Saturday, October 1, 2022

PAPUA Report September 2022 (in Bahasa )

PAPUA  2022 September 

Oleh: Theo van den Broek

 

 

[1] PERHATIAN UTAMA

Pembunuhan biadab di Timika dan di Mappi menjadi sorotan khusus banyak pihak.

 

Bersama ini kami mencatat sejumlah aspek berkaitan dengan dua kejadian pembunuhan biadab. 

[1] Pembunuhan keji empat warga Papua [empat warga dibunuh, dimutilasi dan dibuang dalam kali, 22/8] yang melibatkan sekurang-kurangnya 8 anggota TNI [1] dan 4 warga sipil, bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tapi juga berpotensi memicu eskalasi konflik. Dampak buruk pendekatan keamanan. 

[2] Bukan saja ada kasus yang sangat biadab ini di Mimika  melainkan juga di wilayah Mappi, dimana seorang warga dianiaya sampai mati oleh anggota-anggota TNI (29/8). Penganiayaan itu disaksikan oleh komandan pos. [2]

 

Kedua kejadian dikutuk oleh pelbagai organisasi dan pribadi orang. Bukan saja massa di Mimika berprotes, bukan saja para mahasiswa, namun juga organisasi-organisasi yang peduli keadilan dan martabat setiap orang, termasuk pihak gereja. Ada pengutukan keras oleh Uskup Agung di Merauke berkaitan dengan peristiwa di wilayah Mappi yang tidak kalah keji nya dengan apa yang terjadi di Mimika. Kesadaran akan kebiadaban peristiwa-peristiwa pembunuhan ini juga terungkap oleh Presiden sendiri yang memerintahkan pihak yang berwajib untuk menyelesaikan peristiwa ini dengan segera, transparan, dan tanpa intervensi pihak mana pun. 

Ketegasan Presiden betul dibutuhkan dalam hal ini, supaya terjaga terbukanya penyelesaian sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Ingatkan saja bahwa komandan pos di Mappi meminta bantuan uang jumlah besar dari Pemda hingga dipakai untuk ‘membayar kepala’ kepada keluarga korban, sebanyak 200 juta, sedangkan sisanya akan dipakai untuk membayar orang hingga berita peristiwa ini tidak disebarluaskan. Sudah tentu bahwa berita ini menunjukkan sekurang-kurangnya empat hal: [a] bahwa tetap ada kecenderungan para pelaku aparat untuk menutupi kejadian yang melanggar segala nilai kemanusiaan; [b] pembayaran ‘uang kepala’ disertai pemaksaan pihak TNI kepada keluarga korban untuk menandatangani pernyataan bahwa dengan ada ‘pembayaran kepala’ semuanya sudah selesai dan tidak akan dilaporkan menjadi kasus hukum; [c] keyakinan alias ‘konsep yang sangat keliru’, bahwa dengan ‘membayar kepala’ seluruh masalah sudah selesai, dan [d] betapa ngeri melihat gaya kepengurusan ‘pembayaran kepala’ yang menunjukkan sikap kehilangan segala rasa respek dan nilai kemanusiaan sewaktu anggota TNI memamerkan uang ‘pembayaran kepala’ di peti jenazah (lihat foto). 

 

Sudah tentu masalah ini perlu diselesaikan secara hukum di pengadilan. Termasuk nya menentukan apakah kedua kejadian ini dapat dikategorikan sebagai ‘pelanggaran HAM Berat”. Inilah tugas dan wewenang Komnas HAM dan bukan wewenang pemimpin siapa pun di kalangan TNI.[3] Mutlak perlu ditindaklanjuti secara lengkap, mengingat juga catatan dari Komnas HAM yang sangat penting. yakni, pernyataan bahwa selama pemeriksaan para pelaku pembunuhan/mutilasi di Mimika ini, tim pemeriksaan Komnas HAM mendapat kesan kuat bahwa ini bukan kali pertama para pelaku menjalankan aksi biadab serupa ini. [4] Seharusnya juga adanya ‘gerakan menutupi’ serta disinformasi terus dijaga ketat dan supaya akhirnya para pelaku secara terbuka dan transparan dihadapkan dengan hukum pidana yang berlaku, termasuk pemecatan dari keanggotaan TNI. [5]

 

Pembunuhan di luar hukum merupakan pelanggaran nilai kunci yang sangat berat dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, peristiwa seperti dimaksudkan di atas membuat seluruh masyarakat bertanya: bagaimana mungkin? Emosi besar juga menjadi bagian dari protes, dan itulah sangat wajar dan manusiawi. Apalagi pada saat kita semua sudah dikagetkan dengan pembunuhan terencana sebagaimana diperlihatkan oleh ‘kasus Sambo’ yang menunjukkan juga sejauh mana pihak yang diharapkan ‘mengabdi rakyat’ a.l. sebagai penjaga hukum dan keadilan, ternyata sudah kehilangan pegangan moralnya dan sendiri sangat terlibat dalam pelanggaran nilai kunci tadi. 

 

Catatan TEMPO: “Kasus-kasus ini menambah panjang daftar pembunuhan di luar hukum di Papua yang melibatkan aparat keamanan. Menurut catatan Indonesian Human Rights Watch (Imparsial), setidaknya ada 61 orang meninggal dunia akibat aksi kekerasan di Papua yang melibatkan aparat keamanan antara 2021 dan Juli 2022. Dari 61 orang yang meninggal, 37 adalah warga sipil, 21 anggota TNI-Polri dan 8 dari TPNPB-OPM. [6]Dengan dalih pendekatan keamanan, para pelaku lolos dari jerat hukum. Impunitas inilah yang membuat tindakan tersebut kerap berulang. Tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tindakan pembunuhan oleh aparat terhadap warga sipil, terutama yang dicap sebagai anggota KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), adalah kejahatan kemanusiaan. Tak hanya memberikan keadilan kepada korban dan keluarganya, tindaklanjuti kasus ini hingga pelakunya dihukum setimpal bisa memulihkan kepercayaan masyarakat Papua dan menjadi pijakan yang kuat untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di provinsi tersebut. Belum terlambat bagi pemerintah untuk melakukan ini. Penyelesaian pembunuhan empat warga Mimika secara tuntas dan transparan bisa menjadi langkah awal. … Selain kekerasan dan pelanggaran HAM, penyelesaian kasus-kasus pembunuhan di luar hukum menjadi kunci menuntaskan persoalan di Papua. Masyarakat Papua butuh kedamaian, keadilan, dan kepastian hukum: bukan pendekatan keamanan yang sudah terbukti gagal dan memunculkan siklus kekerasan yang berulang.”  [7]

 

Syukurlah, peristiwa-peristiwa yang sangat kebiadaban ini sudah mendapat perhatian di kalangan yang luas, termasuk DPR RI (nasional)[8]  dan Komisi HAM PBB (internasional)[9]. Syukurlah juga, kalau perhatian itu akan menghasilkan suatu perubahan sikap dan pendekatan menuju penyelesaian konflik di Papua. ‘Sudah waktu dan mendesak pendekatan militer dalam penyelesaian konflik di Papua dievaluasi kembali oleh pemerintah’, pendapat seorang pemantau militer, Araf Putranto Saptohutomo. [10] Sudah tentu pembunuhan di luar hukum, termasuk penembakan sejumlah pekerja jalan trans Papua, adalah suatu tindakan kriminal yang sangat berat, entah dilakukan oleh pihak mana pun, entah TNI, entah Polri, entah TPNPB. Namun sudah tentu juga bahwa pelanggaran sejenis itu patut diangkat dengan suara lebih besar lagi sesaat pelanggaran ini dilakukan  oleh pihak yang selalu mengklaim ‘mengabdi pada rakyat’ dan ‘menjamin penegakan hukum’ supaya suasana hidupnya aman, adil dan bermartabat. Maka, peristiwa-peristiwa pembunuhan di luar hukum yang melibatkan anggota aparat keamanan secara berulang kali, menjadi suatu pertanyaan yang sangat penting: bagaimana mungkin? kenapa dibiarkan? dan kenapa para pelaku lazimnya lolos hukum saja???? Negara Indonesia, sakit apa?

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] gerakan TNI/Polri dan TPNPB

* 8 Sept 2022: PTNPB-OPM mengaku bertanggung jawab atas pembakaran sejumlah alat berat di Kampung Mangabid, distrik Oksebang, Kab Pegunungan Bintang. Alat-alat berat itu, milik perusahaan PT Wika, dipakai untuk konstruksi jalan trans Oksibil-Kiwirok. TPNPB menolak proyek apa pun di tanah Papua. “Yang harus dilakukan adalah duduk satu meja dan segera rundingkan dengan juru-juru runding bangsa Papua”, tegasnya Jurubicara TPNPB dalam pernyataannya. [11]

* 17 Sept 2022: Bintang Kejora dikibarkan di halaman gedung SD YPK kampung Kisor, Kab Maybrat. Pengibaran ini diadakan untuk menyambut penjabat Bupati Maybrat yang berkunjung ke distrik Aifat untuk membuka kembali berjalannya sekolah. Sekolah di Kisor selama setahun lebih tidak beroperasi.[12]

* 21 Sept 2022: personil Brimob Polda Maluku (100 orang) dan dari Polda Sulawesi Utara dikerahkan ke Jayapura menyusul meningkatnya eskalasi gangguan ketertiban keamanan masyarakat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka. [13]

* 29 Sept 2022: Sekali lagi warga sipil menjadi korban! TPNPB mengklaim telah mengadakan aksi penyerangan di Maskona Barat, Kab Teluk Bintuni. Empat (4) pekerja Jalan Trans ditembak mati, sedangkan 9 lolos dari penyerangan. Mereka diduga sebagai ‘intel TNI-Polri’, karena dalam barang mereka ditemukan amunisi dan senjata. Sekaligus 2 truk dan 2 alat berat dirusak/dibakar. 

* 30 Sept 2022: TPNPB membakar Kantor Distrik Paniai Utara di Kebo, Kab Paniai.

 

[b] korban - korban

* 30 Agustus 2022: tiga orang Papua dianiaya oleh sejumlah prajurit (Yonif Raider 600 Modang) di Kamp Mememu, distrik Edera Bade, Kab Mappi. Akibatnya, satu, Bruno Anonim Kimko, meninggal dunia, satu, Yohanes Kanggum, ada rumah sakit dalam keadaan kritis, dan satu luka-luka. [14]

* 16 Sept 2022:  jenazah empat warga sipil yang dimutilasi dikremasi di Timika. Dalam ‘imbauan umum duka nasional’ oleh KNPB kepada  seluruh rakyat dan umat, semua diajak turut berduka cita bersama keluarga para korban atas korban tragedi kemanusiaan yang sedang berjalan Papua ini. 

Didoakan supaya akhirnya bangsa Papua dapat menikmati rasa keadilan, rasa kebenaran, rasa diakui martabatnya. Semoga tragedi kemanusiaan ini akhirnya akan membawa serta kesadaran di kalangan rakyat Indonesia luas akan situasi di Papua, dan akan membuka pintu untuk suatu perubahan pendekatan negara terhadap Papua, sedangkan para pelaku diadili secara benar dan terbuka. (TvdB)

* 29 Sept 2022: Empat pekerja di Jalan Trans Papua dibunuh oleh TPNPB, di Kab Teluk Bintuni. 

 

[c] tambahan pasukan

* Januari-Agustus 2022: dalam suatu laporan yang diluncurkan oleh Imparsial (30/8) yang berjudul “Armed Violence in Papua and the Impact on Civil Society” (Kekerasan bersenjata di Papua dan dampaknya atas masyarakat sipil) dicatat bahwa antara Januari dan Agustus 2022, pada 13 kesempatan, 3.657 anggota pasukan tambahan dikirim ke Papua. 3.000 personil TNI dan 657 personil Polri-Brimob. Artinya: tambahan rata-rata sekitar 450 personil keamanan per bulan. [15]

* 13 Sept 2022: Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) mengunjungi markas Batalyon Infanteri 132/Bima Sakti yang akan bertugas di Papua. [16]

* 20 Sept 2022: sejak 20 Sept tiga satuan (SSK) of 100 personil Brimob dikirim ke Jayapura; tiga SSK ini berasal dari Polda Maluku dan Polda Sulawesi Utara.[17]

* 20 Sept 2022: berdasarkan informasi terbaru dari Penerangan Yonif Mekanis Raider 411/Pandawa, ratusan prajurit TNI telah disiapkan bergerak menuju Papua. [18]

* 26 Sept 2022: setelah bertugas selama satu tahun akhirnya pasukan elite tempur Para Raider 431/Satria Perkasa (Kostrad) keluar dari Papua. [maaf, jumlahnya tidak disebutkan][19]

 

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA / SUASANA WILAYAH KONFLIK

 

[4] OTSUS - PEMEKARAN

[a] Papan nama provinsi baru dicabut: polisi Resor Jayawijaya, menahan tiga orang tersangka perusak nama provinsi baru, Provinsi Papua Pegunungan, yang dipasang oleh delapan Bupati dan perwakilan pejabat Kementerian Dalam Negeri di depan Kantor Dinas Pendidikan. Pemerintah Jayawijaya ternyata sudah memutuskan bahwa Kantor Dinas Pendidikan akan menjadi kantor sementara Gubernur Papua Pegunungan. Mahasiswa-mahasiswa yang terlibat dalam aksi ini (7/9) menyatakan bahwa ‘jika Kantor Dinas Pendidikan dijadikan Kantor Gubernur, proses peningkatan sumber daya manusia menjadi mati’. Sebelas mahasiswa ditangkap dan diperiksa; kemudian 8 dibebaskannya, sedangkan 3 masih ditahan: Hengky Hilapok, ketua Himpunan Mahasiswa dan pelajar Jayawijaya (HMPJ), Opinus Asso, ketua Himpunan Mahasiswa Kabupaten Jayawijaya (HMKJ) dan Lukas Dabby, anggota HMPJ. Mereka tiga masih ditahan karena melakukan perusakan terhadap kantor Provinsi Papua Pegunungan. Katanya, papan nama yang dicopot itu, sebelumnya dipasang atas nama negara. ‘Karena itu menurut polisi ketiga mahasiswa itu akan ditindak secara hukum’. Karena menilai aksi polisi berlebihan dalam kasus ini, pendamping hukum ketiga mahasiswa meminta Kepala Dinas Pendidikan selaku pelapor untuk segera mencabut pelaporan.[20] Ternyata Kepala Dinas bertindak demikian dan tiga tahanan dibebaskan tanggal 19 September; setelah hampir 2 minggu ditahan. [21]

 

[5] HUKUM – HAM – KEADILAN

[a] penolakan gugatan MRP oleh MK. Gugatan uji materiil Undang No, 2/2021 tentang perubahan kedua UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang dilakukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP)  akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK)[22]  MK menilai pemohon judicial review ini tidak memiliki legal standing. MRP menyatakan bahwa di dalam kelompok  sembilan hakim MK ada pro dan kontra, namun pada prinsipnya putusan ini sudah sah. [23] Selanjutnya terdapat kesan bahwa kejadian ini mendorong MRP untuk bekerjasama secara lebih intensif dengan DPRP yang memiliki legal standing yang tidak dapat diragukan oleh MK. 

 

[b] penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial: di tengah mandeknya kasus hak asasi manusia berat (HAM berat) yang dibawa ke pengadilan, Presiden Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Meski tim ini berpotensi memutihkan dosa para pelanggar HAM berat, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik, mendukung mekanisme non yudisial tersebut. Dia menyatakan bahwa “jika non-yudisial dijalankan, bukan berarti langkah yudisial ditutup”. Memakai cara non-yudisial adalah pilihan yang paling realistis. “Itu pilihan yang paling realistis untuk mengatasi kemandekan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kepada keluarga korban yang menolak, kami menegaskan bahwa tidak berarti opsi yudisial ditutup. Ada kelompok korban berharap keputusan itu dikeluarkan segera karena mereka sudah berusia lanjut, tidak tahu kapan dipanggil Tuhan. Rasanya masih jauh jika menunggu proses pengadilan”. Dia sadar akan kritik pedas yang ada. “Saya memahami dan tidak menyalahkan. Bagus jika makin banyak yang kritis, supaya Presiden jangan lari dari maksud diskusi gagasan dulu. Atau misalnya pemberian kompensasi menjadi bagi-bagi kue, itu juga tidak benar. Tapi jangan kita tolak sama sekali, nanti jalannya apa?” Bagaimana Tim Non Yudisial harus bekerja? “Pertama, kebenaran harus tetap diungkap lebih dulu. Pengungkapan kebenaran itu harus merujuk pada hasil penyelidikan Komnas HAM. Misalnya kasus 1965, kalau dibiarkan terbuka, banyak yang akan memojokkan kelompok korban. Maka, pegangannya adalah hasil penyidikan Komnas HAM. Kalau tidak, saya akan komplain”. Kenapa tidak membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)? Apa kesulitan membahas RUU KKR? “Saya kira ada kekuatan besar yang menolak. Keppres saja memerlukan waktu lama hingga diterbitkan. RUU ini lebih sulit lagi. Kita harus meyakinkan kekuatan besar bahwa itu tak akan merusak tatanan kelembagaan siapa pun, justru menyehatkan”.   [24]

 

[c] kasus Paniai, sikap Komnas:  dalam wawancara yang disebut di atas juga ditanyakan mengenai Kasus Paniai yang hanya ada satu tersangka [25], Ketua Komnas HAM menyatakan: “Kepada tokoh-tokoh Papua, saya bilang kami pun kecewa. Tapi mari kita gunakan kesempatan ini untuk mendorong peradilan kepada pelaku lain. Daftar namanya ada di dokumen Komnas HAM”. Selanjutnya dicatat oleh wartawan Tempo: pengadilan HAM ad hoc dalam Kasus Abepura, Timor Timur dan Tanjung Priok, ujungnya justru membebaskan pelaku. Ketua Komnas HAM menanggapinya: “kemungkinan persidangan Paniai berakhir seperti itu juga ada. Pertarungan masih berat. Namun ini juga ruang untuk mendorong peradilan yang lebih maksimal”. 

Editorial Koran Tempo berkaitan dengan persidangan kasus Paniai di Pengadilan HAM di Makassar (21/9), diakhiri dengan catatan yang cukup berarti: “HAM merupakan hak dasar yang melekat dalam diri setiap manusia. Pemerintah sepatutnya melindungi hak tersebut melalui penegakan hukum yang transparan dan tuntas. Langkah setengah-setengah seperti yang dipertontonkan jaksa di pengadilan Makassar [kasus Paniai 2014] tidak hanya mengingkari kewajiban tersebut, tapi juga melanggengkan praktik impunitas. Bahkan, lebih buruk lagi, menjadi ajang bersih-bersih bagi para terduga pelaku”.  [26]

Sudah jelas, ada banyak keraguan – dengan alasan yang kuat- sekitar penanganan kasus Paniai ini. Maka ada seruan supaya seluruh proses persidangan di Makasar, yang dimulai 21 September, perlu dimonitor dari dekat dan dengan sangat kritis. [27] Juga masih terungkap harapannya bahwa proses hukum di Makasar masih akan membantu untuk ‘membuka tabir gelap peristiwa pelanggaran HAM berat’ ini. [28]

 

[d] Penyelesaian Non-Yudisial kasus HAM Berat menjadi resmi: Presiden Jokowi resmi menandatangani Keppres Nomor 17, Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat masa lalu (Tim PPHAM). Tim PPHAM beranggotakan Makarim Wibisono (ketua), Ifdhal Kasim, Suparman Marzuki, Apolo Safando, Mustafa Abubakar, Harkristuti Harkrisnowo, Asa’ad Said Ali, Kiki Syahnakri, Zainal Arifin Mochtar, Akhmad Muzakki, Komaruddin Hidayat dan Rahayu. Tim PPHAM juga memiliki tim pengarah dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud, Md. Tim PPHAM ini bertugas mengungkap dan menganalisis pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM tahun 2020. Artinya tugas menyangkut 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan, yakni: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Gudang 1989-1998. [29]

 

[d] Ketua KNPB Timika ditangkapKetua KNPB Timika, Yanto Awerkion, ditangkap oleh Intelijen dan Tim Damai Cartenz di kediamannya di Pondok Amor, Timika (23/9). Menurut berita dari Polisi, Yanto ditangkap atas dugaan keterlibatannya dalam menyediakan senjata/amunisi buat TPNPB. Yanto sedang diperiksa di markas kepolisian di Timika. [30] Sementara KNPB dengan resmi menyatakan bahwa KNPB sebagai organisasi sama sekali tidak terlibat dalam pedagang senjata. Maka kalau terbukti bahwa YA terlibat dalam kegiatan demikian, itulah soal pribadinya, bukan organisasi KNPB. Ditambahnya bahwa ada dugaan besar bahwa YA hanya menjadi korban tindakan kriminalisasi oleh pihak keamanan.[31]

 

[e] Tujuh pengibaran Bintang Kejora -1 Des 2021- dibebaskan:  setelah divonis dan ditahan selama 10 bulan di penjara di Abepura karena mengibarkan Bintang Kejora, tujuh orang akhirnya dibebaskan tanggal 27 Sept 2022. [32]

 

[6] PENDIDIKAN – KESEHATAN – EKONOMI RAKYAT

[a] anak sekolah dirazia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP):  Sebanyak 21 siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) dirazia Satpol PP Kab Manokwari saat berkeliaran di jam belajar. “Kalau untuk pelajar SMKN 2 di perumahan KPR dan tempat billiard, untuk pelajar SMP kebanyakan di samping pondok-pondok pinang di sepanjang jalan menuju SMAN 1 dan SMKN 3”, kata Yusuf Kayukatui. Sejak 5 Sept Satpol PP secara rutin mengadakan razia. (8/9).

 

[b] jumlah penduduk buta huruf tertinggi:  menurut data Survei Ekonomi Nasional 2021, oleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka buta aksara di Indonesia tinggal 1,56 % atau sekitar 4,5 juta. Lima provinsi yang tertinggi buta aksara: [1] Papua 19,03%, [2] Nusa Tenggara Barat, 2.70%, [3] Sulawesi Barat, 2,67%, Nusa Tenggara Timur, 2,13% dan [5] Sulawesi Selatan, 1,71%. Provinsi Papua memiliki jumlah penduduk dengan buta aksara mencapai 19,03% pada tahun 2021. Angka ini menurun sebanyak 1,35% dibanding pada tahun sebelumnya, 20,38% tahun 2020. Untuk kategori usia 45 tahun ke atas, jumlah penduduk buta huruf di Papua mencapai 26,28% per 2021. [33]

  

[7] LINGKUNGAN – DEFORESTASI - AGROBUSINESS

[a] Masyarakat Adat teriak di Grime (Kab Jayapura) dan deforestasi di Papua Jan-Juni 2022: dalam suatu laporan data, Yayasan Pusaka, menyadarkan kita semua bahwa areal hutan Papua makin berkurang. Dibabat dengan dan tanpa izin. Selama periode enam bulan pertama tahun 2022, Papua kehilangan 1,150 hektar hutan. Protes masyarakat kurang didengar pihak yang berwajib. Salah satu contohnya, masyarakat di Grime (Kab Jayapura) sudah berulang kali memprotes kehadiran salah satu perusahaan kelapa sawit. Mereka berulang kali meminta Bupati untuk mencabut izin beroperasinya, namun permintaan mereka sampai saat ini tidak ditindaklanjuti oleh Bupati. Sedangkan jelas izin resmi perusahaan itu sudah tidak sah lagi karena menurut peraturan pemerintah pusat izin mereka sudah perlu dicabut karena perusahaan tidak memenuhi persyaratan administratif dan lainnya. Walau demikian perusahaan itu terus membabat hutan. Aksi besar diselenggarakan Masyarakat Adat Grime Nawadi depan Kantor Bupati pada 7 September 2022: Selamatkan Hutan Lembah Grime Nawa. Sekali lagi mereka ingin mendorong komitmen Bupati untuk bertindak secara efektif dan transparan.[34] Pada tanggal 24 Sept suatu perwakilan masyarakat Grime Nawa akhirnya dapat bertemu langsung dengan Bupati. 

 

[b] pencabutan izin beroperasi dinyatakan tidak sahdalam update Papua Agustus 2022 kami mencatat bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jayapura telah membenarkan tindakan Bupati Sorong untuk mencabut izin beroperasi PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia di wilayahnya (23 Mei 2022). Keputusan PTUN ini disambut dengan sangat gembira oleh masyarakat dan para aktivis HAM. Namun dalam proses banding kedua perusahaan yang izinnya dicabut oleh Bupati (yang dibenarkan oleh PTUN di Jayapura) keputusan itu diubah. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Makassar menyatakan batal Keputusan Bupati Sorong Selatan bulan Mei 2021. Masyarakat sekarang sangat resah dengan keputusan itu serta dampaknya menyangkut luas konversinya 62.000 hektar. “Kitorang punya hutan hanya sepenggal, cukup untuk kehidupan manusia di kampung saja. Kalau perusahaan diberi izin untuk ambil hutan lagi, maka masyarakat hidup bagaimana dan dari mana?”, gugat Yulian Kareth, tokoh masyarakat adat Suku Afsya dari Kampung Mbariat. Pertimbangan hukum Majelis Hakim (PTTUN) yang disampaikan adalah seputar pertimbangan yuridis dari aspek prosedural. Antara lain seperti tenggang waktu pengajuan gugatan, prosedur penerbitan putusan, proses terhadap pemberian sanksi, kesalahan penulisan dan lain sebagainya. Pertimbangan tersebut dirasa belum cukup adil, tidak mempertimbangkan suara masyarakat adat. Ia justru mengundang sikap miring terhadap negara, lembaga peradilan dan perusahaan, dikarenakan berisiko menimbulkan kerugian dan hilangnya hak rakyat. [35]

 

[c] perdagangan satwa Papua: Perdagangan satwa Papua menambah rusak hutan. Pemerintah harus mendukung Papua dan Papua Barat menjadi provinsi konservasi. Itulah kesimpulannya, melihat bahwa aparatur negara justru terlibat dalam berbagai penyelundupan hewan langka/ sepanjang bulan lalu, dua kapal perang Republik Indonesia (KRI) kedapatan menyelundupkan satwa Papua berstatus dilindungi seperti cenderawasih dan kakatua jambul kuning. Pada awal Agustus, diduga terjadi penyelundupan 240 satwa langka melalui KRI Teluk Parigi-539, sedangkan pada akhir Agustus lalu ada 140 satwa Papua ditengarai disembunyikan di KRI Teluk Lada-521. Penyelundupan satwa perlu diusut tuntas. TNI Angkatan Laut tak boleh melindungi personil nya yang terlibat dalam kejahatan lingkungan. Dari 140 satwa yang diangkut oleh KRI Teluk Lada, hanya 39 ekor yang diserahkan ke Balai Konversasi Sumber Daya Alam. Tanpa penegakan hukum yang tegas, penyelundupan akan terus berulang.[36]

 

[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] hentikan perdagangan senjata di Papua:  bukan rahasia lagi bahwa perdagangan gelap senjata di Papua melibatkan sejumlah anggota Kepolisian dan TNI. Alih-alih menegakkan perdamaian, mereka (TNI-Polri) ikut memperkeruh konflik kekerasan di Bumi Cenderawasih. Dalam laporan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) tercatat bahwa nilai transaksi senjata api dan amunisi di Papua selama sepuluh tahun terakhir ini mencapai Rp. 7,2 miliar. Angka ini jelas hanya segelintir karena cuma diambil dari perkara yang diproses hingga ke pengadilan. Nilai transaksi sebenarnya diperkirakan mencapai Rp. 20 miliar. ALDP juga mencatat, pengadilan menghukum 50 pelaku selama satu dekade. Sebanyak 14 di antaranya adalah anggota Polri dan TNI. Masih ada 20 pelaku lain yang lolos dari proses hukum. Namun mereka yang duduk di kursi terdakwa diperkirakan hanya pelaku lapangan. Majelis hakim masih ogah-ogahan membongkar pihak-pihak yang terlibat selama persidangan berlangsung. Penegak hukum seharusnya bisa menelusuri lebih jauh jaringan yang lebih besar di balik perdagangan senjata api dan amunisi. Menghentikan praktik jual-beli senjata api menjadi solusi penting untuk menghentikan kekerasan di Papua yang sudah berlangsung puluhan tahun. [37]

 

[b] Komnas HAM klaim bertemu pimpinan TPNPB-OPM: Dalam suatu pernyataan resmi, TPNPB-OPM membantah pernyataan dari Ketua Komnas HAM RI, Taufan Damanik, bahwa beliau sudah bertemu dengan panglima OPM di hutan (7/9). [38] Mungkin benar bahwa Ketua Komnas HAM sudah bertemu dengan Demianus Magai Yogi. Pimpinan TPNPB-OPM (resmi) dengan sangat tegas menyatakan bahwa beliau, maksudnya si Demianus, bukan ‘pimpinan OPM di hutan’ namun seorang ‘agent TNI/Polri’. Sebagai bukti statusnya Demianus sebagai ‘kaki-tangan TNI/Polri’, beberapa foto dari Demianus/ kelompok Yogi bersama Kasat Intel Polres Paniai dicantumkan dalam pernyataan pers ini. Dalam pernyataan ini juga diulangi bahwa “TPNPB tidak ada agenda Dialog, tetapi kami hanya mempunyai satu agenda yaitu mendesak Presiden Indonesia Jokowi bersedia untuk kami duduk di meja perundingan. Karena masalah Papua adalah masalah sengketa internasional, maka harus diselesaikan juga melalui mekanisme PBB”. [39]

Dalam tanggapan balik, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, membantah pernyataan TPNPOB-OPM bahwa mereka bertemu dengan ‘kelompok OPM binaan TNI/Polri’ (alias ‘OPM palsu’). Walau membantah, Damanik tidak menjelaskan faksi OPM yang mana mereka bertemu; “bukan waktu yang tepat bagi kami untuk menyatakan kelompok mana kami bertemu”, katanya. [40]  Kapan waktunya? TvdB

 

[c] komitmen Jokowi sampai dimana?: dalam suatu wawancara dengan Jubi, Jurubicara Jaringan Damai Papua (JDP), Christian Yan Warinussy menyatakan memandang Presiden Joko Widodo tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan konflik di Tanah Papua. Jokowi berulang kali mengunjungi Tanah Papua tanpa pernah menunjukkan langkah nyatanya untuk menyelesaikan konflik di Papua. Warinussy menyatakan Jokowi seharusnya memprioritaskan pertemuan dengan berbagai kalangan dan pemangku kepentingan terkait konflik dan kekerasan di Tanah Papua. Sekali lagi JDP menyeru Presiden Jokowi agar segera mengambil langkah awal penyelesaian konflik Papua, dengan menyatakan dimulainya jeda kemanusiaan (humanitarian pause) di Tanah Papua. Jeda kemanusiaan itu dinilai penting untuk memulai demi membangun perdamaian di Tanah Papua. Jokowi diminta segera menunjuk seorang tokoh kunci yang bertugas mempersiapkan langkah awal dialog dengan semua kalangan yang berkepentingan dalam konflik ini. [41]

Refleksi sepintas lalu (TvdB)

Memang bukan hal baru kalau mendesaknya pengadaan dialog ditekan lagi. Namun juga muncul perasaan bahwa kata ‘dialog’ perlahan-lahan kehilangan isinya, karena kata dialog terlalu mudah dipakai, namun kurang disertai dengan suatu konsep praktis/operasional. ‘Langkah-langkah mana yang secara konkret mau diambil?’ Sementara waktu kami hanya mendengar dan melihat bahwa Komnas HAM secara resmi ditugaskan untuk memprakarsai dialog itu. Menjadi jelas juga bahwa banyak kalangan di Papua kurang setuju dengan penugasan Komnas HAM itu, karena pengalaman di masa lampau berkaitan dengan kurang memuaskan penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM di Papua. Oleh karena itu sekarang muncul kesan bahwa Komnas HAM masih berjalan sendiri-sendiri, dan malahan ‘gaya bekerja nya’ dapat cukup diragukan. Bandingkan saja catatan mengenai pertemuan Komnas HAM dengan pimpinan TPNPB. Juga ada yang mulai mempertanyakan apakah langkah-langkah dialog yang pernah disarankan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Jaringan Damai Papua (JDP) harus dievaluasi kembali untuk melihat kekurangan dan hambatannya karena hingga kini konflik di Papua berjalan terus. Profesor Hetharia, guru besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, mencatat: “Harus ada langkah konkret yang diambil. Kita tidak hanya sebatas diskusi. Kita perlu bentuk tim khusus yang mengkaji kembali apa yang telah dilakukan oleh LIPI dan JDP. Kita mengevaluasi kembali langkah-langkah yang telah diambil. Kita melihat masalahnya dimana, format yang disetujui apa, yang belum apa. Lalu bangun komunikasi untuk didorong bersama”. [42] Bagaimana usulan ini dapat diantar lebih lanjut, hingga ‘suatu gerakan konkret’ oleh ‘masyarakat Papua sendiri’ dimulai sampai suatu konsep dialog, suatu ‘denah biru dialog’, langkah-langkah konkret, dapat ditawarkan oleh Papua sendiri kepada Pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya? Sudah waktu mendesak untuk mulai bergerak supaya ‘solusi dialog’ akhirnya dapat tempat yang berarti lagi, dan bukan saja tinggal ‘kata gampang pakai’ saja. Mana orang/lembaga perintis yang dapat beraksi -secara agak purna waktu- menuju lahirnya suatu gerakan dialog yang segar dan konkret ini? Papua sangat membutuhkannya! 

 

[9] GERAKAN PEMERINTAH PAPUA

[a] pejabat-pejabat tinggi Papua ditahan karena dugaan korupsi: Setelah Bupati Mamberamo Tengah, Ricky Ham Pagawak, melarikan diri ke PNG karena dijadikan tersangka korupsi, awal bulan ini Bupati Mimika, Eltinus Omaleng, diduga terlibat dalam kegiatan korupsi dan dibawa ke Jakarta untuk ditahan di  Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (7/9).[43] Beberapa hari kemudian (12/9) giliran Gubernur Papua, Lukas Enembe, dinyatakan tersangka korupsi oleh KPK. Dalam kerangka itu Lukas Enembe dicekal bepergian ke luar negeri. Pencekalan ini berlaku sampai 7 Maret 2023.[44]  Selama waktu itu proses pemeriksaan beberapa rekening atas nama Enembe sedang dijalankan terus  oleh Pusat Pelaporan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK)[45] Soal ‘status tersangka’ serta ‘pencekalan bepergian ke luar negeri’ untuk Lukas Enembe menimbulkan cukup banyak emosi pada kalangan pendukung gubernur Papua ini. Mereka berkumpul secara massal dan berprotes ‘kriminalisasi gubernur’ ini. Apalagi, soalnya Enembe sekarang dalam keadaan sakit, sampai ternyata Enembe juga memegang suatu ‘surat izin berobat ke luar negeri’ yang diterbitkan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 September. Apakah ada tabrakan kebijakan dan/atau permainan antar pelbagai instansi? Berkaitan dengan menyatakan status Gubernur sebagai tersangka, masa pendukung Gubernur telah mengumumkan bahwa mulai 20 September akan ada demo besar-besaran di Jayapura dan tempat lain untuk memprotes ‘kriminalisasi Gubernur’. Berhubungan dengan rencana itu Gubernur dalam suatu pesan yang di-video-kan mendesak para pendukungnya untuk menjaga supaya segala kegiatan demo tetap menjaga kedamaian dan ketertiban di Papua. 

Melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud Md, disebarluaskan berita bahwa Gubernur Papua bukan saja diduga  gratifikasi sebesar 1 Miliar Rupiah, namun ‘ada indikasi kuat bahwa beliau terlibat dalam korupsi yang menyangkut ratusan miliar rupiah’ (19/9). Masyarakat diminta oleh Mahfud untuk jangan membuat kekacauan dan turut mendukung proses pemeriksaan. Dan beliau jamin bahwa: “kalau memang beliau tidak bersalah, dia terjamin nanti bebas saja”. Moeldoko mencatat bahwa mungkin TNI sebaiknya dikerahkan (29/9). [46]Gaya pemberitaan dari sejumlah pejabat tinggi (seperti Mahfud Md, Moeldoko, Waterpauw) hanya memanaskan suasananya dan memperbesar emosi kalangan para pendukung Gubernur Papua ini. Apalagi mereka dikritik karena menjadikan KPK ‘boneka’ dari Menkopolhukam dll, maka KPK kehilangan ‘status independen’. [47]

Tanggal 20 Sept, ribuan orang mulai berkumpul dimana-mana dan menuju Jayapura namun sebagian massa dihadang aparat dan dihalangi bergabung dengan yang lain di pusat Jayapura (gedung DPRP). Masa Sentani tetap ditahan di batas kota Jayapura, sama halnya kelompok di Waena dan Abepura dibatasi ruang gerak. Malahan intern Jayapura kelompok dari pelbagai sudut di Jayapura juga ditahan aparat, hingga akhirnya tetap beraksi dan berpidato di masing-masing lokasinya. Beberapa orang ditangkap dan dibawa oleh aparat. Suatu perwakilan terbatas Koalisi Rakyat Papua (KRP) akhirnya berhasil menyerahkan aspirasi kepada pimpinan DPRP. Diminta supaya proses kriminalisasi terhadap Enembe dihentikan dan supaya Jokowi memecat para pejabat pemerintah yang terlibat dalam konspirasi kriminalisasi terhadap Gubernur Lukas Enembe. DPRP berjanji untuk membahasnya secara internal dan meneruskannya kepada instansi terkait. [48] KPK memanggil Lukas Enembe untuk kali kedua (26/9) namun sekali lagi Gubernur menghindarinya ‘karena sakit’. Dengan demikian kemungkinan ada bahwa Enembe akhirnya akan ‘dijemput paksa’ dan TNI dikerahkan (Moeldoko). Sementara masih dicari jalan supaya penjemputan paksa dihindari. 

[b] Majelis Rakyat Papua (MRP) akan bekerja lebih erat dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP): selama ini MRP telah menghasilkan sejumlah keputusan penting berkaitan dengan pelbagai sektor kepentingan masyarakat. Ada 12 keputusan resmi (maklumat), namun rasanya bahwa isi keputusan MRP kurang diperhitungkan atau diberikan perhatian. Maka, dicari jalan supaya 12 maklumat ini menjadi lebih ‘kuat dan mengikat’. Untuk itu akan ada kerja sama antara MRP dan DPRP supaya ke-12 keputusan MRP dijadikan ‘perdasus dan perdasi’, sejumlah peraturan daerah yang resmi. [49]

[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK DI PUSAT INDONESIA DAN INTERNASIONAL

[a] kunjungan Presiden ke Papua (30-31/8): sebagaimana sudah agak biasa kesibukan Presiden selama dua hari di Papua bersifat sangat seremonial saja: meresmikan ‘akademi sepak bola’, ‘membagi bantuan tunai’, ‘memberikan nomor business usaha mikro dan menengah’ dan ‘mengunjungi rumah sehat’ di Doyo Baru. Lantas suatu kunjungan kepada situs pertambangan Freeport di Mimika. BBC News Indonesia menekankan kekecewaan masyarakat Papua dengan mencatat bahwa kunjungan Presiden adalah “kunjungan yang tak bermakna”. Warga Papua kelaparan hingga menjadi pengungsi, Presiden hadiri peluncuran olahraga dan bagikan BLT (bantuan langsung tunai) bahan bakar minyak (BBM). “Tambah lagi, rangkaian kekerasan antara aparat keamanan dengan kelompok gerakan kemerdekaan yang mengorbankan warga sipil, serta proses pemekaran wilayah Papua yang mendapat penolakan dari banyak pihak. Kunjungannya tidak memiliki makna dalam menyelesaikan akar permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Papua”, kata peneliti Papua, Cahyo Pamungkas. “Yang harus dilakukan presiden adalah dengan hadir di tengah-tengah permasalahan untuk menunjukkan komitmen pemerintah, membangun kepercayaan orang Papua dan mengakui harkat serta martabat orang Papua sebagai manusia”, tanggapan seorang antropolog dan peneliti Papua, I Ngurah Suryawan. [50]

[b] protes menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM):  Setelah pemerintah pusat memutuskan untuk menaikkan harga BBM, baik kalangan buruh maupun kalangan mahasiswa mulai bergerak. Kedua menyelenggarakan aksi demo serentak di depan gedung DPR di Jakarta untuk menolak kenaikan BBM (6/9). Demo para buruh yang diikuti oleh sekitar 3 sampai 5.000 orang mengangkat bukan saja harga BBM, namun juga menyatakan bahwa UU Cipta Kerja tetap ditolak dan supaya Upah Minimal (UMK) 2023 dinaikkan dengan 10 sampai 13 persen. Sementara Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mengundang mahasiswa untuk menggelar aksi serentak mulai 6 September hingga 10 September 2022 di seluruh wilayah Indonesia. [51] Ternyata aksi demo berjalan terus, malahan di Jakarta sampai jauh malam (13/9) [52] dan kalangan buruh dan mahasiswa sekali lagi bergabung untuk demo besar-besaran 27 Sept. Demo ini diawasi ketat oleh 4.400 aparat keamanan.  Fokus demo ini lebih luas daripada soal harga BBM saja, mereka mendesak pemerintah mengoreksi model pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat, dan mendesak pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi terhadap petani, nelayan, masyarakat adat, dan aktivis agraria. [53]

[c] Pembebasan bersyarat bagi sejumlah koruptor: Pegiat Antikorupsi mengkritik obral remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Lemahnya regulasi dan rendahnya komitmen pemerintah dianggap menjadi pembawa kemunduran pemberantasan korupsi. Sejumlah ‘koruptor besar’  diberikan remisi hukumannya yang sangat besar dan dibebaskan ‘bersyarat’ (perlu melaporkan diri secara berkala). Termasuk misalnya Pinangki Sirna Malasari – mantan Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung - yang pada awalnya divonis 10 penjara. Lantas di tingkat banding divonis 4 tahun penjara.  Secara de fakto Pinangki dipenjarakan di Tangerang pada Agustus 2021, dan sekarang sudah ‘bebas bersyarat’ mulai 6 Sept 2022. Pinangki hanya salah satu dari sedikitnya 23 terpidana yang menerima pembebasan bersyarat per 6 Sept 2022. Termasuk di antara mereka adalah terpidana sejumlah kelas kakap, seperti mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri - salah satu koruptor e-KTP . Ada juga Patrialis Akbar, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi dan mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali, -korupsi pelaksanaan ibadah haji – yang divonis tahun 2015 dengan 10 tahun penjara.  Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mempertanyakan indikator-indikator yang digunakan dalam memutuskan narapidana yang berhak mendapat pembebasan bersyarat. Selama ini, kata Isnur, indikator-indikator tersebut tidak disertai ukuran yang jelas. “Misalnya, yang disebut karakter baik itu seperti apa? Apakah dengan Pinangki memakai hijab itu sudah disebut baik?”, ujar dia. Semestinya, menurut Isnur, indikator pembebasan bersyarat disertai tolok ukur jelas. “Misalnya, apakah narapidana membantu membongkar perkara pidana korupsi itu lebih luas? Apakah dia membocorkan nama siapa sosok di atasnya dan keterlibatannya? Itu yang belum kita dengar”, ujar Isnur. [54]

[d] Tindakan Tito Karnavian dipersoalkan: Ada kesan kuat bahwa Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, makin bertindak sebagai seorang penguasa tunggal. Selama beberapa bulan terakhir beliau ternyata paling menentukan siapa-siapa yang diangkat sebagai ‘penjabat sementara’ (Gubernur, Walikota, Bupati). Pengangkatan ini berkaitan dengan pengisian ratusan kursi pimpinan daerah yang kosong sampai pemilu 2024. Dari awal proses pengangkatan sampai saat ini banyak pihak yang berwenang berprotes dan menegurnya [55] (termasuk Mahkamah Konstitusi, Ombudsman) karena menilai bahwa proses pengangkatan tidak transparan dan tolok ukur seleksinya tidak jelas, sampai pengangkatan hanya seselera politik Mendagri melulu. Malahan sekali-kali melanggar hukum yang berlaku (pengangkatan orang yang masih aktif anggota TNI/Polri, termasuk pengangkatan Waterpauw sebagai penjabat gubernur di Papua Barat). Dan akhir ini beliau membuat kekacauan lagi, melanggar peraturan lagi, dengan menerbitkan surat dimana para ‘penjabat sementara’ diberikan wewenang yang sebenarnya tidak boleh diberikan, yakni, wewenang untuk memecat dan memutasikan orang Aparatur Sipil Negara (ASN). Kelihatan Mendagri kurang terbuka pada segala protes dan membuat semua pihak pengendalian menjadi penonton tak berdaya. [56]

internasional:

[e] Dewan Gereja se-Dunia menyatakan keprihatinannya situasi di Papua: dalam laporan dari Sidang ke-11 Dewan Gereja se-Dunia (WCC) tercatat bahwa “penduduk asli Papua tetap menderita dari kekerasan yang sangat serius dan sistematis”; kekerasan, termasuk penganiayaan, pelanggaran HAM, penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum dan kekerasan berlandaskan gender. “Tambah lagi, segala dampak dari deforestasi dan degradasi lingkungan yang mengancam kehidupan serta kebudayaan masyarakat adat”. “Marginalisasi secara sistematis dan diskriminasi terhadap orang Papua di tanahnya sendiri sedang dipercepat dan diintensifkan”, catatan laporan itu. Laporan ini berakhir dengan mendorong semua anggota dan mitra WCC untuk menyadari diri mengenai situasi di Papua dan untuk memberikan penunjangan kepada gereja-gereja di Papua. [57]

 

[f] Komisaris Tinggi HAM di PBB juga turut berprihatin: Nada Al-Nashif, penjabat Komisaris Tinggi PBB untuk HAM dalam ‘Global Update’-nya yang membuka sesi ke-51 Dewan Hak Asasi Manusia PBB, 12 September 2022 di Jenewa, menyatakan: “Di wilayah Papua di Indonesia kami mendapat laporan tentang kekerasan yang semakin intensif, termasuk bentrokan antara pasukan keamanan Indonesia dan kelompok-kelompok bersenjata yang mengakibatkan korban sipil dan korban jiwa yang tidak diketahui jumlahnya serta pengungsian internal. Saya terkejut dengan laporan baru-baru ini tentang potongan-potongan tubuh empat warga sipil asli Papua yang ditemukan di luar Timika di Provinsi Papua pada tanggal 22 Agustus. Saya mencatat upaya awal Pemerintah untuk menyelidiki, termasuk penangkapan setidaknya enam personil militer, dan mendesak penyelidikan yang menyeluruh. Tidak memihak, dan independen, serta meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab “. [58]

 

[g] Menlu datangi Pacific Islands Forum (PIF): dalam rangka diplomasi mempererat hubungan antara Kepulauan Pasifik dan Indonesia, Menlu, Retno Marsudi, mengunjungi kantor PIF di Suva, Fiji. Selain membahas strategi 2020 untuk ‘Benua Pasifik Biru, pertemuan kepresidenan Indonesia di G20 (2022) dan Asean (2023) , perubahan iklim, Deklarasi Maritim PIF dan Fasilitas Ketahanan Pasifik, ekonomi berkelanjutan, juga isu Papua dibahas. Selama kunjungan ini Sekretaris Dewan Gereja Pasifik juga mempertanyakan resolusi yang telah dilakukan PIF (2019) agar adanya kunjungan Kantor Komisi HAM PBB ke tanah Papua untuk menginvestigasi pelanggaran HAM yang sedang terjadi di tanah Papua. Selain agenda topik seperti tadi, kurang ada informasi mengenai isi serta hasil pembahasan. [59]

 

[11] SERBA -SERBI

[a] Gempa bumi di wilayah Mamberamo: rentetan gempa kuat mengguncang Kabupaten Mamberamo dan Sarmi, hari Sabtu pagi (10/9). Kekuatannya 6,2. Ternyata gemetaran ini tidak lepas dari gempa bumi di negara tetangga Papua Nugini (PNG) yang dikagetkan dengan gempa bumi sekuat 7,5. Di PNG sekurang-kurangnya 7 orang meninggal. [60]

[b] Korban-korban banjir dan tanah longsor dibantu:  pemerintah Papua Barat memberikan 6,789 paket makanan kepada para korban banjir dan tanah longsor di Sorong (7/9). Juga suatu ‘dapur publik’ diselenggarakan di kompleks walikota Sorong. Dapur ini menyediakan sekitar 9.000 ‘bungkus nasi’. ‘Masa darurat’ berkaitan dengan banjir dan tanah longsor diperpanjang sampai 13 Sept 2022.

[c] Kampung menolak nama baru yang dipaksakan secara sepihak: Masyarakat kampung Awabutu menolak perubahan nama kampungnya menjadi ‘kampung Pancasila’. Tanpa sepengetahuan dari masyarakat yang secara turun-menurun sudah menempati daerahnya sebagai pemilik mutlak atas tanah, pohon, air dsb, ada aksi inisiatif Dandim Deiyai 1703, Danramil Paniai dan Pemerintah Daerah untuk mengubah nama kampung Awabutu menjadi Kampung Pancasila. Dalam suatu deklarasi seluruh masyarakat Awabutu menolak aksi itu dan tuntut bahwa keasliannya tetap terjamin (8/9).

[d] Protes karena harga BBM: mahasiswa dari 12 kampus di wilayah Jayawijaya mengadakan aksi protes di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Wamena (8/9). Mereka menolak kenaikan harga BBM dan menuntut transparansi dalam soal quota bahan bakar bagi Jayawijaya.

[e] Waterpauw lapor pengacara Enembe ke Polisi : Penjabat Gubernur Papua Barat, Paulus Waterpauw akan melaporkan kuasa hukum Gubernur Papua, Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening, ke Bareskrim Polri. Paulus tidak terima dituduh mengkriminalisasi Lukas. Sebelumnya, ia telah melayangkan somasi ke Stefanus agar menarik pernyataan tersebut.  [61]

 

Jayapura, 30 September 2022



[1] Lazimnya disebutkan 6 anggota TNI terlibat. Namun, beberapa hari setelah penemuan pembunuhan ini, dari pihak TNI juga dicatat bahwa ada 2 anggota TNI tambahan yang turut menerima sebagian dari uang rampasan (250 juta), namun yang tidak langsung terlibat dalam eksekusi pembunuhan sendiri. Dsalam berita-berita sekarang ini, dua prajurit tambahan ini tidak disebutkan lagi. Tidak jelas kenapa? 

[21] JUBI, edisi 21-22 Sept 2022, hlm. 21, “3 Mahasiswa Jayawijaya yang ditahan akhirnya dibebaskan”

[34] Lihat juga: Siaran Pers Bersama Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka, Walhi Papua dan LBH Papua (13/9), yang pesan intinya: Komitmen Setengah Hati Tidak Mampu Melindungi Hak Masyarakat Adat di Lembah Grime Nawa 

[39] Siaran Pers Manajemen Markas Pusat Komnas TPNPB-OPM, 11 September 2022.

[47] (Mahfud) https://youtu.be/_3LqufiwVml (Socrates Nyoman) https://youtu.be/cx9Hnj4YAlg (Koalisi Rakyat Papua) https://youtu.be/kA93rgTw3vw

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.