Thursday, May 5, 2022

PAPUA Report (In Bahasa) April 2022

 PAPUA  2022

April

Oleh: Theo van den Broek

 

 

[1] POKOK PERHATIAN KHUSUS: 

Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia - suatu Revisi Berkala[1]

Setiap lima tahun suatu revisi keadaan HAM di semua negara diadakan di tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Revisi ini lazimnya dikenali dengan nama Universal Periodical Review (UPR). Dalam prosesnya setiap 5 tahun segala macam instansi dapat memberikan masukan kepada Kelompok Kerja UPR PBB yang menjalankan proses UPR ini. Lantas suatu laporan komprehensif disusun oleh Kelompok Kerja UPR PBB dan disajikan untuk ditanggapi semua negara. Dalam tahap akhir tanggapan dari semua negara dikumpulkan dalam sidang UPR, dan sejumlah rekomendasi akhir dirumuskan untuk disampaikan kepada setiap negera yang bersangkutan. Tahun ini akan ada sidang ke-41 Kelompok Kerja UPR.

Dua organisasi yang sangat berwibawa, Amnesty International (AI) dan Alliance of Independent Journalists (AJI) telah menyusun masukan kepada Kelompok Kerja UPR 2022. Dalam suatu laporan mereka menyajikan suatu evaluasi sejauh mana Indonesia telah merespons pada segala rekomendasi yang dihasilkan melalui UPR 2017. Evaluasi ini juga menyangkut rekomendasi-rekomendasi sejauh yang berkaitan dengan isyu-isyu HAM di Papua, serangan serta intimidasi terhadap pembela Ham, dan diskriminasi terhadap minoritas-minoritas religius. Disamping itu juga diuraikan sejauh mana ada ruang untuk peranan sipil di Indonesia. Artinya, sejauh mana kebebasan mengungkap pendapat dan hak berkumpul dijamin dan diindahkan. Dalam kerangka itu juga diberikan perhatian secara khusus pada Kode Kriminal dan perundangan Electronic Information and Transactions (ETI), yang dipakai untuk mengkriminalisasi ‘ungkapan kebencian’ (hate speech) dan ‘penghinaan keagamaan’.  Kedua organisasi berpendapat bahwa ruang bagi ‘peran dan hak sipil’ makin dipersempit selama tahun-tahun terakhir ini.  Lantas banyak orang agak mudah dikriminalisasi karena ungkapannya dengan memakai kerangka hukum yang ada (Kode Kriminal dan ETI) yang memanfaatkan ‘kekaburan, multi-tafsir, sejumlah definisi pelanggaran’. Mereka juga memberikan perhatian khusus pada ancaman terhadap para pembela hak di sektor Lingkungan dan Kewartawanan

Laporan ini sangat mendetail dan kaya informasi, dan diakhiri dengan sejumlah rekomendasi untuk Indonesia, yang – kalau diterapkan – akan turut memperbaiki situasi HAM di Indonesia, secara khusus dalam bidang-bidang yang diberikan perhatian dalam evaluasi ini. Teks lengkap: https://www.amnesty.org/en/documents/asa21/5434/2022/en/

Ada laporan lain lagi mengenai keadaan HAM di Indonesia yang sangat informatif. Laporan itu diterbitkan setiap tahun oleh Kementerian Luar Negeri, Bagian HAM, Pemerintah Amerika Serikat. Laporan ini menyangkut keadaan tahun 2021 dan memberikan banyak informasi secara mendetail mengenai seluruh Indonesia. Di sini kami hanya mengutip 2 paragraf terakhir dari rangkuman (executive summary – maaf kutipan dalam bahasa Inggris), sbb:

While the government took steps to investigate and prosecute some officials who committed human rights abuses and corruption, impunity for historic and recent serious human rights abuses and corruption remained a significant concern, especially as some of those implicated in past abuses received promotions, were given public awards and honors, and occupied senior official positions.

Armed conflict between government forces and separatist groups continued in Papua and West Papua Provinces. There were numerous reports of both sides committing abuses against civilians including killings, physical abuse, and destruction of property. The conflict caused the displacement of thousands of residents. Outside Papua and West Papua, there were numerous reports of unknown actors using digital harassment and intimidation against human rights activists and academics who criticized government officials, discussed government corruption, or covered issues related to the conflict in Papua and West Papua.”

Teks lengkap (45 hlm), lihat: https://www.state.gov/reports/2021-country-reports-on-human-rights-practices/indonesia (Part 1 of 2) dan https://www.state.gov/reports/2021-country-reports-on-human-rights-practices/indonesia (Part 2 of 2)

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] Gerakan TNI/Polri dan TPNPB

*** Selama hari-hari awal bulan ini kota Kenyam (ibu kota Kab Nduga) menjadi medan perang terbuka antara TPNPB dan TNI-Polri. Termasuk dalam tindakan adalah pemboman kota Kenyam oleh TNI-Polri. Kota Kenyam sendiri sudah ditinggalkan warga biasa maupun pemerintah setempat. Berita dari sana sangat terbatas dan kurang jelas sejauh mana peperangan selama beberapa hari berturut-turut menuntut korban. 

*** Pada tanggal 22 April TPNPB menyerang lagi pos Marinir di Kab Nduga. Seorang prajurit ditembak mati.

*** TPNPB juga mengadakan aksi besaran di Ilaga, Kab Puncak. Pada tanggal 5 dan 6 April mereka membakar sejumlah fasilitas perumahan/perdagangan. Aksi itu juga berujung kontak senjata dengan pihak TNI-Polri, namun sejauh diketahui tidak ada korban tembakan.[2]

 

[b] tambahan korban: 

* Tanggal 3 April: Ali Teu Kogoya (35) salah satu anggota TPNPB ditembak mati oleh Satgas Operasi Damai Cartenz. Peristiwa penembakan ini terjadi saat penangkapan di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Minggu (3/4/2022). Kapolda Papua Irjen Pol Mathius Fakhiri mengatakan, tindakan tegas dan terukur terpaksa dilakukan petugas lantaran anggota KKB tersebut berusaha melawan.[3]

* Tanggal 12 April: dua tukang ojek ditembak oleh TPNPB di Tingginambut, Kab Puncak. Satu meninggal, yang lain terluka serius. Pihak keamanan berjanji mengejar para pelakunya. [4]

* Tanggal 22 April: sekelompok TPNPB kembali menyerang pos Satgas Muara Perairan, Marinir di Kalikote, Kab Nduga. Dalam serangan ini seorang prajurit, Dwi Miftahul Ahyar, ditembak tewas, sedangkan satu lain, Lilik Cahyanto, terkena rekoset di bagian bahu. [5]

* Tanggal 23 April: Dalam kontak senjata di kampong Erogama, distrik Omukia, Kab Puncak, dua anggota TPNPB, Luki Murib dan Badaki Kogoya, ditembak mati oleh Satgas Operasi Damai Cartenz. [6]

* Tanggal 25 April: Penembakan kembali terjadi oleh orang tidak dikenal (OTK). Dalam penembakan ini satu warga sipil tewas. Kapolda Papua Irjen Pol Mathius Fakhiri meminta kepada warga sementara tidak aktivitas di luar rumah jika tidak ada kepentingan mendesak. [7]

* Tanggal 30 April: Dua prajurit Yonif R 408/SBH terluka akibat kontak senjata dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Pasar Tradisional Ilaga Kampung Kago, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, Sabtu (30/4/2022). Kedua korban dievakuasi ke Timika demi perawatan medis.[8]

[c] tambahan pasukan:

* Tanggal 3 April 200 personnel Satgas Organik Yonif 136/TS tiba di Manokwari. Menurut Dandim 1801/Manokwari, pasukan Satgas ini akan menempati empat pos pengamanan di teritorial Kodam XVIII/ Kasuari selama 9 bulan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[9]

* Tanggal 27 April, Panglima Kodam VI/Mulawarman Mayor Jenderal TNI Teguh Pudjo Rumekso menemui prajurit Batalion Infanteri Raider 600 Modang di markas komando mereka di Manggar, Kalimantan Timur, untuk meninjau kesiapan penugasan mereka di Papua. Mereka merupakan suatu pasukan elite, yang secara khusus juga dilatih untuk tindakan antiterrorism dan antiguerrilla. [10]

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA dan SUASANA WILAYAH KONFLIK

[a] Para pengungsi masih tetap dilupakan. Inilah kesimpulan dalam refleksi Paskah oleh Rode Wanimbo, seorang perempuan aktivis yang memperhatikan nasibnya para pengungsi. “Tiga tahun para pengungsi memaknai Natal dan Paskah di tempat-tempat pengungsian. Kerinduan untuk pulang ke rumah dan kampung halaman hanya tinggal kerinduan. Dalam situasi tersebut, pemerintah justru menyelenggarakan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua. Agenda nasional ini mengeluarkan tidak sedikit dana. Undang-Undang Otonomi Khusus Jilid II Papua dipaksakan tanpa evaluasi dan rapat dengar pendapat rakyat. Pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penambahan daerah otonom baru (DOB) tanpa mekanisme yang sewajarnya, semakin memperparah kualitas hidup dan kondisi rakyat, yang haknya terus menerus secara sengaja dilupakan”. [11]

 

[4] OTSUS & PEMEKARAN & POLA PEMBANGUNAN DI PAPUA

[a] DPR memutuskan Papua menjadi 5 provinsi: walau di mana-mana di Papua diadakan aksi memprotes pemekaran, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), melalui Badan Legalisasi DPR, tidak menghiraukannya. Secara sepihak Badan Legalisasi DPR menyetujui 3 RUU daerah otonom baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah (12/4). Menurut Ketua DPR, Puan Maharani, kebijakan ini disetujui supaya pembangunan dipercepat merata di Papua. “RUU yang mengatur pemekaran tiga wilayah baru ini juga sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Papua,” ujar dia. Sudah tentu pemakaian argumen stereotip tadi, yang makin kurang berisi dibandingkan dengan kenyataan de facto di Papua, tidak diambil serius lagi oleh semua pihak kritis yang tahu apa yang sebenarnya menjadi latar belakang pemekaran ini, yakni strategi keamanan serta peluang ekonomi. Maka juga tidak mengherankan bahwa kritik yang cukup tajam diutarakan sejumlah pihak. Antara lain Amnesty Internasional Indonesia dan Imparsial mengungkapkan kekuatirannya bahwa kebijakan sepihak ini (tanpa pelibatan rakyat Papua) dan penambahan kehadiran TNI-Polri (tambahan kodam, kodim etc) hanya akan memperparah konflik di Papua dewasa ini. Jelas pemekaran sepihak demi keamanan tidak merupakan suatu jawaban atas masalah di Papua dan sudah ditolak dengan begitu jelas oleh masyarakat luas di Papua. [12]

Secara khusus seorang pakar, Ngurah Suryawan, yang bertahun-tahun mengadakan penelitian yang berkesinambungan di Papua, dan bekerjasama dengan Universitas Papua di Manokwari, patut didengar komentarnya.  Dua hal utama yang jadi sorotan, yaitu minimnya kajian mendalam, serta tidak dilibatkannya rakyat Papua dalam keputusan ini.  “Desain pemekaran dalam konteks di Papua itu seharusnya harus matang persiapannya, tidak bisa secepat yang ada sekarang”, kata Ngurah kepada Kompas (8/4). Papua memiliki kompleksitas masalah tersendiri, mulai dari sejarah kekerasan, keberagaman suku yang begitu kaya, hingga isu-isu kesejahteraan. Selama ini, pemekaran wilayah di Papua disajikan seakan-akan menjadi jawaban atas masalah-masalah tersebut. Namun, Ngurah beranggapan bahwa tanpa kajian mendalam, pembentukan provinsi baru adalah upaya elite untuk menyederhanakan masalah yang ada di Papua. Dia menilai, dari apa yang sudah terjadi di tingkat kota dan kabupaten di Papua, pemekaran justru jadi ajang elite-elite lokal berebut jabatan di birokrasi, akses anggaran, proyek, dan kue-kue kekuasaan lainnya. “Saya tidak melihat sampai sekarang, apakah misalnya daerah-daerah pemekaran di Papua Barat seperti Maybrat, Pegunungan Arfak, Sorong Selatan, itu kesejahteraan dan pelayanan publiknya meningkat. Itu seharusnya dievaluasi dulu sebelum mendesain ulang pemekaran baru,” jelas Ngurah. Selain itu pemerintah pusat telah memastikan wewenang untuk bertindak secara sepihak saja melalui revisi UU Otsus. Dalam UU Otsus I pemekaran hanya dapat ditetapkan dengan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Namun dalam UU Otsus II ditambah satu ayat khusus pada Pasal 76, yang memungkinkan bahwa Pemerintah Pusat dapat menetapkan pemekaran tanpa perlu melalui yang berwenang di Papua atau melalui persiapan di Papua sendiri. Ngurah yang telah meneliti isu sejarah, politik, budaya, kekerasan dan terbentuknya elite lokal di Papua sejak 2009 ini berpendapat, pelibatan rakyat Papua bersifat kunci. Namun menurutnya tendensi pemerintah untuk tidak melibatkan rakyat Papua dalam melakukan pemekaran sudah terlihat sejak lama. Megawati sewaktu presiden sudah tidak menghiraukan peraturan dalam UU Otsus I sesaat membenarkan secara sepihak pemekaran Papua menjadi dua Provinsi (Instruksi Presiden No. 1, tahun 2003). Tak heran karena Jakarta memang juga memiliki kepentingan terhadap pemekaran wilayah di Papua. Mulai dari investasi, bisnis tambang, dan bertambahnya keperluan pengamanan baik polisi maupun tentara. “Daerah-daerah pemekaran baru ini bisa menjadi wilayah-wilayah baru untuk investasi, atau eksploitasi sumber daya alam. Kita lihat misalnya Tambrauw di Papua Barat, lalu Kab Raja Ampat. Lalu ini (pemekaran wilayah) memperluas territory keamanan, terbentuknya kodam-kodam baru, misalnya,” ucap Ngurah.[13]

Seorang pakar lainnya membandingkan kebijakan Indonesia dewasa ini dengan model pemerintahan kolonial Belanda. Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, yang tergabung dalam ‘Koalisi Kemanusiaan untuk Papua’, mengatakan kebijakan pemekaran Papua ini menambahkan ketidakpercayaan masyarakat Papua pada pemerintah. "Pemekaran top down yang dibuat sepihak oleh pemerintah pusat ini seperti mengulangi model tata kelola kekuasaan Belanda untuk terus melakukan eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah Papua," kata Cahyo dalam keterangan pers yang diterima CNN Indonesia, Jumat (8/4). [14]

[b] demo penolakan Otsus dan Pemekaran: sementara dapat dicatat bahwa aksi demo massal tanggal 1 April di Jayapura tetap berjalan walau tidak dapat dijalankan sebagaimana direncanakan. Long march dihalangi pihak keamanan dan demo akhirnya dibubarkan paksa. [15]

 

[c] ada prioritas lain daripada pemekaran: yang menarik bahwa dalam kerangka penolakan pemekaran akhirnya juga ditarik perhatian pada prioritas lain yang sewajarnya diberikan tempat terlebih dahulu. Antara lain diangkat sangat membutuhkan membenahi pemerintahan tingkat Kabupaten. Juga otonomi khusus tingkat kampung mulai diangkat sebagai pintu masuk peningkatan kesejahteraan di Papua yang jauh lebih efektif daripada rencana pemekaran yang dijagokan pemerintah pusat. Menurut seorang ahli utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) R. Siti Zuhro, implementasi UU Otsus harus mengedepankan kesejahteraan masyarakat lokal. [16]

 

Rupanya soal pemekaran serta Otsus tetap mendominasi aksi politik di Papua. Makin banyak aksi penolakan dijalankan, namun lazimnya disambut dengan tindakan represif saja. [17] Dan makin kentara juga bahwa bukan saja mahasiswa dan ribuan warga biasa di pelbagai wilayah yang bergerak di Papua, namun juga sejumlah ilmuwan mulai menyampaikan suatu analisanya. Nada dasar sebenarnya sama: jangan mengadakan pemekaran. Karena akan meningkatkan konflik di Papua dan tidak akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat adat di Papua. Prioritas perhatian demi bidang lainnya, seperti pemberdayaan pemerintahan Kabupaten dan fokusnya pada kesejahteraan masyarakat lokal, juga mulai disuarakan sebagai suatu sumbangan pikiran yang konstruktif. Namun, yang sangat mengganggu dalam keadaan ini adalah bahwa sejumlah pejabat tinggi di Jakarta dan didukung DPR RI, secara khusus Komisi II, berjalan terus dengan mereka punyai rencana dan kemauan politiknya. Proses sepihak demikian sudah selama 2 tahun lebih terus didorong kuat, secara khusus oleh Tito Karnavian (pada awalnya sebagai Kapolri dan selanjutnya sebagai Menteri Dalam Negeri), oleh Mahfud MD sebagai Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan, dan Wakil V Kepala Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, yang bergerak dalam suatu kekompakan yang signifikan.[18] Pameran ketidakpedulian mereka dengan suara rakyat, apalagi suara dari rakyat yang langsung berkepentingan memang sangat patut dipertanyakan. Kapan mereka akan menghentikan main kuasa melulu dan menghentikan bahasa politiknya yang menyesatkan seperti ‘pemerataan kesejahteraan demi kepentingan orang asli Papua, dll’ yang sebenarnya tidak mempunyai dasar dalam analisa keadaan yang sebenarnya? Kapan akan mereka beralih kembali pada tugas utamanya, yakni: mendengar dan melayani masyarakat??? Seketika membaca komentar yang baru dari Mahfud MD, ternyata tidak ada harapan lagi akan perubahan ini. Mahfud mengakui telah menerima aspirasi penolakan pemekaran Papua dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Amnesty International Indonesia, namun Mahfud berdalih bahwa jumlah masyarakat yang mendukung pemekaran jauh lebih banyak. Malahan akhir ini Mahfud mengikuti contoh menteri Luhut, dan mulai mengklaim mengantongi data bahwa mayoritas rakyat Papua meminta pemekaran. Menurutnya ada suatu survei – diadakan oleh salah satu lembaga kepresidenan – yang menunjukkan bahwa 82% dari rakyat Papua mendukung rencana pemekaran ini.[19] Tidak dijelaskan oleh Mahfud, survei macam apa, lembaga jasa survei mana, di mana, melibatkan siapa? dst. Ia hanya klaim ‘memiliki data dukungan besar itu’, dan menegaskan bahwa proses pemekaran Papua tetap berjalan tanpa perlu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (perihal gugatan ‘judicial review’ Otsus II). [20] Akhir-akhir ini juga makin banyak oknum yang mengklaim mewakili pemuda adat Papua atau kepala-kepala suku dst, muncul – untuk sebagian di Jakarta – dan mengungkapkan secara lantang bahwa masyarakat adat Papua sangat dibantu dengan adanya pemekaran. [21] Mereka ini diurus siapa, itu tidak jelas. Namun yang jelas bahwa mereka mewakili ‘suara sponsor-nya’ dan bukan masyarakat adat Papua. Ternyata gerakan “Penguasaan Papua” dijalankan dengan segala cara, sedangkan “Kebenaran dikorbankan”! Memang, sangat memprihatinkan!! (TvdB) 

 

[5] SOAL HUKUM /KEADILAN

[a] kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014: Seorang perwira purnawirawan TNI ditetapkan sebagai tersangka tunggal dalam kasus ini. Yakni seorang komandan TNI.[22] Kejaksaan Agung, melalui kepala pusat penerangan hukum, menjelaskan peristiwa pelanggaran HAM berat ini terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer (15/4). Namun sampai ini tersangka belum ditahan. Tambah lagi ada kekuatiran bahwa dalam kasus ini, yang sebenarnya melibatkan banyak orang akhirnya hanya satu orang diadili sebagai ‘kambing hitam’. Perlu ada tersangka yang lebih banyak. Tak mungkin hanya satu yang dijadikan kambing hitam, dan dengan demikian semua yang lain dilindungi/ditutupi.[23]

Walau kekuatiran tadi sudah cukup lama terungkap secara jelas dan publik, ternyata Kejaksaan Agung tetap akan menjalankan proses pengadilannya dengan hanya satu tersangka saja, dan proses akan dijalankan dalam waktu dekat di Pengadilan HAM Makassar.[24] Cara investigasi ini yang membatasi jumlah tersangka pada seorang pensiunan TNI saja sudah dinilai tidak memenuhi hukum dan keadilan yang semestinya. Menurut Direktur Elsham di Papua, ada kesan kuat bahwa sekali lagi pola keadilan dipermainkan, dan hanya dijalankan supaya komunitas internasional diberikan kesan salah satu kasus pelanggaran HAM berat sudah ditangani. Cara ini justru tidak dapat dibenarkan dari segi perasaan ‘keadilan sudah tercapai’. Cara ini hanya berupaya melindungi para pelaku dan memberikan kesan bahwa justru para korban adalah pihak yang bersalah. Sikap Kejaksaan Agung sangat mengecewakan segala pihak yang masih menjunjung tinggi keadilan untuk diwujudkan bagi semua. Sudah tentu kaum kerabat para korban sama sekali tidak dapat menerima cara pengadilan ini, kata direktur Elsham[25]  

 

[b] delapan mahasiswa pengibar Bintang Kejora disidangkan: setelah ditahan lebih dari 4 bulan, baru bulan ini kasus pengibaran bendera 1 Des 2021 yang melibatkan 8 mahasiswa mulai disidangkan (19/4). Koordinator Koalisi Penegak Hukum dan HAM, Emanuel Gobay, meminta aparat penegak hukum hentikan menggunakan kriminalisasi pasal makar terhadap 8 mahasiswa pengibar bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih Jayapura. [26]

 

[6] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYAT di PAPUA

[a] persoalan penghentian beasiswa sejumlah mahasiswa di luar negeri: Ternyata banyak mahasiswa/I Papua di luar negeri tetap mengalami kesulitan bahwa beasiswa mereka tidak dijalankan atau malahan dihentikan. Baik sejumlah mahasiswa di Selandia Baru maupun 250 mahasiswa yang berada di Amerika Serikat dan Kanada.[27]Dalam rapat daring para mahasiswa Papua menyampaikan keresahannya karena beasiswa pendidikan dan biaya hidup mereka tak kunjung dibayarkan. Mereka juga menyampaikan nasibnya 84 mahasiswa yang dipulangkan Pemerintah Provinsi Papua melalui Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM).  Sekarang mereka (250 mahasiswa) sudah selama empat bulan tidak mendapat bantuan beasiswa yang dibutuhkan. ‘Tidak membayar’ punyai cukup banyak konsekuensi yang tidak baik hingga mereka telantar. Semuanya serba tidak jelas, termasuk perintah memulangkan 84 mahasiswa bulan Desember 2021. Para mahasiswa ingin mendiskusikan tindakan-tindakan BPSDM dengan lebih baik dan terbuka, namun ternyata sangat sulit untuk mendapat jawaban atas segala pertanyaan. [28] Siapa peduli dan dapat mengurusnya? Oleh pemerintah di Papua kementerian didesak untuk menyalurkan beasiswa semestinya.[29]

Sejumlah mahasiswa (34 orang) di Selandia Baru yang diperintahkan pulang oleh Indonesia dapat merasa lega, karena imigrasi Selandia Baru telah menyetujui untuk menyiapkan visa baru untuk mereka hingga tidak akan dideportasi. Dimotori oleh Green Party suatu aksi untuk membantu ke-34 mahasiswa itu sedang berjalan memungkinkan mereka merampungkan studinya di Selandia Baru. [30]

Sementara Gubernur Papua telah memerintahkan BPSDM untuk mengirimkan dana uang kepada para mahasiswa beasiswa Papua di luar negeri. Uang itu diambil dari Dana Cadangan Pemerintah Provinsi dan dimaksudkan untuk menyelesaikan tunggakan biaya studi dan biaya hidup untuk periode Januari-April 2022. Kepala BPSDMmenyatakan (26/4) bahwa uang itu sudah dikirim kepada 355 mahasiswa terbagi atas 5 negara (204 di Amerika Serikat; 68 di Australia; 7 di Jepang; 17 di Kanada; 59 di Selandia Baru). Uang itu tidak dikirim kepada 142 mahasiswa yang sudah diperintahkan pulang karena tidak menyelesaikan studi tepat waktu. [31]

 

[b] pertambangan emas secara ilegal akan ditanganimungkin berkaitan dengan kecelakaan truk penumpang pendulang emas (16 orang meninggal) di wilayah Pegunungan Arfak, dan berkaitan dengan penuduhan bahwa pihak keamanan membiarkan pertambangan ilegal, , sekarang muncul berita bahwa maraknya pertambangan emas ilegal akan ditangani dengan lebih serius. Kapolda Papua Barat, Irjen Pol Tornagogo Sihombing menyatakan sudah berkoordinasi dengan Bareskrim Polri terkait maraknya penambangan emas ilegal di Kabupaten Manokwari dan Pegunungan Arfak. Jajarannya, kata Kapolda Papua Barat, fokus menangani kejahatan lingkungan, termasuk penambangan emas ilegal yang mengancam kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan di balik penggunaan zat kimia berbahaya.[32]

Bukan saja di sekitar Manokwari lokasi pertambangan ilegal dijadikan sasaran tindakan. Juga di sekitar Timika aparat telah mengambil tindakan menghentikan kegiatan para pendulang emas ilegal (23/4). Di sekitar Kali Kabur dan Camp David Tembagapura para pendulang diminta meninggalkan tempatnya. Karena ada yang berontak, aparat juga memakai gas air mata untuk memaksa mereka. [33]

 

[7] LINGKUNGAN, DEFORESTASI, INDUSTRI PERKEBUNAN

[a] rencana pusat antariksa di Biak: akhir-akhir ini masyarakat lokal di Biak mulai meminta perhatian dengan lebih serius atas ketakutan berkaitan dengan perwujudan program antariksa di Biak. Antara lain suku Abrauw menyatakan bahwa dengan adanya program ini mereka punyai hutan akan musnah. Dengan demikian baik peluang hidup sehari-hari maupun pola kepercayaan dan pola hidup akan turut dimusnahkan. Dalam diskusi sekitar program ini juga menjadi makin jelas bahwa penyerahan tanah demi proyek ini ternyata penuh kejanggalan, maka tidak dapat dibenarkan. [34]

Walau masyarakat mulai mengungkapkan kekuatirannya, Bupati Biak-Numfor, Herry Naap, menyampaikan bahwa sebenarnya proyek Bandar Antariksa bisa berdampak positif kepada kabupaten ini. Pasti akan menambahkan peluang tempat kerja, peningkatan infrastruktur hingga peningkatan kesejahteraan masyarakat. Beliau berjanji: “kalau banyak dampak buruknya, saya sendiri yang akan menghentikan”. [35]

 

[b] ‘food program’ dan deforestasi: menurut suatu laporan yang diterbitkan oleh salah satu lembaga lingkungan internasional, Mongabay, rencana food program (program pangan) yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia akan meningkatkan deforestasi secara signifikan serta membawa akibat pelepasan emisi massal. Suatu wilayah seluas negara Belgia akan dibersihkan di Papua untuk menanam pangan. Suatu analisa menunjukkan bahwa hanya program di Papua ini saja sudah akan melepaskan 616 juta metric tons ‘greenhouse gases’; jumlah itu sama dengan sepertiga volume emisi per tahun yang sekarang ini diadakan oleh Indonesia; jumlahnya juga sama dengan volume yang di-emisi oleh Australia selama satu tahun. Menurut Mongabay pejabat pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka akan berupaya untuk membatasi semaksimal mungkin wilayah yang dibersihkan demi tanaman pangan; mereka akan memberikan prioritas kepada wilayah-wilayah yang sudah bukan hutan murni lagi. Namun menurut para peneliti rencana kerja mengenai berapa banyak hectare hutan yang mau dibersihkan tetap tidak jelas, maka mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali ‘food program’ ini dari segi kerugian potensial yang menjadi akibatnya.[36]

 

[c] Papua kehilangan ‘salju abadi’salah satu fenomena alam yang sangat dibanggakan para penduduk Papua adalah tempat-tempat ‘salju abadi’ di baik Pegunungan Carstenz maupun di Puncak Jaya. Di Carstenz, tempat ‘salju abadi’ masih seluas 2 km2 pada tahun 2002. Namun 2018 luasnya sudah berkurang menjadi 0,46 km2, dan tahun 2021 menjadi 0,27 km2. Maka, akan hilang total antara 2025 dan 2027. Diprediksi bahwa ‘salju abadi’ di Puncak Jaya masih akan bertahan sampai sekitar 2030. Dengan demikian Papua kehilangan salah satu hal yang sangat dibanggakan dan yang memberikan kekhususan kepada Papua selama 5.000 tahun. [37]

 

[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] jalan mundur penyelesaian konflik di Papuaada kesan bahwa selama tahun terakhir ini tidak ada kemajuan nyata dalam penyelesaian konflik di Papua. Malahan sebaliknya, ada yang menyatakan bahwa ada jalan mundur saja. Kesimpulan ini dikaitan dengan evaluasi ‘pendekatan baru’ yang dijanjikan akhir tahun lalu, namun sampai saat ini belum terbukti sama sekali. Kontak senjata tetap berjalan, korban tetap jatuh. Pemerintah mengklaim bahwa pendekatan territorial serta pembinaan rakyat sudah berjalan dengan baik, namun klaim demikian tidak terbukti dalam keadaan di lapangan. Unsur lain yang menjadi perhatian dalam penilaian ‘kemunduran’ tadi adalah soalnya rencana pemekaran. Sekali lagi suatu pendekatan penguasaan melulu ditonjolkan.  Program pemerintah pusat mau dipaksakan pelaksanaannya tanpa melibatkan pihak yang paling berkepentingan, yakni rakyat Papua. Proses dan pola yang sama dialami seperti sewaktu UU Otsus direvisi tanpa mendengar suara dan protes lantang dari rakyat Papua. Hanya yang pemerintah pusat menilai benar dianggap benar, yang disuarakan oleh rakyat dinilai tidak benar. Hasil utama: kepercayaan rakyat Papua pada pemerintah pusat turun sampai di bawah nol. Akar masalah sebagaimana pernah ditunjuk oleh para peniliti LIPI – roadmap Papua - tidak dihiraukan. Maka, langkah apapun tidak menjawab masalah-masalah yang sebenarnya, seperti [1] soalnya sejarah pengintegrasian Papua ke dalam Republik Indonesia, [2] soalnya pelanggaran HAM berat di Papua selama ini; [3] soalnya pola pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Papua, hingga orang Papua dimarginalisasi, dan [4] soalnya diskriminasi terhadap orang Papua. 

Solusi di Papua hanya dapat tercapai melalui suatu proses dan pendekatan dialog yang sejati; suatu dialog yang tidak menghindari substansi politik dari konflik yang ada. Seorang tokoh gereja di Papua, Benny Giay menekanklan bahwa perbedaan persepsi mengenai pengintegrasian Papua ke dalam Republik Indonesia perlu didialogkan. Selama persepsi itu tidak dapat disamakan, suatu jalan maju sulit tercapai. Ia menyatakan Dewan Gereja Papuamenduga pemerintah sengaja memelihara konflik di Papua, meski kerap mengklaim pendekatan dengan bahasa damai. Tapi upaya damai itu cuma formalitas. “Bahkan gereja melihat ada OPM piaraan dari aparat keamanan pemerintah”, katanya. Perlu dialog yang sejati; perlu proses seperti dijalankan berkaitan dengan konflik di Aceh. Kenapa konflik di Papua tidak ditangani dengan pola yang sama? 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menekankan hal yang sama. Ia mengatakan solusi untuk mengatasi konflik di Papua berada di tingkat politik, yaitu lewat negosiasi politik. “Karena itu muncul tuntutan untuk perundingan damai atau dialog sebagaimana disuarakan Dewan Gereja dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia”, katanya. 

Dalam konteks ini pernyataan dari seorang staf ahli Kantor Staf Kepresidenan Bidang Papua, Theofransus L.A. Litaay, berbunyi agak naif. Ia mengatakan berbicara mengenai konflik di Papua mesti dengan data. Sebab, kondisi yang terjadi saat ini bukan lagi konflik, melainkan serangan sporadis oleh kelompok bersenjata. “Mungkin untuk menciptakan konflik. Lokasinya pun di wilayah tertentu saja”, katanya. Ia mengklaim pendekatan pemerintah yang menerapkan kebijakan pembinaan territorial dan komunikasi sosial sudah berjalan dengan baik dalam mengatasi konflik di Papua. [38]

 

[b] ‘pembangunan damai’ lain daripada ‘peningkatan kesejahteraan’: Pemerintah di Indonesia menilai bahwa ‘pembangunan’ (peningkatan kesejahteraan) adalah kunci penyelesaian konflik di Papua. Maka ada banyak investasi, pengembangan infrastruktur, proyek ekonomis dst. Namun pendapat itu sudah cukup lama dijemput dengan kritik, karena kemungkinan besar bahwa pemerintah bekerja dengan suatu asumsi mengenai pembangunan yang kurang tepat. Persoalan ini menjadi tema inti satu diskusi yang diselenggarakan oleh Imparsialdi Jakarta (18/4), dan melibatkan sejumlah orang yang berpengalaman dalam ‘pembangunan damai’ di wilayah konflik.  Di bawah ini kami mencatat beberapa masukan mereka. [39]

Irine Morada Santiago, seorang negotiator damai di Filipina mencatat bahwa banyak pihak salah memahami ‘pembangunan’ sebagai sarana membawa damai. “Pembangunan bukan damai, dan damai bukan pembangunan”, katanya. Peacebuilding (upaya menciptakan damai) adalah suatu proses yang berupaya menambahkan connectors (koneksi-koneksi) dan mengurangkan dividers (pemecah-pemecah) sehingga pembangunan bisa terwujud. Sementara, pembangunan adalah proses peningkatan kapasitas (pemberdayaan) dan mengurangi vulnerability(mudah menjadi korban) yang dialami oleh masyarakat. Pembangunan perlu dipahami sebagai suatu upaya untuk memperluas akses dan meningkatkan pilihan-pilihan yang dapat diputuskan oleh masyarakat dalam melestarikan hidupnya dan menentukan nasibnya sendiri. Memang dalam praktik ada hubungan timbal balik antar pembangunan dan damai, namun kenyataan demikian tidak dapat dipakai untuk membenarkan bahwa pembangunan adalah jalan menuju damai.

Delsy Ronnie, seorang peneliti yang memfokuskan pada studi resolusi konflik dan pernah terlibat dalam proses penyelesaian konflik di Aceh, menekankan bahwa pembangunan seharusnya memperkuat kepercayaanmasyarakat pada pemerintah. Kalau pola pembangunan tidak mampu membangun kepercayaan publik itu, segala pembangunan fisik tidak akan membawa dampak banyak pada perwujudan damai di Papua. Maka, pemerintah perlu ulang mengevaluasi pembangunan macam apa sedang dijalankan di Papua. Pembangunan infrastruktur yang tidak bermanfaat bagi masyarakat biasa, pelayanan publik yang disertai diskriminasi, proyek-proyek yang membuka pintu ke kekerasan adalah macam-macam jenis pembangunan yang tidak membawa damai, sebaliknya. Menguat pelayanan medis, pelayanan pendidikan dan pelayanan publik lainnya yang merangkul masyarakat yang mengalami konflik, anggota kelompok yang berseberangan, dan kelompok-kelompok minoritas, dapat menyumbang pada pembangunan damai. Ronnie menyebut itu ‘pembangunan transformatif’. 

Pimpinan  Jaringan Damai Papua (JDP), Pastor John Bunay, membenarkan bahwa memang pembangunan di Papua tidak menyumbang pada penciptaan damai.  Dia juga menekankan bahwa kepentingan para elite bisnis tidak sejalan dengan nilai-nilai orang Papua yang merawat dan melestarikan lingkungannya sebagai suatu bagian alami/integral dari hidupnya. Ia mengakui bahwa memang ‘kami perlu perbaikan pelayanan kesehatan, pendidikan dan ekonomi, namun itulah suatu langkah kedua’. Pertama-tama kami membutuhkan bahwa pemerintah menjalankan suatu dialog dengan orang Papua untuk membuat suatu peta permasalahan komunitas akar rumput. Ia menyarankan supaya Jokowi membentuk suatu tim khusus yang terdiri dari anggota-anggota Majelis Rakyat Papua (MRP). Tim itu dapat bekerja bersama para pemimpin adat, agama dan tokoh-tokoh lokal untuk mendengar aspirasi-aspirasi orang asli Papua. Damai yang berkelanjutan hanya dapat kita peroleh melalui suatu dialog sejati. Dialog ini hanya dimungkinkan kalau para petinggi (pengambil keputusan) di Jakarta akhirnya mau mendengar rakyat Papua. Waktu menyatakan demikian dia sesuara dengan Irine dari Filipina. Irine menekankan bahwa langkah pertama dan utama yang perlu diambil pemerintah adalah untuk membuka ruang bagi komunitas/masyarakat untuk menyuarakan aspirasi serta kebutuhannya, karena mereka sudah terlalu lama dibungkamkan oleh kekerasan dan konflik yang berkesinambungan. 

Apakah masih ada ruang untuk ‘saling percaya’ dan ‘dialog’?
Bulan lalu kita semua merasa sedikit lega sewaktu pemerintah menyatakan bahwa bersedia memasuki suatu dialog dengan segala pihak berkepentingan di Papua, termasuk yang berseberangan dengan pemerintah. Komnas HAM dikerahkan untuk memprakarsai dialog itu. Bulan ini kata ‘dialog’ atau upaya ke arah itu kurang terdengar. Sebaliknya yang menonjol adalah sikap pemerintah serta lembaga-lembaganya yang menolak dialog, dan memilih untuk bertindak sepihak. Suara orang-orang kritis, termasuk yang membawa argumen-argumen yang masuk di akal, ditolak, tidak mau didengar. Kami mulai sadar bahwa sikap pemerintah pusat diwarnai kuat oleh persepsi bahwa ‘apa yang dipikirkan pemerintah itu benar, dan yang dipikirkan rakyat adalah tidak benar’.  Suatu sikap yang sangat merugikan kita semua, dan mengandung bahayanya besar akan berujung penyangkalan martabat banyak orang. (TvdB)

 

[9] GERAKAN POLITIK PEMERINTAH PAPUA & PAPUA BARAT

[d] DPR Papua menyerahkan aspirasi masyarakat Papua resmi kepada DPR RI:   Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menyerahkan resmi kepada Badan Legalisasi DPR RI pernyataan mengenai aspirasi masyarakat Papua berhubungan dengan rencana pemekaran (13/4). Wakil Ketua III, DPRP, Julianus Rumbairusy menyatakan bahwa aspirasi masyarakat memang jumlah terbesar masyarakat menolak pemekaran, walau ada satu dua yang menerimanya seperti di Papua Selatan, Tabi dan Saireri. Sementara itu anggota DPR Papua, John Gobai menjelaskan bahwa dalam pasal 76 Ayat 1 dan UU No. 2 tahun 2021 dan Pasal 92 dan Pasal 93 Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2021 dijelaskan bahwa usulan pemekaran juga menjadi kewenangan daerah. “Jadi dasar hukum rencana usulan pemekaran bukan hanya kewenangan pusat tapi juga kewenangan daerah”, katanya. John meminta agar pemerintah pusat tidak mengabaikan Pasal 18B ayat 1 yang menyebut negara mengakui dan menghormati kesatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan peraturan perundangan dan Pasal 4 ayat 2 UU No 21 tahun 2001 bahwa Provinsi Papua diberikan kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali 5 hal yang merupakan kewenangan absolut pemerintah. [40]  

 

Sementara Majelis Rakyat Papua (MRP) bergerak sangat intensif dengan mendatangi sejumlah pejabat tinggi di Jakarta, termasuk Presiden Jokowi.[41] MRP makin menyadari bahwa pemerintah di Jakarta sangat nekad untuk menggolkan pelaksanaan pemekaran di Papua. Pengesahan RUU tiga provinsi baru dikejar dan diperjuangkan kuat oleh sejumlah penguasa, dan MRP merasa makin frustrasi bahwa suara rakyat Papua maupun wewenang MRP/DPRP/Gubernur dalam hal ini sama sekali tidak dihiraukan. Maka, suatu perwakilan MRP pergi ke Jakarta untuk bertatap muka dengan sejumlah pemain kunci, sehingga dapat memberikan informasi benar dari lapangan dan menjelaskan argumen-argumen yang menjadi dasar mereka untuk menolak pemekaran ini. Kesannya bahwa mereka sering merasa bertemu dengan ‘suatu tembok’, seakan-akan semuanya sudah diatur dan tidak akan diubah. Jakarta akan memaksa kehendaknya. Syukurlah, akhir ini ada satu dua anggota DPR yang memberikan kesan bahwa pembahasan 3 RUU itu nanti akan mendengar tanggapan rakyat Papua, termasuk kewenangan MRP. [42]

Dalam pertemuan (25/4) perwakilan MRP dengan Jokowi, yang didampingi tiga pemain kunci dalam soal pemekaran Papua, yakni Menkopolhukam, Mahfud MD, Mendagri, Tito Karnavian dan Wakil V Kepala Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, MRP mengangkat sejumlah hal. A.l. pengalamannya bahwa mereka dihalangi sampai diborgol dan ditahan oleh aparat kenegaraan, yakni kepolisian di Merauke sewaktu ingin mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) berkaitan dengan evaluasi Otsus (Nov 2020). Mereka – totalnya 54 orang di antaranya anggota MRP sendiri - ditahan dan dituduh ‘makar’. Akhirnya dibebaskan karena ‘tidak ada bukti’, namun jelas Rapat Dengar Pendapat tidak dapat dijalankan, walau ini suatu program resmi MRP sebagai lembaga kenegaraanPemboikotan RDP juga terjadi di wilayah lainnya, yakni Jayawijaya (Wamena), namun di situ bukan polisi yang langsung beraksi melainkan kelompok Barisan Merah Putih diandalkan untuk menghindari bahwaRDP dapat diadakan. "Menurut MRP, masyarakat ini pasti diajak dan disuruh kemudian membubarkan kegiatan MRP yang dilaksanakan di lima wilayah," ujarnya. MRP juga menarik perhatian Presiden pada kenyataan bahwa revisi UU Otsus Papua dilakukan tanpa diskusi dan persetujuan rakyat Papua. Mereka pun meminta Jokowi mengevaluasi pembentukan undang-undang itu. Selain itu, MRP meminta Jokowi mengkaji ulang pemekaran tiga provinsi di Papua. MRP meminta pemerintah menunda kebijakan hingga ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) berkaitan dengan judicial review UU Otsus Jld II.[43]
Seusai pertemuan dengan Presiden, Menkopolhukam, Mahfud MD, menegaskan bahwa dalam pertemuan dengan MRP tidak ada keputusan-keputusan yang diambil. Dengan kata lain, tidak ada komitmen atau janji perubahan kebijakan. Maka, pembahasan di DPR RI mengenai RUU pemekaran 3 provinsi baru Papua dapat dijalankan saja sampai tuntas, dan tidak perlu menunggu hasil judicial review UU Otsus Jld II oleh Mahkamah Konstitusi (MK)sebagaimana diminta oleh MRP. [44]

 

 [b] MRP diminta mengadakan ‘rapat dengar pendapat terbuka’: Anggota Forum Pemuda Kristen di Tanah Papua, Eneko Pahabol meminta agar Majelis Rakyat Papua (MRP) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP)secara terbuka yang diikuti perwakilan dari lima wilayah adat di Papua. Pahabol mengusulkan hal itu karena melihat kegagalan MRP menggelar RDP untuk mengevaluasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua pada tahun 2020/2021 lalu. Menurutnya, upaya MRP menggelar RDP evaluasi Otsus Papua diabaikan pemerintah karena dianggap tidak signifikan (4/4/2022). Ketua MRP menyambut saran ini dengan baik, dan membenarkan bahwa tahun lalu, walau MRP berupaya mengadakan RDP per wilayah adat sesuai dengan mekanisme yang berlaku, mereka dihambat oleh aparat keamanan. Saran untuk menggelar RDP secara terbuka dan yang dihadiri oleh perwakilan dari lima wilayah sekaligus, akan dipertimbangkan dengan serius. [45]

 

[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA dan INTERNASIONAL

[a] perpanjangan masa jabatan Presiden: Berkaitan dengan promosi perpanjangan periode kepresidenan, akhirnya gabungan luas para mahasiswa, BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Indonesia), memutuskan untuk mengadakan suatu demo besar-besaran pada tanggal 11 April di depan Istana Presiden. [46] Pihak keamanan akan mengizinkannya. Mungkin karena ‘diperingati’ oleh rencana demo para mahasiswa ini, Presiden selama beberapa hari menjelang demo ini menyatakan dengan jauh lebih tegas bahwa isyu mengenai perpanjangan periode kepresidenan sudah tidak boleh diangkat lagi oleh para pejabat pemerintah termasuk para menteri. Dengan kata lain akhirnya Presiden dengan sangat jelas mengambil jarak dari wacana perpanjangan ini. 

Aksi demo tetap dijalankan, namun lokasinya menjadi di depan Gedung DPR untuk mengingatkan DPR RI untuk menjamin keutuhan Konstitusi dan menerapkannya sebagaimana adanya. Tema pokok tetap “penolakan perpanjangan periode jabatan presiden” dan “penolakan penundaan pemilu 2024”, namun juga perhatian khusus ditarik pada soal ‘kelangkaan minyak goreng’ (karena permainan mafia pedagang), dan kenaikan harga bahan pokok. [47] Aksi demo sebenarnya bukan saja di Jakarta namun juga di sejumlah kota besar lainnya di Indonesia para mahasiswa telah bergerak. Pada umumnya aksi demo berjalan dengan cukup tertib, namun ‘segelintir provokator’ ternyata tetap sempat menyusupi aksi ini, hingga terjadi insiden-insiden dan kekerasan. Di Jakarta seorang pegiat media sosial, Ade Armando, sekaligus dosen di Universitas Indonesia, dikeroyok sampai terluka sangat serius.[48]

BEM SI turun lagi pada tanggal 21 April, di lokasi Istana Presiden. Ada tujuh tuntutan: [1] tindak jelas pada yang melawan Konstitusi dan tolak jelas perpanjangan masa jabatan Presiden; [2] menurunkan harga bahan kebutuhan pokok dan atasi ketimpangan ekonomi; [3] menindak tegas segala tindakan represif terhadap masyarakat sipil dengan mekanisme yang ketat dan tidak diskriminatif; [4] mewujudkan pendidikan ilmiah, gratis dan demokratis; [5] mensahkan RUU pro-rakyat dan menolak RUU pro-oligarki; [6] mewujudkan reformasi agraria sejati; dan [7] menuntaskan seluruh pelanggaran HAM.[49]

 

[b] konflik kepentingan di tingkat pejabat tinggi: melalui kasus pengadilan yang melibatkan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, yang menantang dua tokoh pembela HAM, Haris Azhar dan Fatia (lihat update bulan Maret), publik Indonesia makin disajikan informasi mengenai ‘bahaya konflik kepentingan’ di tingkat pejabat tinggi di Indonesia. Koalisi LSM bergerak dengan melaporkan Luhut pada polisi, namun polisi menolak pelaporan itu. Penolakan demikian sebenarnya melawan hukum yang berlaku. Sekarang publik lebih luas menjadi sadar dan mulai meminta data yang disampaikan kepada polisi terkait Luhut supaya di jadikan publik. [50] Sekaligus dalam media terlihat bahwa ada peningkatan niat untuk mencari tahu dengan lebih mendetail kedudukan persoalan ‘konflik kepentingan’. Majalah Tempo terbitkan suatu artikel yang menggambarkan keterlibatan keluarga Luhut Pandjaitan dan Boy Thohir dalam rencana pembangunan PLTA Kayan, Kalimantan Utara, memasok listrik KIHI. Di dalam artikel ini dicatat bahwa ini merupakan suatu ‘konflik kepentingan tingkat dewa’.  [51]

Dalam kerangka “bahaya konflik kepentingan” ini, Greenpeace juga menarik perhatian pada suatu laporan yang berjudul “Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara”. Elite paling menonjol dalam laporan itu adalah Luhut Pandjaitan. [52]

 

[c] Luhut diberikan tugas tambahan oleh Presiden: Walau menteri Luhut telah menjadi ‘buah bibir’ kalangan kritis, – lebih-lebih berkaitan dengan promosinya perpanjangan jabatan Presiden - sampai diminta untuk mengundurkan diri sebagai menteri, Presiden Jokowi justru mengafirmasi kepercayaannya pada menteri ini dengan mengangkat beliau menjadi Ketua Badan Sumber Daya Air (SDA). Tumpukan jabatan pada Luhut ini sangat mengesankan; inilah jabatan yang ke-8 yang dipercayakan Jokowi kepada Luhut. Pengangkatan ini cukup dipertanyakan karena persoalan air di Indonesia cukup besar, maka menuntut perhatian besar. Bukan saja kalangan LSM (a.l. WALHI dan Greenpeace) mempertanyakan hal in, juga ada kritik dari dalam lingkungan pejabat pemerintah sendiri. Apalagi kekuatirannya tidak lepas dari kemungkinan bahwa akan muncul ‘bahaya konflik kepentingan’ mengingat bahwa Luhut bergerak dalam sejumlah sektor bisnis. [53] Muncul pertanyaan sederhana lainnya: kualitas SDM di kalangan pejabat pemerintah begitu miskin, hingga banyak jabatan dibebankan kepada saru orang? (TvdB)

 

[d] Regresi demokrasi di IndonesiaIndikator Politik Indonesia mengungkap hasil survei terbaru perihal kebebasan berpendapat. Lembaga survei itu menemukan bahwa ada 62,9% masyarakat merasa semakin takut dalam mengeluarkan pendapatnya. [54] Dalam Survei itu kurang dicari tahu kenapa mereka begitu takut. Jawaban, sebagian saja, atas pertanyaan itu mungkin terdapat dalam catatan berikut. Seorang pakar hukum bersama 12 mahasiswa ternyata menjadi sasaran ‘serangan digital’ menjelang aksi demo mereka 21 April baru ini.  Peretasan account media sosial dan tilpon seluler miliknya orang-orang kritis mulai menjadi salah satu ancaman yang sangat riil. Serangan sejenis ini terulang terjadi selama tahun-tahun terakhir ini[55], dan ternyata pemerintah tidak mengambil tindakan seakan-akan memberi impunitas terhadap berbagai bentuk serangan digital terhadap aktivis dan mahasiswa. Seorang pakar hukum dari Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, membenarkan adanya pemerosotan kebebasan sipil dan demokrasi yang dicatat berbagai organisasi. Apalagi banyak kasus pengadilan ruang kebebasan sipil berupa pembungkaman, penangkapan, kriminalisasi, hingga serangan dunia digital berupa peretasan dan berbagai macam ancaman lainnya. “Menjadi jelas kalau Otoriterisme makin menjadi-jadi dan tidak ada niat untuk diselesaikan”, tutur dia. [56]

 

[11] SERBA-SERBI – VARIA

[a] kecelakaan di Distrik Manokwaridi tanjakan tajam KM 10 dari Anggi ke arah Manokwari satu truk yang ditumpangi banyak pekerja pendulang emas terbalik. 13 orang meninggal di tempat, 3 meninggal di Rumah Sakit dan 12 masih dalam keadaan kritis (13/4). 

[b] bantuan untuk warga terdampak konflik: Pemerintah Kab Jayawijaya dan Pemerintah Kab Lanny Jaya memberikan bantuan (Rp 7 miliar) kepada warga yang terdampak pertikaian di Kampung Wouma pada Januari 2022. Puluhan tempat tinggal dibakar massa saat konflik terjadi sehingga pemerintah daerah berjanji akan membantu perbaikan. 

[c] Jayapura bebas ‘blank spot’ jaringan seluler: Wali Kota Jayapura, Benhur Tomi Mano, meminta perusahaan penyedia jasa telekomunikasi memastikan tidak ada lagi ‘blank spot’ jaringan seluler di Kota Jayapura. Mano menegaskan upaya itu perlu untuk memudahkan penanganan situasi darurat yang bisa dialami warga. 

[d] pemekaran boleh jadi, namun semangat ke-Papua-an tetap: Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw mengatakan pemekaran Papua boleh saja terjadi, namun pemekaran itu tidak boleh mengubah semangat ke-Papua-an masyarakat. “UU Otsus Papua telah mengamanatkan hal itu. Berapa pun provinsi yang akan dibentuk melalui pemekaran, semangat ke-Papua-an kita tidak boleh berubah”, kata Awoitauw.

 

Jayapura, 1 Mei 2022

 

SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA IDUL FITRI

MOHON MAAF LAHIR BATIN



[11] Koran JUBI, edisi 20-21 April 2022, hlm. 12: Pengungsi Papua yang dilupakan

[26] Koran JUBI, edisi 20-21 April 2022, hlm. 3: Penegak Hukum diminta tidak gunakan kriminalisasi pasal Makar

[27] Koran JUBNI, edisi 11-12 April 2022, hlm 4: “250 Mahasiswa Papua di Amerika Serikat dan Kanada terancam terlantar”

[35] Koran JUBI, edisi 20-21 April 2022, hlm. 1, 2 dan 26: “Bupati Biak Numfor mengingatkan soal proyek Bandar Antariksa”.

[55] Organisasi sipil South Asia Freedpm of Expression Network (SAFEnet) mencatat kasus serangan digital tahun 2019 sejumlah 24, tahun 2020 menjadi 147 kasus, dan tahun 2021 jumlahnya 193

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.