Friday, December 4, 2020

PAPUA 2020 16–30 NOVEMBER Oleh: Theo van den Broek

 PAPUA  2020

16–30 NOVEMBER 

 

Oleh: Theo van den Broek

 

[1] Asian Human Rights Commission (AHRC) membuat suatu pernyataan yang cukup menarik dengan mempertanyakan sejauh mana Indonesia serius dengan mewujudnyatakan program PBB yang ditetapkan dalam rapat umumnya tahun 2015, yakni “Transforming our World: the 2030 Agenda for Sustainable Development” (mengubah dunia kita: agenda 2030 demi pembangunan yang berkelanjutan), yang secara singkat diketahui sebagai Sustainable Development Goals – Sasaran-Sararan Pembangunan yang Berkelanjutan (SDG) [1][2]. [dibawa ini kami membeirkan perhatian luas kepada pernyataan ini karena sangat informatif dan penting sebagai bahan refleksi dan introspeksi].

“No one left behind” (tak ada yang tertinggal/ditinggalkan) adalah prinisip utama dibelakang pelaksanaan program ini. Menurut pernyataannya, prinsip utama ini memperkuat sikap non-diskriminasi. Tidak ada yang tertinggal. Berarti bahwa termasuk: kelompok-kelompok rentan, korban pelanggaran HAM, bangsa-bangsa pribumi dan minoritas religious, yang secara khusus diangkat dalam SDG no. 16 yang berjudul “Peace, Justice and Strong Institutions” (Damai, Keadilan dan Kelembagaan yang Kuat). Pertanyaannya: apakah prinsip ini diterapkan di Indonesia? Yang mendorong AHRC mempertanyakan itu adalah a.l. observasinya bahwa ‘warisan pelanggaran HAM’ dari zaman Presiden Suharto (1966-1998) masih tinggal pekerjaan rumah. Termasuk didalamnya: [1] 1965-1966 pembantaian, [2] 1981-1983 kasus penembakan misterius, [3] 1984 pembantaian di Tanjung Priok, [4] kasus Talangsari Lampung, [5] 1998-1999 penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi, [6] kehilangan paksa aktivis/mahasiswa 1997-1998. Disamping itu juga disebutkan: kasus-kasus pelanggaran HAM selama operasi militer di Aceh antara 1989 dan 1998. 

Sementara waktu, juga dipertanyakan oleh AHRC: bagaimana keadaan HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat setelah Suharto turun tahtanya tahun 1998? Pelbagai kasus pelanggaran HAM masih terjadi disitu. Bisa berupa intimidasi, diskriminasi rasis terhadap orang Papua pribumi, pembubaran paksa protes damai, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang disusuli pertahanan dan pembunuhan diluar hukum. Juga orang Papua pribumi yang tinggal diluar Papua ternyata menjadi sasaran seperti dalam kasus [1] serangan pada asrama Papua di Surabaya (Aug 2019), dan [2] penangkapan dan pembubaran paksa protes damai oleh mahasiwa Papua bersama aktivis HAM di Jakarta (Oct 2019). 

Menurut AHCR ruang kebebasan opini dan pengungkapan pendapat di Indonesia makin dipersempit. Hal ini AHRC menggambarkan dengan mengutip sejumlah kasus aktual (kasus I.Gede Ari Astina alias Jering dan kasus Jerink). Peningkatan kasus ‘blasphemy’ (penghinaan agama) disinggung juga. Disitu ada trend bahwa orang yang dilapor ke polisi kebanyakan tidak lebih tua daripada 18 tahun, malahan ada kasus-kasus yang melibat anak muda. Mereka memakai applikasi “Tik Tok” dan isinya dinilai ‘melawan Islam’. 

AHRC menekankan pentingnya Pemerintah Indonesia menjadi lebih serius dengan penerapan SDG no. 16 yang menyangkut damai, keadilan dan memperkuat kelembagaan. Penerapan berlandasan perlindungan hak setiap manusia. Oleh karena itu disarankan supaya Pemerintah mengutamakan reformasi mekanisme hukum dan memastikan akses pada keadilan. Korban pelanggaran HAM sudah terlalu lama dipaksa untuk melawan impunitas (kekebalan hukum). Disamping itu Pemerintah juga didesak untuk meningkatkan peranan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), peranan Ombudsman, beberapa komisi (seperti Kompolnas, Komisi Yudisial Mahkamah Konstitusi, Komisi Kejaksaan) dan peranan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memantau implementasi SDG no. 16.

 

[2] Personel Brimob Ambon tiba di Timika (15/11). Mereka akan melaksanakan tugas pengamanan di Kabupaten Nduga. Wakapolda Papua, Brigjen Mathius D. Fakiri mwngingatkan anngota untuk melaksanakan tugas dengan setulus hati dan penuh rasa tanggungjawab dalam melindungi masyarakat[3].

[3] Mahasiswa Papua mempertanyakan keadilan dalam tindakan polisi yang membubarkan paksa demo mereka di Jakarta sedangkan massa Front Pembela Islam (FPI) dapat berkumpul mendukung mereka punyai pimpinan?[4] Demo damai oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) didepan Istana Negara di Jakarta dibubar paksa (16/11), sedangkan massa sangat besar diizinkan berkumpul menyambut Habib Rizieg Shibab (10/11). Polisi tidak memberikan alasan yang jelas. 

[4]  Maklumat Kapolda (Mak/1/XI/2020) mengenai rencana Rapat Dengar Pendapat (RDP) dimana ditetapkan bahwa hanya 50 orang boleh berkumpul mengingat situasi Covid-19, ditanggapi oleh Wakil Ketua I DPRP, Yunus Wonda. Beliau merasa bahwa Maklumat itu tidak adil. Alasannya sederhana lagi jelas saja. “Jika bicara untuk menghindari penyebaran Covid maka coba Polisi lihat situasi di Pantai Hamadi pada akhir pekan. Dari Pantai Hamadi hingga Holtekamp ada ribuan orang berkumpul dan itu tanpa masker dan tanpa jarak. Kira-kira apakah ini juga diberikan maklumat atau hanya karena ini berbicara politik sehingga ada kekhawatiran hingga lahir maklumat”, beber Yunus (16/11)[5].

 

[5] Selama beberapa tahun terakhir ini kehadiran pihak keamanan pada kedudukan politik dan sipil bertambah secara signifikan. Maka sering muncul kesan bahwa ‘dwi fungsi’ zaman Suharto sudah diberikan angin kembali. Walau sering disoroti dengan kritis, trend ‘dwi fungsi’ makin nyata. Setelah menyaksikan peranan/pernyataan TNI akhir ini Fahri Hamzah, seorang politikus ternama yang menjabat sebagai Wakil Ketua DPR sejak tahun 2014-2019 mengangkat sekali lagi trend ini. “Sepengetahuan saya, TNI tidak boleh merespon konflik politik rutin kaum sipil…karena dalam demokrasi keributan sipil itu rutin…TNI jangan mau diajak dan jangan nampak diajak…garis lurus TNI adalah pertahanan negara…bukankah begitu pak menhan Prabowo?”, cuitnya di Twitter (15/11). Dilanjutkan dua hari kemudian dengan catatan “Waktu dwi fungsi ABRI menjadi masalah kamu belum lahir. Kamu gak paham bahaya jika senjata bicara kepada rakyatnya atas nama negara. Baca sejarah lagi ya nak…”, ujar Fahri (17/11)[6]. Menanggapi suasana di Jakarta – secara khusus dengan adanya gerakan oleh Front Pembela Islam (FPI) akhir ini – seorang politikus lainnya, Andi Arief (Partai Demokrat) menyatakan bahwa apabila TNI sudah mengambil peran maka itu menunjukkan negara telah kalah. “Kalau TNI turun tangan, berarti negara dan seluruh pendukungnya kalah. Sudah tak mampu. Propagandis sampai struktur lumpuh dan diambil alih TNI. Ini new normal. TNI masuk ke wilayah politik diundang Presiden dan mendukungnya” (Twitter 20/11)[7]. Juga dari pihak aktivis HAM, Haris Hazrah, tindakan TNI – misalkan menurunkan bilaho Rizieg yang dipasang oleh FPI – dinilai tindakan berlebihan; ini merupakan suatu keributan sipil yang perlu diatur polisi saja[8].

 

[6] Suatu ‘blok ekonomis’ yang baru dan sangat mengesankan dibentuk di Asia-Pasifik (15/11). Namanya: Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang beranggotakan 10 negara ASEAN ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia baru[9]. Kehadiran blok ini sangat dipantau karena berpotensi menjadi persaignan besar dengan ‘blok ekonomi’ lainnya, Amerika Utara (NAFTA) maupun ‘Uni Eropa’.

 

[7] Pengangkatan Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC sebagai Uskup Agung di Merauke, memberikan harapan bahwa pimpinan Gereja Katolik di Papua akan lebih aktif menanggapi keadaan pelanggaran HAM di Papua. Mgr Mandagi pernah berperan dalam penyelesaian konflik di Ambon, dan lazimnya mengumpulkan para wartawan sesaat beliau mau sampaikan pendapatnya[10]. Pasti pihak keamanan mengikuti perkembangan ini dan baru ini mengadakan kunjungan bersilahturahmi di kediaman Uskup Jayapura, Mgr Leo Lajar Laba OFM. Rombongan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (PangKogabwilhan) III yang ingin memperkenalkan diri sebelum bertugas di Papua ini[11].

Dalam kerangka ini juga dapat disebut tatap muka Pangdam TNI di Timika di mana sejumlah tokoh agama diundang (28/11). Pertemuan ini diselenggaraan pihak TNI/BIN untuk menyampaikan bahwa suatu Markas Besar Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Mabes Kogabwilhan) sedang dibangun di wilayah Timika; ada tiga Mabes sejenis, satu di Sumatra, satu di Kalimantan Timur dan yang ketiga ini di Timika – dulu direncanakan di Biak. Masyarakat Kamoro menyerahkan tanah (75 ha) untuk tujuan itu. Antar lain para uskup di Papua diundang; hanya uskup Agats hadir sedangkan yang lain diwakili. Juga ada sejumlah wakil-wakil suku (Mee, Moni, Nduga, Danal, Dani, Kamoro) dan beberapa tokoh masyarakat, a.l. Kepala Komnas HAM Papua dan beberapa pejabat pemerintah. Setelah menyampaikan rencana pembangunan Mabes itu ada kesempatan dialog. Sayangnya hanya tiga orang sudah ditunjuk untuk bicara dan ditanggapi secara singkat oleh Pangdam, lantas acara ditutup. Tidak mengherankan bahwa acara semacam ini sangat megecewakan dari segi ‘kesempatan bicara betul dan bebas’. Penilaian demikian memang sangat berkontras dengan isi pernyataan Pangdam bahwa memang “perlunya komunikasi”. Kepada TNI beliau minta ‘agar jangan segan-segan untuk membangun komunikasi. Tapi jika masyarakat melihat aparat keamanan, entah TNI atau Polri dan menjadi takut, maka ini ada sesuatu yang kurang beres. Ini perlu dievaluasi’[12]Memang evaluasi itu sangat diharapkan! (TvdB)

 

[8] OTSUS masih buat banyak orang pusing. Rencana MRP untuk akhirnya menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) ternyata ditandai segala macam kejutan. Dalam laporan yang lalu kami sudah menyebutkan penolakan kedatangan rombangan MRP sewaktu tiba di Wamena, dan disuruh pulang. Di Merauke ceritanya masih lebih jelek dan membingungkan. Disamping ada kelompok disediakan untuk menolak RDP ini, yang lebih menarik perhatian adalah tindakan polisi. Terdorong oleh ‘kecurigaan’ (akan ada ungkapan kemerdekaan dsbnya) mereka akhirnya menahan 54 orang di kompleks polisi untuk diinterogasi. Sejumlah dijemput di hotel dimana mereka menginap dan malahan diborgel. Alasannya tidak terlalu jelas, namun disebutkan bahwa terdeteksi suatu ‘buku kuning’ dimana negara Papua diterangkan dengan Presiden dan kabinet sendiri. Hal demikian membuat polisi begitu curiga dan bertindak berlebihan sampai mengancam semua anggota rombongan MRP maupun peserta RDP dengan tuduhan makar. Setelah dua hari di polisi mereka akhirnya boleh pulang, namun masih perlu menandatangani suatu surat pernyataan bahwa tidak akan melakukan kegiatan yang mencurigai mengganggu NKRI. Pokoknya, kisah yang cukup mengagetkan ini menunjukkan bahwa bobot demokrasi di Papua/Indonesia dewasa ini sangat tertekan[13].

Sebagai ekor kejadian ini, seorang ahli hukum ternama di Papua meminta Presiden mengganti Kapolda Papua maupun Kapolres di Merauke dan di Jayawijaya[14]Memang masyarakat Papua dan orang yang masih mencintai demokrasi menjadi agak bosan dengan tindakan-tindakan berlebihan dan upaya membungkamkan suara rakyat. Hingga juga berbunyi lucu, lagi naif membaca bahwa Menkopolhukam, Mahfud, dapat menyatakan bahwa permintaan pencopotan Kapolda dkk diminta oleh OPM dan bukan rakyat Papua. 

 

[9] Kampanye ‘informasi yang menyesatkan’ menjadi senjata yang tidak tahu ampun. Baru ini ditemukan suatu kampanye sistematis yang ditujukan kepada para pembaca di komunitas internasional (lihat laporan 1-15 Nov, item 25)[15]. Ternyata kampanye itu tidak terbatas pada ‘informasi yang menyesatkan’ atas keadaan di Papua namun juga bersasaran membunuh karakter orang, secara khusus orang yang membela HAM di Papua. Contohnya gambar-gambar buatan yang diedarkan menyangkut pembela HAM Theo Hesegem. Lihat saja dibawa ini:





 

[10] Tuduhan – membakar lahan dengan sengaja – yang ditujukan kepada Korindo, perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Papua, ternyata mendorong Korindo untuk meluncurkan suatu kampanye klarifikasi. Mereka merasa bahwa perusahaan sangat dirugikan olek kritik itu, bukan saja di sektor kelapa sawit namun juga dalam penghasilan di sektor dagangan lainnya[16]. Berhubungan dengan produksi kelapa sawit muncul juga suatu laporan yang menuding Indonesia memperlakukan tenaga kerja, secara khusus perempuan, dengan ‘brutal’[17]. Seperti diketahui, kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar buat Indonesia. Bahkan, pada tahun 2017, komoditas ini memberi devisa sebesar US$ 23 miliar (setara Rp. 300 triliun). Indonesia menilai bahwa produknya didiskriminasi dan berupaya kuat untuk melawan dan menyangkal tuduhan yang ditujukan kepadanya oleh dunia internasional. Dalam Jakarta Food Security Summit 2020 (19/11) Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, menyatakan: “Diskriminasi beberapa negara terhadap sawit Indonesia. Indonesia selalu mengedepankan kerja sama dan kolaborasi dengan mitra-mitra kita, tapi terkait kepentingan nasional, kita harus tegas apalagi sudah masalah prinsip”. “Kita tentunya ngga berhenti di kelapa sawit saja, tapi kita sepenuhnya mendukung dan terus mengawal berbagai komoditi unggulan lain Indonesia, seperti teh kopi dan lain-lain karena diplomasi Indonesia tidak ingin tinggal diam”, lanjutnya[18]Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengatakan bahwa potensi energi baru terbarukan di Indonesia sangat banyak, salah satunya melalui sawit untuk menggantikan kebutuhan minyak di dalam negeri. Dalam kerangka itu, menurut Arifin, diperlukan lahan seluas 15 juta ha bila ingin menggantikan kebutuhan minyak sebesar 1 juta barel per hari. Perkiraan ini berdasarkan hasil kajian yang dikalukan pihaknya. Maka, ‘ekspansi lahan sebesar itu perlu direncanakan’, ujarnya kepada Komisi VII DPR RI (23/11)[19]. Dapat dinantikan bahwa rencana ekspansi areal kelapa sawit akan berhadapan dengan protes masyarakat[20].

 

[11] Warga menyegel lokasi pemukiman transmigrasi kampung Karya Bumi di Distrik Namblong, Kabupaten Jayapura. Mereka menuntut pembayaran ganti rugi lahan kepada Pemerintah Provinsi Papua. Kampung Karya Bumi menempati areal seluas kurang lebih 500 hektare dan dihuni para transmigran sejak 50 tahun lalu. Penyegelan berupa pemalangan terhadap lokasi permukiman tersebut dilakukan masyarakat adat setempat sejak Senin (16/11). Pemalangan akhirnya dibuka setelah para pemilik hak ulayat bertemu Tim Kerja Masyarakat Adat dan Warga Transmigrasi serta Bupati Mathius Awoitauw (18/11). Bupati akan mendesak pihak Provinsi untuk menyelesaikan penggantian rugi yang dituntut[21]. Setelah pertemuan di kantor Gubernur (20/11) diputuskan bahwa Propinsi bersama Kabupaten Jayapura akan menfasilitasi suatu pertemuan masyarakat adat dengan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, untuk menyelesaikan soal ini[22]

 

[12] Komite Nasional Papau Barat (KNPB) wilayah Manokwari merayakan hari jadi KNPB ke-12 selama ibadah syukuran (19/11). Sekaligus keadaan perjuangan direfleksi dan dibenahi kekurangannya. Salah satu unsur kegiatan di masa depan adalah memobilisasi masyarakat luas a.l. dengan menyelenggarakan suatu Pemogokan Sipil Nasional (MSN). Disadari bahwa perjuangannya ini dapat membawa serta bukan risiko akan dipenjarakan saja, namun malahan nyawa pun jadi taruhan[23]. Acara HUT ke-12 juga dijalankan di Okeitadi (Paniai). Sejumah hadirin, perwakilan agama, perempuan, adat yang tergabung dalam Parlemen Rakyat Daerah (PRD) menyatakan dukungannya pada rencana MSN tahun 2021[24].

 

[13] Sekali lagi ada korban, orang muda/pelajar yang ditembak mati di regio Ilaga/Gome (Kabupaten Puncak) sewaktu mereka menuju kampungnya (16/11). Diduga kuat bahwa ditembak oleh TNI. Namun seperti biasa Polisi menuding OPM. Komnas Ham Papua minta penjelasan pemda dan ingin membentuk tim investogasi. Keluarga korban minta dilindungi, jaminan keamanan. Ternyata bukan satu saja yang ditembak mati. Sudah terlapor bahwa ada empat yang ditembak mati dan satu terlaku (dirawat di rumah sakit); diantara anak sekolah[25]. Dalam insiden lainnya (26/11), kontak senjata di Kampung Kendibam, Kabupaten Nduga ternyata tiga prajurit dikena tembakan hingga terluka dan sedang dirawat di Timika[26].


Kisah pembunuhan ini di wilayah Ilaga/Gome kedengaran sangat brutal dan memberikan kesan bahwa siapa saja yang bergerak ditempat yang sepi dijadikan sasaran penembakan, karena entah diduga anggota TPNPB, entah apa? Harga hidup seorang manusia Papua sebenarnya berapa? Kejadian-kejadian di Papua sekarang ini juga mengingat kami atas laporan yang baru diterbitkan di Australia dimana digambarkan bahwa ‘pasukan komando Australia’ dalam menjalankan tugasnya di Afganistan kehilangan segala pegangan moral serta nilai manusiawi dan mulai mengadakan pelanggaran HAM secara sewenang-wenang saja termasuk membunuhan tanpa perlu pusing mengenai pertangungjawabannya, alias dalam impunitas total[27]; lihat item 17 dibawah. Situasi penembakan 4 anak sekolah di wilayah Ilaga/Gome ini menggambarkan betapa parah sudah konflik di Papua serta ganasnya gaya penangannya. Kapan pemakaian kekerasan akan dihentikan dan suatu solusi yang bermartabat dicari secara serius oleh segala pihak yang terlibat? Pertanyaan ini makin wajar dan mendesak, kalau kita masih mau dinilai sebagai MANUSIA YANG BERMARTABAT. Secara international perkembangan ini juga makin mendapat perhatian besar, dan memang alasannya kuat. Di Inggeris dan negara lainnya kunjungan Komisaris Tinggi HAM dari PBB sudah mendapat dukungan luas dan resmi[28]. Dalam suatu laporan- asiapacificreport.nz – masalah di Papua juga diangkat secara eksplisit dan salah satu saran yang didesak dalam diskusi adalah supaya segala bantuan keuangan pelatihan aparat keamanan di Indonesia dihentikan secara internasional [29]. Dan akhirnya ada seruan dari Komisaris Tinggi Komisi HAM PBB yang mengungkapkan keprihatinannya berkaitan dengan perkembangan akhir-akhir ini dan medesak supaya suatu dialog yang terbuka dimuLai dengan segera.[30] KNPB juga meminta Kapolda untuk menghentikan kejahatan kemanusiaan[31]. Semua seruan ini sangat beralasan dan sebaiknya juga dilengkapi dengan seruan yang tidak kalah penting kepada ULMWP/KNPB/TPNPB untuk turut menghentikan segala bentuk strategi kekerasan sebagai jalan menuju penyelesaian masalah di Papua! (TvdB)  

 

[14] Pangdam Kodam Cendrawasih, Mayjen Herman Asaribab, diganti. Beliau ditugaskan di Mabes Jakarta dan tugasnya di Papua diserahkan kepada Mayjen Ignatius Yogo Triono[32].  Menarik juga suatu catatan oleh Kepala Komnas HAM Papua, dalam acara tatap muka dengan Pangdam TNI di Timika (28/11) bahwa peranan Pangdam Kodam Cenderawasih cenderung berkurang karena pimpinan di Mabes Kogabwilhan (Timika) ternyata pangkatnya lebih tinggi. Keadaan demikian dapat membingungkan Pangdam Kodam Cenderawasih

 

[15] Di wilayah Paniai masih terdapat suatu komunitas orang Mee, Komunitas Bunaani, yang dengan sangat ketat dan terorganisir menjaga kebudayaan aslinya. Mereka mengembangkan suatu gaya hidup tersendiri di tengah-tengah komunitas sesukunya yang lebih berupaya mengadaptasi diri dengan ‘dunia modern’. Komunitas Bunaani lazimnya juga kurang diberikan perhatian langsung oleh pemerintah daerah. Ternyata Bupati sekarang ini cukup tertarik dengan gaya tradisional Komunitas Bunaani dan mulai membantu mereka untuk mengembangkan pola hidup mereka sambil meningkatkan hasil usaha ekonominya[33].

 

[16] Berkaitan dengan berlakunya Omnibus Law sekali lagi ditarik perhatian pada beberapa ancaman buat para aktivis lingkungan dan HAM. Tiga aspek diangkat. [1] Mengingat bahwa UU Omnibus Law/Cipta Kerja bertujuan melancarkan ekonomi, banyak peraturan dilonggarkan, termasuk berhubungan dengan perlindungan lingkungan. Maka, melemahkan posisi aktivis lingkungan. Posisi lemah itu masih diperkuat oleh [2] impunitas yang relatif besar bagi perusahaan dalam hal merusak lingkungan; malahan pengandalan preman, atau membakar lingkungan sulit akan bisa dibawa ke meja hijau (ranah hukum); pembuatan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) menjadi dokumen administratif saja. Ditambah lagi bahwa [3] dua Lembaga yang dapat membantu/melindungi aktivis lingkungan, yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komnas HAM keduanya tidak leluasa menggunakan hukum dan pendanaan sangat terbatas. Maka, dapat dinantikan bahwa bagi para aktivis menjadi lebih uslit dan makin terancam dalam kegiatan melindungi lingkungan. 

Selama ini sudah ada banyak kasus, apalagi dengan berlakunya UU Omnibus Law sekarang. Selama 2019 Elsam (Jakarta) sudah mencatat 27 kasus ‘pembelaan lingkungan’, menyangkut 27 Kabupaten; ada kaitan dengan 128 korban, sebagian besar petani (32) dan masyarakat adat (12). Juga diingatkan akan tewasnya aktivis dan pengacara Walhi, Godfrid Siregar, di Medan, th 2019, dan pembakaran rumah Murdani, direktur Walhi, Nusa Tenggara Barat, di tahun yang sama. Khusus untuk Papua diingatkan akan kematian Ardiansyah Matra’is, wartawan Tabloid JUBI, tahun 2010. Berlakunya UU Omnibus Law/Cipta Kerja ini akan meningkatkan risiko serta rentannya para aktivis lingkungan ini, itulah kesimpulannya yang memprihatinkan[34]. Boleh jadi bahwa kesadaran akan besarnya pelemahan posisi aktivis lingkungan karena UU Omnibus Law mendorong sejumlah aktivis lingkungan dan masyarakat adat menolak undangan untuk bertemu dengan Presiden Jokowi di istananya[35].

 

[17] Terbitnya suatu laporan yang menarik, lagi memalukan pihak tertentu di Australia. Laporan ini menyangkut kelakuan para kommando militer Australia sewaktu mereka berdinas di Afghanistan. Berdasarkan suatu penelitian yang mendalam mereka sekarang dituduh karena kelakuan yang sangat melanggar prinsip-prinsip HAM sewaktu berurusan dengan tahanan dan ‘musuh’ lainnya. Yang mengagetkan bahwa suasana sangat ditandai ‘semacam pendewaan terhadap beberapa pemimpin pasukan, sambil mulai melihat semua musuh dan masyarakat lokal sebagai ‘bukan manusia’, hingga dapat diperlakuan sampai dibunuh seenak-enaknya. Tindakan-tindakan sangat brutal dan tidak manusiawi dijalankan tanpa merasa salah, malahan merasa terlindung suatu impunitas total. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pasukan-pasukan di tempat lain untuk mengintrospeksi dan melihat sejauh kelakuan mereka juga didorong mentalitas sejenis itu[36].

 

[18] Seperti setiap tahun tanggal 1 Desember diberikan perhatian khusus. Pada hari ini bangsa Papua merayakan suatu kejadian dalam sejarahnya yang sangat berarti, yakni pada hari itu tahun 1961, di masa penjajahan Belanda, untuk pertama kalinya bendera Kejora dikibarkan berdampingan dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dikumandangkan. Maka, kejadian itu teringat sebagai hari dimana untuk pertama kali dalam sejarahnya Bangsa Papua diakui sebagai bangsa dan diberikan perspektif menuju kedaulatannya dalam sejumlah tahun mendatang. Arti besar kejadian ini bagi bangsa Papua tidak dapat disangkal. Namun selama beberapa tahun terakhir ini perayaan 1 December justru menjadi hari ‘kedukaan’ karena peringatan akan hari sejarah ini dinilai sebagai suatu ‘kegiatan separatis melulu’. Maka, menjelang hari besar itu patroli oleh aparat keamanan bertambah intensitasnya. Tahun ini tidak terkecuali[37]. Menjelang 1 Desember 2020 sudah sejumlah orang (34) ditangkap di Sorong dan Manokwari karena terlibat dalam aksi peringatan, termasuk memamerkan bendera Kejora[38]. Sementara sudah ada 6 orang dari Sorong yang dijadikan tersangka ‘makar’[39] dan terdapat persiapan aparat[40]untuk menghindari bahwa ada kegiatan khusus, termasuk pengadaan ibadah syukur yang disarankan oleh ULMWP[41].

Menjelang 1 December Kantor Komisi HAM PBB menyoroti secara khusus peningkatan kekerasan di Papua. Mereka meminta Indonesia untuk mencegah kekerasan lebih lanjut di Papua dan Papua Barat. Juga ditekan supaya segala bentuk kekerasan selama ini yang menuntut sekian banyak korban, termasuk warga sipil di Papua selama dua/tiga bulan terakhir ini diselidiki dengan saksama dan tuntas. Terutama penembakan pada anak (Ilaga 16 Nov) sangat memprihatinkan karena menunjukkan bahwa situasi makin parah[42].  

Pada 1 Desember sendiri, kesannya, di Papua semuanya agak tenang dan kurang ditandai insiden-insiden. Ada demo di pelbagai kota, a.l. di Jakarta, dimana suatu gabungan organsisasi pendukung referendum memperingatkan hari historis ini dengan meminta hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan untuk menolak Otsus Jilid II. Demo sejenis diadakan di 8 kota besar di Indonesia[43]. Sementara waktu di bukit Tungkuwiri dekat Kampung Doyo Baru (distrik Sentani) sekelompok yang memperkenalkan diri sebagai ‘tokoh adat’ mengibarkan bendera Merah-Putih – berukuran 5 x 10 meter - untuk menyatakan bahwa mereka tetap akan berkembang dalam kesatuan Republik Indonesia[44]. ULMWP memakai hari historis ini untuk menyatakan kemerdekaannya secara simbolis dengan mengangkat suatu ‘pemerintah sementara’ yang dipimpin oleh Ketua Umum ULMWP, Benny Wenda. Langkah ini diambil untuk menandai bahwa mereka sudah merasa siap untuk mengatur negaranya sendiri[45].

 

Lain daripada tahun-tahun lalu kali ini menjelang 1 Desember juga terdengar/terbaca anjuran sejumlah tokoh/Lembaga yang mendorong aparat untuk lebih tegas di Papua demi penyelematan “NKRI Harga Mati”[46]. Ternyata banyak tokoh/Lembaga/publik Indonesia hanya melihat Papua dengan ‘kacamata separatis’ melulu. Kampanye menstigmatisasi Papua ternyata mulai sangat berhasil. Perkembangan ini menambah lagi halangan untuk mencari secara serius suatu penyelesaian konflik di Papua yang jauh lebih mendalam dan bersifat kemanusiaan daripada tercermin dalam stigma ‘separatisme’. Kapan, kapan, kapan akhirnya suara Bangsa Papua akan didengar para penentu kebijakan politik dengan lebih terbuka dan dicari suatu solusi yang bermartabat bagi kita semua? (TvdB)  

 

[19] The Jakarta Post turut memperhatikan perkembangan di Papua. Dicatat bahwa 4 akar pokok permasalahan di Papua yang dirumuskan oleh LIPI – sejarah pengintegrasian, pelanggaran HAM, pola pembangunan dan diskriminasi/marginalisasi – tetap berlaku. Apalagi Papua tetap wilayah yang paling miskin di Indonesia, wilayah dengan tingginya jumlah drop outs dari sekolah, dan sangat terbatas aksesnya pada pelayanan publik seperti kesehatan. Dengan demikian keadaan sudah sulit. Namun akhir ini ditambah menjadi lebih rumit lagi karena polarisasi yang kuat. Akibat polarisasi adalah terbentuk kubu-kubu yang saling berhadapan dan mempersulit komuninkasi yang terbuka dan konstruktif. Perkembangan demikian memang dapat dilihat dalam hal hubungan antar etnis, dengan memunculkan Paguyuban Etnis yang bertindak tersendiri, dalam pembahasan Otsus dimana pro dan kontra makin terungkap dalam pengelompokan hingga ruang untuk dikusi sangat sulit diciptakan. Disamping itu sudah lama terdapat suatu pengelompokan para pejuang kemerdekaan/referendum yang makin ditanding dengan penguatan kelompok-kelompok yang menyatakan diri ‘merah-putih’ dan pembela ‘NKRI harga mati’.  Apalagi perkembangan demikian masih diperkuat dengan adanya ‘intervensi politik’ melalui a.l. maklumat Kapolda dan surat instruksi rahasia dari BIN Papua. Suara rakyat dibungkamkan. Yang membela HAM juga dikotakkan, dicap separatis atau menrongrong NKRI; diskusi yang kritis di media diganggu, dan peningkatan kasus pelaporan ke polisi karena ada yang rasa terganggu oleh ungkapan seorang. Ruang tengah untuk suara yang wajar dan terbuka makin dipersempit sampai hilang. Pembiaran perkembangan ini akan membuat lebih rumit lagi pencarian suatu solusi yang tepat. Kesimpulan dalam Jakarta Post: “it is time for a new approach”![47]

 

[20] Menarik lagi mengagatkan. Ada berita bahwa Menteri Agama (Menag) berniat untuk menyiapkan naskah kotbah untuk hari Jumaat. Berita demikian ditanggapi dengan cukup kritis, karena dibaca sebagai sarana untuk menguasai isi kotbah dan menghindari bahwa ada kritik terhadap pemerintah atau pihak yang berkuasa. Dewan Masjid Indonesia (DMI) menilai tidak perlu menyiapkan naskah kotbah Jumaat untuk penceramah, “apalagi di dalam demokrasi sekarang”. Menurut DMI naskah kotbah yang disiapkan biasanya dilakukan oleh negara-negara kerajaan seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, untuk menghindari kritik kepada raja. Pokoknya persiapan naskah kotbah oleh Menag akan menimbulkan segala macam penafsiran negatif saja[48].

 

[21] OTSUS --  Perkembangan sekitar OTSUS selama ini digambarkan dengan paling jelas melalui kejadian di Merauke sewaktu MRP berupaya menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat. Lihat item 9 diatas. Sudah jelas seluruh suasana sekitar pembahasan Otsus sudah rusak total. Intervensi politik dari pelbagai pihak sudah tidak memungkinkan untuk secara terbuka mendengar pendapat orang biasa oleh Lembaga yang secara resmi berkedudukan untuk menjalankan program demokrasi itu. Dengan adanya suasana yang ‘serba melanggar semangat demokrasi’ itu sudah tentu bahwa apa saja yang masih dikemukakan sebagai pendapat, entah dari pihak mana pun, tidak dipercaya lagi. Semua ‘hasil pendapat rakyat’ yang ramai diumumkan selama hari-hari terakhir ini dicurigai ‘direkayasa’ saja. Pembahasan Otsus betul mengalami jalan buntu dan ‘full stop’. Maka, kesimpulan akhir: [1] Otsus akan berkelanjutan; [2] Pemerintah Pusat tidak pusing dengan masukan rakyat Papua karena sudah bertindak sebelum mengetahui hasil diskusi dengan menetapkan bentuk dan gaya Otsus berkelanjutan melalui Keppres d.d. 29 September; [3] masyarakat di Papua makin dipolarisasi dan diradikalisasi; [4] evaluasi Otsus secara berbobot tetap belum diadakan walaupun pengalaman selama 20 tahun memberikan dasar kuat dan konkrit buat suatu evaluasi yang teliti dan berkwalitas; dan akhirnya [5] mengingat bahwa pelaksanaan Otsus Jilid II pada dasarnya dipercayakan kepada para pejabat Pemerintah Pusat sekali lagi Pemerintah Daerah dipinggirkan dan isi kata ‘otonomi daerah’ dikosongkan. Sekali lagi suatu kesempatan emas untuk lebih memahami permasalahan di Papua secara bersama dan sebagai sarana untuk menuju suatu penyelesaian yang bermutu dihilangkan. Patut sangat disesali![49]

 

[22] SUASANA POLITIK NASIONAL  --  Memang Papua jauh dari pusat pemerintahan di Jakarta, namun sudah tentu perkembangan disana akan mempunyai dampak pada kebijakan yang terasa di Papua. Maka, kami masih menyinggung sedikit juga perkembangan di Jakarta. Kesannya, Jakarta makin menjadi pusat perebutan kekuasaan. Kritik betubi-tubi atas pemerintah dan ramainya polling elektibilitas calon-calon Presiden Pemilu 2024 sudah cukup menarik perhatian selama ini. Sekarang situasi diperrumit karena seorang pimpinan vokal, Habib Rizieg Shibab, pemimpin Front Pembela Islam sudah pulang kampung[50]. Penyambutannya oleh massa pendukung mengakibatkan bahwa segala protokol kesehatan (Covid) diabaikan dan menjadi alasan pencopotan sejumlah pejabat, termasuk dua Kapolda. Dibelakang alasan ‘kode kesehatan’ sebenarnya terbaca banyak pertimbangan politik[51]. Pokoknya kedatangan serta kegiatan Rizieg dkk bikin banyak orang pusing. Dalam kerangka itu juga TNI cenderung mengambil suatu posisi yang kuat. Hal demikian disoroti dengan kritis, karena keprihatinan bahwa mudah sekali TNI akan melampaui wewenangnya[52]. TNI bukan penegak hukum, hanya boleh membantu kalau diminta oleh instansi penegak hukum, yakni Polri. Bagaimanapun juga pengambilan inisiatif yang nyata oleh TNI untuk bertindak serta berupaya supaya semua divisi ketentaraan siap-siaga memberikan kesan bahwa perkembangan di pusat Indonesia memprihatinkan, to say the least!.

Mengingat bahwa akhir ini mantan wakil-Presiden, Jusuf Kalla, menawarkan diri untuk membantu dalam proses penyelesaian masalah di Papua, kami juga tertarik pada beberapa berita yang melibatkannya. Dalam beberapa berita disugesti bahwa Jusuf Kalla juga berperan dalam hal pulangnya Habib Rizieg, maka ada yang mulai menyorotinya dari lebih dekat. Sedangkan Jusuf Kalla sendiri agak terbuka dalam mengangkat ‘kekosongan kepemimpinan’ di negara ini[53]

Yang patut juga diperhatikan adalah diskusi sekitar penggantian Kapolri, mengingat bahwa ada yang dicalonkan yang bukan moslim dan hal itu ditanggapi dengan cukup ramai[54].

 

[23] COVID -- Perkembangan sekitar Covid baik di Papua maupun di Indonesia pada umumnya masih sangat merepotkan. Covid tetap ancaman no. 1. Secara nasional Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memberitahukan bahwa mulai 1 Januari 2021 rencananya semua sekolah dibuka lagi[55]. Ini merupakan suatu langkah yang cukup besar, dan nanti kita lihat bagaimana pola pembukaannya dan bagaimana dampaknya atas penyebaran virus. Sebagaimana di banyak tempat, dan juga nyata di Papua, pelahan-lahan ada kesan bahwa orang sudah lupa bahwa masih ada ancaman virus itu. Semuanya berjalan seperti biasa, walau angka orang terinfeksi naik terus. 

 

Keadaan Provinsi Papua tgl. 25 NOVEMBER 2020 [maaf infografis yang lebih aktual belum tersedia]

 

COVID-19

25 November 2020

JUMLAH POSITIF

JUMLAH DIRAWAT

JUMLAH SEMBUH

JUMLAH MENINGGAL

PROBABLE

SUSPEK

Kota Jayapura

5474

1415

3967

92

8

 

Kab Mimika

3112

450

2630

32

27

 

Kab Biak Numfor

718

273

421

24

21

 

Kab Jayapura

717

133

561

23

8

 

Kab Nabire

380

74

294

12

 

 

Kab Jayawijaya

214

24

189

1

 

 

Kab Merauke

188

18

170

0

 

 

Kep. Yapen

180

44

131

5

 

 

Kab Keerom

139

29

108

2

 

 

Kab Asmat

99

22

74

3

 

 

Kab Superiori

63

7

56

0

 

 

Kab Boven Digoel

41

4

37

0

 

 

Kab Sarmi

31

8

23

0

 

 

Kab Tolikara

27

0

27

0

 

 

Kab Lanny Jaya

27

0

26

1

 

 

Kab Paniai

21

3

17

1

 

 

Kab Mappi

19

5

14

0

 

 

Kab Yalimo

15

0

15

0

 

 

Kab Peg Bintang

8

0

8

0

 

 

Kab Mambera-

mo Tengah

4

0

4

0

 

 

Kab Puncak Jaya

3

1

2

0

 

 

Kab Waropen

1

0

1

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

11,481

2,510 = 22%

8,775 = 76%

196 = 2%

64

1,856

 

 

 

 

Tes PCR

87,904

 

 

 

 

 

 


 

Catatan:

 

Karena sudah memasuki ‘masa persiapan Natal dan Tahun baru’ dan karena beberapa komitmen lainnya, kami tidak akan memyediakan laporan berkala ini selama dua bulan mendatang. Mohon dimaklumi!

 

 

SELAMAT  PERSIAPAN  NATAL

 

PESTA  DAMAI  BAGI  KITA  SEMUA !!

 

 

Jayapura, 2 Desember 2020

 

Theo van den Broek



[1] Press release. AHRC-STM-024-2020; November 17 , 2020

 

[4] CNN Indonesia - November 16, 2020

[12] Laporan internal seorang peserta.

[17] Media Amerika Serikat Associated Press (AP) membuat laporan khusu tentang perkebunan sawit Asia Tenggara khususnya Indonesia dan Malaysia. Dalam laporannya yang terbit Rabu (18/11/2020), AP menulis ‘perlakuan brutal’ yang terjadi dalam produksi minyak sawit terhadap pekerja perempuan.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.