Friday, May 27, 2022

PAPUA 2022 Mei report (in Bahasa)

 PAPUA  2022

Mei

Oleh: Theo van den Broek

 

[1] POKOK PERHATIAN KHUSUS: 

 

“Transparansi ditiadakan, kebenaran dikorbankan, perbedaan pendapat dikriminalisasi, hingga pemerintahan penguasaan merajalela dan dilindungi kekebalan hukum (impunitas).”

 

Kesimpulan demikian tidak jauh dari apa yang kita semua dapat menyaksikan saat ini, secara khusus di Papua ini. Sejumlah instansi telah mengemukakan keprihatinannya dengan cara penetapan para penjabat Gubernur, Bupati, Walikota yang mengisi kursi-kursi kosong sampai pemilu 2024. Cara yang diandalkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, dinilai kurang transparan dan malahan melawan hukum, sampai juga rekomendasi dari Mahkamah Konstitusi ternyata kurang dihiraukan dalam proses penetapan itu. Secara khusus berkaitan dengan pelantikan Paulus Waterpauw sebagai penjabat Gubernur di Papua muncul pertanyaan mengingat bahwa beliau masih berstatus aktif dalam kepolisian. 

 

Kekurangan transparansi prosesnya dalam beberapa kebijakan selama tahun-tahun terakhir ini sudah cukup nyata. Buat Papua secara khusus seluruh proses revisi Otsus dan penetapan Pemekaran Papua secara sepihak tanpa menjalankan konsultasi dengan masyarakat atau pendalaman kepatuhan wilayah untuk pemekaran sudah menimbulkan banyak keraguan akan proses pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat. Tambah lagi bahwa suara rakyat sudah beberapa tahun terakhir ini  tidak dihiraukan. Contoh saja pembahasan UU PKP, UU Omnibus Law/Cipta Kerja, UU IKN, UU Otsus Jilid II UU Pemekaran. Malahan protes masyarakat makin dinilai sebagai “biasa saja dan tidak perlu pusing”. Aksi protes di Papua lazimnya disambut dengan pendekatan sangat represif oleh aparat, sampai dibubarkan paksa, pemakaian kanon air, gas air mata, dan sejumlah orang dilukai, ditangkap dan ditahan.[1] Dengan kata lain suara rakyat tidak mau dipertimbangkan untuk memahami secara lebih mendalam keadaan masyarakat dewasa ini, termasuk di Papua, sehingga penetapan kebijakan jauh dari tepat atau akurat. Sebaliknya ditonjolkan ‘data informasi’ yang sangat patut dicurigai, seperti hasil survey lembaga kepresidenan yang menyatakan bahwa 82% masyarakat Papua mendukung rencana pemekaran Papua.

 

Dalam tahap lebih jauh lagi segala perbedaan pendapat cenderung dinilai ‘ilegal’, maka dikriminalisasi. Informasi yang menyesatkan seperti ‘82% masyarakat mendukung’ dipakai untuk melegitimasi suatu kebijakan yang tidak mau dipertanyakan lagi atau digugat. Contoh terakhir yang sangat berarti adalah suatu ‘narasi Kominda’ (Komunikasi Informasi Daerah) yang menjadi dasar pertemuan penentuan kebijakan dalam rapat gabungan Pemerintah Papua bersama TNI-Polri dan sejumlah tokoh masyarakat tgl 9 Mei yang lalu. Rapat memang tertutup. Transparansi ditakuti. Dalam presentasi/narasi [susanan BIN?] yang disajikan dalam pertemuan itu bukan saja sejumlah lembaga - termasuk Komisi Nasional Papua Barat (KNPB), Petisi Rakyat Papua (PRP), Dewan Gereja Papua - dinyatakan ‘ilegal’, namun juga sejumlah pribadi orang disebutkan dan begitu saja dituduh terlibat dalam kegiatan ‘ilegal’ – termasuk  Emanuel Gobay (LBH), Laurenzus Kadepa dan John Gobay (DPRP), dan Timotius Murib (MRP). Lantas Pemerintah dan segala jajarannya didesak untuk lebih aktif menyatakan bahwa Otsus dan Pemekaran adalah keinginan dari dan suatu berkat bagi masyarakat Papua, hingga gerakan protes masyarakat perlu dihentikan. Maka, tidak mengherankan bahwa mulai muncul lagi tokoh-tokoh lagi yang dengan suara lantang menyatakan bahwa masyarakat Papua membutuhkan dan menginginkan pemekaran dan Otsus. Kapolda meminta semua pendukung demo penolakan DOB untuk menghentikan aksi.  Malahan ada upaya nyata untuk menciptakan pemecahan internal dalam Majelis Rakyat Papua (MRP). Suatu rombongan yang mengatasnamakan dirinya MRP - yang terdiri dari 5 anggota MRP Papua dan 4 anggota MRP Papua Barat, Bupati Jayapura dan Sorong City, dan Rektor Universitas Cenderawasih dan Rektor Universitas Papua - mengadakan pertemuan dengan Presiden untuk menyatakan, sambil mengatasnamakan MRP, bahwa Pemekaran dan Otsus adalah kehendak masyarakat Papua dan sangat didukung (20/5). Manipulasi sejenis ini sangat patut dikutuk dan merupakan suatu aksi yang menciptakan perpecahan dalam suatu lembaga negara, yakni MRP. MRP telah secara resmi menyatakan bahwa anggota-anggota yang mengikuti dalam rombongan ini tidak diutus oleh MRP dan tidak mewakili sikap MRP. Mereka berjalan tanpa ketahuan pimpinan MRP. MRP selama ini dengan sangat jelas berusaha keras untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang sebenarnya. Awal bulan ini Pimpinan MRP masih sempat bertemu dengan Presiden untuk menjelaskan keberatan masyarakat Papua akan Pemekaran dan Otsus. Gerakan manipulatif sekarang ini – policy Jakarta? - sangat memalukan dan cukup mengherankan bahwa Presiden tidak memahami bahwa menjadi mangsa perekayasaan. [2]

 

Kriminalisasi perbedaan pendapat atau kritik sudah menjadi agak biasa selama tahun-tahun terakhir ini. Membungkam suara rakyat, sampai tidak ada ruang lagi bagi hak setiap warga untuk secara bebas mengungkapkan pendapatnya, sudah menjadi standar di Papua. Pemerintah ternyata mau bertindak tanpa suara rakyat atau suara kritis. Di tingkat lembaga perwakilan rakyat seperti DPR RI sudah tidak lagi ada ‘suara oposisi’ yang dapat membuat pembahasan dalam wadah ini lebih seimbang dan berbobot. Maka lembaga yang sangat krusial ini sudah kehilangan misinya untuk mengawal dan mengoreksi pemerintah. Sebaliknya DPR RI sudah menjadi sarana melegitimasi segala macam kebijakan yang mengarahkan kepada penguasaan melulu dan telah berfungsi sebagai sarana melayani kepentingan sekelompok orang saja. Demokrasi tanpa ‘suara oposisi’ adalah suatu kontradiksi dalam diri sendiri [contradictio in terminis]. (TvdB)

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] Gerakan TNI/Polri dan TPNPB

* Tanggal 11 Mei:  TPNPB menembak mati seorang sopir truk di distrik Gomez, Kab Puncak. Menurut penilaian TPNPB sopir truk adalah seorang pengintai dari TNI, dan diduga anggota Kopasus.[3]

* Tanggal 13 Mei: setelah ditembak sewaktu mau mendarat di Ilaga, Kab Puncak, pesawat Air Asian One berbalik kembali ke tempat asalnya. Setelah insiden ini juga sejumlah penerbangan lain yang sedang menuju ke Ilaga berbalik kembali ke tempat keberangkatannya.[4]

 * Dalam berita umum di Indonesia juga terdapat pemberitahuan bahwa sejumlah fasilitas guru/sekolah dibakar habis di Ilaga, Kab Puncak. CNN Indonesia menyatakan bahwa pelakunya adalah TPNPB/KKB, namun sampai ini sebenarnya tidak jelas siapa mengadakan pembakaran ini. [5]

 

[b] tambahan korban: 

* Tanggal 1 Mei: dua prajurit ditembak hingga terluka di Okbibab. Mereka ditembak sewaktu menjaga keamanan di halaman gereja Protestan Okbibab, di kampung Abmisibil, Kab Pegunungan Bintang. Kedua korban dievaluasi ke Jayapura demi perawatan medis. [6]

* Tanggal 11 Mei: pihak TNI-Polri memberitahukan bahwa seorang sopir truk hilang di distrik Ilaga (Kab Puncak); hal ini ditemukan setelah mendengar ada tembakan-tembakan. Selanjutnya muncul berita dari juru bicara TPNPB-OPM bahwa mereka menembak seorang anggota Kopassus yang selama 6 bulan menyamar sebagai sopir kontraktor untuk memonitor gerak-gerik TPNPB-OPM. 

[c] tambahan pasukan:

* tanggal 14 Mei: Komando Militer (Kodam) VI/Mulawarman memberangkatkan sebanyak 450 prajurit TNI dari Satuan Batalyon Infanteri Yonif Raider 600/Modang dari pelabuhan Semarang.[7]

* tanggal 23 Mei: TNI memberangkatkan 555 prajurit, pasukan tempur Komando daerrah Militer (Kodam) IV/ Diponegoro ke Papua. Pasukan dari Batalyon Infanteri (Yonif) 405/Surya Kusuma diberangkatakan 23 Mei. [8]

 

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA dan SUASANA WILAYAH KONFLIK

Kesannya, tidak ada perkembangan dalam soal pengungsian ini. (TvdB)

 

[4] OTSUS & PEMEKARAN & POLA PEMBANGUNAN DI PAPUA

[a] pernyataan Mahfud ditantang: Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa hasil survei yang dilakukanlembaga kepresidenan menyimpulkan 82% orang Papua mendukung pemekaran wilayah. Anggota DPD RI, Filep Wamafma memberikan tanggapan terkait pernyataan Mahfud MD tersebut. “Pertama, kita berharap keterbukaan dari Menkopolhukam terkait hasil survei. Survei apa dan oleh lembaga apa,” ujar Filep dalam keterangannya, Sabtu (30/4). Filep melanjutkan bahwa publikasi survei tersebut bisa menjadi jalan masuk untuk melihat kebenaran di lapangan. Apalagi menurutnya, pro kontra pemekaran sudah terlihat jelas di masyarakat. Akhirnya dia mengusulkan supaya diadakan suatu referendum saja. Maka, semuanya menjadi lebih transparan dan jelas.[9]

[b] perlu evaluasi hasil pemekaran di Papua di masa lalu: salah satu tolok ukur keberhasilan pemekaran adalah: sejauh mana wilayah yang baru ini mampu meningkatkan pendapatan lokal sendiri? Ternyata minimal 60% dari wilayah pemekaran yang lalu di Papua tidak mampu menaikkan pendapatan lokalnya. Sehingga lebih baik dikembalikan kepada wilayah induknya. Penting mengingat kata dari mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), John Boekorsjom: “bagaimana kesejahteraan dapat tercapai kalau wilayah baru tidak mampu meningkatkan pendapatan lokalnya?” Kalau tidak bisa, “wilayah yang bergantung dari bantuan dana dari luar sebaiknya dikembalikan pada wilayah induknya”. Maka, sangat membutuhkan suatu evaluasi keberhasilan konkret hasil pemekaran di Papua, sebelum mengadakan pemekaran yang baru lagi. Boekorsjom, yang juga dosen pada ‘Institute of Domestic Government Science’, juga mencatat bahwa Kementerian Dalam Negeri setelah menetapkan Moratorium Pemekaran Regional sampai saat ini belum melengkapi evaluasinya dengan mengembangkan suatu ‘konsep hijau’ untuk pemekaran masa depan. [10]

Catatan ini sangat penting mengingat bahwa Moratorium Pemekaran masih berlaku. Moratorium itu ditetapkan 2014 karena dari evaluasi pemekaran di seluruh Indonesia terbukti bahwa hanya 27% berhasil; 73% gagal! Maka, sebelum mengadakan pemekaran lagi sebaiknya perlu mengembangkan suatu konsep pemekaran yang baru sambil belajar dari pengalaman di masa lampau. (TvdB)

 

[c] pikirkan ulang rencana pemekaran: itulah kesimpulan seorang peneliti dari Universitas Papua, Agus Sumule. Beliau menyimpulkan keyakinan bahwa pemekaran akan memeratakan pembangunan dan kesejahteraan sangat rapuh dasar ilmiahnya. Kesimpulan ini berdasarkan suatu uraian kelayakannya rencana pemekaran dari sudut Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM itu memperhatikan tiga unsur pokok: [1] panjang umur, [2] pengetahuan dan [3] standar hidup. Beliau menguraikan status IPM sekarang ini dari masing-masing wilayah yang mau dimekarkan. Dari data-data itu jelas bahwa dalam mayoritas besar wilayah yang mau dimekarkan tingkat IPM sama sekali tidak mendukung, karena terlalu minimal/rendah. Secara khusus unsur ‘pengetahuan’ (lamanya pendidikan rata-rata warga wilayah itu) tidak memungkinkan bahwa mereka akan menjadi partisipan aktif (dapat pekerjaan) dalam proses pengembangan wilayah otonom yang baru (DOB). Hal ini muncul terutama dalam wilayah yang padatnya masyarakat asli Papua (OAP). Maka, sudah tentu, mereka (OAP) akan makin dimarginalisasi. Juga menjadi jelas bahwa tak mungkin mereka dapat menghasilkan pendapatan/dana yang dibutuhkan untuk menyejahterakan diri, dan akan terus bergantung pada penyaluran dana dari pusat pemerintah saja. Menurut Sumule “dalam RUU provinsi-provinsi baru sama sekali tidak tertera besarnya tambahan dana agar provinsi baru bisa melakukan percepatan pembangunan”. Salah satu kunci keberhasilan lainnya adalah perbaikan tata kelola pemerintah yang baik (good governance). Menurut penilaian Sumule “tidak ada jaminan bahwa good governance akan tercipta melalui pemekaran DOB”. Kesimpulan utama dari uraian ilmiah ini: “Pikirkan ulang rencana pemekaran!”[11]

 

[d] PRP penyelenggara aksi demo 10 Mei 2022:  Keterangan mengenai latarbelakang pengadaan demo ini diterangkan Jurubicara (jubir) Petisi Rakyat Papua (PRP), Jefry Wenda dalam suatu pesan yang di-video-kan (https://youtu.be/xgaCV2VVvyc ). 

Latarbelakang utama adalah pengalaman selama puluhan tahun bahwa secara sistematis dan struktural masyarakat adat Papua tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menentukan hidupnya dan status politiknya. Pengalaman ini bukan saja sekitar pengintegrasian Papua ke dalam Republik Indonesia (New York Agreement, 15 Agustus 1962; Perjanjian Roma, 30 September 1962; Penyerahan administrasinya kepada Indonesia, 1 Mei 1963; Perjanjian izin pengoperasian pertambangan oleh PT Freeport, 7 April 1967; referendum Pepera 1969), namun juga sampai saat ini (tahun2022) seperti nyata dalam penentuan Otsus baik Jilid I maupun Jilid II dan rencana pemekaran. Dalam soal penolakan Otsus PRP mendapat dukungan 122 organisasi dan 718.179 tanda tangan pribadi orang Papua. 

Maka, perlu lagi suatu protes yang nyata supaya dipesan kepada pemerintah bahwa penyangkalan partisipasi bagi masyarakat adat Papua tidak dapat diterima. Hak itu adalah vital dan kunci dalam penyelesaian segala masalah. Bukan saja orang asli diundang mengambil bagian dalam aksi demo ini. Juga para pendukung orang non-Papua dan lembaga seperti Dewan Gereja diharapkan turut turun di jalan. Diharapkan suatu protes masal yang damai dan bermartabat. Hak atas pengungkapan pendapat secara damai dan bermartabat dijamin secara hukum dalam Undang-Undang Dasar 45 Indonesia, maka hak itu tidak dapat ditolak oleh aparat. Aparat diberitahukan rencana aksi ini dan diharapkan akan turut mengawal aksi demo ini supaya semuanya berjalan baik saja. Petisi Rakyat Papua (PRP) mengajak seluruh masyarakat Papua untuk mengambil bagian dalam aksi protes yang bertujuan menolak baik Otsus maupun Pemekaran [lihat catatan pada awal laporan ini]. Diharapkan bahwa aksi demo ini diadakan serentak di pelbagai tempat di Papua (Jayapura, Manokwari, Sorong, Kaiman, Yahukimo, Jayawijaya, Dogiyai) dan di luar Papua (Jawa, Bali, Makasar). [12] (TvdB)

Selanjutnya:

Dari pihak kepolisian Jayapura diberitahukan bahwa aksi demo ini tidak diberikan izin dan akan dibubarkan paksa.[13] Ini sikap yang sangat berbeda dengan sikap yang diambil Kepolisian di Jayawijaya dan di Provinsi Papua Barat. Oleh pihak kepolisian di Jayawijaya aksi ini diizinkan dan akan dikawal secara ketat. Suatu koordinasi persiapan antara para penyelenggara dan pihak polisi diadakan. [14] Juga di Papua Barat polisi meminta supaya aksi dijalankan dengan tertib dan tidak mengganggu, dan supaya warga lain tidak merasa diprovokasi.[15] Karena sikap polisi yang berbeda, juga hasilnya demo berbeda. Di Jayapura demo dari titik awal dihadapi dengan aparat dan dipaksa bubar. Dibubarkan dengan memakai kanon air dan gas air mata, sedangkan sejumlah peserta ditendang dan dipukul. Sekurang-kurangnya 17 peserta mengalami luka yang berarti. Juga disebutkan luka yang akibat ditembak dengan peluru karet.[16] Kemudian tujuh orang ditangkap dan ditahan untuk diminta penjelasan. Yang ditangkap: Jefry Wenda, jubir PRP; Nesta Suhuniap, jubir KNPB Pusat; Omizon Balingga, Ketua Diplomasi KNPB Pusat; Iman Kogoya, anggota KNPB Pusat; Marten Mamggaprouw, Sekretaris Umum WPNA; Esther Haluk, aktivis perempuan dan Bintang Boma, anggota KNPB. Mereka didampingi dalam interogasi oleh tim pengacara Koalisi HAM Papua. Setelah 24 jam (menurut hukum hanya boleh ditahan 1x24 jam) tiga yang terakhir dibebaskan demi hukum. Perlu dicatat juga bahwa penangkapan sejumlah aktivis sangat dikecam sejumlah pegiat HAM; baik cara penangkapan di kantor KontraS (di Waena) maupun dasar penangkapan disoroti dan dinilai tidak memenuhi standar yang wajar. [17]

Berkontras dengan berita mengenai tindakan represif oleh polisi di Jayapura, berjalannya demo di pelbagai tempat lain menunjukkan bahwa demo-demo dapat dijalankan dengan cukup rapi dan tertib dan tanpa insiden kekerasan yang berarti (Dogiyai, Jayawijaya, Sorong, Manokwari). Pendekatan di Jayapura ditandai suatu pendekatan represif yang sistematis dan terstruktur, yang ternyata didukung/diperintahkan atasan-atasan kepolisian yang lebih tinggi. [18]

 

[e] perekrutan pegawai untuk mengisi DOB dimulai: ketidakpedulian ‘Jakarta’ dengan protes serta penolakan DOB menjadi sangat jelas dalam berita dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB), Tjahjo Kuwolo. Beliau menginstruksikan supaya seleksi pegawai khusus untuk orang asli Papua segera dijalankan. Mereka akan ditempatkan di tiga calon provinsi pemekaran di Papua, dan juga di pelbagai kementerian. Tugas jangka waktu pendek ini sesuai dengan arahan Presiden Jokowi dan perlu diselesaikan tahun 2022 ini.[19]

 

[f] kegiatan lainnya: 

* 11 Mei: aksi unjuk rasa di wilayah Paniai; menolak pembentukan Provinsi baru.

* 13 Mei: PRP Sekretariat Gabungan Jabodetabek en Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat (FRI-WP) beraksi demo di Jakarta demi menolak Otsus dan Pemekaran.[20]

* 14 Mei: Dewan Adat Papua (DAP) -versi Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua- meminta supaya pemekaran di Papua dihentikan. 

* 16 Mei: aksi unjuk rasa masyarakat sipil kepulauan Yapen dan Serui menolak pemekaran wilayahnya 

* 16 Mei: Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua sepakat dukung pemekaran [21]

* 17 Mei: pimpinan DPR Daerah Deiyai menyerahkan aspirasi tolak DOB-Otsus kepada DPR Papua [22]

* 20 Mei: suatu rombongan yang mengatasnamakan MRP Papua bertemu dengan Presiden Jokowi untuk mendukung DOB. Pimpinan MRP Papua telah menjelaskan bahwa gerakan rombongan ini tidak mewakili MRP Papua dan berjalan tanpa diketahuinya.

 

[g] “Lawan arus protes”: Presiden minta DPR RI mulai membahas pemekaran Papua: Majelis Rakyat Papua (MRP) menyayangkan langkah Presiden RI Joko Widodo yang mengirim surat presiden kepada DPR RI ihwal tiga Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (DOB)/pemekaran wilayah di Papua. Salah satu sebabnya, dasar hukum pemekaran itu yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua saat ini masih diuji materi di Mahkamah Konstitusi sejak tahun lalu. "Bapak Presiden Jokowi harus menghargai proses hukum yang sedang dilakukan MRP di Mahkamah Konstitusi. Ini harus kita hargai, sehingga surat presidennya jangan cepat-cepat," kata Ketua MRP Timotius Murib kepada Kompas.com, Selasa (24/5/2022) pagi. "Ini akal sehatnya ada di mana? Jadi, saya berharap pihak eksekutif dan legislatif menimbang, menunggu kepastian hukum (vonis uji materi UU Otsus) baru proses hukum ini bisa dilaksanakan," ujarnya[23]

[5] SOAL HUKUM /KEADILAN

[a] peringatan pengintegrasian Papua ke dalam Republik Indonesia: Solidaritas Rakyat Papua Sorong Rayamelakukan aksi unjuk rasa memperingati hari aneksasi Papua oleh Indonesia sudah 59 tahun yaitu 1 Mei 1963 -1 Mei 2022. Sejak 59 tahun dianeksasi rakyat dan bangsa Papua tidak ada masa depan di NKRI, ruang demokrasi dibungkam, pelanggaran berat HAM, Sumber Daya Alam dirampas dan lainnya oleh Indonesia. Dalam aksi ini 2 tuntutan disampaikan, sbb:

1. Mendesak pemerintah Indonesia, Belanda Amerika dan PBB untuk mengembalikan hak politik rakyat Papua yang direbut secara paksa, tanpa melibatkan rakyat Papua dalam perjanjian Amerika, New York Agreement 1962, yang kini menjadi dasar malapetaka bagi rakyat Papua Barat sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang.
2. Tarik militer organik dan non organik dari seluruh tanah Papua.[24]

 

[b] perserikatan buruh beraksi lagi: 1 Mei bukan saja hari peringatan aneksasi Papua ke dalam Republik Indonesia, namun juga Hari Buruh Internasional. Dalam kerangka itu Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia selama aksinya menarik perhatian khusus lima tuntutan; yakni: [1] pembatalan UU Cipta Kerja; [2] stop pemberhentian kerja sepihak; [3] memberangus serikat pekerja [kebebasan berserikat di banyak perusahaan masih jauh dari harapan]; [4] tolak revisi UU 21 thn 2000 tentang serikat pekerja; dan [5] turunkan harga kebutuhan pokok [biaya hidup akhir ini makin tinggi].[25]  

 

[c] penganiayaan warga dalam bisnis kayu: Tanggal 2 Mei, sekitar pukul 06.00 sore sebanyak 17 warga asal Kampung Oyengsi, Distrik Nimbokran, Kab Jayapura, melakukan patroli di kawasan hutan adat Fam Bu. Mereka menemukan sekitar 300 pohon kayu roboh ditebang, di antaranya telah dibelah menjadi potongan balok kayu. Terdapat lima (5) camp tempat tinggal pekerja, mesin dan motor penarikan kayu. Penebangan dan pemotongan kayu ukuran ekspor ini dilakukan oleh orang tanpa ada permisi warga pemilik hutan adat, dan tanpa izin pemerintah. Maka, merupakan logging ilegal untuk kayu komersial. Warga memanggil salah seorang yang diduga pelaku, namun kemudian pelaku lari meninggalkan lokasi. Saat warga patroli keluar dari lokasi, mereka dihadang pelaku bersama sekitar 50 orang di Kampung Sentosa dengan menggunakan bermacam-macam alat dan benda tajam. Lalu terjadi penyerangan, penganiayaan terhadap Yohan Bay, Lukas Bay dan Yunus Yapsenang, mengalami luka-luka di tubuhnya. Korban kekerasan ini didampingi Organisasi Perempuan Adat Namblong melaporkan kejadian ini ke Kepala Polisi Resor (Kapolres) Jayapura (3/5).[26]

Pertanyaannya yang muncul: bagaimana mungkin bahwa sekian banyak pekerja dapat beraksi secara ilegal di hutan adat di Kabupaten Jayapura? Siapa melindungi siapa? (TvdB)

[Berkaitan dengan berita di atas juga menarik untuk membaca mengenai penangkapan seorang anggota Polisi yang selama bertahun-tahun bertambah kaya karena memiliki pertambangan emas ilegal di Kalimantan.[27] ]

 

[d] nasib ribuan pekerja yang terlibat aksi pemogokan di Freeport: perkara ini sudah berjalan beberapa tahun. Tahun 2017, 8.300 pekerja PT Freeport di Papua mengadakan pemogokan. Ini protes atas sejumlah unsur kebijakan PT Freeport pada saat itu. Dalam tindakan lanjut dari perusahaan pertambangan emas ini di Papua, mereka semua di-PHK-kan (putus hubungan kerja). Walau mereka memprotes tindakan itu dan menuntut haknya (a.l. gaji dan uang pesangon), ternyata protes itu tidak pernah diselesaikan secara wajar dalam 5 tahun terakhir ini. Sementara waktu itu ternyata lebih dari 100 pekerja meninggal karena depresi atas terkatung-katung nasib mereka. Pemerintah dinilai gagal mengambil langkah penyelesaian. “Ini sudah meninggal 111 orang. Tadi pagi saya mendengar ada orang meninggal di rumah, membusuk. Dia karyawan yang mogok kerja. Dia tidak sakit, tapi depresi. Bagaimana tidak. Lima tahun orang tidak menerima kewajiban dari perusahaan. Pemerintah juga tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Dalam hal ini pemerintah pusat”, kata Aser Gobay, salah seorang pemimpin aksi pemogokan 1 Mei 2017 (6/5). [28]Jokowi didesak untuk mengambil langkah menuju penyelesaian perkara ini. Antara lainnya, suatu surat dengan sejumlah rekomendasi oleh Komnas HAM tahun 2018 dapat dijadikan pegangannya.

 

[e] kantor LBH di Jayapura diserang: pagi hari tanggal 9 Mei kantor LBH di Jayapura diserang seorang yang dikenal. Kesan pertama adalah bahwa suatu ‘bom Molotov’ dipergunakan, hingga satu motor di garasi kantor dan terbakar habis, sedangkan penyebaran api masih dapat dicegah karena tenaga LBH dan bersama orang tetangga berhasil menghentikan kebakarannya. Kemungkinan besar bahwa serangan ini adalah kaitan nyata dengan peranan LBH dalam penanganannya sejumlah kasus pelanggaran HAM. Serangan terhadap para pembela HAM memang bukan sesuatu yang baru selama ini - ingat saja serangan pada kantor LBH di Yogya dan ancaman belum lama terhadap LBH Bali dan LBH di Jakarta -, dan malahan ada tren jumlah ancaman dan serangan bertambah.[29]

 

[f] tujuh pengibar bendera Bintang Kejora didakwa makarpasal makar menjadi ‘senjata pamungkas’ untuk dipakai aparat penegak hukum dalam ‘menjerat’ serta meredam aspirasi berdemokrasi yang disampaikan Papua.  Sekarang ini tujuh pegiat politik yang mengibarkan bendera Bintang Kejora di Jayapura - 1 Desember 2021 – didakwa melakukan makar. [30]

 

[g] sidang Victor Yeimo dilanjutkanpada tanggal 18 Mei persidangan berkaitan dengan kasus Victor Yeimo dilanjutkan. 

 

[h] serangkaian aksi pembakaran fasilitas di Dogiyai: selama sepanjang bulan Mei ini terjadi serangkaian kebakaran (rumah-rumah, kios, kantor, fasilitas umum) di wilayah Dogiyai. Sekitar 100 orang terdiri dari perempuan dan anak-anak sejak Minggu (22/5) malam mengungsi ke pos TNI-Polri di sana, setelah rumah dan kios yang mereka tempati dibakar. Serangkaian pembakaran ini berjalan sejak ramainya masyarakat Dogiyai memprotes Otsus dan Pemekaran. Dan akhir ini juga, masyarakat berprotes atas gerakan Kapolda Papua yang telah memutuskan untuk memulai membangun sejumlah markas kepolisian, seakan akan sudah menjadi Provinsi baru. Terlepas dari segala rugi materiil dan sengsara yang menjadi akibat aksi pembakaran ini, yang sangat mengganggu juga bahwa sampai saat ini pihak polisi tidak mengungkapkan identitas pelakunya. Maka, di tengah masyarakat makin bertumbuh keyakinannya bahwa semuanya ini direkayasa oleh pihak keamanan sendiri hingga dapat menciptakan suatu situasi yang tidak aman. Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Dogiyai membantah dugaan polisi bahwa pembakaran sejumlah kios dan rumah warga di Kabupaten Dogiyai pada Minggu malam sehingga Senin dilakukan oleh warga.  KNPB Dogiyai justru menduga ada keterlibatan aparat dalam insiden itu, Sekretariat KNPB Dogiyai turut terbakar pada hari Senin (23/5). Anggota DPR Papua, Laurenzus Kadepa, sudah mendesak pihak kepolisian untuk mengungkapkan identitas pelakunya. “Aparat keamanan (polisi) mesti mengungkap penyebab kebakaran … agar tidak menimbulkan polemik di masyarakat”, kata Kadepa. Sementara waktu Kapolda Papua mengirim satu peleton bantuan personil dari Nabire dan satu pasukan Brimob ke Dogiyai (24/5). [31]

 

[6] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYAT di PAPUA

[a] sepuluh mahasiswa/i OAP wisuda di universitas Corban di Amerika: di tengah segala kesusahan yang dialami mahasiswa/i Papua yang studi di luar negeri, masih ada berita yang menggembirakan. Ternyata 10 mahasiswa membulatkan studinya di universitas di Amerika[32]

 

[b] gaji honorer guru belum dibayar: cerita dari Pegunungan Bintang tentang pendidikan, khususnya para guru. Ibu Guru Natalia: “Gaji honorer kedua kami dari Agustus sampai Desember 2021 belum dibayarkan sampai hari ini. Kalau dihitung sampai saat ini di bulan April 2022, berarti sudah 10 bulan kami belum menerima gaji honorer kami. Kami sering bolak-balik ke Dinas tetapi jawaban yang mereka berikan itu adalah mereka sementara berusaha. Padahal kami di lapangan ini, kami setiap hari di sekolah”. Kesulitan semacam ini bukan saja di Pegunungan Bintang, di Papa Barat pun guru-guru mengeluh dan berprotes.[33]

 

[7] LINGKUNGAN, DEFORESTASI, INDUSTRI PERKEBUNAN

[a] food estate program untuk siapa?  dalam laporan bulan April kami telah menarik perhatian pada dampak perwujudan ‘food estate program’ dari pemerintah pusat. Sementara waktu suatu laporan mengenai hal yang sama diterbitkan oleh TAPOL (Inggris) bersama AwasMIFEE di mana sejumlah unsur dampaknya diberikan perhatian. Menilik rencana sebelumnya dan rencana saat ini yang diketahui, Food Estate telah dan akan menyebabkan kehancuran ekologis, dan lebih jauh akan menyingkirkan penduduk asli Papua. Laporan juga menyoroti kelemahan serius yang berpeluang timbul dari sejak awal rencana ini dirancang, terutama melemahkan peraturan yang dirancang untuk melindungi lingkungan, penebangan hutan primer dan drainage lahan basah, perampasan tanah, dan potensi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap budaya masyarakat adat di Papua. [34]

 

[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] DAP menilai: pemerintah takut berdialog: Dewan Adat Papua (DAP) – versi Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua – menilai bahwa Indonesia takut berdialog (14/5). Ketua Umum DAP, Yan Pieter Yarangga, menyatakan bahwa “belum melihat ada keberanian pemerintah untuk mendorong segala persoalan di Papua diselesaikan dalam suatu dialog”. Menurutnya Pemerintah kercenderungan hanya mau berdialog dengan pihak yang mau mengikuti keinginan pemerintah pusat. Hal demikian juga terlihat dalam penanganan persoalan pemekaran yang didorong oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya melibatkan elit politik lokal yang menginginkan pemekaran Papua.  Ia menegaskan akar persoalan Papua hanya bisa diselesaikan dengan dialog damai yang melibatkan semua pihak yang bermasalah. Seorang tokoh masyarajat adat dari Nabire, Herman Sayori, menegaskan bahwa masyarakat adat di Papua sudah merindukan kedamaian di Tanah Papua. “Kami semua merindukan keamanan, kami semua merindukan ketenangan. Jangan sampai kita semua ada dalam satu ketidaktenangan yang diatur, diskenariokan, dimainkan seperti drama”. Menurutnya dialog damai Papua harus membicarakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) secara terbuka. Pelanggaran HAM bukan sebatas pelanggaran dalam bentuk kekerasan terhadap warga, namun juga perampasan tanah dan sumber daya alam. Suatu dialog terbuka dan representatif. [35]

 

[9] GERAKAN POLITIK PEMERINTAH PAPUA & PAPUA BARAT

[a] rapat tertutup Kominda – narasi paparan kominda: ternyata pada tanggal 9 Mei pihak Pemerintah berapat dengan TNI-Polri dan sejumlah tokjoh masyarakat. Isi pembahasan adalah suatu ‘narasi paparan situasi di Papua” (narasi kominda); suatu powerpoint presentasi dalam 13 slides. Dalam analisa situasi fokus utrama adalah pada gerakan protes di Papua dan para instansi dan pribadi orang yang dinilai terlibat dalam gerakan itu. Seluruh gerakan dinilai sebagai suatu ancaman melulu dan untuk sebagian besar dinilai ilegal. Cukup mengagetkan bahwa juga Dewan Gereja Papua dinilai ilegal. Kurang dijelaskan kenapa sejumlah instansi dinilai ilegal. Apalagi sejumlah pribadi orang ditunjuk sebagai penggerak di belakang protes massal di Papua, maka dianggap ‘melawan kemajuan di Papua’. Dalam narasi disimpulkan bahwa dengan adanya gerakan ini Papua dapat ‘stigma’ penolakan Pemekaran dan Otsus di tanah Papua, maka, ‘stigma’ orang yang tidak menerima kebijakan pemerintah. Maka, dianjurkan supaya seluruh jajaran Kominda Papua bertindak dengan tegas melawan gerakan ini dan berupaya untuk mengubah ‘stigma’ itu, karena sebenarnya mayoritas Papua mau maju dan mendukung Otsus dan Pemekaran Papua[36] Secara khusus dapat dicatat bahwa Kapolda meminta para pendukung demo penolakan DOB untuk menghentikan aksinya.[37]

 

[b] DAP minta membatasi migrasi ke Tanah Papua: Dewan Adat Papua (DAP) menilai pemerintah perlu memberlakukan pembatasan migrasi ke Tanah Papua (14/5). Sekretaris Jenderal DAP, Leonard Imbiri menyampaikan bahwa pembatasan migrasi perlu dilakukan guna memastikan Orang Asli Papua lah yang menikmati pembangunan dan implementasi Otsus Papua.”Sebab, migrasi sangat berhubungan erat dengan penguasaan tanah, berkaitan erat dengan [komposisi penduduk dan] depopulasi orang Papua. Misalnya, penduduk asli Port Numbay hanya 1,93% dari total penduduk Kota Jayapura”, katanya. Perubahan komposisi penduduk membuat jumlah Orang Asli Papua yang menduduki kursi parlemen berkurang drastis. Orang asli Papua makin dipinggirkan dan menjadi kelompok minoritas di tanahnya sendiri. Karena itu juga pemekaran yang direncanakan perlu dihentikan karena akan memperderas arus migrasi dari luar Papua.  Imbiri menyatakan pembatasan migrasi dapat dituangkan dalam sebuah peraturan daerah. [38]

 

[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK DI PUSAT INDONESIA DAN INTERNASIONAL

[a] Amerika bertanding dengan Cina di PasifikWalaupun negara yang kecil, langkah negara Solomon Islands (Kepulauan Solomon) yang membuat suatu kontrak pertahanan dengan Cina, membuat beberapa negara besar sangat gelisah. Tidak terkecuali Australia dan Amerika Serikat (USA). Maka, USA, tak menunda mengambil langkah, yakni mempererat hubungan kerja sama dengan Papua New Guinea (PNG).[39] Dengan demikian mereka mengharapkan dapat menyeimbangi peranan Cina di kawasan Pasifik. Berkaitan dengan gerakan geo-politik ini Jakarta Post memuat suatu artikel yang menarik. Dalam artikel itu dicatat bahwa gerakan Solomon Islands sebenarnya merupakan suatu protes melawan sikap Australia yang sampai saat ini masih memberlakukan Solomon Islands dengan suatu ‘gaya kolonial’. Solomon Islands sudah jenuh dengan gaya itu dan mengambil langkah yang pasti mengagetkan Australia, mengingat bahwa segala jalan lain yang lebih sederhana tidak membawa hasil yang diharapkan, yakni pemberantasan sikap kolonial itu. Selanjutnya dicatat, dan itu juga menjadi bahan refleksi yang cukup menarik, bahwa gerakan sejenis mungkin saja juga akan diambil oleh Papua untuk memprotes gaya perlakuan Indonesia terhadapnya. [40]

 

[b] lampu kuning kebebasan pers: pemasungan terhadap kebebasan pers semakin menjadi-jadi belakangan ini. Di tengah masifnya pertumbuhan media digital, serangan terhadap kerja wartawan justru datang dari berbagai arah. Bukan hanya ancaman fisik dan pemidanaan, wartawan kini juga mesti menghadapi serangan siber hingga disinformasi. 

Kekerasan dan ancaman terhadap jurnalis itu mencoreng kebebasan pers. Tak mengherankan bila Reporters Without Borders baru-baru ini melaporkan bahwa indeks kebebasan pers Indonesia berada di angka 49,27, turun dari 62,60 pada tahun sebelumnya. Dari 180 negara, peringkat Indonesia melorot dari 113 ke 117. Untuk urusan kebebasan pers Indonesia bahkan berada di bawah Timor Leste, Malaysia dan Thailand. [41] Menurut ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, mengatakan bahwa tren kekerasan terbaru yang patut menjadi perhatian adalah pelabelan hoaks terhadap produk jurnalistik. Pelabelan ini dilakukan oleh publik dari kelompok-kelompok tertentu di ruang digital. “Belum lagi kasus memata-matai wartawan yang dilakukan aparat”, tambahnya.[42]

 

[c] penyeleksian pejabat pelaksana tugas kepala daerah sementara: menjelang pemilu tahun 2024, sekarang sudah sejumlah kursi pimpinan daerah menjadi vacant. Daripada mengadakan pemilihan Kepala Daerah secara khusus, pemilihan itu disamakan waktunya dengan pemilihan Presiden tahun 2024. Maka sejumlah pejabat sementara perlu diseleksi guna mengisi ‘kursi-kursi kosong’ itu. Jumlah yang dibutuhkan bukan sedikit. Tahun ini sudah dibutuhkan 101 pejabat sementara; untuk tahun 2023 masih perlu lagi 161 orang. Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) sudah mulai proses penyeleksian karena bulan ini (Mei) sudah akan ada 43 kursi kosong. Dalam proses penyeleksian daerah-daerah yang bersangkutan dapat mengusulkan nama-nama calon pengganti sementara. Namun juga ‘pihak yang berkepentingan’ lainnya juga dapat mengusulkan nama-nama. Lantas suatu sidang di Mendagri akan mengadakan seleksi final dan pilihannya disajikan kepada Presiden untuk disetujui. Ternyata bentuk proses penyeleksian yang dipakai sudah mendapat cukup banyak kritik. Cara yang dipakai dinilai kurang sesuai dengan hukum yang berlaku dan berkekurangan transparansi. Maka, Mahkamah Konstitusi (MK)baru ini sudah meminta pihak penyelenggara seleksi ini untuk memperbaiki caranya hingga seluruh proses dapat dipertanggungjawabkan dan menjadi transparan. Namun sampai saat ini Mendagri tidak membentuk suatu komisi independen guna menjalankan proses ini, dan meneruskan cara kerja yang sudah ditetapkannya. Sudah tentu penggantian 260 lebih pemimpin untuk waktu terbatas ini dapat mempengaruhi secara sangat signifikan berjalannya pemerintahan di pelbagai daerah selama dua tahun ke depan. Maka, diharapkan bahwa proses penyeleksian juga mengindahkan kepentingan itu dan dibetulkan sesuai dengan anjuran MK. [43]

 

[d] Waterpauw dilantik penjabat Gubernur di Papua Barat: dalam kerangka mengisi kursi-kursi pimpinan daerah yang kosong, lima penjabat gubernur pertama sudah dilantik oleh Mendagri, Tito Karnavian (12/5). Salah satu adalah Paulus Waterpauw yang dilantik sebagai penjabat Gubernur. Walau Waterpauw masih aktif sebagai pejabat kepolisian, Tito memilih dia dan menekankan tugasnya untuk “menjaga stabilitas dan keamanan di Papua Barat”. Pilihan Tito tidak mengherankan karena beliau sudah berulang kali berupaya supaya Waterpauw menjadi gubernur atau wakilnya di Papua. [44] Namun sudah tentu ada yang berkeberatan karena sebaiknya penjabat Gubernur tidak diambil dari kalangan TNI-Polri yang aktif. Ternyata Tito tidak ingin terhalang oleh keberatan itu dan dalam pilihan ini sudah nyata ‘pendekatan keamanan’ dinomorsatukan. Beliau juga mengklaim bahwa Waterpauw masuk dalam ‘daftar tiga orang’ (yang memenuhi persyaratan) yang diusulkan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB). Dalam daftar itu beliau adalah urutan ketiga.[45]

 

[e] DPR RI mencari ‘jalan tikus’ untuk melegalkan Omnibus Law: Sudah awal April (8/4) seorang dosen hukum pada Universitas Andalas, Charles Simabura, mengungkapkan ada kekhawatiran bahwa DPR RI akan menghadapi keputusan atas ilegalitas UU Omnibus Law/Cipta Kerja dan kewajibannya untuk memperbaiki isi UU itu dengan memanfaatkan suatu ‘jalan tikus’ (akal-akalan).  ‘Jalan tikus’-nya, adalah merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) hingga prosedur yang dipakai waktu pembahasan sampai pengesahan UU Cipta Kerja tidak dapat dipersoalkan lagi. Maka, isi UU Cipta Kerja tidak direvisi. “Inilah yang dibilang rule by law (hukum untuk kepentingan kekuasaan), bukan rule of law (semua tunduk pada hukum)”, kata Charles.[46] Ternyata kekuatiran ini sangat beralasan, karena 23 Mei 2022 DPR RI sudah mensahkan revisi UU PPP, dan dengan demikian bagi DPR RI persoalan UU Cipta Kerja selesai. [47] Namun masyarakat berpikir lain. Dari pihak presiden Partai Buruh, Said Iqbal, sudah diberikan bahwa mereka akan menyelenggarakan suatu aksi protes massal di depan gedung DPR RI selama tiga hari berturut-turut (8-10/6). Dan bukan di Jakarta saja, namun juga di pelbagai kota lainnya di Indonesia. Mereka juga akan mengajukan permintaan judicial review revisi UU PPP pada Mahkamah Konstitusitanggal 31 Mei. [48]

 

[f] polemik sekitar posisi hukum komunitas LGBT: akhir ini suatu polemik yang panas berkembang sekitar posisi hukum para warga Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Polemik ini disebabkan karena suatu wacana pemidanaan komunitas LGBT dalam RUU Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kini tengah dibahas DPR dan ditargetkan disahkan pada Juli mendatang. Kekuatirannya: nanti akan ada kriminalisasi orientasi seksual, dengan segala akibatnya berupa diskriminasi komunitas LGBT. Topik ini sedang diangkat ramai-ramai segala pihak, termasuk pejabat-pejabat tinggi di pemerintahan. Salah satu reaksi dari seorang yang akan dikenai: “Aku sendiri sudah terbiasa dengan hujatan, tapi yang aku sangat sayangkan Indonesia balik lagi hanya mengurusi urusan ranjang seseorang, tapi nggak melihat value seseorang ini bisa ngasih apa ke negaranya”, ujar Ragil.   [49]

 

[11] SERBA-SERBI – VARIA

[a] bendera Bintang Kejora dikibarkan: di Tanjung Ria di distrik Jayapura-Utara bendera Bintang Kejora dikibarkan di halaman ex-kantor Dinas Tenaga Kerja Provinsi Papua (1/5). Setelah ditemukan, bendera diturunkan dan tenaga honorer penjaga kompleks ini serta seorang temannya dibawa ke kantor polisi untuk diminta keterangan.[50]

 

[b] pemerintah didesak menciptakan tempat kerja bagi orang asli Papua: Dewan Adat Biak-Numfor (DAB) mendesak pemerintah untuk menciptakan kesempatan kerja bagi orang muda Papua, karena jumlah orang muda yang menganggur terlalu tinggi. “Ini suatu hal yang sangat penting”, kata Obet Ap, anggota DAB (6/5).

 

[c] Sekolah Kopi Papua di Moanemani: di Moanemani mulai diselenggarakan kursus bagi para peminat, lebih-lebih orang muda, untuk meningkatkan keterampilan menanam kopi dan memanfaatkan buahnya. Dengan demikian suatu tradisi ‘kopi Moanemani’ yang sudah dipasarkan sejak tahun-tahun 1980-an diteruskan dan Ditargetkan menjadi sumber pendapatan masyarakat lokal. [51]

 

[d] RSUD Provinsi Papua Barat diresmikan: dikerjakan sejak 2015, akhirnya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Manokwari diresmikan (9/5). Biayanya 436 miliar; kapasitas tempat tidur 148; karyawan sebanyak 289 orang. [52]

[e] utang PON XX:  walau penyelenggaraan PON XX di Papua sudah jauh lewat, ternyata sejumlah orang/perusahaan yang turut mensukseskan PON itu dengan menyediakan jasanya, sampai saat ini tidak jadi dibayar. Berta-berita semacam ini makin memalukan! [53]

 

Jayapura, 27 Mei 2022

 

Catatan khusus:

Update yang berikut akan disajikan pada akhir bulan Agustus 2022, mengingat bahwa selama bulan Juni-Juli kami akan ada dalam perjalanan. Mohon dimaklumi! (TvdB)



[11] Untuk detail perlu melihat presentasi Agus Sumule, tgl 22 Mei 2022 di Universitas Papua di Manokwari. Presentasi berjudul “Provinsi-Provinsi baru dan tantangan peningkatan kualitas sumber daya manusia asli Papua”. Referensi digital kami tidak miliki. Namun Pak Sumule dapat dihubungi melalui email agussumule@gmail.com

[16] VID-20220512-WA0004.mp4  [dan]  https://youtu.be/N61roxWfAUg

[21] JUBI, terbitan 17-18 Mei, hlm. 21

[22] JUBI, terbitan 17-18 Mei, hlm. 21

[26] Surat pelaporan yang bernomor: STPL/281/IV/2022/Papua/Res Jayapura/ pada hari Selasa tanggal 03 Mei 2022 pukul: 18.50 Wit. 

[30] JUBI, terbitan 17-18 Mei, hlm. 1-2

[31] JUBI. Terbitan 25-26 Mei 2022, hlm. 3

[34] JUBI, terbitan 9-10 Mei, hlm. 8

[35] JUBI, terbitan 16-17 Mei, hlm. 3

[36] “NARASI PAPARAN KOMINDA” dalam rapat gabungan Pemerintah tgl 9 Mei 2022

[38] JUBI, terbitan 16-17 Mei, hlm, 1-2

[43] The Jakarta Post, 9 May 2022: Govt sticks to the process of picking regional heads   

lihat juga: https://nasional.tempo.co/read/1591018/tito-karnavian-klaim-pemilihan-5-penjabat-gubernur-sudah-demokratis

[51] JUBI, terbitan 9-10 Mei, hlm. 1 dan 26.

[52] JUBI, terbitan 11-12 Mei, hlm. 18 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.