Saturday, June 5, 2021

PAPUA 2021 1-31 Mei (In Bahasa)

 PAPUA  2021

1-31 Mei

Oleh: Theo van den Broek

Catatan pendahuluan:

Selama bulan Mei 2021 internet di Jayapura terputus total. Maka selama periode ini kami tidak dapat mengakses sumber-sumber informasi yang lazimnya menjadi landasan tulisan kami. Maka isi laporan ini cukup terbatas. Mohon dimaklumi. (TvdB)

 

[1] POKOK PERHATIAN UTAMA

Pelabelan teroris TPNPB-OPM: pemerintah Pusat sudah menyatakan ‘KKB Papua’ (TPNPB-OPM) adalah organisasi teroris (29/4). Bukan saja KKB dinyatakan teroris, namun siapa saja, organisasi atau pribadi orang, yang berafiliasi dengan KKB dinyatakan teroris. Keputusan itu dikomentar banyak pihak, a.l. oleh Gubernur Papua[1]. Kebanyakan komentar adalah kritis dan menilai keputusan Pemerintah Indonesia berlandasan emosi, tidak matang dan kurang tepat. Sudah tentu seluruh upaya mencari suatu ‘solusi damai’ sangat dipersulit[2] dengan adanya keputusan ini, apalagi ‘stigma’ orang Papua diperkuatkan lagi secara sangat signifikan. Kemungkinan besar situasi di Papua hanya diperparah lagi, apalagi siapa saja yang berpendapat politik berlainan dengan ‘persepsi pemerintah pusat’ berisiko menjadi ‘terdakwa teroris’[3]. Bukan saja di Papua, namun juga diluar Papua. Pada ‘news online’ Metro TV (3/5) tercatat: “Densus 88 bisa menangkap simpatisan KKB di luar Papua”. Seorang ahli antropologi, dosen di Universitas Papua (UNIPA) di Manokwari, I Ngurah Suryawan, menanggapi suasana dewasa ini sebagai berikut: “Bukan dengan pendekatan keamanan dan intimidasi yang saat ini terjadi. Aparat keamanan dikirimkan ke Papua, meski dinyatakan bukan untuk mengintimidasi, tapi kenyataan yang terjadi di lapangan berbeda. Rakyat Papua trauma dan selalu menghadapi getir saat berurusan dengan aparat keamanan. Ingatan kekerasan dan penderitaan yang mereka alami tidak mungkin terhapuskan”. Menurutnya implikasi pelabelan KKB sebagai teroris berdampak sangat besar terhadap eskalasi kekerasan di Tanah Papua. Dia khawatir, label tersebut akan menjadi pintu pembuka kekerasan yang lebih massif dan terstruktur oleh aparat atas nama ‘penanggulangan terorisme’ yang justru semakin memperpanjang spiral kekerasan di Papua. “Saya sangat mengkhawatiran pelabelan terorisme tersebut menjalar kepada pengawasan terhadap masyarakat sipil terutama yang menyuarakan protes dengan cara-cara nirkekerasan. Konsekuensinya adalah akan terjadi terror dan intimidasi terhadap kelompok-kelompok  pro demokrasi di Papua, termasuk para aktivis NGO, aktivis HAM, tokoh-tokoh gereja, jurnalis, dan lain-lain”[4]

Salah satu indikasi berhubungan dengan kesimpulan demikian sebenarnya sudah muncul dalam penangkapan Victor Yeimo (9/5) dan dalam pernyataan Pimpinan BIN Polri, Jenderal Paulus Waterpauw (mantan Kapolda Papua), dimana beliau menyatakan bahwa organisasi-organisasi kemasyarakatan (LSM-LSM) dan aktivis HAM turut memanaskan situasi di Papua. Beliau tidak memperjelaskan LSM-LSM mana yang dimaksudkan[5]. Namun dalam suatu diskusi kelak beliau juga memfokus akan dunia akademis dan menyatakan bahwa a.l. Universitas Cenderawasih, Universitas Papua, Universitas Sains dan Teknologi Jayapura dan Sekolah Tinggi Teologia Walter Post mendukung Gerakan separatis di Papua[6]

Sudah tentu pernyataan Waterpauw ditanggapi kritis, a.l. oleh direktur Yaysan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati[7]. Dia menekankan banhwa LSM HAM mengangkat data pelanggaran HAM berdasarkan fakta, maka. “kalau tidak mau LSM mengangkat pelanggaran HAM, ya baik, jangan membuat pelanggaran HAM”. Selanjutnya dia mengajak supaya membaca Konstitusi dan UU terkait seperti UU No 39/1999 (mengenai HAM). Mengingat bahwa “kesetiaan kami pada negara Indonesia diindikasi oleh ketaatan pada Konstitusi dan UU”, “bagaimana seorang pejabat tinggi pemerintahan dapat omong seperti itu???”, pertanyaan Asfinawati kepada.

Dalam suatu refleksi yang cukup menantang dalam mingguan Tempo (5/5) -edisi dalam Bahasa Inggeris- kebijakan pelabelan KKB sebagai ‘teroris’ dinyatakan ‘kebijakan keliru’. Lantas kebijakan ini dibandingkan langsung dengan kebijakan Belanda sewaktu menyebutkan semua pejuang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sebagai ‘ekstremis’. Maka, artikel menyimpulkan bahwa ‘sejarah kolonial terulang’ dan kebijakan Belanda demikian tidak dapat menghindari bahwa Indonesia akhirnya menjadi merdeka[8].

Di tiga kota besar di Indonesia diadakan suatu demo (21/5) untuk memprotes berjalannya konflik bersenjata di Papua (maupun di Palestina). Sejumlah anggota yang terorganisir dalam organisasi Petisi Rakyat Papua (PRP)mengadakan protes serentak di Jakarta, Yogyakarta  dan Bandung. Isi protes: [a] stop konflik bersenjata di Papua, [b] bebaskan tahanan politik Papua (Victor Yeimo, Calvin Maolama, Rulland Levy dan Simon Magal), [c] batal rencana memberlakukan Otsus Jilid II, [d] cabut keputusan pelabelan TPNPB sebagai teroris, dan [d] -sebagai tanda solidaritas- desak pemberhentian perang di Palestina[9].

Sedikit refleksi tambahan. Mengingat sejumlah berita pendek di TV – news online - ada kesan bahwa pemerintah mulai sadar bahwa keputusan mengenai labelan teroris suatu kekeliruan besar. Maka ada menonjol berita di TV memakai istilah KSB bukan KST; artinya Kelompok Separatis Bersenjata (KSB), bukan Kelompok Separatis Teroris (KST). Ada berita: dari Menkopolhukam, Mahfud, bahwa akan ‘ditinjau kembali sesuai dengan hukum’; memang juga cukup lucu bahwa dalam pengumuman pertama mengenai keputusan ‘teroris’, Mahfud – sendiri seorang ahli hukum ternama - membuat referensi pada sejumlah orang yang mendatanginya di kantornya  dan meminta supaya KKB dilabel teroris; seakan-akan itu menjadi suatu argumen kuat dalam pengambilan keputusan yang sangat penting itu. Mungkin sekarang beliau pun menjadi sadar bahwa keputusan seberat ini perlu dilandaskan atas argumen hukum yang teliti dan kuat, bukan atas permintaan segelintir orang. Ada berita juga yang berbunyi ”masih akan kaji ancaman KKB”. Sekaligus ada serangkaian berita seperti kami sebutkan di [2]a dibawah (isinya: banyak orang menjadi korban KKB dan berita pembatalan PON!) yang dapat turut menciptakan opini publik bahwa memang benar dan tepatlah orang Papua dilabel teroris! Suatu kampanye tersembunyi? Sudah tentu tidak dapat menverifikasi banyak berita (pembatalan PON sudah dibantah oleh Menteri berkaitan) karena internet di Jayapura terputus, entah kenapa, dan dalam news-edition yang lengkap banyak newsline-berita tidak ada penjelasan lanjut. Apalagi wilayah konflik sendiri tidak dapat diakses siapapun tanpa izin pihak keamanan. Semuanya ini menciptakan suasana subur kecurigaan dan cerita. 

Dalam suasana demikian juga dapat sangat disesalkan bahwa seorang pejabat tinggi negara menunjuk pada ‘LSM-LSM’, aktivis HAM dan sejumlah lembaga akademis sebagai salah satu ‘pemanas situasi’. Karya semua LSM dan aktivis HAM sebenarnya tidak lain daripada suatu upaya luarbiasa untuk menjalankan suatu kewajiban setiap warga negera untuk turut menjaga bahwa kebenaran, keadilan dan martabat manusia selalu diutamakan oleh pihak manapun. Upaya mereka sepatutunya diberikan perhatian sangat serius sampai membantu segala pihak untuk introspeksi diri secara jujur sejauh mana kita bersama menjaga nilai-nilai dasar negara kita. 

Akhirnya, mendengar sejumlah reaksi pihak resmi (instansi kenegaraan, aparat, pejabat tinggi) ternyata nada utama adalah ‘habisi semua, menumpaskan sampai habis, selesaikan semua, dan sejenis’. Sekaligus tindakan operasional oleh aparat terus dibela sebagai tindakan ‘penegakan hukum’. Dengan demikian timbul pertanyaan: apakah ‘penegakan hukum’ di Papua sudah identik/sama dengan ‘menghabisi mereka’? Seakan-akan orang yang dicurigai dapat dibunuh begitu saja, seperti menjadi praktinya sampai saat ini selama kontak senjata di lapangan. Cenderungan mengidentifikasi ‘penegakan hukum’ dengan ‘menghabisi mereka’ menjadi suatu hal yang sangat memprihatinkan. Kita sangat membutuhkan suatu penjelasan apa artinya serta isi ‘penegakan hukum’. (TvdB)

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] korban tambahan. Eskalasi kekerasan di wilayah Beoga (Kab Puncak) bulan April masih menambahkan satu korban lagi. Dalam kontak senjata (27/4) sekali lagi tiga orang Brimob kena peluru, salah satu meninggal, yakni Bharada Komang. Dua temannya sedang dirawat di Rumah Sakit di Timika[10]

Selama kontak senjata di kampung Wuloni, Kab Puncak (12/5) dua anggota TPNPB ditembak mati, termasuk seorang komandan yang diidentifikasi sebagai Lesmin Walker (info dari TNI/Polri)[11].  

Selain itu ada berita serangan udara oleh aparat – pakai 3 helikopter - terhadap markas TPNPB di distrik Ilaga (Kab Puncak) pada 15-16 Mei. Menurut berita sumber TPNPB, tidak ada korban namun ada perusakan perumahan dan gereja di Dolinggame, dan masyarakat sudah meninggalkan kampungnya/mengungsi sebelum serangan[12]

Kemudian ada berita bahwa di Dekai (Kab Yahukimo) dua prajurit Kostrad tewas; Praka Alif Nur Angkotasan dan Prada Ardi Yudi dikeroyok oleh sekelompok orang yang belum diketahui identitasnya, dan senjata mereka dibawa lari (18/5). Mereka diserang sewaktu memperbaiki pagar lapangan terbang Dekai.

Hari yang sama (18/5) 12 prajurit dalam perjalanan pulang dari belanja di Oksibil diserang diskitar kampung Yapimakot (Kab Pegunungan Bintang), sewaktu mobil mereka mogok. 4 prajurit terluka[13].

Lagi, Jumaat (21/5) seorang anggota TPNPB, Welenggen Tabuni, ditembak mati oleh apparat dalam kontak senjata di kampung Maki (Kab Puncak)[14].

Akhir bulan (28/5) sekali lagi seorang anggota polisi, Briptu Mario Sanoy, dibunuh selama dia menjaga posnya di Oksamoi, (Kab Pegunungan Bintang). Waktu diserang, ternyata Mario Sanoy sendirian saja yang menjaga posnya. Senjatanya dibawa lari[15].

Kemudian ada berita-berita yang cukup menggelisahkan namun isi berita tidak dapat diverifikasi. Maka tidak tahu apa yang benar, apa yang tidak, atau apa yang dengan sengaja diluncurkan sebagai bahan kampanye negatif/stigmatisasi. Seperti berita di iNews TV (3/5): “KKB membunuh seorang kepala desa dan anayai remaja yang tolak angkat senajata”. Dan berita lainnya MNC News (3/5): “KKB menyerang patroli militer; membantai 16 tentara”. Berita TV lain lagi: ”KKB membakar sekolah dan Puskesmas di Ilaga”(5/5); juga berita mengenai PON di Papua di ‘news online TV One’ (7/5) yang berbunyi “PON XX di Papua dibatal karena keselamatan atlet”; atau berita Metro TV (11/5) “Polri: Tindakan KKB Teroris di Papua sudah mengerikan”. [selanjutnya, lihat komentar di bagian ‘pelabelan teroris’ diatas – bagian perhatian utama.TvdB]

 

[b] tambahan pasukan: Memang benar bahwa tambahan pasukan sudah dijalankan. A.l. dipastikan oleh pimpinan Siliwangi Komando Militer Info  Departemen, Col.Inf FX Sri Wellyanto, bahwa 315/Garuda Infanteri Batalyon sedang menyiapkan 400 personel untuk dikerahkan ke Papua. Ini suatu kelompok ‘pasukan elit’[16]. Polri akan memberangkatkan 12 kompi tambahan (sekitar 1.200 orang) dari Kalimantan, Sulawesi dan Maluku[17]. Kapolda menempatkan pasukan di Oksibil (Kab Pegunungan Bintang) dan Dekai (Kab Yahukimo)[18]. Ada pernyataan dari IrJen Paulus Waterpauw, Kepala BIN Polri, bahwa pengoperaian militer-polisi akan dijalankan sampai seluruh kelompok TPNPB di ditangkap[19].

 

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA

Pengungsi wilayah konflik: sebagai akibat operasi militer yang makin intensif di wilayah konflik makin banyak masyarakat meninggalkan kampung halamannya, karena takut menjadi korban operasi itu. Jumlahnya belum diketahui, namun dipastikan bahwa bukan sedikit orang. Jumlah itu ditambah pada jumlah besar pengungsi yang sudah mewarnai kondisi kehidupan masyarakat Papua selama dua tahun lebih. Pengungsi sekarang ini bukan saja berasal dari Nduga dan Intan Jaya, namun sudah banyak juga dari Kabupaten Puncak (sudah sekitar 3.000 lebih), dan kemungkinan besar pengungsi dari wilayah konflik bersenjata lain (seperti Kab Yahukimo dan Pegunungan Bintang) akan bertambah terus.

 

[4] OTSUS & PEMEKARAN DI PAPUA

[a] delegasi Pansus DPR RI kunjungi Manokwari/JayapuraPanitia Khusus (Pansus) DPR RI mengadakan kunjungan kerja ke Papua (3/5). Delegasinya sebesar 15 orang. Walau Majelis Rakyat Papua PB (MRPPB) dengan tegas meminta suatu revisi Otsus secara lengkap, dan bukan hanya revisi dua pasal[20], pesan dari Pansus RI sangat berbeda. Salah satu pernyataan pimpinan delegasi Pansus ini, Yan Permenas Mandenas, berbunyi sbb: “Revisi terhadap Undang-Undang No 21 th 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) difokuskan pada dua pasal, selebihnya tidak bisa direvisi sekalipun banyak masukan, saran, dan kritik terkait pemberlakukan Otsus di Papua sejak 2001”. “Revisi ini tidak bisa menjawab seluruh permintaan masyarakat Papua dan pemerintah Provinsi Papua”, pesannya kepada wartawan di Jayapura. Menurutnya, selama 2020 sebenarnya ada banyak waktu bagi tokoh-tokoh Papua untuk bernegosiasi dengan DPR di Jakarta, namun kurang dimanfaatkan. Sekarang 2021 waktunya sangat pendek sampai perpanjangan Otsus. Menurut surat Presiden kepada DPR RI, hal ini perlu diselesaikan oleh DPR RI sebelum akhir bulan Juli 2021. “Akhirnya pemerintah mencari format yang simpel”. “Ke depan akan buka ruang lagi untuk membahas revisi Otsus jika memungkinkan”, tambahannya[21]. Dengan kata lain: boleh ada masukan, namun tidak akan diberikan tempat lagi dalam pembahasan Pansus nanti di DPR RI. 

Sekembali di Jakarta, Pansus berkumpul lagi. Ada berita bahwa salah satu saran Pansus adalah supaya dibentuk suatu Dewan Pengawas Otsus supaya pelaksanaan Otsus diikuti dari dekat dengan lebih teliti. Selanjutnya Pansus mengadakan pertemuan dengan mengundang Badan Perencanaan Nasional (Bapenas)TNI-Polri dan BIN. Dan akan lagi bertemu dengan aparat dan BIN pada tanggal 31 Mei, dan pada saat ini pertemuan itu akan bersifat ‘pertemuan tertutup’, alias tak terbuka. Ternyata ada hal-hal, menurut ketua Pansus, yang tidak patut diketahui publik[22]. Sementara waktu suatu aksi demo damai di Manokwari(25/5) yang bertujuan melawan perpanjangan Otsus dan secara konkrit ingin menyerahkan surat protesnya kepada MRPPB dibubar paksa oleh aparat. Seratus empat puluh enam pendemo ditangkap dan ditahan di markas Brimob selama 10 jam. Alasannya: melanggar protokol kesehatan. Semua diregistrasi nama lengkap dan diambil sidik jari[23]

Sekilas refleksi. Sudah tentu catatan-catatan Pansus menunjukkan bahwa pembahasan Otsus di tingkat pemerintah pusat sudah pada tahap pembulatan saja. Yang sangat mengherankan bahwa segala masukan selama 2020, secara khusus melalui masyarakat biasa serta organisasinya, a.l. petisi rakyat dan pendapat MRP, ternyata dinilai tidak patut diberikan perhatian yang serius dalam pembahasan di tingkat DPR RI. Kalau demikian tujuan kunjungan kerja Pansus pada saat ini sebenarnya apa? Mau dapat masukan, namun sekaligus masukan itu tidak diberikan tempat dalam pembahasan revisi Otsus selanjutnya. Semuanya sandiwara sajakah? Juga mengherankan bahwa pertemuan-pertemuan pembulatan di Pansus lebih diwarnai oleh partisipasi langsung pihak aparat dan BIN daripada partisipasi pihak yang paling berhak dan berkepentingan, yakni masyarakat Papua atau perwakilannya yang sah. Seluruh proses merevisi Otsus serta perpanjangannya sangat mengecewakan dan kurang berkualitas karena diadakan tanpa suatu pengevaluasian yang berbobot. Apalagi muncul pertanyaan: kalau tidak berdaya mewakili rakyat, anggota DPRP dan DPR RI mewakili siapa? (TvdB)

 

[5] SOAL HUKUM /KEADILAN

[a] Victor Yeimo ditangkap: cukup mengagetkan bahwa Satgas Nemangkawi menangkap Victor Yeimo, jurubicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Dalam berita selanjutnya diterangkan oleh pimpinan Satgas itu, Kombes Pol M Iqbal Alqudusy, bahwa dia ditangkap karena namanya ada di ‘daftar orang yang dicari’ (DPO)karena keterlibatannya dalam penyelenggaraan aksi demo lawan rasisme tgl 29 Agustus 2019 di Jayapura. Cukup mengherankan bahwa 2 tahun lalu nama Victor Yeimo tidak muncul ditengah-tengah para terdakwa, dan baru sekarang diketahui bahwa dia ada di DPO. Apalagi menurut Victor sendiri maupun sejumlah saksi, Victor sama sekali tidak menghadiri atau terlibat dalam demo lawan rasisme pada 29 Agustus 2019 di Jayapura[24]. Perlu tunggu perkembangan selanjutnya untuk mengetahui apa persis artinya penangkapannya[25]

Sejumlah organisasi telah bereaksi dan pada umumnya menganggap penangkapan Victor Yeimo sebagai suatu tindakan yang bersifat politik dan tidak sesuai peraturan hukum yang berlaku nasional maupun internasional. Maka mereka minta supaya Victor dibebaskan tanpa tunda[26]. Direktur Human Rights Watch (HRW), bagian Asia, Brad Adams, menyatakan “Sepatutnya Polisi Indonesia menginvestigasi kejadian kekerasan yang mematikan serta pembakaran di Papua tahun 2019, namun jangan memakai kejadian itu sebagai alasan (pretext) untuk menghantam aktivis-aktivis damai”[27]. Organisasi Tahanan Politik (Tapol), yang berkedudukan di London (UK) menyatakan bahwa “penangkapannya adalah suatu tanda singnifikan dari upaya Indonesia untuk meniadakan kebebasan pengungkapan pendapat; sekaligus menghambat bangsa Papua untuk mencari suatu jalan keluar yang demokratis sebagai suatu alternatif bagi Otonomi Khusus yang sangat dipersoalkan. Menurut organisasi Papuans Behind Bars (PBB) Yeimo adalah salah satu dari sekian banyak orang Papua yang ditahan karena alasan politik selama beberapa bulan terakhir ini. “Antara Oktober 2020 dan April 2021, 154 orang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenangnya. Kebanyakan sudah dibebaskan namun sejumlah tetap ditahan. Sekurang-kurangnya 11 orang masih ada dalam tahanan”[28].

 

[b] aksi demo Perserikatan Buruh lndonesia: sebagaimana sudah lama diberitahukan ribuan orang buruh mengadakan demo protres mendesak MK/Pemerintah mencabut UU Cipta Kerja. Ratusan pendemo diamankan oleh aparat. Demo besar-besaran ini diselenggarakan pada “hari Buruh seDunia”(1/5)[29].

 

[c] Komnas HAM:penyelesaian kasus Paniai 2014Komisi Hak Asasi Manusia Nasional (Komnas HAM)mendesak Presiden Jokowi untuk berpegang pada janjinya kepada masyarakat di Papua – sewaktu kunjungannya di Papua sekitar Natal 2014 - untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, pembunuhahn terhadap sejumlah orang muda di Paniai, tahun 2014. Sampai saat tidak ada tanda sama sekali bahwa kasus ini dalam proses penyelesaiannya. Komnas HAM pernah membuat penelitian seperlunya dan mengumpulkan data-data sambil mencari informasi pada pihak-pihak yang terkait di tempat. Setelah penelitian dibulatkan, Komnas HAMmenyimpulkan bahwa ada indikasi kuat pelanggaran HAM berat telah terjadi. Sekali lagi Presiden diajak untuk memenuhi janjinya[30]

 

[6] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYAT di PAPUA

[a] sangat memprihatinkan – suara RSUD Nabire. Mulai tahun ini pemakaian Kartu Papua Sehat (KPS) tidak berlaku lagi, karena sistem jaminan kesehatan itu dialihkan berintegrasi dengan asuransi rakyat melalui BPJS. Hal ini tambah pusing lagi manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUP) di Nabire. Sekarang sudah sangat sulit, karena kami milik pemerintah, maka pemerintah perlu menyediakan dana seperlunya, kata dr Andreas Pikey. “Kami dapat 3 M dari Pemkab Nabire”, katanya, namun itu tidak cukup. Kami pasien 55% KPS, 35% BPJS dan 10% swasta. Nah, sampai saat ini biaya pengobatan kelompok BPJS dan Swasta lumayanlah lancar, namun uang pasien KPS yang perlu disediakan oleh provinsi tidak muncul. Yang terakhir yang dibayar di 2019. Selama 2020 tidak terima apa-apa. “Untuk melayani pasien BPJS saja kita memutar uang kurang lebih 20 milyar lebih, baik untuk obat-obatan, bahan habis pakai, bahan kimia dan jasa. Jadi kalau pengguna KPS -55% dari total pasien kami- tentu banyak sekali dana yang kami keluarkan”. Dengan kata lain ada pendapatan dari 45% (BPJS dan Swasta), dan dengan pendapatan ini mesti melayani juga 55% KPS. Mana bisa? Namun kami juga tidak dapat menolak pasien KPS. Nanti akan lebih kacau lagi karena kami perlu memberitahukan bahwa KPS tidak laku lagi… Persiapan perobahan ini tidak disosialisasikan seperlunya. Apalagi kami adalah RS Daerah, maka melayani bukan saja wilayah Kab Nabire namun juga Kab Deiyai, Dogiyai, Paniai, Intan Jaya dan Mimika. “Kita berharap pemda di luar Nabire ini bisa menyediakan dananya kepada kami. Sehingga ketika masyarakatnya ada yang sakit dan berobat ke rumah sakit kami, cukup tunjukkan KTP-nya. Ini wacana alternatif yang akan kami tempuh ke depan”, tutupnya[31]

 

[b] Covid-19 berdampak, mutu pendidikan menurun: covid-19 sudah sangat berdampak pada kehidupan kita semua selama setahun terakhir ini. Bukan saja ada sejumlah orang yang menjadi korban, namun juga pelayanan umum turut dipengaruhi secara signifikan. Antara lain perlu disimpulkan bahwa mutu pendidikan di Papua telah menurun. Penurunan a.l. dapat diukur dengan melihat menurunnya jumlah siswa/i yang dapat naik kelas atau lulus - SMA Gabungan Jayapura: persentasi naik kelas turun dengan 20%. Ada sejumlah faktor yang mengakibatkan penurunan ini. Seperti tidak ada peluang praktik (a.l. SMK, STM); atau, tidak ada fasilitas daring yang memadai -menurut Kepala Dinas Pendidikan cuma 36 % siswa saja yang mengikuti pembelajaran daring. Sisanya 64% tidak[32]; ingat juga bahwa Jayapura Kota, Kab Jayapura, Kab Keerom dan Kab Sarmi tidak ada internet selama satu bulan lebih (Mei 2021); atau, siswa/i kurang bermotivasi mempertahankan disiplin belajar; atau, siswa/i kehilangan semangat atau mengalami stress karena kehilangan kontak dengan teman-teman sekolah; atau, orang tua yang kurang mendukung atau kurang memperhatikan pengalaman anaknya; atau, guru-guru yang kurang mampu menjalankan proses mengajar-belajar dalam suasana convid-19 ini, atau sendiri jatuh sakit. Namun demikian kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua, Christian Sohilait, yakin bahwa tingkat mutu pendidikan akan pulih kembali sekedar suasana covid membaik. Sementara waktu diharapkan bahwa semua pihak yang terlibat, tenaga pendidikan, orang tua dan penyedia fasilitas, akan berupaya maksimal untuk bersama menjaga supaya anak-anak tetap dapat menikmati pendidikan semestinya[33]

 

[7] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] Keuskupan Timika mengharapkan penyelesaian konflik bersenjata; Wilayah pelayanan Gereja Katolik, Keuskupan Timika, untuk sebagian besar terdiri dari wilayah-wilayah yang sedang terkena konflik bersenjata. Menanggapi keputusan pemerintah Indonesia untuk me-label TPNPB-OPM sebagai organisasi teroris, piminan Keuskupan Timika, Pastor Marthen Kuayo, dengan sangat tegas menolak pelabelan itu. Beliau menyatakan bahwa dia ‘merasa sedih dan sangat kecewa dengan Presiden Jokowi yang memerintahkan aparat untuk mengejar semua anggota TPNPB’. Keputusan itu akan memperburuk keadaan secara nyata; jumlah korban sipil akan bertambah lagi. Sebelum pelabelan sudah ada banyak korban sipil, seperti ketiga saudara yang dibunuh oleh aparat di kompleks Puskesmas Sugapa (15/2) karena dicurigai adalah ‘anggota TPNPB’, walau tidak ada bukti keanggotaannya sama sekali. “Masyarakat sudah takut sekali dan meninggalkan kampungnya, pekerjaannya, dan mengungsi”, ujarnya. Pastor Marthen mendesak kedua pihak yang terlibat untuk menghentikan segala aksi kekerasan dan bersama mencari suatu solusi yang terbuka, berkemanusiaan dan bermartbat[34]

 

[b] dialog Jakarta-Papua: Seruan yang makin kuat supaya masalah di Papua diselesaikan melalui suatu dialog terbuka dan jujur sudah merupakan suatu ‘lagu lama’. Dalam suatu refleksi kewartawan di JUBI disajikan suatu refleksi pendek yang berangkat dari pertanyaan kenapa sampai saat ini dialog itu tidak jadi. Pada tanggal 9 Nov 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat pengumuman: pemerintah siap berdialog secara terbuka dengan semua elemen masyarakat Papua. 12 tahun sebelum itu, tepatnya 26 Feb 1999, digelar pertemuan di Istana Negara antara 100 tokoh Papua yang dipimpin Tom Beanal dengan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie‘Kelompok 100’ ini terdiri dari masyarakat adat, tokoh agama, akademisi, mahasiswa, perempuan dan mantan birokrat. Dalam pertemuan itu ‘kelompok 100’ menyatakan pada Presiden bahwa ‘sudah waktu untuk berpisah. Sudah terlalu lama bangsa Papua menderita dari pelanggaran HAM oleh negara sampai tidak ada kepercayaan lagi pada pemerintah Indonesia’. Habibie meminta mereka untuk pulang dan merenungkan kembali aspirasi ini’. Selanjutnya dialog mulai diperjuangkan dengan lebih terarah setelah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)mempublikasikan hasil studinya yang tergambar dalam “Papua Road Map”(PRM), yakni petunjuk jalan untuk bernegosiasi mengenai masa yang lampau, memperbaiki masa sekarang ini, dan menjamin masa depannya. Jaringan Damai Papua (JDP) dibentuk dibawah pimpinan ganda Pater Neles Tebay (Papua) bersama Muridan/LIPI (Jakarta).  Pada tanggal 30 September 2019 Presiden Jokowi menyatakan “Ya enggak ada masalah, bertemu saja. Dengan siapapun akan saya temui, kalau memang pengen bertemu”. Sebelumnya (10 Sept 2019) Jokowi sudah bertemu dengan ‘61 tokoh Papua’, namun menurut Ketua Majelis Uama Indonesia(MUI) Papua, Saiful Islam Al Payage -yang juga hadir dalam pertemuan itu- ‘kelompok 61’ “tidak mewakili tokoh-tokoh yang ada di Papua”. ‘Kelompok 61’ diseleksi sepihak oleh BIN dan malahan tidak diketahui oleh pemerintah dan masyarakat di Papua. Pertemuan itu juga dipimpin oleh Kepala BIN, Budi Gunawan. Ternyata Jokowi akhirnya juga tidak bertemu dengan pihak yang beraspirasi merdeka ataupun aspirasi referendum. Sedangkan konflik itu pecah dan menjadi baku tembak antar aparat dan TPNPB. Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timoteus Murib menilai “ketika konflik itu pecah, dampaknya mengungsi besar-besaran. Perjalanan minggu-minggu. Dalam perjalanan, mereka tidur di gua atau dibawah pohon besar, apalagi daerah gunung ini dingin”. Dia mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan akar masalah di Papua melalui dialog yang bermartbat. Tapi sampai saat ini belum ada tanda kearah dialog. Malahan konflik dipertajam lagi dengan menyatakan TPNPB-OPM sekelompok teroris. Situasi demikian mengingatkan kita pada salah satu pernyataan almarhum Muridan sewaktu (2013 di Hepuba) beliau menjawab pastor setempat, John Jongga, yang bertanya: ‘bagaimana nasib dialog?’. Muridan menjawab: “Pater John, seperti di kampung-kampung ada banyak kepala suku kecil, maka di Jakarta juga ada banyak presiden-presiden kecil di sekitar presiden besar…”.[35]

 

[c] TPNPB-OPM dialog dimediasi PBB: dalam suatu pernyataan kepada CNN Indonesia (29/5)  Sebby Sambom, jurubicara TPNPB-OPM menjelaskan bahwa mereka tidak bersedia berdialog dengan Jakarta sebagai dialog antara mereka dua saja (bi-parti). Namun mereka bersedia untuk berdialog dengan Indonesia asal dialog dimediasi oleh pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), (tri-parti)[36].

 

[d] kebijakan Indonesia terhadap Papua makin tidak sehat: dalam suatu artikel Amnesty International Indonesiamenyimpulkan bahwa kebijakan Indonesia di Papua makin tertandai ‘kegilaan’. “Kalau ‘kegilaan’ berarti: membuat sesuatu berulang kali serta menantikan keberhasilan yang berbeda-beda, memang betul pendekatan pemerintah Indonesia di Papua adalah contoh tepat definisi itu”. Begitulah kalimat pembuka artikel Amnesty. Mereka mengangkat persoalan di Papua, dan mengamati bahwa apa saja persoalan di Papua, pemerintah Indonesia selalu berespons dengan ’mengirim pasukan tambahan’. Sebenarnya perlu ada refleksi kenapa tindakan demikian itu berulang kali tidak membawa hasil yang diharapkan dan tidak dapat mengakhiri kekerasan di Papua. Pelabelan organisasi TPNPB-OPM sebagai ‘teroris’ hanya tunjukkan bahwa ‘Jakarta’ makin tidak tahu akal lagi. Yang dibutuhkan adalah suatu dialog dengan orang Papua sehingga ‘Jakarta’ mengetahui apa yang diharapkan mereka. Hal itu tidak dapat terjadi dengan pelabelan teroris, karena teroris hanya akan dikejar habis-habisan dan itulah hanya akan menghasilkan tambahan korban” [37]

 

[8] GERAKAN POLITIK PEMERINTAH PAPUA & PAPUA BARAT

[a] gambaran sepintas lalu Kabupaten Tambrauw. Di Kab Tambrauw diadakan evaluasi mengenai berfungsinya pemerintahan setempat. Evaluasi diadakan oleh Monitoring Center for Prevention (MCP), semacam ‘lembaga anak buah’ dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Skor MCP Tambrauw pada 2020 hanya 14,69% … jauh dibawah Skor MCP Nasional, yakni 64%. Optimalisasi pendapatan daerah menempati skor terendah dari delapan bidang yang disupervisi KPK. Adapun skornya 0%. Disusul dengan pelayanan terpadu satu pintu, dengan skor 6,5% dan manajemen aset, dengan skor 10%. … Banyak faktor penyebabnya; dari aturan, (kualitas) infrastruktur hingga kapasitas sumber daya manusia”, ungkap Dian, Ketua Satgas Koordinasi. Peraturan untuk “areal peruntukan lain/alih fungsi lahan” (ARL) dan buruknya kualitas infrastrktur berdampak luas terhadap derajat kesejahteraan warga setempat. Masyarakat adat menjadi sulit mengakses atau mengelola sumber daya alam setempat. Juga pendapatan tidak dikejar. Sebenarnya Pemkab Tambrauw dapat menagih pajak galian C. Banyak tidak tertagih. “Setidaknya ada 500 kilometer pembanungan jalan di Tambrauw. Kabupaten harus mendapatkan data pemegang izin dari Provinsi sehingga bisa ditagih pajaknya”, jelas Dian. Sebagian besar harta dan kekayaan Kabupaten juga belum memiliki legalitas kepemilikan. “Dari 101 bidang tanah milik Pemkab Tambrauw, baru 14,8% (15 bidang) yang bersertifikat. Sebanyaknya 86 bidang atau 85,2% sisanya belum bersertifikat, ungkap Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Tambrauw, Roland Hutabarat[38].

Mungkin dari satu sisi hasil pemeriksaan tadi sulit diterima Pemkab Tambrauw. Namun diharapkan pimpinan Kab Tambrauw juga dapat menilainya secara positif karena data-data konkrit ini justru sangat membantu untuk memperbaiki manajemen Kabupaten dan meningkatkan kesejahteraan banyak orang, hingga akhirnya bisa menjadi berkat. (TvdB)   

 

[b] Berfungsinya pemerintah di Papua dan Papua Barat: Melanjutkan isi catatan diatas, juga menarik untuk membaca suatu rangkuman mengenai berfungsinya pemerintah di Papua dan Papua Barat. Gambaran ‘potret kelemahan tata kelola Papua dan Papua Barat’ itu terdapat dalam suatu rangkuman data yang bersumber dari Kementerian Keuangan RI[39]. Rangkuman data sbb:

 

KEPATUHAN PENYAMPAIAN APBD

Provinsi Papua

·       Sekitar dari 33% Pemda di Papua dalam 3 tahun terakhir masih belum memenuhi kepatuhanpenyampaian APBD

Pronvinsi Papua Barat

·       Sekitar dari 29% Pemda di Papua Barat dalam 3 tahun terakhir masih belum memenuhi kepatuhanpenyampaian APBD.

 

ADMINISTRASI KEUANGAN BELUM OPTIMAL

Provinsi Papua

·       Provinsi berstatus WTP (2014-2018)

·       51,7% Kab/Kota mendapat opini disclaimer dan adverse (2018)

Provinsi Papua Barat

·       Provinsi berstatus WTP (2014-2018)

·       38,5% Kab/Kota berstatus WDP (2018)

 

SILPA DANA OTSUS TINGGI

Provinsi Papua

·       Rata sisa dana Otsus 7 tahun terakhir sebesar Rp. 258,6 miliar dan DTI sebesar Rp. 389,2 miliar (sisa TA 2019 Rp. 1,7 Triliun)

Provinsi Papua Barat

·       Rata-rata sisa dana Otsusu 7 tahun terakhir sebebsar Rp.257,2 miliar dan DTI sebesar RP.109,1 miliar (sisa TA 2019 Rp.370,7 miliar)

 

GOVERNANCE LEMAH

(Nilai Monitoring Center for Prevention KPK)

·       Provinsi/kab/kota Papua 34% (terendah kedua)

·       Provinsi/Kab/Kota Papua Barat 31% (terendah pertama)

Note: nilai tertinggi diperoleh oleh DKI Jakarta (91%)

 

KEKOSONGAN REGULASI

Provinsi Papua

·       4 dari 13 Perdasus belum ditetapkan

·       5 dari 18 Perdasi belum ditetapkan

Provinsi Papua Barat

·       7 dari 13 Perdasus belum ditetapkan

·       12 dari 18 Perdasi belum ditetapkan

 

BELANJA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN RENDAH

Provinsi Papua

·       Pendidikan 13,8% // Kesehatan 8,7%

Provinsi Papua Barat

·       Pendidikan 14,33% // Kesehatan 7,6%

 

Sekilas refleksi. Melihat gambaran semacam ini sangat jelas bahwa kesulitan besar di Papua bukan letaknya dalam kekurangan anggaran, ekonomi dsbnya, namun dalam perlunya peningkatan pemberdayaan pemerintah setempat. Suatu pengevaluasian hasil Otsus yang berkualitas pastilah dapat menunjukkan kebutuhan itu dengan sangat nyata. Maka perlunya perbaikan UU Otsus bukan letaknya pada revisi dua pasal (kenaikan jumlah anggaran dan memperbesar peranan/wewenang pemerintah pusat) melainkan pada ‘makin mengoptimalkan peranan pemerintah setempat’. Selama ‘kelemahan tata kelola’ tadi ini dibiarkan, entah kenapa, keadaan di Papua tetap tidak akan berkembang secara positif. Segala tindakan selain pemberdayaan pemerintah setempat akan memperparah keadaan, termasuk memperbesar lagi marginalisasi pemerintah setempat. Memang kebijakan untuk membiarkan ‘kelemahan tata kelola’ ini akan tetap menciptakan ruangan luas bagi pendekatan keamanan serta kuasa tunggal pihak keamanan di Papua. (TvdB)  

 

[9] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA

Indonesia di antara yang menolak resolusi PBB:  dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tgl 17 Mei 2021, 76 negara mengusulkan untuk memasukkan suatu resolusi pada agenda Sidang Tahunan PBB. Resolusi itu menyangkut: ‘tanggung jawab melindungi dan mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan’; dinamakan singkat R2P. Substansi utama R2P sebenarnya tidak baru karena sudah menjadi isi suatu keputusan yang disahkan oleh semua negara anggota PBB pada KTT Dunia 2005. Namun yang baru adalah bahwa dalam R2P sekarang ini juga dipertegas suatu mekanisme tanggungjawab laporan tahunannya oleh Sekjend PBB kepada Majelis Umum. Menanggapi resolusi (R2P) yang lebih lengkap ini supaya dijadikan bagian agenda pada Sidang Tahunan PBB, 115 negara menyetujuinya28 negara tidak memberikan suara (abstain), sedangkan 15 negara bersuara menolak, termasuk Indonesia. Kejadian ini mulai ramai diberbincangkan sejak salah satu organisasi nirlaba, yakni UN Watch, menerbitkan suatu ‘list of shame’ (daftar yang memalukan) yang mencatat kelimabelas negara yang ternyata menolak R2P ini. Kelimabelas negara ini adalah: North Korea, Kyrgyzstan, Nicaragua, Zimbabwe, Venezuela, Indonesia, Burundi, Belarius, Eritrea, Bolivia, Russia, China, Egypt, Cuba dan Syria. Dalam keterangan pihak kementerian luarnegeri Indonesia dijelaskan bahwa “Jadi, saya tegaskan, apa yang ditolak Indonesia bukan isu substantifnya, tetapi proseduralnya… Kami sudah mendukung R2P sejak 2005 hingga 2020. Perlindungan terhadap korban kejahatan kemanusiaan, genosida, itu sudah jelas”, ujar Febrian, Kamis (20/5) mengutip tempo.co.id.[40] Dalam tanggapannya, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa sikap Indonesia “memperlihatkan rendahnya komitmen Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia di dunia. Padahal Indonesia adalah anggota tidak tetap dewan HAM PBB”[41].

 

[10] CORONA VIRUS

Infograf tidak tersedia karena kami tidak dapat memakai internet. Maka, bulan ini tidak ada tabel keadaan covid-19 di Papua. Hanya dapat kami mencatat bahwa ada trend menurun  ancaman covid-19 di Papua. Haraplah ternd ini akan berkembang selanjutnya secara positif. (TvdB) 

 

[11] SERBA-SERBI – VARIA

[a] Papua berduka, Wakil Gubernur meninggalWakil-Gubernur, Papua, Klemens Tinal, meninggal dunia di Rumah Sakit di Jakarta. Berita kematiannya sangat mengejutkan masyarakat di Papua. Ternyata Bp Klemens sudah cukup lama mengalami kesulitan medis dengan berfungsi jantungnya. Beberapa hari sebelum meninggal beliau masuk rumah sakit lagi untuk dibantu, namun ternyata kondisinya tidak memadai lagi dan beliau menghempus nafas terakhirnya pada hari Jumaat, 21 Mei. Beliau baru mencapai usia 50 tahun, meninggalkan isterinya dengan tiga anak, dan terpaksa meninggalkan pemerintahan provinsi Papua setelah melayani provinsi ini selama 1 setengah periode sebagai wakil-gubernur. “Selamat jalan Orang Besar dari Nemangkawi (wilayah suku Amungme), dan semoga boleh istirahat dalam damai yang sempurna”, itulah doa kita semua. 

 

[b] Pansus Blok Wabu: Setelah bertemu dengan delegasi Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Intan Jaya (IPMI-J) DPRP akan mengusulkan pembentukan suatu Panitia Khusus (Pansus) berhubungan dengan rencana pertambangan di Blok Wabu. IPMI-J mengawatirkan beroperasinya pertambangan akan berdampak negatif atas nasib masyarakat lokal. “Perusahaan akan masuk mendulang emas. Sementara kami akan mendulang kematian dan penderitaan. Untuk hindari itu, saya mohon aspirasi ini dikawal secara baik”, ujar Yarinap, Ketua IPMI-J[42]

 

[c] 10 orang dicurigai teroris ditangkap: di wilayah Merauke 10 orang ditangkap yang dicurigai telah merencanakan sejumlah aksi teroris (bom bunuh diri). Aksi-aksi itu ditujukan pada beberapa gereja  di Merauke, Jagebob, Kiurik, Semangga dan Tanah Miring, Menurut info Polisi. Siapa-siapa teroris ini, dari kelompok mana dsbnya belum diketahui dan sedang diperiksa[43]

 

[d] aksi donor darah buat masyarakat Keuskupan Agats. Seorang anggota paroki Krisus Raja di Pejompongan (Jakarta Pusat), Bp. Simon, mengambil inisiatif mengumpulkan ‘donasi darah’ buat kebutuhan di Keuskupan Agats di Papua. Sadar bahwa secara khusus selama bulan Ramadan donasi darah lazimnya menurun secara signifikan, Bp. Simon mengajak siapa saja untuk menyumbang darah demi bantuan pada masyarakat di Agats, Papua. Respons dari masyarakat cukup lumayanlah. Menurut Bp Simon, “memberikan darah adalah suatu tindakan yang begitu dalam kemanusiaannya, yang melampaui batas status sosial dan ras. Ini merupakan suatu respons kemanusiaan pada situasi urgensi yang tidak tahu batas-batas dan memungkinkan menyelamatkan hidup orang lain”.[44]

 

Jayapura, 1 Juni  - Hari Ulang Tahun “Lahirnya Pancasila”

 



[4] JUBI, edisi 10-11 Mei 2021, hlm 18.

[6] JUBI, edisi 31 Mei-1 Juni 2021, hlm. 8, “Mantan BEM USTJ: Pernyataan PW sudah keliru”.

[10] JUBI, edisi 10-11 Mei 2021, hlm. 14.

[12] JUBI, edisi 21-22 Mei 2021, hlm. 1-2

[17] Pernyataan Andreas Harsono (Human Rights Watch): “Indonesia: Cabut Dakwaan. Bebaskan Aktivis Papua dalam Aksi Damai” (9/5)

[21] JUBI, edirsi 7-8 Mei 2021, hlm. 9

 [24] JUBI, edisi 19-20 Mei 2021, hlm. 1, 2dan 26.

[25] JUBI, edisi 10-11 Mei 2021, hlm. 1 dan 2.

[29] CamScanner 04-24-2021 14.12  {Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia – ELSHAM}

[31] JUBI, edisi 26-27 April 2021, hlm. 22

[32] JUBI, edisi 24-25 Mei 2021, hlm. 4

[33] JUBI, edisi 21-22 Mei 2021, hlm. 4   

[35] JUBI, edisi 7-8Mei 2021, hlm. 18

[38] JUBI, edisi 28-29 April 2021, hlm 23

[39] JUBI, edisi 7-8 Mei 2021, hlm. 16

[40]JUBI, edisi 24-25 Mei 2021, hlm. 9 

[42] JUBI, edisi 21-22 Mei 2021, hlm. 3.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.