Friday, July 16, 2021

PAPUA 2021 1-15 Juli (In Bahasa)

 PAPUA  2021

1-15 Juli,

Oleh: Theo van den Broek

 

[1] POKOK PERHATIAN UTAMA

Penyebaran infeksi Covid-19: selama bulan terkahir ini penyebaran covid di Indonesia meloncat secara luarbiasa. Kalau dua minggu lalu jumlah infeksi di Indonesia masih dibawah 20.000 per hari, sekarang (14/7) jumlah ini sudah lewat 40.000 dan menuju 50.000 sehari. Dan malahan sedang dipikirkan scenario penindakan sesaat infeksi dapat mencapai 100.000 lebih. Rumah sakit di pelbagai kota sudah mulai terisi penuh dan kekuarangan fasiltas dan obat, termasuk oksigen, mulai terasa betul. Papua tidak luptut dari perkembangan ini. Rumah Sakit di Manokwari dan Sorong sudah penuh, maka tidak dapat menerima pasien lagi. Situasi ini ditanggapi pemerintah provinsi Papua Barat dengan memberlakukan suatu ‘lockdown sementara’; berarti di kota Mankwari dan Sorong toko-toko, kantor-kantor, fasilitas umum ditutup. Di provinsi Papua situasi sama mengancam. Tambahan infeksi sehari sekarang (13/7) sekitar 400-an.  Pada 6 Juli 2021 di Kab Mimika tercatat kasus baru mencapai 513 dibandingkan dengan 66 kasus pada 28 Juni 2021[1]. Kasus positif Covid-19 di tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) di kota Timika (12/7) meningkat dua sampai 3 kali lipat dibandingkan pekan lalu. Hal ini cukup memprihatinkan walau Riza Pratama (wakil-presiden Departemen Komunikasi PTFI) menyatakan bahwa tidak terdapat gejala yang serius, mungkin karena sebagian besar tenaga PTFI sudah divaksinasi. Di Jayapura pun 7 rumah sakit mengalami kewalahan[2]. Menurut JUBI[3] 17 keluruhan di kota Jayapura sudah berstatus ‘zone merah’, artinya tambahan infeksi di keluruhan itu diatas 11 sehari. Sejumlah tindakan ‘pembatasan kebebasan penggerakan’ sudah mulai diberlakukan. Di Jayapura kegiatan ekonomis hanya boleh dijalankan sampai jam 18.00 sore (mulai berlaku tgl 5 Juli). Walikota Jayapura meminta pemerintah daerah untuk menutupi baik Pelabuhan Kapal, maupun Pelabuhan Udara. Dasarnya: dari 701 penumpang kapal laut yang tiba di Jayapura ternyata 72% tes positif corona. Sementara aksi vaksinasi dipercepat sedapat mungkin (sesuai dengan tersedianya vaksin) dengan melibatkan personel TNI dan BIN. Sedangkan ada persiapan suatu ‘lockdown terbatas’ – rincian isinya masih sedang dibahas - selama satu bulan (Agustus) menjelang penyelenggaraan dua even olah raga nasional di Papua bulan Oktober dan November nanti[4].

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] korban tambahan. Kontak tembak terjadi lagi di distrik Keneyam, Kab Nduga (6/7). Tiga prajurit Satgas Yonif 310/KK terluka dalam insiden ini[5]

Dua hari kemudian (8/7) pejuang TPNPB melepaskan tembakan ke acara ‘bakar batu’ di kampong Kago, distrik Ilaga. Tidak ada korban[6].

Kontak senjata terjadi di kampung Bingki di Yahukimo (10/7). Seorang anggota Brimob (Satgas Newangkawi), Briptu Kenny Karlos, dikena tembakan dan terluka, hingga dievakuasi ke Jayapura[7].

Selanjutnya kontak senjata terjadi di Mapnduma (13/7). Dua prajurit Yonif 751/VjS ditembak terluka. mereka dievakkuasi ke Rumh Sakit di Timika.nama kedua prajurit tidak disebutkan[8]. Dari pihak TPNPB muncul klaim bahwa dalam kontak senjata di Mapnduma ini TPNPB telah menewaskan tiga prajurit TNI/Polri[9]Tidak ada berita independen tersedia (TvdB).

 

[b] upaya menyakinkan para pejuang TPNPB untuk bergabung kembali dengan keluarganya di kampung: Kapolda Papua, jenderal Mathius Fakhiri, menyatakan bahwa personelnya tetap berupaya menyakinkan para anggota TPNPB untuk kembali ke kehidupan yang normal di kampongnya, menyerahkan senjatanya dan menyatakan bergabung dengan Indonesia. Personelnya di tingkat desa diandalkan karena mereka lazimnya paling tahu mereka karena merupakan penghuni wilayah dan kampungnya. Sejumlah orang sudah ‘pulang kampung’, namun jumlahnya tidak dijelaskan. Di beberapa daerah konflik jumlah insiden, kesannya, menurun[10]

 

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA dan SUASANA WILAYAH KONFLIK

[a] pengungsi dari Yalimo: Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan hasil Pilkada 11Mei 2021, wilayah Yalimo rusuh dan banyak fasilitas dibakar massa. Akibatnya ribuan orang mau mengungsikan diri. Mereka menuju ke Wamena[11].

 

[b] pengungsi di Ilaga kembali ke kampungnya: walaupun dia mengakui bahwa tidak dapat menjamin keamanannya, Bupati Kab.Puncak, mengajak para pengungsi untuk ‘pulang kampong’. Suatu acara traditional diselenggarakan di ibu kota Ilaga untuk menandai bahwa “perang sudah selesai” – walau acara sendir masih diganggu oleh pejuang TPNPB - maka ‘kita bisa bergerak lagi seperti biasa, artinya bisa kembali ke kampong masing-masing, merawat rumah dan kebun’. Bupati juga mengakui bahwa seandainya nanti ada kesulitan lagi, ya silahkan kembali ke tempat pengungsian di Ilaga[12].  

 

[c] pengungsi di Nduga dikepung aparat: menurut berita dari kampong sejumlah pengungsi yang ‘tersembunyi’ di distrik Yuguru, distrik Geselama, distrik Paro dan distrik Komorowam mulai sangat kawatir karena mereka akan menjadi wilayah operasi militer. Mereka merasa dikepung baik dari darat maupun dari udara. Sejumlah warga mulai siap lagi mengungsi ke hutan. Mereka meminta bantuan tokoh Gereja, tokoh HAM, Pemda Kab Nduga maupun Provinsi segera mendesak pemerintah pusat menghentikan operasi militer besar-besaran di wilayah Nduga yang kampung tersisa pengungsi tahun 2018-2019 lau. Mereka sekarang mengungsi di wilayah yang tidak termasuk markas TPNPB. Mereka kebanyakan pengungsi dari Mapnduma[13].

 

[4] OTSUS & PEMEKARAN DI PAPUA

[a] proses revisi UU Otsus di Pansus DPR RI tetap sangat terbatas: dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)yang panjang berkaitan dengan revisi UU Otsus yang diterima dari pelbagai pihak yang berkepentingan, hanya sejumlah kecil dinilai ‘cocok untuk disahkan dalam Pansus DPR RI karena sejalan dengan yang disarankan oleh pemerintah pusat’.  Secara umum segala isyu yang diangkat yang ‘berbau politik’ atau berurusan dengan Hak Asasi Manusia disingkirkan. Antara lain saran sekitar pembentukan Partai Politik Lokal, pembentukan Pengadilan HAM dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Malahan sebaliknya, akhirnya ternyata diputusakan supaya pasal mengenai pembentukan partai politik lokal sama sekali dihapus dari RUU Otsus Jilid II. Berhubungan dengan pasal 76 (soal wewenang instansi berkaitan dengan pengusulan pemekaran) terdapat 14 DIM, 3 DIM disetujui dan 11 DIM ditolak karena tidak sesuai dengan usulan pemerintah sehingga sulit diakomodasi.  Ternyata Daftar Inventarisasi Masalah menujukkan 146 DIM. Namun melalui rapat kerja dengan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Direktur Jendral Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, hanya 21 disepakati. 21 masalah “yang kita sepakat  ini kita sahkan secara kolektif ini semua pasal, dan tidak boleh kita ulang lagi bahas ini, setelah kita maju ke depan. Setuju?”, kata Ketua Pansus Komarudin Watubun, dalam rapat yang dipantau secara virtual (1/7). “Saya sahkan 21 DIM substansi tetap”, tutur dia. Ketua Pansus mengharap bahwa dengan demikian semuanya cepat dapat dibulatkan dan mengharapkan suatu ‘semangat kekeluargaan’ untuk menghindari segala macam pembahasan panjang lebar. “Lebih cepat lebih baik, tergantung kesepakatan kita. Hukum tertinggi dalam demokrasi Pancasila itu adalah kekeluargaan. Jadi kalau memang semangatnya, semangat kekeluargaan untuk menyelesaikan persoalan Papua saya kira, pasti pembahasan lebih cepat”, kata Komarudin[14].

Kemudian, mungkin karena protes banyak dan permintaan berulang kali supaya Otsus direvisi secara menyeluruh, sekali lagi 28 DIM disahkan (5/7)[15]. Sekali lagi menyangkut hal yang tidak bertentangan dengan tujuan pemerintahan pusat, maka tidak termasuk DIM yang berkaitan dengan unsur politik atau/dan HAM. Juga suatu Badan Pengawasan Pelaksanaan Otsus dibentuk, diketuai Wakil Presiden dan keanggotaannya hampir eksklusif pejabat pemerintah pusat; hanya satu wakil dari kedua Provinsi masing-masing di Papua[16]. Karena akhirnya 19 pasal mengalami perobahan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, menyatakan bahwa dengan demikian sudah terbukti bahwa pemerintah terbuka akan aspirasi rakyat Papua dan mengakomodasikannya[17]. Sedangkan 2 pasal dihilangkan, diantaranya ‘kemungkinan pembentukan partai politik lokal’. Sementara waktu di Jayapura masih diadakan demo damai oleh mahasiswa guna menolak Otsus Jilid II (14/7). Aksi demo dibubar paksa – 5 mahasiwa terluka - dan 23 mahasiswa ditangkap oleh aparat[18]. Demo di depan Gedung DPR di Jakarta (15/7)  sama nasibnya; 50 orang ditangkap. Menurut sekjen PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Julius Ibrani, mereka sudah dibebaskan. Meski demikian, Juius mempertanyakan penangkapan puluhan peserta aksi tersebut. Ia berujar demonstrasi itu sejak awal merupakan aksi damai yang memiliki landasan jelas, yakni hak kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat[19].

Pada dasarnya tidak ada perobahan dalam gaya proses revisi UU Otsus dibandingkan dengan gaya proses sebelumnya. Seluruh proses ditetapkan sepihak oleh kebijakan pemerintah pusat, dengan mengangkat hanya substansi tertentu yang cocok, alias yang memudahkan dan/atau tidak mengganggu pemerintah pusat untuk menguasai situasi di Papua secara maksimal. Dalam tanggapan Mendagri seluruh proses ini sudah dinyatakan cukup demokratis, namun sejumlah hal beliau lupa angkat dan mempertanggungjawabkan, walau merupakan unsur yang sangat penting dalam proses revisi Otsus ini. Yang dilupakannya sekurang-kurangnya 5 hal, sbb: 

[1] Seluruh proses revisi UU Otsus dijalankan tanpa tersedia suatu pengevaluasian Otsus selama 20 tahun yang berkualitas sebagai dasar revisi; maka revisi tidak menjadi revisi Otsus secara menyeluruh dan tidak berlandasan kuat, sedangkan proses sangat terbuka akan pengaruh oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu saja. 

[2] Protes serta penggugatan MRP serta DPRP pada Mahkamah Konstitusi (MK) yang minta supaya pembahasan revisi di DPR RI dihentikan karena melanggar peraturan dari UU Otsus 2001, secara khusus pasal 77 (yang berbunyi: Usulan perobahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan). Apalagi persidangan MK yang dijadwalkan untuk 5 Juli, tiba-tiba ditunda selama waktu yang belum tentu karena pandemic Covid-19 yang semakin luas (srt MK 3 Juli[20]); dengan demikian pembahasan di DPR RI dapat berjalan terus sampai selesai sesuai rencananya, yakni tanggal 15 Juli 2021. 

[3] Program “Rapat Dengar Pendapat” di Papua oleh MRP disabotasi secara sangat kurang menyenangkan baik di wilayah Wamena (tgl 15/11) maupun di wilayah Merauke (tgl 17/11[21]). Sabotasi ini tidak lepas dari instruksi dari pihak BIN[22] dalam surat konfidensiil kepada instansi berkuasa di Papua (tgl 29 Okt 2020), dimana mereka diinstruksikan untuk menghindari secara aktif kehadiran segala unsur kritis terhadap Otsus, sekaligus menghadirkan organisasi/pribadi orang yang kuat mendukung Otsus[23].

[4] Pernyataan penolakan massal yang diselenggarakan melalui “Petisi Rakyat” yang didukung oleh lebih daripada 100 organisasi dan ditandatangani oleh 700.000 orang lebih. 

[5] Pembatasan sangat signifikan hak kebebasan berkumpul dan berekspresi pendapat/opini di Papua. Praktik pembatasan hak itu sudah berjalan lama. Pembungkaman ini menyangkut hampir semua kegiatan kritis termasuk segala aksi damai protes entah apa saja isinya, karena selalu ‘diandaikan’ bahwa ada maksud politik, alias separatis.

Melihat 5 aspek pertimbangan diatas ini, memang sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa proses revisi UU Otsus ditandai secara signifikan oleh sifat ‘sepihakan’ dan sifat ‘kurang mengindahkan semangat demokrasi’. Kesannya kuat bahwa UU Otsus makin menjadi sarana melulu untuk menambah penguasaan oleh pemerintah pusat dan makin mengurangi ruang ‘wewenang otonom’ bagi pemerintah daerah. Maka, isi ‘substansi wewenang Otonom’ makin hilang dari UU Otsus, dan ternyata tidak ada mekanisme demokrasi yang mampu membelok proses sepihak ini. Semuanya diiringi  retorika berbunyi “hukum tertinggi adalah semangat kekeluargaan”, sambil sekaligus menolak  suara kuat banyak Saudara yang berkepentingan langsung di daerah/lapangan. Memang proses ini patut dipertanyakan secara kritis. (TvdB)

 

[b] revisi UU Otsus disahkan: sebagaimana direncanakan UU Otsus disahkan oleh DPR RI tanggal 15 Juli 2021. Dengan demikian diharapkan para pimpinan di Jakarta supaya kesejahteraan di Papua dapat ditingkatkan sambil mengafirmasi kepentingan khusus para warga Papua yang asli. Sudah tentu tanggapan atas pengesahan UU Otsus Jilid II diberikan komentar yang cukup berbeda nadamya. Dari penolakan total (misalnya oleh ULMWP) sampai optimis akan penyelesaian permasalahan di Papua. MRP di Papua sudah menyatakan bahwa mereka tidak menerima hasil DPR RI ini, karena mencerminkan keinginan sepihak pemerintah saja dan perobahan dalam UU Otsus ini bukan keinginan rakyat Papua[24]. Yan Christian Warinussy (Direktur LP3BH, Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum dan jurubicara Jaringan Damai Papua) menegaskan Pasal 45 UU No. 21, Tahun 2001, mengamanatkan pemerintah untuk menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati HAM di Papua. Caranya dengan membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusiapengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua. Namun semuanya sampai saat diabaikan[25]. Sudah tentu banyak komentar akan menyusul hari-hari mendatang.

 

[5] SOAL HUKUM /KEADILAN

[a] kasus pelanggaran HAM berat di Biak: tanggal 6 July 2021 menandai bahwa 23 tahun lalu pasukan keamanan Indonesia membunuh sejumlah besar orang di Biak. Diantara korban adalah perempuan dan anak yang pada saat itu berkumpul mengambil bagian dalam suatu demo yang damai. Mereka dibunuh di kaki menara air, diatas puncaknya bendara Bintang Kejora sedang berkibar. Bendera itu berkibar selama empat hari (2 sampai 6 Juli 1998). Orang-orang lain dikumpulkan dan dibawa ke laut dimana mereka dijatuhkan kedalam air dan tenggelam. Tidak pernah ada anggota pasukan keamanan yang dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM berat ini. Jumlah korban masih tetap tidak jelas; dari banyak orang tidak diketahui nasibnya. Dalam laporan Elsham (1998) hanya disebutlan bahwa secara resmi hanya 8 orang terbunuh, sekitar 37 orang terluka, 150 ditangkap dan bahwa 32 jenazah ditemukan di Samudara Pasifik. Keadilan masih tetap ditunggu. Selanjutnya alangkah baiknya membaca opini seorang yang survive pembunuhan besar-besaran ini, Filep Kama, pada akhir laporan ini (TvdB).

 

[b] mempersempit ruang penyiksaan fisik: hak untuk tidak disiksa adalah salah satu Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini juga diungkap dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Penyiksaan (UNCAT), yang diratifikasi oleh Indonesia. Namun penegak hukum di Indonesia masih membuka celah besar untuk praktik penyiksaan. Dalam beberapa kasus tahun lalu polisi menjadi aktor utama (kasus Henry Balkari dan kasus Sarpan mendapat perhatian nasional).  Praktik penyiksaan diadakan dengan dua motif utama: [a] sebagai metode penghukuman dan [b] sebagai upaya untuk mendrong pengakuan dari seorang. Seperti dalam kasus baru di Biak (21 Juni 2021); seorang muda, Yohan Ronsumbre (20 th), yang diduga mencuri telpon mobil, disiksa oleh polisi. Dia diinterogasi dan selama diinterogasi 4 cangkir air panas diteteskan atas lengannya sampai kulitnya lepas. Investigasinya oleh instansi berwenang,yakni polisi sendiri, masih ditunggu terus oleh sanak saudara korban ini. 

Hal yang membuat situasi makin parah ialah lemahnya mekanisme pengawasan yang kuat dan tiadanya mekanisme audit secara komprehensif. Konsekwensinya, praktik penyiksaan menjadi lingkaran setan yang mengakibatkan kejadian itu berulang. Juga munculnya fenomena baru dalam penyiksaan, yakni penyiksaan siber (cyber torture). Cara yang digunakan dalam penyiksaan siber dapat berupa intimidasi, pelecehan, mempermalukan, fitnah, ataupun manipulasi informasi data korban yang bersifat pribadi (hal demikian menjadi nyata dalam kasus Ravio Patra dan panitia diskusi Universitas Gajah Mada tahun 2020). Akibat penyiksaan siber ini, individu akan kehilangan rasa aman untuk menyampaikan ekspresinya di ruang digital. Sudah waktunya untuk mempersempit ruang penyiksaan dua macam tadi. 

Dalam revisi Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terdapat salah satu pasal, ialah pasal 567 demi tujuan itu. Namun rumusannya masih kekurangan, hingga masih perlu diperbaiki secara substansial. Inisiatif lain dalam mempersempit celah praktik penyiksaan adalah pembentukan Komisi untuk Pencegahan Penyiksaan yang digerakkan oleh lima lembaga negera, yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman, Komisi Nasional Prempuan, Komisi Perlindungan Anaka Indonesia, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban [26].

 

[c] pelabelan teroris TPNPB-OPM: sudah tentu bahwa isyu ini masih sangat membingungkan. Yang membantu untuk memahami persoalan serta kedudukannya dalamnya suasana menyeluruh di Papua, kami menganjurkan pada para peminat membaca salah laporan dari Tirto.id . Dalam laporan itu pelabelan ini diberikan tempat dalam konteks dimana Indonesia berupaya untuk mengontrol hidup serta perkembangan di Papua. Teks yang lengkap (4,5 hlm) dapat dibaca di https://tirto.id/buramnya-status-keamanan-papua-modus-cuci-tangan-pelanggaran-ham-papua.

Sementara ada berita bahwa TNI menangkap 9 anggota kelompok teroris OPM Papua. Mereka ditangkap di kampung Skrofro, distrik Arso Timur, Kab Keerom (14/7). Mereka ditahan karena mereka memiliki kartu tanda pengenal Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Mereka diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diperiksa lebih lanjut[27].

 

[d] penahanan Viktor Yeimo diatas 60 hari melanggar hukum: Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Papua selaku kuasa hukum Viktor Yeimo menyatakan bahwa sebenarnya Viktor perlu dibebaskan sejak 8 Juli karena sudah lewat 60 hari penahanan. Sesuai peraturan yang berlaku serta jenis tuduhan padanya pihak polisi tidak berhak menahannya lebih lama daripada 60 hari. Walau demikian kepolisian mengadakan perpanjangan penahanannya selama 30 hari lagi[28].

 

[e] Carmel Budiardjo, pendiri TAPOL, passed away: hari Sabtu lalu (10/7) seorag pejuang HAM yang luarbiasa meninggal dunia pada usia 96 tahun, namanya Carmel Budiardjo. Ibu Carmel Brickmann (nama aslinya) seorang warga negara Inggeris yang menikah seorang aktivis politik Indonesia, Budiardjo, dan setelah nikah berpindah ke Indonesia. Tahun 1960-an suaminya ditangkap dan ditahan karena keanggotaan partai komunis, sedangkan Ibu Carmel sendiri juga ditahan  walau dia bukan anggota partai. Akhirnya dia dibebaskan karena intervensi pemerintah Inggeris, dan berpindah kembali ke Inggeris. Disitu dia mendirikan organisasi TAPOL (Tahanan Politik) untuk memperjuangkan kebebasan para tahanan politik di Indonesia dan juga khusus para tapol di Papua dan Timor Leste. Puluhan tahun dia tidak tahu lelah dan memotivasikan banyak orang untuk turut berjuang. Memang sampai umur tinggi, fisiknya menurun namun semangatnya tetap tinggi. Kami mengingat beliau sebagai seorang yang mendedikasikan hidup seluruhnya pada perwujudan keadilan dan penghargaan atas martabat setiap orang. Hebat sekali peranan dan teladannya. Ibu Carmel sudah tidak ada lagi namun warisan yang penuh kekuatan dan hidup tetap ada. Kita semua kehilangan seorang ‘pahlawan kemanusiaan’. Ibu Carmel, selamat beristirahat dalam damai yang sepenuh-penuhnyal!! (TvdB)

 

[6] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYAT di PAPUA

[a] pembodohan massal di Indonesia: ketrampilan dasar murid Indonesia dalam numerasi rendah. Dalam kurun waktu 14 tahun terjadi penurunan dengan standar deviasi 25%. Jika dibandingkan, ketrampilan murid SMP kelas 1 di Indonesia tahun 2014 ternyata setara dengan ketrampilan murid SD kelas 4 di tahun 2000. Jika cermat, kita akan lihat bahwa tidak hanya ketrampilan numerasi saja yang memburuk, ketrampilan membaca sudah kembali ke level tahun 2000. Ditambah lagi bahwa pandemic dalam sekian bulan terakhir akan memperkuat proses penurunan ini, maka tidak berlebihan kalau disimpulkan telah terjadi ‘pembodohan massal’ dalam periode Orde Reformasi. Agak pasti bahwa murid SMP kelas 1 saat ini, hanya setara murid SD kelas 3 di tahun 2000. Keadaan ini sudah dinilai ‘darurat’, dan sudah waktu kesadaran ini diterjemahkan dalam suatu kebijakan yang tepat. Maka, perlu mencari tahu apa sebenarnya akar masalah ‘kebodohan’ ini? Apakah semua guru kita perlu dilatih kembali?[29].

 

[7] LINGKUNGAN, DEFORESTASI, INDUSTRI PERKEBUNAN

[a] sebaiknya moratorium kelapa sawit diperpanjang: aktivis lingkungan dan petani mendesak Presiden Jokowi untuk memperpanjang moratorium perizinan bagi plantasi kelapa sawit yang baru. Moratorium ini mulai diberlaku September 2018 melalui Instruksi Presiden (Inpres). Sejak itu pemerintah tidak dapat mengeluarkan izin-izin konsesi kelapa sawit yang baru dan dituntut untuk merevisi izin-izin konsesi yang sudah ada. Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki kepengaturan kelapa sawit, termasuk menghilangkan ketidakpastian sekitar hak-hak petani-petani kelapa sawit, dan untuk meningkatkan produktivitas plantasi. Moratorium akan habis waktu berlaku nanti bulan September 2021. Sekarang Greenpeace Indonesia mendesak Jokowi untuk memperpanjangnya karena ‘komunitas internasional masih tetap mempertanyakan gaya manajemen serta kebijakan sekitar kelapa sawit di Indonesia. Selain hak-hak pribadi orang, juga soal lingkungan, termasuk deforestasi diangkat sebagai isyu-isyu yang perlu diatur dengan lebih baik, hingga berkelanjutannya dapat dijamin[30].

 

[b] Korindo, perusahaan kelapa sawit Korea dicabut ‘sustainability’-status: Melalui suatu investigasi oleh BBCmenjadi jelas bahwa Korindo telah menghancurkan sebagian dari Hutan Hujan (rainforests) di Papua. Ada pengaduan sejak 2017 bahwa Korindo menghancurkan 30.000 ha hutan hujan dalam lima tahun terakhir dan melakukan pelanggaran terhadap hak tradisional dan hak asasi masyarakat adat, yang bertentangan dengan standar Forest Stewardship Council (FSC). Suatu analisa visual mencatat bahwa kebakaran-kebakaran di wilayah kehutanan di Papua ternyata dibuat secara aktif oleh Korindo sendiri. Hal demikian dinilai melanggar peraturan/standar FSCFSC adalah organisasi sertifikasi kehutanan global. FSC menyatakan bahwa, walau di masa lampau FSC telah berupaya kuat mengajak Korindo untuk memperbaiki kelakuan sosial dan lingkungannya, mereka sekarang yakin bahwa perbaikan itu tidak dapat diharapkan dari Korindo. Maka, mereka mengeluarkan Korindo dari organisasinya. FSC juga akan mengakhiri perizinan perdagangan (trademark licences) Korindo dengan FSC, mulai October 2021[31].  

 

[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] pendekatan kesejahteraan dan dialog: dalam suatu pertemuan viral dengan sejumlah pejabat tinggi internasional Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, menekankan bahwa persoalan di Papua akan sekarang didekati dari segi kesejahteraan serta dialog. “adalam memannagani isyu Paua, pemerintah memprioritaskan kesejahteraan secara komprehensif. Dan dalam menghadapi soal separatism pemerintah menekankan dialog, Sedangkan berhadapan KKB penegakan hukum diberlakuan”, ujarnya. Mahfud menybutkan bahwa dia sudah menjalankan dialog dan pertemuan pelbagai kalangan tokoh-tokoh. ‘mereka semua sepakat untuk membangun damai di Papua’, tambahannya[32]

Syukurlah, kalau isi pesannya kepada kalangan pejabat tinggi luarnegeri betul akan mewarnai kebijakan yang akan diterapkan di lapangan di masa mendatang. Antara lain dalam pertemuan dialig yang ebih terbuka dan inklusif; melibatkan para pihak yang dinilai bertentangan pendapat dan aspirasi. Memang semua ingin damai, namun ternyata kata ‘damai’ lebih mudah diungkapkan dalam omongan daripada dilaksanakan di lapangan. Setiap langkah kecil yang ihklas menuju perdamaian sejati akan kami sambut dengan gembira! (TvdB) 

 

[9] GERAKAN POLITIK PEMERINTAH PAPUA & PAPUA BARAT

[a] Gubernur provinsi Papua tiba kembali di Jayapura: setelah menjalankan pengobatan di Singapura Gubernur Papua, Lukas Enembe, tiba lembali di Jayapura (9/7). Karena persoalan sekitar kedudukan Sekretaris Daerah (Sekda) – lihat laporan Juni – beliau mempercepat saat pulanggnya. Setelah pulang Gubernur antara lain melantik resmi seorang pelaksana tugas Sekda yang baru[33]. Maka, kesannya bahwa persoalan kedudukan Sekda belum diselesiakan dengan ‘damai’.

 

[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA

[a] Jokowi membela kebebasan ekspresi di Kampus: ternyata kritik terhadap beberapa pejabat tinggi, termasuk Presiden, di kalangan mahasiswa makin terungkap. Presiden dijuluki “King of lip service” (Raja ‘lain di mulut lain di hati’); Wakil Presiden dijuluki “King of Silence” (Raja Kediaman), yang menurut sejumlah kritisi sebaiknya mengundur diri, sedangan Ketua DPR RI, Puan Maharani, di juluki “Queen of Ghosting” karena mengejar produk legalisasi yang tidak berparadigma kerakyatan dan tidak berpihak pada kalangan rentan[34]. Sementara waktu Presiden menyatakan bahwa pengekspresian para penghuni kampus di Universitas jangan dihalangi[35]; mahasiswa kecewa dengan tanggapannya karena ‘tidak menanggapi substansinya dari isi kritik’[36]. Sudah tentu ada juga yang tidak suka gerakan kritik ini, dan menilai para mahasiswa sebaiknya fokus pada studi saja. Malahan ada berita bahwa para aktivis di kampus sekarang makin dijadikan sasaran intimidasi, tekanan dan ancaman, disini ‘penyiksaan siber’ akan makin hari makin nyata[37]. Entah bagaimanapun, yang sebaiknya menjadi perhatian kita semua bahwa jelas kalangan mahasiswa mulai bergerak secara publik dan mengungkapkan kekecewaannya dengan kebijakan politik dewasa ini. Gerakan ini dapat dinantikan akan menjadi makin kuat di waktu mendatang[38].

 

[b] tokoh politik mendukung gerakan mahasiswa: mungkin cukup signifikan berhubungan dengan berita diatas ini, bahwa Kepala Biro Perhubungan DPP Partai Demokrat, Abdullah Rasyid, mendukung mahasiswa yang mengancam akan menduduki DPR. Menurutnya, sudah lama mahasiswa tak turun lagi ke jalan menyerukan perlawanan/protes atas kebijakan pemerintah. “Rindu melihat mahasiswa datang ke DPR RI. Ayo kawan-kawan BEM SI, kami akan ikut! Panjang umur perjuangan”, katanya [39]

 

[11] CORONA VIRUS

Infograf – perbandingan antara situasi di Papua tgl 13 Juli dan 29 Juni - memberikan gambaran sbb:

 

COVID-19

Jumlah positif

Jumlah dirawat

Jumlah sembuh

Jumlah meninggal

Situasi Provinsi Papua

13/7

2021

29/6 /’21

13/7 2021

29/6 /’21

13/7 2021

29/6 /’21

13/7

2021

29/6 

/’21

Kota Jayapura

10027

9487

655

259

9188

9057

184

171

Kab Mimika

7426

6508

664

176

6694

6275

68

57

Kab Biak Numfor

2017

1382

777

259

1164

1062

76

61

Kab Jayapura

1748

1349

390

57

1293

1236

65

56

Kab Merauke

1646

1158

449

226

1109

870

88

62

Kab Jayawijaya

1275

1085

206

75

1062

1003

7

7

Kab Mappi

868

738

107

58

755

675

6

5

Kab Nabire

603

543

195

12

381

513

13

18

Kep. Yapen

589

397

53

7

179

379

7

11

Kab Boven Digoel

520

385

101

59

431

323

6

3

Kab Asmat

500

270

202

16

294

251

4

3

Kab Keerom

308

308

64

64

231

231

13

13

Kab Paniai

179

104

76

5

98

96

5

3

Kab Superiori

125

76

42

0

83

76

0

0

Kab Tolikara

96

49

43

4

53

45

0

0

Kab Sarmi

31

31

0

0

31

31

0

0

Kab Lanny Jaya

27

27

0

0

26

26

1

1

Kab Yalimo

15

15

0

0

15

15

0

0

Kab Peg Bintang

11

11

0

0

11

11

0

0

Kab Mambera-

mo Tengah

4

4

0

0

4

4

0

0

Kab Puncak Jaya

3

3

1

0

2

3

0

0

Kab Waropen

1

1

0

0

1

1

0

0

Total 

28019

23931

4022 14,4%

1277 5,3%

23434 83,6

22183 92,7%

563 

2,0%

471

2,0%

 

 

 

 

Jumlah tes

138758

 

Diwanai biru: artinya tidak ada perobahan entah karena tidak ada perobahan, entah tidak ada data

 

[12] SERBA-SERBI – VARIA

[a] masyarakat diajak untuk mengingat sejarah tgl 1 Juli 1971: Sekjen KNPB, Mecky Yeimo, mengajak masyarakt mengingat sejarah. Tanggal 1 Juli 1971 adalah tanggal bersejarah. Pada hari itu terdapat deklarasiKonstitusi Republik Papua Barat oleh OPM di Victoria, Port Numbai, Papua Barat[40]. Di luar Papua suatu acara peringatan 1 Juli diselengarakan oleh Alliansi Mahasiswa Papua (AMP) bersama Front Rakyat Indonesia (FRI) untuk Papua di Bandung. Jurubicara demo ini, Pakos Kossay, menyatakan bahwa masyarakat luas perlu memahami sejarah sekitar pengintegrasian Papua kedalam Republik Indonesia. Seluruh kegiatan dapat berjalan dengan baik sambil mengindahkan protokol kesehatan[41].  

 

[b] polisi Papua masih perlu banyak personel: menurut Kapolda, Matheus FahkiriKepolisian Daerah (Polda) Papua masih kekurangan 12.855 personel untuk menjalankan 28 polres (Polisi Resort). Jumlah tenaga yang tercatat sekarang ini adalah 11.468. Rekrutmen 2.000 anggota Polri melalui program Bintara Noken, perlu dilihat dalam proses penambahan personel ini[42]

 

[c] suasana pasca diskualifikasi pasangan Kepala Daerah di Yalimo masih belum tenang: sudah banyak fasilitas pemerintahahn dan ruko dibakar habis dan jalan dipalang sebagai tanda bahwa masyarakat tidak menerima keputusan Mahkamah Konstitusi yang mendiskualifikasi pasangan Kepala Daerah yang dipilih 21 Mei 2021[43]. Kapolda berupaya untuk memulihkan keadaan. Situasi yang paling berat dihadapi adalah: [1] konstelasi politik lokal, di antaranya karena pembatalan calon, dan pilkada diulang mulai dari pendaftaran calon baru; [2] kesiapan teknis KPU karena kantor KPU Yalimo dibakar; [3] kesiapan anggaran untuk membayar pilkada ulang, termasuk kampanye ulang karena potensi munculnya calon baru dan nomor urut baru[44].

 

[d] penandatangan kontrakt honorer ditunda: pemerintah daerah (pemda) di Timika sebenarnya rencana menandatangani kontrak kerja para honorer per 1 Juli 2021. Namun ditunda karena kurang lebih masih ada 15 dari 45 ODP yang belum menyampaikan hasil assesmen kepada tim verifikasi. Maka, para honorer dirumahkan saja sambil menunggu assessmen dulu oleh kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD); kemudian diusulkan kembali, lalu Pemda akan menandatangani kontrak kerja selama 1 tahun.[45].

 

[e] pertemuan diskusi di Makasar dipaksa bubar (1/7): Suatu pertemuan diskusi mahasiwa Papua di salah satu asarama di Makasar diganggu sampai dihentikan oleh suatu kelompok yang mengakui diri sebagai Indonesian Muslim Brigade (BMI) dan Pemuda Pancasila. Dalam pertemuan para mahasiwa membahas maknanya ‘proklamasi Papua Merdeka pada tgl 1 Juli 1971’[46].

 

[f] pegawai yang kerja lamban sebaiknya disuruh ke Papua: pernyataan dengan isi yang menagetkan ini ternyata keluar dari Menteri Sosial, Tri Rismaharini. Pemikiran bahwa Papua adalah ‘tempat buangan’ memang sudah tumbuh subur di kalangan pegawai negeri. Jelas: sangat menghina dan memalukan, tapi nyata![47] Menteri patut meminta maaf kepada bangsa Papua[48]

Mungkin pengunduran diri juga bisa menjadi suatu pertimbangan. Saran saja. (TvdB)

 

Jayapura, 16 Juli 2021

*****

Dibawah ini kami mengutip catatan tanggapan dari Filip Karma berkaitan dengan peristiwa Biak Berdarah (6 Juli 1998) yang diterbitkan dalam JUBI, edisi 7-8 Juli 2021, hlm 3. (TvdB).

Tragedi Biak Berdarah tidak bisa berharap pada negera

23 tahun telah berlalu tragedi kemanusiaan Biak Berdarah. Rakyat Papua menjadi korban pembunuhan, disiksa, cacat seumur hidup dan trauma berkepanjangan.

Satu di antara saksi hidup tragedi Biak Berdarah, Filep Karma, menyatakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), tidak mampu mengusut tuntas peristiwa yang terjadi pada 6 Juli 1998 itu. 

Filep Karma mengatakan, sekitar sebulan setelah kasus Biak Berdarah, Tim Komnas HAM RI periode 1998-2002, turun ke Kabupaten Biak. Tokoh Papua merdeka tersebut salah satu yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM.

Karma dimintai keterangan ketika ia dan beberapa orang lainnya ditahan di Polres Biak. Anggota Komnas HAM yang datang ke Biak adalah Asmara Nababan dan ada B.N. Marbun.

“Kalau Asmara Nababan oke, dia datang menggali fakta, dia bertanya saya jawab. Oke, itu dia terima, dia konfirmasi. Akan tetapi waktu Pak Marbun, saya malah disalah-salahkan. Apa pun jawaban saya selalu disanggah. Seakan dia yang lebih tahu. Dia bantah semua apa yang saya jawab. Padahal apa yang saya sampaikan sesuai kejadian ketika itu”, kata Filep.

Karma berpendapat, jika Komnas HAM periode kini dan ke depan dengan benar-benar mau mengusut tuntas kasus Biak Berdarah, seharusnya mereka melakukan investigasi ulang. Namun ia menduga, mungkin Komnas HAM periode kini dan periode sebelumnya, juga ditekan oleh pemerintah. Sebab, Karma beranggapan pemerintah berupaya menutupi peristiwa kemanusiaan tersebut. 

“Ketika Natalius Pigai masih di Komnas HAM, saya berharap dia sebagai orang Papua dan merasakan penderitaan itu, dia akan memimpin investigasi ulang atau bagaimana upaya membongkar kasus-kasus yang selama ini di peti-eskan”, ucapnya.

Akan tetapi, lanjut Filep, ternyata upaya Natalius Pigai tidak begitu berhasil. Bahkan untuk kasus-kasus lain yang ada di Papua tidak mendapat kepastian.

“Contoh seperti kasus Paniai. Peristiwa yang menyebabkan empat siswa SMA tewas dan belasan orang terluka pada 8 Desember 2014, sampai sekarang tidak tuntas”, katanya.

Tidak bisa berharap pada negara

Filep mengatakan, bagaimana mungkin berharap pada negara untuk menuntaskan kasus yang terjadi 23 tahun silam tersebut. Karena sejak awal, negara berupaya menutupi peristiwa pembubaran paksa aksi damai menuntut referendum, yang disertai pengibaran bendera Bintang Kejora.

“Saya melihat dari awal negara berusaha menutupi kasus Biak Berdarah. Itu terlihat waktu banyak ditemukan penggalan-penggalan tubuh yang dimutilasi dan muncul di perairan Biak. Mereka (pemerintah) bilang, itu korban tsunami dari Papua Nugini (PNG)”, kata Filep.

Ia menganggap alasan pemerintah menyebut potongan-potongan tubuh yang ditemukan di perairan Biak, setelah kasus Biak Berdarah , sebagai korban tsunami dari negara tetangga PNG adalah hoaks. Sebab kalau benar itu merupakan korban tsunami dari PNG, setidaknya akan ditemukan juga di wilayah lain di daerah pesisir Papua. Misalnya di pantai di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Sarmi, Memberamo, Kepulauan Yapen atau Kabupaten Numfor.

“(Saya anggap) ini pemerintah bikin hoaks kepada rakyat untuk menutupi perbuatan aparat, karena kalau memang jenazah dari Papua Nugini paling tidak akan mestinya ditemukan juga di daerah lain di pesisir Papua. Tetapi itu tidak ada. Biak saja, jadi menurut saya itu terbantahkan”, ujarnya.

Akan tetapi, lanjut Filep Karma, para korban dan mereka yang peduli kemanusiaan tidak boleh putus asa. Mesti terus melawan lupa dan selalu membuat peringatan. Cara ini juga dianggap untuk mengingatkan berbagai pihak, bahwa ada tanggung jawab atau utang negara terhahadap rakyatnya yang mesti dipertanggungjawabkan pemerintah. 

“Kalau secara intern sudah tidak bisa, otomatis ini kita bawa ke luar. Ke level internasional. Misalnya ke Papua Nugini, diangkat di Forum Pasifik Selatan, diangkat ke FIP, ke negara-negara Afrika, Karibia dan ke PBB. Sebab itu nyata-nyata pembantaian di dalam kota. Disaksikan masyarakat, bukan dalam hutan, sehingga pemerintah berusaha menutupinya”, kata Filep Karma.

Sementara itu, Kepala  Kantor Komnas HAM perwakilan Papua, Frits Ramandey menyatakan, belum tuntasnya penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian dan Komnas HAM menyebabkan korban kasus Biak Berdarah tak kunjung mendapat keadilan. Sebab belum ada putusan hukum dalam kasus tersebut. Padahal…”secara visual atau kasat mata patut diduga terjadi pelanggaran HAM berat dalam tragedi itu. Ketika kasus Biak Berdarah terjadi, ada korban meninggal dunia, ada yang cacat seumur hidup, trauma berkepanjangan dan lainnya”, kata Frits Ramandey.

 



[3] JUBI edisi 14-15 Juli 2020, hlm. 20

[20] No. 2.1/SKLN/PAN.MK/PS/7/2021

[22] surat BIN bernomor: R/052/X/2020, 29 Oktober 2020

[29] Amanda Beatty dan Daniel Suryadarma dalam International Journal of Educational Development, Vol 85 September 2021. dan https://www.kompas.com/edu/read/2021/06/26/120505471/kondisi-darurat-pembodohan-massal-sd-dan-mi-kita?page=all   

[32] Dewan Gereja Papua, Jayapura, 27 Juni 2021; Surat Gembala,  Dewan Gereja Papua Menyikapi Situasi Papua Terkini05/VI/2021. 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.