dasar kita sebagai pribadi orang maupun sebagai bangsa. Dari semua pihak yang terlibat diharapkan suatu kearifan yang memungkinkan kita saling berhadapan sebagai manusia yang sama harganya dan terpanggil saling memberikan hidup bukan kematian!  

[22] Sebanyak 50 kepala keluarga (KK) yang tinggal di Jalan Feri Kompleks Yayasan Pendidikan 45 Kelapa Dua Entrop, Jayapura Selatan, kehilangan tempat tinggal akibat eksekusi pengosongan lahan (13/8/2020). Pengosongan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Tidak ada perlawanan dari warga ketika ekskavator menghancurkan tempat tinggal yang dikontrak selama bertahun-tuhan itu. Namun sebelum eksekusi dimulai, warga diberikan kesempatan untuk membereskan barang-barang yang masih bisa digunakan[41].

[23] Satuan Khusus Perbatasan TNI yang ditugaskan di perbatasan Papua dengan Papua New Guinea sedang menjalankan suatu kegiatan untuk membantu masyarakat di sekitar perbatasan, desa Sota, meningkatkan minatnya untuk membaca. Mereka menyediakan suatu ‘perpustakaan keliling’ guna mendorong siswa/i lokal untuk membaca dan membuka wawasannya. ‘Buku-buku adalah jendela dunia’, tegasnya Second Sergeant Manullang[42] 

[24] Majelis Rakyat Papua (MRP) mendukung Kongres yang mau diselenggarakan oleh Solidaritas Anti Miras dan Narkoba (SAMN) kota Jayapura. Kegiatan ini menun jukkan bahwa kedua unsur, minuman keras dan narkoba, masih sangat mewarnai kehidupan di Jayapura dan kota-kota lainnya[43]
Diharapkan bahwa Kongres berujung tindakan yang jelas dan tidak membatasi diri pada ‘rekomendasi-rekomendasi yang berbunyi bagus’. Menurut salah berita baru, soal minuman keras bukan suatu masalah di Jayapura saja. Di Nabire 1000 liter minuman keras disita oleh pihak keamanan[44].

[25] Ternyata secara resmi Komisi HAM PBB meminta Indonesia untuk melaporkan masalah sipil dan politik di Papua (14/8/2020). Permintaan ini disampaikan berdasarkan dokumen PBB No CCPR/C/123/3, paragraf 25. PBB sadar mengenai sejumlah peristiwa di Papua hingga tersusun daftar permasalahan sesuai dengan info yang mereka terima, dan sekarang meminta Indonesia untuk menanggapinya dengan teliti. Waktu tersedia menyampaikan tanggapannya sampai tanggal 5 Agustus 2021[45]

[26] Setahun lalu Veronica Koman, pengacara bagi banyak orang Papua, dituduh sebagai pemicu masalah rasisme di Papua. Karena dia sudah mengungsi ke Australia, dia tidak jadi ditangkap. Namun dari belakang Indonesia meminta biaya studinya - beasiswa Negara - mesti dikembalikannya. Jumlah yang perlu dikembalikan sekitar Rp. 773.000.000 (US$ 52,760). Sekarang organisasi “Papua itu Kita”memulai aksi untuk mengumpulkan uang untuk membantu Ibu Veronica[46].

[27] Sejumlah karyawan Freeport meminta pimpinan Freeport untuk membuka hubungan angkutan bis antara tempat operasi pertambangan dan kota Timika supaya mereka dapat berhubungan dengan keluarganya. Karena permintaan belum ditanggapi sesudah 3 hari, ratusan karyawan mulai memalang jalan Freeport di km 72 (14/8/2020). Pimpinan Freeport bilang bahwa permintaannya masih dibahas[47].

[28] Berita lain sekitar Freeport. Lokataru-Kantor Hukum dan HAM akan mendampingi masyarakat tiga Kampung Tsingwarop (Tsinga, Waa/Banti dan Arwanop) dalam menolak rencana perluasan wilayah operasi PT Freeport Indonesia. Haris Azhar, Direktur Lokataru bersama Forum Pemilik Hak Sulung (FPHS) selaku perwakilan masyarakat Tsingwarop sangat menyayangkan rencana perluasan wilayah operasi baru untuk tambang tanah dan tambang terbuka Freeport[48]

[29] Lazimnya tgl 15 Agustus diadakan demo penolakan New York Agreement (NYA) 15 August 1962. Tahun ini tidak terkecuali walau pihak keamanan sudah menyatakan bahwa demo tidak akan diizinkan. Walau demikian demo diadakan di [1] Waena Expo, [2] Universitas Sciences dan Technology Jayapura, [3] Tanah Hitam di Kampkey, Abepura, dan [4] Jalan Pos 7, Sentani. Di Jakarta diadakan demo demi tujuan yang sama didepan Kedutaan Amerika Serikat dan satu demo lagi di Bali. Wali Kota Jayapura minta masyarakat supaya tidak mengikuti demo[49], sedangkan pihak keamanan sudah berencana mengerahkan 250 personil[50]. Akhirnya kedua demo masing-masing di Jakarta dan Bali dapat menyampaikan seluruh daftar tuntutannya (10 butir) sambil diawasi pihak keamanan. Sedangkan di Papua semua demo dipaksa dibubarkan dan sementara waktu 29 partisipan dibawa ke masing-masing Polres Sentani (6 orang) dan Markas Polda Jayapura (23 orang)[51].  

[30] Update Covid-19 pada tanggal 16 Agustus 2020: Kasus Positif: 3.321; sedang Dirawat 1.264; sudah Sembuh 2.021; yang Meninggal 36; ODP ; PDP; dan PCR+TCM tests 34.675.
COVID-19
1 Agustus 2020
JUMLAH POSITIF
JUMLAH DIRAWAT
JUMLAH SEMBUH
JUMLAH MENINGGAL
KONTAK ERAT
PDP
Kota Jayapura
1935
936
974
25


Kab Mimika
651
151
494
6


Kab Jayapura
285
49
232
4


Kab Biak Numfor
106
16
89
1


Kab Keerom
65
6
59
0


Kab Nabire
65
36
29
0


Kab Jayawijaya
60
8
52
0


Kab Merauke
46
25
21
0


Kab Lanny Jaya
27
20
7
0


Kep. Yapen
26
9
17
0


Kab Boven Digoel
17
0
17
0


Kab Peg Bintang
8
3
5
0


Kab Sarmi
7
0
7
0


Kab Superiori
7
0
7
0


Kab Tolikara
7
3
4
0


Kab Yalimo
4
1
3
0


Kab Mambera-
mo Tengah
3
1
2
0


Kab Puncak Jaya
1
0
1
0


Kab Waropen
1
0
1
0


Total 
3.321
1.264
2.021
36


Kontak erat (ODP)
Pasien dlm Pengawasan (PDP)
Tes PCR
34.675



Sejumlah catatan Covid-19
·       Perkembangan selama 17 hari terakhir: Kasus positif: 2.353 menjadi 3.321 =  naik 20 per hari; yang naik signifikan: Merauke 26 menjadi 46, Nabire 39 menjadi 65, Lanny Jaya 14 menjadi 27[52].
·       Empat anggota TNI, pasukan pergantian baru, dites positif Covid-19 di Kab Deiyai dan Paniai[53].
·       Penerbangan dari Nabire mulai dibuka lagi[54].
·       Pemerintah Provinsi meminta supaya tidak ada lagi penutupan Rumah Sakit; baru ini baik RS ProVita maupun RS Bayangkara, menutup pintunya karena kekurangan tenaga medis[55]. RS ProVita telah membuka pintu kembali tgl 15/8/2020 dan pelayanan berjalan seperti biasa.
·       Pemerintah provinsi memutuskan beralih ke “normal baru” dengan mengecualikan kota Jayapura[56]. berita ini sedikit bertentangan dengan pernyataan walikota Jayapura yang menyatakan bahwa jumlah pasien Covid-19 sudah mulai menurun, maka aktifitas masyarakat dapat diperluas dari batas waktu 18.00 menjadi jam 20.00[57].
·       Harga testing Covid-19 dinilai masyarakat masih terlalu tinggi biayanya[58].
·       Katanya PemKot Jayapura: hotel Sahid sebagai tempat pasien Covid-19 akan ditutup[59].


Jayapura, 17 Agustus 2020



[3] Jakarta Post, 3 Aug 2020
[9] CNN Indonesia - August 3, 2020 -  West Papua scores lowest democracy index, freedom of expression declines. 
[21] https://jubi.co.id Amnesty International considers military in Tambrauw had violated Convention Against Torture
[39] Pemerintah Daerah, Sekretariat, pengumuman no. 422.5/1307/Set, 10 Agusus 2020
[39] IPAC-Report_64_Papua-2.pdf 
[39] https://jubi.co.id Misgovernance could be a factor of the Special Autonomy inefficiency
[40] IPAC Report No. 64, 30 Juli 2020
[46] Papuan rights community launches fund raising campaign to help Veronica 
Koman
[52] Info Grafis, 16 Agustus 2020, 17.00 WIT, Provinsi Papua

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.