Wednesday, November 18, 2020

PAPUA 2020 1–15 NOVEMBER (In Bahasa)

 PAPUA  2020

1–15 NOVEMBER 

Oleh: Theo van den Broek

[1] Antara lain karena pembunuhan seorang katekis, Rufinus Tigau, oleh pihak keamanan di kampung Jalae, Intan Jaya (26/10), pihak Gereja Katolik bertemu dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhulam), Mahfud di Jakarta. Yang hadir Uskup Agats, Mgr Alo Murwito, Uskup Agung Merauke, Mgr Petrus Canisus Mandagi bersama Ketua Konferensi Uskup Wali Gereja Indonesia (KWI), Kardinal Ignatius Suharyi Hardjoatmodo. Pertemuan diadakan di kediaman Menkopolhukam (1/11)[1]. Mereka membahas berbagai permasalahan di Papua, secara khusus juga dampak kehadiran pasukan kemanan disitu. Fokus utama pada penderitaan yang ditimbulkan oleh kekerasan, baik warga sipil setempat maupun pasukan keamanan. Sekaligus ditekankan bahwa dialog – sebagai jalan menuju suatu solusi – perlu diutamakan dan ditingkatkan. Dari pihak Menkopolhukam dijanji untuk melanjutkan dialog dengan para uskup, tokoh agama di Papua[2]

 

[2] Sementara waktu mengenai pembunuhan terhadap tenaga pastoral katolik, Rufinus Tigau, diterbitkan beberapa laporan informatif tambahan. Suatu laporan kronologi kejadian oleh pihak Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika[3], dan satu laporan di tingkat internasional yang dikerjakan lima SKP di Papua bersama Franciscans International di Geneva[4]. Dalam laporan ini juga diberikan data tambahan mengenai suasana HAM di wilayah Papua. Walau laporan-laporan diatas sangat faktual sifatnya dan membenarkan bahwa Rufinus betul seorang tenaga pastoral dan bukan anggota TPNPB, ternyata pihak Polisi masih tetap menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah anggota TPNPB[5].

 

[3] Pembunuhan terhadap pastor Yeremia di Hitadipa, Intan Jaya (16/9) masih tetap menjadi berita penting juga. Suatu laporan tambahan diumumkan, yakni laporan investigasi dari pihak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)[6]. Laporan ini membenarkan lagi bahwa ada indikasi kuat pembunuhan ini diadakan oleh TNI, sampai malahan nama terduga pelaku dicantumkan. Yang juga menarik perhatian bahwa ternyata pembunuhan ini disertai penganiayaan untuk memaksa korban memberikan informasi[7]. Apalagi ada tanda bahwa terdapat usaha untuk mengaburkan pola kejadian sebenarnya ini dengan mengadakan tindakan yang dapat memberikan kesan bahwa penembakan diadakan dari luar[8]. Komnas HAM akan mengawal data-data investigasinya ini dalam proses hukum selanjutnya. Pihak TNI mengapresiasi laporan Komnas HAM dan menyatakan bahwa anggota TNI yang terlibat, jika dibuktikan salah, akan ditindak dengan tegas[9].

Sikap TNI boleh diapresiasi, namun jangan sampai kasus-kasus pembunuhan yang sudah terlalu banyak ini akan ‘di-cover-up’ (didiamkan/ditutup); hal ‘cover-up’ dikwatirkan banyak orang[10].

TNI juga memeriksa suatu kejadian lainnya di wilayah itu, yakni pembakaran rumah dinas kesehatan. Memang benar dibakar oleh anggota TNI dan akhirnya 8 prajurit dinyatakan tersangka dalam kasus ini[11].

 

Sementara waktu suasana kemasyarakatan di wilayahnya makin parah. Masyarakat mengungsi karena semuanya dikuasasi pihak keamanan dan mereka takut. “Setelah kejadian 19 Sept 2020, pembunuhan dan pemakamn Pdt Yeremia (kami) tetap tenang. Tetapi peristiwa taggal 2 dan 3 Oktober justru memberikan ketakutan yang luar biasa kepada kami, sehingga kami berpisah dari masing-masing keluarga. Anak, bapak, mama harus terpisah. Ada yang pindah ke Pugisiga, Mbalamai, Zanamba, Juambili, Sugapa, Beoga. Dari sejak itu sampai hari ini kondisinya tidak berubah, kami sedih”, ungkap seorang wraga Hitadipa saat ditemui JUBI, di Sugapa, Intan Jaya (6/11)[12].

 

 [4] Kelompok Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa Papua (SPMP) menyelenggarakan suatu diskusi terbuka di asrama mahasiswa Intan Jaya di Buper, Waena (31/10). Tema pokok: ‘dampak militerisme dan investasi terhadap lingkungan dan manusia di Tanah Papua’. “Kami datang di sini dengan latarbelakang masing-masing, namun memiliki masalah yang sama”. Mereka memutarkan film lantas membuat diskusi terbuka. Diharapkan bahwa dengan demikian “kita bersatu dan lawan pembunuhan, pembantaian, kekerasan militer, pengambilan lahan adat secara ilegal, dan perampasan harta kekayaaan alam Papua didukung kekuatan Negara”, ujar Namun Kogiya, koordinator diskusi[13].

Diskusi ini juga dapat dikaitkan dengan apa yang dilaporkan oleh Tim Independen Kemanusiaan Intan Jaya dimana ditekankan dampaknya operasi militer yang telah menciptakan suasana yang sangat sulit bagi masyarkat lokal sampai mereka mengungsi dan terpaksa tinggalkan rumah serta kebunnya. Masyarakat trauma berat[14] (lihat juga laporan kami 16-31 Okt).

 

[5] Sebagaimana diketahui bersama selama ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sangat berupaya untuk membantu mencari solusi permasalahannya di Papua. Mereka pernah menghasilkan “Road Map” yang membantu kita baik untuk memahami akar permasalahan di Papua maupun bagaimana ‘jalan keluarnya’. Dialog adalah kata kunci dalam pendekatan LIPI. Akhir ini (30/10) LIPI lagi menolong memperjelaskan kenapa dialog ini sampai saat ini tidak berjalan. Peneliti Aisah Putri menyebutkan tiga alasan: yakni: {a} kehadiran representasi terlegitimasi, {b} komitmen aktor politik, {c} pemahaman atas nilai sakral. Aisah menuturkan bahwa ada banyak aktor di Papua, sehingga sulit menemukan representasi untuk berdialog bersama pemerintah. “Kondisi ini juga disadari aktivis pro kemerdekaan dan pro referendum di Papua, bahwa mereka begitu terpecah dan ada upaya menyatukan dan mengkonsolidasikan gerakan dan kelompok”, katanya. Terkait komitmen aktor konflik, Aisah melihat belum ada komitmen kuat untuk berdialog baik dari pemerintah maupun individu pembuat kebijakan di dalamnya. Beda dengan kondisi waktu itu di Aceh, dimana bantuan tsunami internasional dikaitkan dengan kondisi bahwa pembangunan hanya dapat dijalankan dengan efektif jika tidak ada konflik. Maka, pemerintah ketika itu memiliki komitmen kuat untuk menjalankan dialog. Disamping dua faktor itu juga ‘nilai sakral’ dianggap sangat penting oleh Aisah.  Orang Papua sangat kecewa terhadap pemerintah, karena misalkan penundaan Majelis Rakyat Papua (MRP). Juga karena Peraturan Presiden No 77, th 2007 tentang simbol daerah dimana bendera Bintang Kejora ditolak sebagai simbol daerah. Kemudian pembangunan abai dengan kultur orang asli Papua serta investigasi pelanggaran HAM yang tidak tuntas. “Ini terakumulasi dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah”, ujar Aisah[15].

Seorang peneliti LIPI lain, Cahyo Pamungkuas, bertambah dengan mencatat bahwa Indonesia akan dihantui dua persoalan terbesar dalam 10 tahun ke depan, yaitu intoleransi keagamaan dan konflik separatism Papua. Cahyo mengatakan intoleransi, radikalisme, dan politik identitas yang semakin terbuka telah mengancam prinsip kebinekaan dan semangat kebangsaan. Dia sebutkan tindakan Indonesia terhadap kelompok minoritas seperti Syiah dan Almadiyah adalah ‘contoh kegagalan Negara melindungi minoritas’. Adapun konflik Papua merupakan yang paling lama di Indonesia. Persoalan ini merupakan salah satu krisis kemanusiaan yang jarang diperhatikan. Cahyo menuturkan siklus kekerasan politik di tanah Papua berlangsung sejak 1965 dan tidak berhenti saat memasuki pasca reformasi. “Kekerasan di Papua inilah yang menyebabkan mereka ingin berpisah dengan Indonesia”, katanya. Konflik-konflik ini turut memperkuat ingatan penderitaan (memoria passionis) yang tidak tertulis tentang sejarah penderitaan orang Papua di masa lalu. Memberikan Otsus dan mengirim pasukan TNI dan Polisi jelas gagal menciptakan perdamaian. Suatu perubahan pendekatan sangat dibutuhkan. Dia menyarankan supaya dikonsepkan suatu ‘pola negara’ (nation building) bersama, dimana misalnya ditekankan bahwa setiap etnis dibiarkan menjadi orang Indonesia dengan jalan yang berbeda dan sambil mengangkat ciri kasnya. Misalkan mengangkat ciri khas Papua dalam hidup kebersamaan tak terpisah dengan sesama maupun alam hingga jaminan kelestarian lingkungan, yang mereka tahu dan buktikan selama ribuan tahun, dengan cara mereka! Itulah demokrasi sejati, ucap Cahyo[16].

Juga dalam tajuk rencana The Jakarta Post (3/11) keadaan di Intan Jaya menjadi pusat perhatian. Setelah pelbagai laporan yang mendetil, bola ada lagi dalam ‘kubu’ Presiden. Diharapkan bahwa catatan Komnas HAM bahwa pendekatan keamanan gagal total, kali ini tidak jatuh pada telinga yang tuli. “Indonesia sampai saat ini dikritik oleh kalangan luas dan negara-negara tertentu berkampnye secara terbuka demi kemerdekaan Papua karena lingkaran setan kekerasan yang secara sederhana saja adalah akibat dari suatu lensa pengamanan yang sudah deluwarsa mengenai permasalahan di Papua. Selama 60 tahun pendekatan kekerasan ini yang ditandai penempatan pasukan tentara dan polisi secara masal, tidak memghasilkan situasi damai yang berkelanjutan di Papua. Walau pasukan-pasukan hadir masal, konflik berjalan terus sambil membunuh bukan saja prajurit muda, namun juga warga sipil yang tak bersenjata. Tidak dapat diragukan lagi: sudah waktu untuk mengubah cara penyelesaian isyu Papua!”[17].

Membaca masukan dari LIPI dan Tajuk Rencana JP, arahnya sama: menghentikan segala kekerasan dan ‘mencari dialog’, kami juga teringat pada tawaran Jusuf Kala untuk turut membantu[18]. Semoga suara-suara ini kali ini makin didengar para penguasa!

Hal yang sama juga terungkap dalam berita lainnya. Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menilai tawaran mantan wakil Presien RI, Jusuf Kalla, sebagai fasilitator dalam agenda diplomasi damai Papua-Jakarta sebagai hal positif yang patut diperhitungkan. Dan diharapkan Jusuf Kalla pun bisa memfasilitasi ada keterlibatan pihak ke-tiga atau negara lain dalam upaya menengahi konflik Papua-Jakarta[19]

Suatu titik terang awal dapat dilihat dalam kunjungan Jusuf Kalla ke Jayapura (14/11). Walau beliau datang berhubungan dengan sesuatu yang lain, beliau memanfaatkan kunjungannya untuk berdialog dengan sejumlah pribadi orang yang dapat memberikan saran sekitar proses pengadaan dialog itu. Beliau akan mengangkat bicara hasilnya dengan Presiden sepulang di Jakarta.

 

[6] Kewenangan serta peranan Komnas HAM Papua disoroti. Menurut Gustaf Kawar (direktur Perkumulan Advokat Pengacara Hak Asazi Manusia – PAHAM) perlu pembenahan institusi penegakan hukum ini. Lazimnya reaksi Komnas HAM Papua sangat lambat, maka tim-tim lain sudah menjadi aktif menginvestigasi. Secara organisatoris perlu dilengkapi komisionernya; sekarang ada satu orang saja yang sekaligus kepala sekretariat dan pegawai negera sipil (PNS); perlu tambah kapasitas profesionalnya dan diberikan wewenang untuk penyelidikan termasuk kewenangan penyidikan. Kalau tidak, Komnas HAM Papua tetap suatu sarana bantuan mediasi saja. “Kita perlu serius mendorong agar hasil investigasi yang berkualitas tidak sekedar menambah daftar jumlah pembunuhan, penyiksaan, pengungsian dan pelanggaran HAM lainnya tanpa arah penyelesaian yang pasti, namun benar-benar turut menghentikan siklus kejahatan negara ini”, sarannya[20].

 

[7] Pemerintah pusat ingin melanjutkan program “perhutanan sosial”. Melalui program ini 12,7 juta hektar didistribusikan kepada masyarakat untuk dikelola. Sampai saat ini 4,2 juta hektar sudah diberikan, maka sekitar 8 juta masih sisanya. Ini bukan saja untuk memudahkan mengatur sertifikasinya namun lebih lagi untuk memungkinkan masyarakat meningkatkan kesejahteraannya.  Maka, menurut Presiden, “paling penting adalah pendampingannya untuk program lanjutan sehingga masyarakat sekitar hutan itu memiliki kemampuan manajemen guna mengefektifkan hutan ini” (3/11)[21].  

Walaupun berbeda isinya dangen program diatas ini, juga menarik melihat kegiatan Bupati Kebupaten Jayapura yang membentuk tim khusus Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA), terkaitan dengan pemetaan pertahanan[22]. Pembentukan tim khusus tersebut dilakukan untuk pendaftaran tanah milik masyarakat adat. Tujuannya supaya sertifikat dapat dibuat dan masyarakat didorong untuk mengelolanya dengan efektif. Sejalan dengan catatan terakhir Presiden tadi, juga di Kabupaten Jayapura hal pendampingan diberikan perhatian dengan melibatkan Pegiat Pemberdayaan Masyarakat, Rika Fatimah (dari Yogya) untuk memperkenalkan konsep Global Gotong Royong Tetrapeneurship (G2RT). Konsep ini bertitiktolak dari gotong royong dan bertujuan menghasilkan empat pilar kewirausahaan yakni, rantai, pasar, merk dan kualitas wirausaha[23].

[8] Ternyata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sangat mengharapkan peranan aktif para tokoh agama. Beliau memberitahukan bahwa dia akan menokak suatu pengusulan anggaran Provinsi yang tidak menyediakan anggaran secukupnya bagi berjalannya kegiatan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Dalam berita itu dijelaskan bahwa ada provinsi dimana tidak ada dana yang disiapkan, atau terlalu sedikit, namun kurang dijelaskan kenapa justru FKUB dijadikan sasaran perhatiannya[24].

 

[9] Suatu berita lainnya dari pihak Mendagri adalah ketegasannya bahwa “demo tidak perlu izin; pokoknya tidak melanggar hukum”[25]. Tekanan pada nilai serta hak ‘kebebasan pengungkapan pendapat’ memang sangat penting hingga hak yang tercatat dalam UUD 45 terjamin pelaksanaannya. Catatan Mendagri ini muncul ditengah sejumlah berita yang sangat membingungkan. Contohnya: pembubaran paksa demo mahasiswa (lawan Otsus) oleh aparat pada tanggal 29 Oktober di Jayapura; satu orang luka tembakan dan 13 orang ditangkap! (lihat lap 16-31 Okt). Juga observasi Komnas HAM yang berkesimpulan bahwa ruang kebebasan berpendapat dan bereskpresi makin menyempit[26]. Lagi praktik yang makin ramai untuk melaporkan orang ‘yang salah bicara’ ke polisi dan memenjarakannya seperti di Bintuni[27] dan Jawa[28]. Apalagi yang lebih serius lagi, isinya ‘surat rahasia’ oleh Badan Intelejen Nasional (BIN) Papua yang ternyata dibocorkan dan sekarang beredar di media sosial. Disitu dijelaskan dan direkomendasikan oleh BIN kepada pelbagai pihak keamanan untuk justru menghindari bahwa ‘pendapat tertentu’ (dalam hal ini suara penolakan Otsus) dapat terungkap dalam Rakyat Dengar Pendapat (RDP) dan RDP Umum (RDPU) yang mau diselenggarakan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP dan MRPB)RDP di Prov Papua akan diselenggarakan dalam 5 wilayah adat tgl 17-18 Nov oleh MRP, sedangkan RDPU akan diselenggarakan oleh MRP dan MRPB di Jayapura 24-25 November. Bayangkan bahwa justru RDP dan RDPU ini diselenggarakan untuk mengetahui pendapat rakyat, sedangkan BIN akan berupaya kuat supaya memastikan bahwa RDP/RDPU akan didominasi partisipan pro-NKRI dan supaya ‘suara penolakan Otsus’ tidak akan terwakil dalam pertemuan itu[29].  

Membaca surat Kabinpda Papua ini, kami tidak luput dari pertanyaan: kenapa yang ditekankan Mendagri di Jakarta, yakni, jaminan kebebasan pendapat dan ekspresinya, tidak diberlakukan di Papua; malahan sebaliknya: diupayakan supaya suara yang kurang disukai lembaga Negara, BIN, tidak akan diberikan tempat? Sebaiknya Mendagri memperjelaskan perbedaan antara isi pernyataannya di Jakarta dan kenyataannya di lapangan di Papua. [Langkah-langkah BIN Papua serta rekomendasi-rekomendasinya kepada Polda Papua dan TNI berhubungan dengan RDP akan kami cantumkan secara lengkap dalam bagian ‘Bahan Refleksi’ dibawah.] 

 

[10] Kami pernah memberitahukan bahwa dalam rapat DPR di Provinsi Papua Barat diputuskan untuk menjalankan suatu program bersama Kodam XVIII/Kasuari yang dinamakan “1000 bintara jalur Otsus”. Artinya 1000 anak asli Papua akan diseleksi dan diberikan pendidikan/pelatihan lanjut sebagai Bintara, dan seluruh proses pendidikan ini akan dibiayai dari dana Otsus. Ternyata program ini mulai dijalankan karena baru ini (2/11) 960 anak Papua sudah dinyatakan lulus dan diterima sebagai Siswa Pendidikan Bintara. Para lulusan calon Prajurit TNI AD tingkat kepangkatan Bintara selanjutnya diberangkatkan ke berbagai satuan pendidikan TNI AD, yakni Resimen Induk Kodam (Rindam) yang ada di Jawa untuk mengikuti pendidikan pembentukan Siswa Dikmaba Otsus OAP Pria Kodam XVIII/Kasuari 2020[30].

 

[12] Muncul suatu masalah yang menarik di Keerom. Sejak 2018 sudah dibangun suatu gedung sebagai ‘pabrik petatas’. Namun terbukti dari peninjauan di tempat bahwa lokasi itu pada saat ini dipakai selaku lokasi peternakan sapi, sedangkan bangunan masih sia-sia saja. Sementara mungkin saja anggaran sudah dipakai habis. Maka, mantan anggota Komisi II DPR Papua, John Gobay, berpendapat bahwa sudah waktunya diperiksa betul mengapa fasilitas pabrik hingga kini tidak beroprasi. Sebaiknya pejabat yang bersangkutan diminta keterangan. Proyek ini sebenarnya dinilai cukup penting, bukan saja sebagai penyedia makanan, namun juga sebagai sarana peningkatan ekonomi lokal (a.l. dapat membeli ubi-ubi dsbg dari kebun-kebun ibu-ibu)[31].

 

[13] Memang tidak berlebihan kalau suatu tempat baru disiapkan bagi para pedagang Pasar Youtefa  karena pasar itu setiap tahun dibanjiri satu dua kali. Nah, tempat baru sudah disiapkan, namun ternyata para pedagang kurang bersedia untuk meningggalkan tempatnya yang lama. Kenapa? Menurut pedagang, a.l. ibu Selfiana, tempat baru jauh terlalu sempit; tidak ada ruang untuk menampung barang dan tidak ada air bersih. “Kami tidak dapat duduk pantat ketemu pantat, kami akan tetap bertahan disini”, kata ibu Selfiana[32].

 

[14] Sementara waktu di Timika beberapa kasus dugaan korupsi ditangani. Satu kasus menyangkut Puskesmas Wania; penyelewengan dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar 449 juta rupiah[33]Kasus lain meyangkut pembangunan suatu gedung Gereja Kingmi, yang ternyata ditenderkan berulang kali[34]. Sekarang ini sejumlah saksi dan terdakwa dipanggil polres dan Polres dan KPK. 

 

[15] Di provinsi Papua sudah beberapa bulan menunggu pengangkatan seorang Sekretaris Daerah (Sekda) yang baru. Ternyata sekarang sudah ada Surat Keputusan (SK) dari pigak Mendagri SK itu lagi menimbulkan protes dari Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah. Mereka mempersoalkan dua hal: {a} bahwa yang dipilih oleh Mendagri adalah calon no.3 yang diusulkan {urutan itu sesuai tingginya nilai pengujian – nilai kompetensinya), dan {b} bahwa yang bersangkutan sekarang berkarya di provinsi Papua Barat, dan bukan di provinsi Papua[35]. Ternyata belum diselesaikankan, dan beberapa pengacara akan menggugat hal ini di Jakarta[36].

 

[16] Ternyata persoalan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS 2018) di provinsi Papua Barat belum ditangani secara tuntas. Ternyata hanya 29% dari lulusan adalah Orang Asli Papua (OAP). Sedangkan menurut peraturan yang berlaku semestinya quota sebesar 80% diberikan kepada OAP. Awal Agustus sudah ada rapat dengan perwakilan Jakarta juga, dan tercapai suatu kesepakatan untuk ‘mengoptimalkan formasi CPNS’. Namun sampai saat ini tidak ada langkah nyata yang menuju penyelesaian demikian. Maka, protes terangkat lagi dan diberikan suatu ultimatum kepada Pemerintah Daerah untuk menangani hal ini. Waktunya sampai 10 November. Kalau belum selesai pada saat ini mereka mengancam untuk memalang fasilitas pemerintah di Manokwari[37].

 

[17] Tabloid JUBI mengangkat suatu hal yang jarang diberikan perhatian dalam media, yakni “perhatian khusus untuk “warga lanjut usia” (lansia). Sejumlah catatan dibuat berdasarkan kunjungan pada Panti Jompo Bina Lanjut Usia di kampong Sereh, Sentani. Panti ini dihuni 55 warga sekarang ini. Bangunannya kelihatan kurang layak huni. Sebenarnya pernah direnovasi, namun banyak bagian bangunan rusak akibat dimakan usia. Kepala bagian tata usaha, Thamrin Pance, menyatakan bahwa mereka juga sering kekurangan obat. Dia juga tidak mengerti kenapa penyediaan obat bagi warga lansia ini tersendat. Panti ini pernah menampung 100 warga lansia pada tahun 2002, kemudian menyusut menjadi 70 pada 2017, dan menjadi 55 pada saat ini. Sudah tentu perhatian yang lebih serius perlu diberikan kepada Panti sejenis ini, baik dari pihak provinsi maupun dari pihak kabupaten[38].

 

[18] Kebanjiran bukan sesuatu yang baru di beberapa kota di Papua. Sekarang giliran Nabire. Sekitar 25 rumah di dua kampong di Nabire dibanjiri sejak dua hari lalu (5/11). Banjur terbesar yang pernah melanda wilayah ini. rugi sangat besar, namun tidak ada korban. Memang diramalkan bahwa akan ada peningkatan dan ferkwensi hujan. Akibat yang tidak langsung dari Siklon Tropis Goni.  Diharapkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) akan belajar dari kejadian ini, dan akan lebih mengantisipasi intensitas hujan di masa mendatang[39].  

[19] Berawal suatu tabrakan dan perang mulut, akhirnya berujung pada tindakan perusakan fasilitas, penganiayaan dan kematian di kompleks asrama Soloitma (4/11). Setelah bertabrak dengan motor dan bertengkar mulut antara korban yang ditabraki motor dan seorang anggota TNI yang mengendarai motor lainnya, motor anggota TNI itu ditahan bersama sejumlah warga yang ada di tempat guna menjamin bahwa ruginya akan ditanggungnya dulu. Kemudian suatu kelompok anggota Yonif 751 di Sentani (menurut Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia (PAHAM) sekitar 20 orang) mendatangi asrama. Mereka membawa senjata tajam dan merusak fasilitas asrama, mengambil motor dari penghuni, dan menendang seorang penghuni, wanita yang sedang sakit. Korban ini kemudian meninggal di rumah sakit esok harinya (5/11). Sejumlah penghuni lain ditendang dan dipukul dan 6 orang dibawa ke markas militer untuk investigasi, dan sesudah beberapa jam diserahkan kepada polisi. Menurut Lembaga Bantuan Hukum Papua. Emanuel Gobay, tindakan prajurit ini melanggar artikel 170 KUHP dan Gustaf Kawer, direktur PAHAM Papua, bertambah para prajurit ini melanggar artikel 38 dari UU TNI no 34, 2004. Maka sangat dituntut bahwa hal ini ditindaklanjutkan secara hukum[40].

 

[20] Wilayah Asmat berduka cita: mantan bupati, Yuvensius Biakai sudah tidak ada lagi. Beliau adalah bupati pertama wilayah Asmat ini, dan mengantar wilayahnya kedalam proses pembukaan diri terhadap dunia di sekitarnya sambil menjaga identitas khasnya. Jasanya bukan saja dibidang pemerintahan namun dari 1980an Bapak Yuven menjadi promotor yang sangat diakui buat nilai-nilai yang terdapat dalam kebudayaan Asmat, secara khusus sebagaimana terungkap melalui karya seni masyarakat aslinya[41]Selamat jalan sahabat Yuven, dan semoga kehidupanmu ditengah masyarakat kecil tetap akan dikenangkan dengan rasa haru dan sebagai salah satu perintis yang mampu menunjuk jalan kearah masa depan yang lebih baik. Semoga damai abadi Tuhan yang Mahapengasih menjadi bagianmu!

 

[21] Sekali lagi ada korban di Intan Jaya (6/11) Dalam kontak senjata di kampung Munimai dan Lagoa di distrik Agisiga, Kab Intan Jaya, antara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan TNI, seorang prajurit tewas dan satu lagi terluka[42]. Asisten Operasional Komando Gabungan Wilayah Petahanan III, Brigjen TNI Suswatyo mengatakan akan terus melanjutkan operasi di Intan Jaya[43].

 

[22] Berita bahwa suatu wilayah pertambangan di Intan Jaya, lazimnya disebut ‘blok Wabu’ akan dikelola oleh suatu perusahaan Indonesia tetap disambut dengan kritik dan penolakan. Victor Yeimo, jurubicara Komisi Nasional Papua Barat (KNPB),menyatakan bahwa operasi militer di Intan Jaya ada kaitan dengan rebutan 44.000 ha luas cadangan emas, blok Wadu. Dia mengajak masyarkat untuk bersatu dalam penolakan rencana pengelolaan itu. Dia juga minta Gubernur untuk mengambil sikap berpihak pada masyarakat setempat dan tidak melayani ‘sikap kolonialis’ pemerintah pusat. Kaitan antara operasi militer dan ‘potensi ekonomisnya wilayah Intan Jaya’ sudah pernah diangkat juga oleh ketua Tim Kemanusiaan Untuk Intan Jaya, Haris Azhar, dimana beliau menyatakan bahwa ada konflik yang terjadi di Intan Jaya tidak terlepas dari adanya Potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di wilayah itu. Ia mengatakan, daerah Intan Jaya memiliki potensi SDA yang cukup melimpah yang diatasnya ditinggali oleh masyarkat pemilik hak ulayat yang saat ini terjadi konflik bersenjata. Dia tambah: ada sekitar 5 investor asing dari Negeri Jiran Cina yang ingin mengelola tambang tersebut[44].

 

[23] Kurang diketahui, namun ternyata disamping ‘Bintara TNI jalur Otsus’ juga pernah ada “Bintara Polisi jalur Otsus’. Wakil Kepala Polisi Daerah Papua (Wakapolda), Brigjen Pol Mathius Fakhiri mengatakan ‘Polda pernah memiliki 1500 Bintara Otsus. Dari mereka tinggal sedikit saja, karena tidak dipersiapkan dengan baik. Sekarang kami tidak akan membuat kesalahan yang sama seperti di tahun 2008, tegasnya, waktu berbincang dengan 274 peserta Bimlat Pra Bintara Noken Polri T.A. 2020 (6/11). Mereka akan dibekali selama 58 hari sebelum mengabdikan diri di setiap Kabupaten. Dikatakan, Polda Papua telah menyiapkan generasi-generasi pemimpin Papua. Lanjutnya: anak-anak Papua yang menjadi Bintara Polisi bisa merubah perilakunya, merubah kebiasaan buruknya di tanah Papua. Sehingga pada saat kembali ke Papua sudah ada transformasi percampuran dari budaya Sunda, Jawa Timur dan Bali[45].  

 

[24] Akhir ini soal penjualan senjata oleh pigak kemanaan kepada kelompok bersenjata di Papua diangkat. Dalam kerangka itu juga muncul pertanyaan: dari mana uang yang peniat pembeli itu? Bupati Intan Jaya pernah memberikan sugesti bahwa (sebagian) adalah hasil dari pencurian ‘dana desa’.  Sugesti itu juga diambil alih oleh Kapolda, dan menurutnya kenyataan itu perlu dijadikan ‘kerja rumah’ Polisi. Dia kurang menjelaskan apa artinya ‘kerja rumah’ itu[46]. Mungkin penelitian lanjutkah? Supaya jelas apakah sugesti Bupati itu benar atau tidak? Investigasi? Tidak jelas. 

 

[25] Akhir tahun 2019 menjadi jelas bahwa suatu kampnye penyebaran informasi yang menyesatkan mengenai keadaan di Papua dijalankan melalui media sosial[47]. Sangat banyak accounts dicabut oleh para penyedia jasa media sosial. Kampanye saat itu dibiayai pihak keamanan (TNI) di Indonesia. Ternyata sekali lagi suatu kampanye yang sama berjalan yang terutama diarahkan pada pembaca di Kawasan Eropa. Berita-berita dalam pelbagai bahasa, yakni Belanda, Jerman, Inggeris dan Indonesia. Menurut pemeriksaan lanjut 70% dari berita yang menyesatkan ini dikirim oleh orang/lembaga di Papua. Sekali lagi ratusan accounts palsu ditemukan dan sekarang sudah dicabut oleh para penyedia jasa (10/11)[48].  

 

[26] Setiap tahun Presiden dapat memberikan penghargaan kepada warga Indonesia yang berjasa besar. Termasuk mengangkat seorang sebagai’ pahwalan nasional’. Tahun ini, 10 November, Hari Pahlawan, Presiden Jokowi menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada seorang warga yang berasal dari Papua Barat, yakni Machmud Sinddirei Rumagesan. Inilah seorang pria yang berasal dari Fakfak yang dikenal sebagai tokoh yang menentang Pemerintah Kolonial Belanda dan sebagai pejuang integrasi di Papua. Singgirei Rumagesan memmipin Gerakan Tjendrawasih Revolusioner Irian Barat (GTRIB)pada 1953 silam dan Gerakan Organisasi Pemuda Cendrawasih Muda[49].

 

[27] Awal Desember 2020 pemilihan Kepala Daerah (Plkada) akan diselenggarakan. Menurut pihak Polisi Papua dari 11 Kabupaten yang akan mengadakan Pilkada ada 4 Kabupaten yang berpotensi konflik, alias gangguan keamanan: Kabupaten Waropen, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Boven Digoel. Polisi mengambil tindakan seperlunya (10/11)[50].

 

[28] Perlindungan lingkungan tetap perlu diberikan perhatian yang serius. Sekali lagi muncul berita ‘ancaman atas lingkungan’ sebagaimana dilaporankan oleh ‘penjaga lingkungan’ Mongabay[51]. Kali ini menyangkut dampak konstruksi jalan yang lewat suatu ‘suaka alam’ , yakni Mamberamo Foja. Dulu sudah pernah ada pelanggaran sejenis dimana Jalan Trans Papua dibiarkan melalui Taman Nasional Lorentz[52].

Berhubungan dengan lingkungan dan kelestarian hutan, berita yang minta perhatian juga adalah tuduhan pada Korindo, yang terduga sangat kuat memakai pembakaran dengan sengaja guna mengosongkan hutan demi lahan ‘kelapa sawit’ di Boven Digoel[53]. Tersedia rekaman video yang menjadi dasar kuat dugaan tadi dan ternyata berjalan selama beberapa tahun[54]. Bukan pertama kali Korindo dituduh melanggar hokum selama beroperasi di Papua. 

Tidak jauh beda kepentingannya dengan catatan-catatan diatas adalah berita yang sekali lagi menarik perhatian pada ‘perampasan tanah’ (land grabbing) di Papua. Manajer kajian kebijakan Wahan Lingkungan Hidup (Walhi), Boy Even Sembiring mempertanyakan perlindungan negara terhadap hutan-hutan adat di Indonesia. Hal ini ia utarakan untuk menanggapi persoalan di Papua mengenai perampasan hutan adat yang digunakan untuk memperluas lahan kelapa sawit (Korindo). “Siapa sebenarnya dilindungi negara?”, pertanyaannya. Menurutnya, apapun tindakan perampasan tanah adat yang dilakukan dengan beragam cara dan tipu daya atas dasar izin negara, merupakan bentuk tindakan ahistoris terhadap sejarah Indonesia (13/11)[55]Dalam konteks yang sama dia menjelaskan bahwa Korindo menganggap tanah di Papua adalah tanah negara; “itulah suatu kekeliruan besar”, katanya. Dalam konteks Otonomi Khusus (Otsus) seharusnya semua wilayah di Papua adalah wilayah adat. Karena itu dengan tegas dia menyatakan bahwa uang ganti rugi Rp. 100.000 per hektare yang dikeluarkan Korindo tidak masuk di akal[56].  

 

[29] Para Pengungsi dari kampung Banti dan sekitarnya belum boleh pulang kampung, karena menurut pihak yang berwajib ‘wilayah itu belum terjamin keamanannya’. “Cuma tinggal kita atur saja kira-kira bagaimana, tergantung situasi keamanan. Nanti, kita lihat perkembangannya, nanti kita rapatkan kembali”, kata wakil Bupati (12/11)[57]. Kampung-kampung itu lokasinya dekat pusat operasi perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI). Menanggapi pernyataan itu, kuasa hukum masyarakat adat tiga kampung (Aroanop, Waa Banti dan Tsinga), Kantor Hukum dan HAM Lokataru menuntut pemerintah dan aparat di Mimika bertanggungjawab penuh untuk memulangkan warga yang dievakuasi ke Timika. Mereka mencatat kewajiban itu dengan menuntut empat hal: (a) pemda dan apparat segera memastikan rencana pemulangan; (b) pemda dan apparat mengajak beberapa warga untuk mengecheck keadaan de facto di kampungnya; (c) pemda dan aparat memberikan info yang seluas-luasnya dan transparan; dan (d) pemda dan aparat memfasilitasi pemulangan warga sewaktu situasi sudah kondusif sesuai fakta sebenarnya[58].

Sementara waktu PT Freeport Indonesia memberitahukan bahwa sewaktu beroperasi penuh produksi tembaga/emas akan naik 4 kali lipat. Produksi bijih tembaga diperkirakan 2,09 juta ton tahun ini; diperkirakan meningkat menjadi 2,10 tahun 2021; lantas 5,01 juta ton tahun 2022. Lalu naik lagi menjadi 6,25 juta ton pada tahun 2023 dan pada tahun 2024 bahkan diperkirakan mencapai 9,81 juta ton[59]

 

[30] Ternyata keadaan kesehatan dipelbagai wilayah di Papua masih kurang bagus. Berita dari Merauke mengagetkan. Jumlah stunting atau anak yang pertumbuhannya terganggu akibat kekurangan gizi di Merauke hampir mendekati 1.000 kasus, tepatnya 994 dari total 23.026 balita. Ini berarti sebanyak 4,3% (12/11). Dari data yang diberikan jelas bahwa distrik Merauke paling banyak (432 kasus), disusul distrik Muting (127 kasus); kemudian distrik Kurik (82 kasus) dan distrik Elikobel (40). Satu-satunya distrik yang zero adalah distrik Ngguti[60]. [kalau data per distrik ini dijumlahi, sebenarnya hanya mencapai 681 kasus; tidak jelas dimana kekurangan pelaporan atau perhitungan; bagaimanapun, jumlah tetap tinggi. TvdB

 

[31] Sekali lagi masyarakat Papua berduka karena terpaksa harus pamit dengan Bupati Nduga, Bapak Yairus Gwijangge. Beliau sudah memimpin kabupaten Nduga selama dua periode, 2011-2020. Bapak Yairus mencapai usia 52 tahun saja dan meninggal di Runah Sakit Mayadapa di Jakata pada tanggal 15 Nov 2020. Masyarakat bersyukur atas kepemimpinannya selama ini dan mendoakan almarhum[61].

 

[32] Untuk mengendalikan gerakan apa saja di Papua, Kapolda sekali lagi mengeluarkan suatu Maklumat yang secara khusus bersasaran pada pengendalian penyelenggaraan RDP dan RDPU oleh MRP[62]. Ruang pengungkapan pendapat sekali lagi dipersempit berujung pembungkaman suara rakyat. Salah satu tindakan pertama berdasarkan maklumat ini adalah pembubaran paksa demo kelompok kecil mahasiswa di kompleks DPRP (16/11); mereka mendatangi wakilnya di DPRP guna memprotes rencana pemekaran[63]

 

[33] Perebutan Kekuatan Politik Nasional.

Selama memantau sepintas lalu perkembangan politik di Indonesia pada umumnya, kami sudah berulang kali mencatat gejala-gejala yang memprihatinkan[64]. Malahan tanda-tanda bahwa kita dapat menuju kehilangan stabilitas politik di Indonesia, termasuk kepemimpinannya[65]. Banyak polemik politik sedang berjalan, termasuk ramai-ramai mempromosikan calon presiden untuk pemilu 2024. Akhirnya suasana masih diperpanas lagi dengan pemulangan seorang tokoh Front Pembela Isalam (FPI), Habib Rizieg dari pengasingannya di Arab Saudi. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat vokal, lagi revolusioner, dan didukung banyak pengikutnya di Indonesia[66]. Kejadian ini masih bertambah pada masalah-masalah yang sudah cukup merumitkan keadaan. Hal-hal yang sudah menimbulkan ketegangan, a.l. soal penanganan pandemic Covid. Kesan kuat bahwa ‘kepentingan ekonomi’ diutamakan diatas ‘kesehatan para warga’. Tambah lagi soalnya bahwa banyak warga merasa bahwa pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat (DPR) dewasa ini kurang peka mendengar suara rakyat. Kenyataan demikian paling tajam kelihatan dalam soal membahas dan mensahkan UU Omnibus Law-Cipta Kerja yang sekali lagi mengutamakan kepentingan ekonomi; kepentingan investor dinilai lebih tinggi daripada hak-hak warga atas peningkatan kesejahteraannya dan perlindungan hak-haknya[67]. Juga ada kelompok yang sangat berkeberatan bahwa Pilkada tahun ini tidak ditunda walau diminta dengan sangat mengingat suasana Covid. Bahwa suasana tidak membaik, malahan sebaliknya, juga tercermin dalam penampilan seluruh kelompok pimpinan puncak pihak TNI. Mereka muncul secara khusus di TV Nasional dengan satu pesan saja: ‘jangan yang ada yang ingin mengganggu ketertiban atau kesatuan negara; siapa saja yang mengganggu kesatuan itu akan berhadapan dengan kami, TNI’[68]. Isi pesan jelas dan tidak mengherankan bahwa akhir ini “Istana dalam status ‘siaga 1’”[69]

 

[35] OTSUS.

Rencana selama bulan November: penyelenggaraan baik Rapat Dengar Pendapat (RDP MRP) maupun Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU MRP & MRPB) sebagai pembulatan ‘diskusi sekitar Otsus’. Namun dapat diragukan sejauh mana kedua pertemuan ini akan mencerminkan pendapat rakyat Papua sebenarnya. Sudah tentu bahwa BIN Papua bersama pihak keamanan bermaksud menghindari suatu suasana ‘mendengar aspirasi rakyat secara terbuka’ karena mereka berupaya supaya hanya suara dari wakil-wakil rakyat yang memenuhi persyaratannya didengar, yakni: pro NKRI saja (lihat item 9 dalam laporan ini). Kampanye BIN sudah tercermin dalam munculnya sejumlah tulisan/berita dari tokoh-tokoh masyarakat yang menyatakan bahwa Otsus perlu berjalan terus. Kebanyakan tulisan itu kurang memberikan suatu uraian substansi secara kritis, apalagi evaluasi kritis, namun lebih bersifat pernyataan saja dan dorongan demi pemberhentian diskusi sambil memberikan segala wewenang kepada pemerintah pusat. Maka, suasana sekitar Otsus sekarang ini terungkap jelas dalam salah satu berita Tabloid JUBI, yang berjudul “Orang Papua Dilarang Bicara Otsus”. Isinya kami kutip: 

“Orang Papua dilarang bicara Otsus”. Kalimat ini bisa menjadi pernyataan yang tepat atas suara-suara rakyat Papua tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang terus dibatasi oleh aparat keamanan di berbagai kota di Papua. Perbatasan ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah dan membubarkan paksa aksi demonstrasi rakyat di Papua dengan kekerasan yang dilakukan di Jayapura, Nabire, Timika, Yahukimo dan Manokwari. Namun saat bersamaan pada sisi lainnya pemerintah tetap ngotot melanjutkan kebijakan otsus tanpa mengakomodir aspirasi rakyat Papua. Kondisi ini secara terang-benderang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak mau mendengar aspirasi rakyat Papua dan memaksakan rakyat Papua mengikuti kebijakannya. Pemerintah pusat dengan pandangannya sendiri menentukan otsus tetap dilanjutkan. Pemerintah kemudian telah melakukan konsolidasi internal di tingkat pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjalankan agenda otsus dengan simulasi paket Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang diterbitkan pada 29 September 2020. Pemerintah Pusat berpandangan bahwa apa yang telah ditetapkan di Jakarta itulah yang terbaik bagi rakyat Papua, harus diterapkan di Papua dan orang Papua wajib mengikutinya” [70].

Tepatnya gambaran di atas ini masih dibenarkan oleh kejadian-kejadian akhir-akhir ini. Tiba-tiba sejumlah tokoh di segala tingkat mulai menyatakan bahwa penyelenggaraan RDP dan RDPU tidak perlu diadakan; malhan pemimpin-pemimpin setempat menolak kehadiran RDP dan RDPU: wali kota Jayapura menolaknya, Bupati Kab Jayapura menolaknya, sekelompok warga di Jayawijaya - terdiri dari Barisan Merah Putih dan LMA (plat merah) yang dikawal aparat dan pemerintah daerah – menolaknya; mereka menyambut rombongan MRP di bandara di Wamena dengan menolak kedatangannya dan menyuruh mereka pulang ke Jayapura lagi; hal yang sama terjadi di Merauke esok harinya[71]. Kelihatan semuanya terorganisir secara rapi dan kampanye ini masih dilengkapi dengan terbitan suatu Maklumat dari pihak Kapolda (15/11) yang menutup pintu untuk segala macam perkumpulan. Alasan yang ramai dipakai adalah ‘ancaman covid’, namun tidak perlu banyak refleksi untuk memahami bahwa secara khusus mau mencapai bahwa Otsus tidak dibicarakan lagi secara terbuka oleh rakyat Papua, maka RDP dan RDPUdihindari pelaksanaanya. Sudah tentu ada tanggapan. Dewan Adat Papua (DAP) menilai penolakan terhadap anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) di Bandara Wamena (15/11) secara sepihak mencederai wajah negara sendiri dan mempermalukan diri sendiri, “menampar wajah sendiri karena MRP dibentuk sesuai amanat undang-undang di republik ini”, kata Sorabut. Sorabut beranggapan sebaiknya disiapkan ruang dan panggungnya sendiri, dimana MRP sudah menyiapkan undangan bagi siapa pun, baik itu LMA, Barisan Merah Putih, dan kelompok lainnya juga pasti akan diundang. “Sampaikan materi di pertemuan itu secara baik, tenang, bermartabat, dan bertanggungjawab. Jangan gunakan gaya seperti mafia. Negara ini negara hukum, dimana martabat hukum itu harus dijaga”[72]

Pokoknya kenyataan yang sekarang diciptakan oleh pihak-pihak yang ingin mengendalikan ‘suara rakyat’ hanya akan memperparah masalahnya dan akhirnya berujung pada: (a) peningkatan ketegangan di tengah masyarakat; (b) penyuburan konflik horizontal maupun vertikal; (c) kehilangan kepercayaan pada pihak berkuasa manapun; dan (d) sekali lagi satu langkah munder dalam proses penyelesaian permasalahan di Papua. Dan sudah tentu, sampai saat ini tidak tersedia suatu laporan publik berisi hasil evaluasi substansi secara obyektif, sistematis dan berbobot sebagai landasan menetapkan kebijakan sekitar Otsus di masa mendatang. Sangat menyedihkan memang, lagi memalukan! TvdB.

 

[36] COVID. Update Covid-19 pada tanggal 14 November: Kasus Positif:10,863; sedang Dirawat 3,196; sudah Sembuh 7,495; yang Meninggal 172; dan PCR+TCM tests 84,412.

·       http://regional.kompas.com/read/2020/11/05/05580061/-sampai-saat-ini-masyarakat-asli-papua-tak-percaya-corona-mereka-anggap

·       https://www.ceposonline.com/2020/11/07/angka-kematian-perhari-terbanyak-sejauh-ini/

·       https://jubi.co.id/update-9-november-gubernur-papua-barat-tak-ingin-ekonomi-lesu-akibat-covid-19/amp/

·       https://dinkes.papuabaratprov.go.id/artikel/situasi-terkini-perkembangan-covid-19-di-papua-barat-tanggal-13-november-2020

 

 

COVID-19

14 November 2020

JUMLAH POSITIF

JUMLAH DIRAWAT

JUMLAH SEMBUH

JUMLAH MENINGGAL

PROBABLE

SUSPEK

Kota Jayapura

5301

1947

3270

84

8

 

Kab Mimika

2855

406

2421

28

27

 

Kab Biak Numfor

683

417

245

21

21

 

Kab Jayapura

669

153

496

20

7

 

Kab Nabire

367

78

280

9

 

 

Kab Jayawijaya

187

45

142

0

 

 

Kep. Yapen

180

48

127

5

 

 

Kab Merauke

168

33

135

0

 

 

Kab Keerom

127

22

103

2

 

 

Kab Asmat

79

8

70

0

 

 

Kab Superiori

59

25

34

0

 

 

Kab Boven Digoel

37

1

36

0

 

 

Kab Sarmi

31

8

23

0

 

 

Kab Tolikara

27

0

27

0

 

 

Kab Lanny Jaya

27

0

26

1

 

 

Kab Paniai

21

3

17

1

 

 

Kab Yalimo

15

0

15

0

 

 

Kab Mappi

14

1

13

0

 

 

Kab Peg Bintang

8

0

8

0

 

 

Kab Mambera-

mo Tengah

4

0

4

0

 

 

Kab Puncak Jaya

3

1

2

0

 

 

Kab Waropen

1

0

1

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

10,863

3,196 = 29%

7,495 = 69%

172 = 2%

64

1,760

 

 

 

 

Tes PCR

84,412

 

 

 

 

 

 


 

BAHAN REFLEKSI

 

‘langkah-langkah BIN Papua serta rekomendasinya kepada Polda Papua’

berkaitan dengan penyelenggaraan Rapat Dengar Pendapat (RDP)

 

kutipan dari

Surat no. R/052/X/2020, sifat Rahasia, perihal: Antisipasi Kerawanan RDP dan RDPU oleh MRP dan MRPBJayapura, 29 Oktober 2020. Ditandatangani oleh Kabinda Papua, Bridgen TNI I Gusti Putu Dannya Nugraha Karya S.E.

 

 

[…]

C. LANGKAH INTELIJEN

1.     Binda Papua, Satgas BIN dan Kominda Papua melaksanakan monitoring dan pendalaman terhadap perkembangan pelaksanaan RDP RDP MRP di 5 wilayah adat Prov. Papua dan dilanjutkan RDPU MRP dan MRPB di Kab. Biak Numfor.

2.     Binda Papua, Satgas BIN dan Kominda Papua mengintensifakan penggalangan terhadap tokoh-tokoh prominent Papua dan seluruh elemen masyarakat OAP, dalam rangka menguatkan penggalangan terhadap pihak KSP dan simpatisannya guna merubah opininya agar mendukung Pemerintah dalam melanjutkan Otsus di Papua.

3.     Binda Papua, Satgas BIN dan Kominda Papua memberdayakan dan memperkuat unsur-unsur perlawanan pro NKRI di wilayah Papua diantaranya Pemuda Mandala Trikora, GEMAPI Papua, GERCIN, Pemuda Adat Papua, PKPP, Presidium Pejuang Putra Putri Pepera (P5) dan Paguyuban Nusantara, dalam rangka memberikan perimbangan kekuatan terhadap kelompok–kelompok massa pro kemerdekaan Papua dan menekan manuver KSP dan simpatisannya yang berupaya melakukan aksi-aksi provokatif dan intimidasi untuk menolak Otsus Papua.

4.     Binda Papua, Satgas BIN dan Kominda Papua melakukan Cipkon bersama Bupati dan unsur Muspida serta tokoh-tokoh Papua pro NKRI yang memiliki pengaruh luas di masing-masing wilayah Kabupaten dan Kota, untuk dapat “mengkondisikan perwakilan masyarakat” yang akan dihadirkan dalam pelaksanaan RDP berasal dari pihak pro NKRI. 

 

D. SARAN/REKOMENDASI

1.     Polda Papua diback-up Kodam XVII/Cend menolak segala pertemuan AUR oleh KSP dan elemen afiliasinya terkait dengan akal penolakan Otsus Papua yang telah disusupi agenda dan kepentingan kelompok pro Papua Merdeka, untuk mengangkat isu referendum Papua.

2.     Polda Papua diback-up Kodam XVII/Cend mengantisipasi, mengembasi dan membubarkan adanya upaya mobilisasi massa oleh pihak KSP (KNPB dan ULMWP) saat pelaksanaan RDP di 5 wilayah adat serta RDPU MRP dan MRPB.

3.     Polda Papua diback-up Kodam XVII/Cend melakukan pengamanan secara ketat dan melakukan sterilisasi saat berlangsungnya RDP di 5 wilayah adat serta RDPU MRP dan MRPB guna mencegah adanya pihak KSP untuk menghadiri kegiatan RDP yang diindikasikan akan melakukan intimidasi dan ancaman kepada perwakilan tokoh masyarakat dan elemen pro NKRI yang ikut hadir dalam RDP.

[…]

 

 

Jayapura, 17 November 2020



[3] laporan kronologis SKP Keuskupan Timika, 2 Nov 2020

[4] extra-judicial killing report SKP Papua – Franciscans International Geneva, 3 Nov 2020

[5] https://nasional.tempo.co/read/1399787/polda-papua-tembak-mati-anggota-kkb-diduga-terlibat-penyerangan-tgpf-intan-jaya  dan https://nasional.tempo.co/read/1400679/rufinus-tigau-disebut-kkb-uskup-timika-itu-klaim-aparat-dia-petugas-gereja

[6] Press release Komnas HAM, 2 Nov 2020

[29] Surat no. R/052/X/2020, sifat Rahasia, perihal: Antisipasi Kerawanan RDP dan RDPU oleh MRP dan MRPBJayapura, 29 Oktober 2020. Ditandatangani oleh Kabinda Papua, Bridgen TNI I Gusti Putu Dannya Nugraha Karya S.E.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.