Saturday, May 1, 2021

PAPUA 2021 16-30 April in Bahasa

PAPUA  2021

16-30 April

Oleh: Theo van den Broek

 

[1] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] korban lagi. Eskalasi kekerasan di wilayah Beoga (Kab Puncak) belum berakhir. Dalam kontak senjata di kampung Makki (13 km dari Ilaga) Kepala BIN Papua, Bridgen I Gusti Putu Danny Nugraha Karya, ditembak mati selama suatu peninjauan di medan operasi (25/4). Dua anggota Brimob dikena peluru dan sedang dirawat di rumah sakit[1]TPNPB mengakui mengadakan penembakan ini. Dalam kontak senjata ini, menurut berita dari pihak pasukan TNI/Polri, juga sejumlah anggota TPNPB tewas. Katanya, 5 anggota TPNPB tewas. Hari-hari berikut muncul berita menyebutkan angka 9 dan 10. Jurubicara TPNPB  menyangkal kebenaran berita demikian, dan menegaskan bahwa yang ditembak mati oleh TNI/Polri adalah warga sipil biasa saja.  Karena tidak ada akses bagi pihak indepeden pada wilayah ini berita ini tidak dapat diverifikasi[2]

 

[b] tanggapan atas pembunuhan kepala BIN daerah. Sambil mengungkapkan rasa turut berduka cita serta keprihatinan atas eskalasi kekerasan ini, dalam pesan Jaringan Damai Papua (JDP) para pihak terlibat dalam konflik kekerasan ini didesak untuk tahan diri. Secara khusus pihak pengamanan (TNI/Polri) diharapkan mengutamakan jaminan keamanan para warga sipil di wilayah ini. Pihak TPNPB diharapkan untuk bersedia memberi ruang dan kesempatan bagi aparat kemanusiaan menjalankan tugasnya melayani rakyat sipil dan para pengungsi. Kita bersama perlu suatu jeda kemanusiaan untuk berefleksi dan memilih jalan penyelesaian yang baru, pesannya JDP. Diharapkan oleh JDP: “agar Panglima TNI dan Kapolri dapat memastikan keselamatan dan keamanan segenap rencana operasi militer di Tanah Papua … dengan menempatkan keselamatan dan keamanan warga masyarakat sipil diatas segalanya. Selanjutnya, “kiranya Presiden … dapat segera memanggil Panglima TNI dan Kapolri untuk melakukan review atas segenap operasi keamanan di Tanah Papua … dengan titik tekan pada pemulihan situasi kemanusiaan dari warga sipil pada umumnya serta para pengungsi” [3].

Pejabat tinggi pun di Jakarta menanggapi pembunuhan ini. Presiden Jokowi meminta pihak keamanan untuk “mengejar dan menangkap seluruh anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB)”, karena “tidak ada tempat bagi KKB di wilayah tanah Indonesia; termasuk Papua”[4].  Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Bambang Soesatyo, mendesak “aparat keamanan menurunkan kekuatan penuh dan menumpas habis kelompok kriminal bersenjata (KKB)”. Menurutnya, aparat kemanaan tidak perlu ragu untuk menurunkan kekuatan penuh dan urusan hak asasi manusia (HAM) bisa dibicararkan belakangan.  KKB Papua ditumpas habis, biar urusan HAM dibicarakan nanti[5]. Sikap Soesatyo mengenai soal HAM sangat dikritik keras oleh Institut SETARA[6] dan Amnesty International Indonesia, karena berujung akan ada penambahan pelanggaran HAM di Papua[7].  Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI, Puan Maharaniturut mengutuk pembununhan ini, namun juga mendesak supaya perlindungan para warga menjadi prioritas dan supaya seluruh latarbelakang pembunuhan ini direfleksikan guna menetapkan suatu penyelesaian permasalahan dengan tepat dan terkoordinir[8]. ‘Presiden ad interim’ Papua, Beny Wenda, sekali lagi menjelaskan bahwa anggota TPNPB/OPM bukan teroris namun pejuang hak sejati bangsa Papua untuk menentukankan nasibnya sendiri setelah selama 60 tahun tanahnya dirampas  dan diduduki oleh Indonesia. Dia minta menghentikan segala kekerasan dan duduk bersama untuk membahas solusinya yang tepat[9].

Memang sangat wajar bahwa pembunuhan ini dikutuk kita semua, namun sudah tentu semua pernyataan demikian – dengan pengecualian pernyataan Puan - tidak menciptakan suatu suasana yang lebih tenang dan terbuka atau suatu ‘jeda kemanusiaan’ untuk mencari suatu solusi yang lebih bermartabat dan untuk menghentikan segala kekerasan ini. Bahasa yang dipakai sangat agresif: ‘mengejar dan tangkap seluruh KKB’, ‘tumpas habis mereka’, ‘tidak usah pikir HAM’ dan ‘babat habis OPM sampai akar-akarnya’[10]. Secara khusus pernyataan Ketua MPR RI, Bambang Soestyo, yang minta pasukan tni/polri sepenuhnya dikerahkan tanpa peduli mengenai HAM, dinilai melanggar bukan saja etika seorang pimpinan lemabga tinggi negara, namun juga melanggar peraturan hukum baik nasional dan internasional. Pantas sikap beliau dikritik keras dan tepatnya surat Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua[11] yang meminta beliau “untuk menarik pernyataannya, menyatakan permohonan maaf secara terbuka kepada publik dan mendorong Pemerintah menyelesaikan akar masalah di Papua dengan cara-cara damai”.  Walau dikritik tetap sangat mungkin bahwa suatu pengoperasian militer yang lebih intensif dan ganas akan menyusul dan ‘urusan hak asasi manusia dibicarakan dari belakang saja’, alias dikesampingkan[12]. Seandainya demikian memang kita akan mundur selangkah besar lagi! Siapa yang masih bisa membantu banting setir! (TvdB).

 

[c] perlu investigasi independen: setelah menyaksikan peningkatan kekerasan di Papua selama ini, secara khusus penembakan 9 warga sipil (5, bulan Maret -termasuk 1 anak sekolah- di wilayah Intan Jaya, dan 4, bulan April -termasuk satu anak sekolah- di wiayah Puncak) sejumlah organisasi HAM di Papua sangat mendesak supaya suatu investigasi independen diselenggarakan. Berhenti saja saling menuding oleh pihak TPNPB dan pihak TNI/Polri. Eskalasi konflik bersenjata di Papua adalah hasil dari pelbagai Tindakan kekerasan sebelumnya dan tidak dapat diselesaikan dengan memakai kekerasan. Untuk menghindari penambahan korban lagi, apalagi korban sipil, ELSHAM Papua mendesak segala pihak untuk menahan diri dan memilih suatu pendekatan kemanusiaan. Selanjutnya direktur ELSHAM, Pdt Matheus Adadikam, mendesak supaya demi perlindungan masyarakat sipil, pihak yang berwewenang memberikan akses pada wilayah bagi suatu tim investigasi independen (15/4). Dia menambah bahwa dalam kasus Beoga (Puncak) Elsham “menduga ada actor lainya terlibat selain TNI/Polri dan TPNPB. Untuk membuktikannya perlu suatu investigasi mendalam oleh pihak yang independen”. Gustaf Kawer, direktur Papua Asosiasi Advokat HAM (PAHAM) menggarisbawahi kebutuhan akan investgasi independen, bukan saja untuk kasus di Beoga, namun untuk setiap kasus. “Tim investigasi perlu kerja purnawaktu untuk menjelaskan kebenaran dari kekerasan bersenjata yang sedang berjalan di Papua”. Selain mengadakan investigasi Negara mesti membuka ruang untuk dialog dengan kelompok-kelompok pro-merdeka guna mematahkan rantai kekerasan di Papua dewasa ini[13].

 

[d] tambahan pasukan: sejumlah pasukan sedang disiapkan untuk menuju ke Papua[14].

 

[2] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA

[a] pengungsi wilayah Kabupaten Puncak: sebagai akibat operasi militer dan jatuhnya korban di wilayah sekitar Beoga (Kab Puncak), banyak masyarakat meninggalkan kampongnya mencari tempat perlindungan. Jumlahnya sekarang masih kurang diketahui, namun jelas banyak masyarakat tidak merasa aman lagi ditanahnya sendiri.

 

[b] pemkab Nduga mesti fokus melayani rakyat: DPRD Nduga sudah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 960 miliar.Lantas ditekankan bahwa pemerintah daerah perlu betul meningkatkan pelayanan pada masyarakat. Fraksi Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Leri Gwijangge menambahkan ‘meski situasi keamanan dan ketertiban di Nduga belum sepenuhnya kondusif, namun kerjasama pemerintah, dewan, gereja, lembaga masyarakat, pemuda dan seluruh elemen masyarakat harus terus dijalin demi menciptakan keamanan hingga proses pembangunan dapat berjalan’. Ia juga menyinggung penanganan masyarakat Nduga yang tinggal di pengungsian, wajib mendapat perhatian khusus[15].

 

[3] OTSUS & PEMEKARAN DI PAPUA

[a] Mendagri: pemekaran DOB tak satu pun disetujui. Pernyataan Mendagri agak mengejutkan, karena akhir-akhir ini rencana pemekaran di Papua kelihatan sudah diputuskan dengan cukup jelas. Sekarang diberitahukan bahwa belum ada satu permintaan pemekaran pun yang sudah disetujui. Alasannya cukup sederhana juga: tidak ada uang untuk itu! Sebelumnya pemerintah kabarnya akan mengesahkan delapan provinsi baru yang sudah diloloskan dalam pembahasan pada tahun 2013. Delapan, diantaranya adalah Provinsi Papua Barat Daya, Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Selatan[16]

Maka, kesan kami: perencanaan memang sudah ada, persetujuan sudah ada (sekurang-kurang untuk yang ke delapan tadi), namun secara formal saja ditunda sampai ada uang tersedia untuk melaksanakannya. (TvdB)

 

[4] SOAL HUKUM /KEADILAN

[a] aksi teror mengena jurnalis JUBI: ternyata Viktor Mambor, jurnalis senior dan pimpinan umum Tabloid JUBImengalami aksi terror. Mobil, miliknya, yang diparkir dekat rumahnya, kacanya dirusak dan pintu-pintu sebelah kiri di dicoreti dengan cat semprot berwarna oranye. Sudah tentu dilapor kepada pihak polisi untuk ditangani seperlunya. Aksi terror ini sangat dikecam oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Bukan pertama kalinya Viktor dikena ancaman; juga melalui digital dia terus diancam, juga melalui penyebaran flyer di media sosial yang isinya menyudutkan Tabloid JUBI maupun Viktor Mambor. Ternyata makin riskan untuk menyampaikan berita-berita yang benar dan transparan[17]. Kejadian ini menjadi alasan Elsham Papua untuk mendesak semua pihak mencari jalan damai untuk mencegah tragedi kemanusiaan di Papua. Suatu pernyataannya ditujukan kepada baik Presiden, TNI, Kapolri, Dewan Perwakilan RI di Jakarta maupun kepada TPNPB, Kapolda, Dewan Adat dan Dewan Gereja di Papua. Pokoknya masing-masing pihak didesak menyumbang pada suatu solusi yang bermartabat dan tanpa memakai kekerasan[18]

 

[b] soal beli senjata untuk TPNPB: sudah diketahui umum soal pembelian senjata bagi TPNPB cukup memusingkan pihak Polisi dan TNI;bukan saja karena meeka bisa menjadi sasaran pemakaian senjata itu, namun juga karena sebagian senjata dan dijual-belikan melibatkan oknum TNI/Polri. Baru-baru ini seorang pendeta ditangkap dan dituduh terlibat dalam penyediaan senjata bagi TPNPB. Namanya Paniel Kogoya yang ternyata memiiki uang dalam jumlah besar untuk menyediakan senjata. Melalui pengakuan mengenai keterlibatannya, juga akan ada informasi lebih mendetil mengenai seluruh pola serta modal yang berkaitan dengan penyediaan senjata. Berdasarkan informasi itu, mungkin pedagangan senjata serta amunisi dapat dikendalikan[19].

 

[c] Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS). Pembahasan RUUKPS bermasalah di tingkat pemerintah karena menghapus 102 pasal krusial. Para aktivis perempuan bergerilya meyakinkan pemerintah mengembalikan pasal-pasal yang jadi tulang punggung rancangan undang-undang ini. Soalnya, sebanyak 102 pasal hilang dari daftar isi RUU baru; mau dirampungkan sebelum pemilu 2024. Semua pasal yang hilang merupakan pasal krusial. Salah satunya tentang pemangkasan sembilan kategori bentuk kekerasan seksual menjadi hanya empat[20].

 

[d] dikategorikan ‘teroris’: ternyata kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sangat nekad untuk mencapai tujuannya: menetapkan TPNPB/OPM sebagai organisasi teroris. Niatnya menjadi jelas melalui undangan pada sejumlah instansi pemeritahan dan beberapa undangan lainnya untuk berkumpul hari Selasa (27/4) untuk membahas “rekomendasi dari Kedutaan Besar RI untuk Jerman terkait berubahan nomenklatur OPM, pencantuman OPM dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris(DTTOT)”. Daftar undangan memperlihatkan peserta dari Kementerian masing-masing Luar Ngeri, Dalam Negeri, dan Pertahanan. SelanjutnyaKantor Staf Presiden, TNI, Polri, Pusat Pelaporan dan Analisa Keuangan dan BNPT sendiri. Kemudian dari Papua: Pemuda Adat PapuaForum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Prov Papua, Presidium Putra-Putri Pejuang Pepera (P5), dan Lembaga Adat Papua. Yang menonjol bahwa instansi seperti Komnas HAM yang sampai saat cukup bersurara kritis mengenai pokok pembahasan ini tidak diundang. Juga nyata bahwa seleksi undangan dari Papua memang sangat selektif khusus dan menghindari segala perwakilan instansi yang berstatus ‘kenegaraan’ seperti MRP, DPR, dan Pimpinan Daerah[21]. Ternyata dalam praktik Badan Intelijen Nasional sudah menerapkan pencantumanOPM dalam DTTOT ini[22]. Mendahului keputusan dalam hal ini, BIN – setelah kepala BIN daerah di Papua dibunuh – sudah mulai memakai resmi istilah baru Kelompok Separatis dan Teroris (KST) menggantiKelompok Kriminal Bersenjata (KKB)[23]. Komnas HAM langsung berreaksi dan ingatkan BIN supaya ‘hati-hati’[24]

Ternyata segala masukan kritis kurang berdampak pada proses pembahasan soal penting ini, karena dengan sangat cepat sudah diputuskan resmi oleh pemerintah bahwa TPNPB/OPM mulai sekarang dikategorikan sebagai organisasi teroris (29/4)[25]. Dalam reaksi resmi GUbernur meminta Pemerintah Pusat ‘mengaji kembali’ pelabelan ini[26], sedangakan dalam siaran pers langsung setelah pengumuman tadi, ketua SETARA Institute (Jakarta), Hendardi, menyatakan bahwa “pelabelan teroris dan tindakan operasi selanjutnya adalah kebijakan terburuk Jokowi atas Papua”[27]Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) menilai bahwa pelabelan KKB di Papua sebagai teroris hanya bertujuan membungkamkan suara-suara yang menuntut keadilan[28]. TPNPB-OPM sendiri berencana untuk mengajukan keputusan ini ke Makamah Agung Internasional, untuk diuji materinya[29]

 

[5] LINGKUNGAN, DEFORESTASI SERTA PERANAN KORPORASI/INVESTOR/KELAPA SAWIT

[a] kelapa sawit Supaya hasil kelapa sawit lebih dimanfaatkan secara domestik di Indonesia, pemerintah telah memutuskan untuk memulai proyek konversi Crude Palm Oil (CPO) -minyak sawit mentah- menjadi benzin. dengan demikian pemerintah tidak perlu terlalu khawatir dengan masalah penurunan harga OCP dan impor benzin dapat dikurangi[30].

 

[b] uang konsultan: sudah cukup lama diketahui bahwa di dunia korporasi puluhan juta dollar dipakai untuk memperlancar segala aspek ‘kepengurusan’. Dari pembukuan Korindo Group diketahui bahwa mereka membayar ’22 juta US$’ kepada seorang konsultan berhubungan dengan kepengurusan izin dan lahan di Provinsi Papua. Uang semacam ini lazimnya dipakai untuk memperoleh konsesi-konsesi industri perkebunan. Dugaannya uang sebesar tadi dipakai selama kurun waktu 2009-2015, sewaktu Korindo Group memperoleh perluasan konsesi secara sangat signifikan. Yang kurang jelas sebenarnya 22 juta US$ itu disalurkan selanjutnya kepada siapa-siapa. Ternyata sangat rumit untuk menemui data berkaitan dengan pertanyaan itu. Sudah beberapa tahun data rincian pemakaian ‘uang konsutan’ itu dicari, namun sampai saat ini tidak berhasil. Memang dikhawatirkan bahwa uang itu disalurkan ke pejabat-pejabat untuk memudahkan perolehan konsesi wilayah besar. Penilitian tetap diteruskan[31].

 

[6] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYATdi PAPUA

[a] pemberantasan malaria: Ternyata sudah sejak 2009 suatu  program pemberantasan di Indonesia (86% kasusnya ada di Papua) dijalankan. Nama rogram: Indonesia bebas malaria pada tahun 2030. Menurut sumber dari Kementerian Kesehatan program ini sudah berhasil signifikan; bandingkan 2019 dengan 2010, ternyata kasus malaria menurun dengan 47%. Hanya sekarang ada keprihatinan bahwa kemajuannya dalam program ini terhalang karena musibah covid-19. Program melawan covid-19 menjadi – dengan alasan kuat – prioritas pertama. Maka muncul program baru: 180 juta orang divaksin dalam 15 bulan’. Namun demikian diharapkan bahwa anggaran – bukan sedikit yang dibutuhkan – secukupkan masih dapat disediakan supaya kemajuan dalam pemberantasan malaria tidak berhenti atau malahan mundur lagi ke keadaan sebelumnya[32]

 

[b] wilayah pertambangan rakyat: Berita menarik mengenai pola penetapan “wilayah pertambangan rakyat” (WPR). Berita ini berkaitan dengan masyarakat di wilayah suku Korowai; wilayah itu terbagi diatas lima Kabupaten, yakni Boven Digoel, Pegunungan Bintang, Asmat, Yahukimo dan Mappi. Wilayah ini mengandung emas. Beberapa tahun lalu penemuan emas di wilayah ini mendorong banyak orang dari luar wilayah ini untuk memulai memanfaatkan emas itu. Masyarakat lokal kurang berdaya mengontrol arus kedatangan orang dan tanah diberikan kepada pendulang emas dengan sekitar 30 juta per ha. Setelah masyarakat menjadi sadar akan peluang ekonomisnya, dan menyadari bahwa sering ditipu, mereka mulai sadar juga bahwa mereka perlu menjamin haknya atas tanah dan mengorganisir diri supaya mereka sendiri bisa mengembangkan pertambangan rakyat. Suatu kebersamaan dibangun dengan kuat, tanah mulai dipetakan supaya hak ulayat menjadi jelas atas nama siapa-siapa. Ternyata prosesnya didorong kuat oleh seorang anggota DPRP, John Gobay, yang baru ini lagi berdialog langsung dengan masyarakat Korowai di lapangan. John menekankan bahwa memang perlu mengorganisasi diri, karena sendiri-sendiri saja tidak dapat mengatur wilayah yang kaya sumber alam ini. Suatu korporasi local dibentuk. Seusai dialog langsung dengan masyarakat John juga menyimpulkan bahwa perlu mendekati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), supaya kepengurusan lokal ini diakui dan ‘wilayah pertambangan rakyat’ (WDR) didaftarkan resmi, hingga tak dapat dijadikan bagian konsesi instansi lainnya. Selanjutnya juga perlu diperjuangkan supaya wewenang penetapan WDR serta izin pengoperasianya diberikan kepada Gubernur, sehingga semuanya akhirnya dapat diatur ditingkat provinsi dan tidak perlu diatur lagi di Jakarta. Untuk itu ada gagasannya untuk membentuk suatu ‘wadah resmi pertambagan rakyat’ di Papua. Melalui proses panjang ini akhirnya masyarakat Korowai merasa terlindung dari penipuan banyak orang, seperti di masa yang lalu[33]

 

[7] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] Jaringan Damai Papua bangkit kembali: akhir ini ada tanda bahwa Jaringan Damai Papua (JDP) sudah mulai beraktivitas lagi cukup lama suaranya kurang terdengar. Dalam suatu rapat dimana sejumlah anggota inti JDP hadir diputuskan untuk menciptakan ruang untuk suatu ”jeda kemanusiaan”. Maksudnya, sejauh kami mengerti, menciptakan keadaan ‘waktu tenang’, ruang yang mengutamakan kemanusiaan diatas segala kepentingan lainnya, dan untuk refleksi bersama sambil mencari suatu jalan keluar yang bermartabat’; mungkin diwarnai dengan suatu ‘penghentian aksi bersenjata’ biarlah untuk sementara waktu sebagai langkah pertama. Menuju kesitu banyak komunikasi perlu diadakan, Analisa keadaan perlu dibuat dan isi pesan/suara di tengah masyarakat direncanakan secara strategis dan konstruktif. Salah kegiatan a.l. diskusi melalui teknik digital (webinar). [34]. Webinar pertama (22/4) menghadirkan jurubicara JDP, Yan Christian Waranussy, salah satu coordinator JDP sekaligus peneliti LIPI, Cahyo Pumangkas, dan seorang berpengalaman banyak selama proses penyelesaian masalah di Aceh, Otto Syamsuddin Ishak. Diskusi dimoderator oleh anggota tim inti JDP, Latifah Anum Siregar. Dari diskusi menjadi jelas bahwa banyak pekerjaan tinggal dijalankan untuk membawa konflik di Papua ke ‘meja perundingan’. Perlu [a] suatu organisasi dan strategi intern yang berpola ‘transformasi konflik kemanusiaan serta pelanggaran HAM’ yang sedang berjalan, [b] memperkuat kesatuan suara intern dan kekompakan konsep penyelesaiannya, dan [c] menciptakan keterbukaan pada para penguasa di tingkat pemerintah untuk menunjukan suatu ‘political will’ untuk menyelesaikan permasalahan di Papua secara bermartabat dan menghentikan penyaluran ribuan pasukan ke Papua. Menurut salah satu naras umber, “jangan mimpi bahwa besok kita dapat duduk di meja perundingan”; kita masih di awal proses sangat panjang dan rumit. Semangat baru JDP ada dan langsung terbukti dalam mengangkat suara setelah penembakan terakhir di Beoga (25/4). Namun JDP sendirian tidak cukup; perlu suatu perjuangan kolektif segala unsur dan lapisan masyarakat untuk menuju suatu penyelesaian permasalahan di Papua dengan damai dan bermartabat, itulah kesimpulan webinar yang baru ini.

Sambil mengikuti sebagian besar diskusi webinar pertama, kami merasa bersyukur bahwa JDP dengan jaringan mitranya sudah mulai aktif lagi memotori penanganan permasalahan di Papua. Saya mengangkat topi untuk semua aktivis/fasilitator/nara sumber yang terlibat! Sekaligus saya merasa sangat prihatin sewaktu saya mendengar pernyataan selama webinar bahwa ‘sekarang ini rejim di Jakarta sama sekali tidak terbuka untuk menyelesaikan masalah di Papua secara bermartabat’; mereka masih sangat kuat memegang penyelesaian ‘secara keamanan’(militer/polisi). Malahan salah satu nara sumber menyatakan untuk mengubah sikap ‘rejim di Jakarta’ mungkin perlu musibah lebih besar lagi, seperti -contoh saja- penambahan drastis jumlah pengungsi atau macetnya total pengoperasian Feeport, baru para penguasa mungkin bangkit. Dibandingkan dengan masalah di Aceh dimana rejimnya pada saat itu baru mulai membuka jalannya perundingan setelah Tsunami terjadi dan dukungan komunitas internasional untuk membantu dalam musibah itu ternyata bersyaratan; syaratnya bahwa perundingan secara konstruktif menuju damai di Aceh perlu dibuka oleh pemerintah Indonesia. Ternyata begitulah dinamika transformasi konflik dan dinamika mengatasi ketulian, kebutaan di tingkat rejim. Kenyataan demikian membuat pekerjaan JDP hampir bersifat ‘mission impossible’ (misi mutahil), maka perlu dukungan serta gabungan segala unsur masyarakat yang berkehendak baik untuk melibatkan diri dalam proses perdamaian itu secara konstruktif dan aktif. Semoga ini menjadi suatu ‘proyek banyak elemen masyarakat bersama’, dan bukan program JDP saja. (TvdB)

 

[b] suara Institut SETARA: Institut SETARA mendesak pemerintah untuk merevisi pendekatannya menuju suatu dialog. Dalam penyelesaian konflik di Papua, SETARA mendesak kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan penghentian permusuhan (cessation of hostilities) agar dialog mencari jalan damai dapat dilakukan. Kemudian mengedepankan penegakan hukum. Upaya perlu dilakukan untuk mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana solutif, penyelesaian, atau pun pemecah masalah keamanan[35].

 

[c] business dibelakang masalah Papua: sejarah pengintegrasian Papua ke dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia (NKRI) sekali lagi menjadi bahan diskusi dalam suatu webinar. Diskusi demikian dapat membantu untuk memahami dengan lebih mendalam permasalahan Papua dewasa ini. Menurut akademisi Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, Pastor Niko Syukur Dister, Amerika Serikat (AS) memiliki kepentingan tersendiri mendukung proses integrasi Papua ke dalam NKRI, pada masa lalu. Dibelakang dukungan itu ada “kepentingan dagang mereka dan eksploitasi sumber alam Papua”, katanya. Pernyataannya disampaikannya dalam acara peluncuran buku “Tindakan Politik Bagi Papua: Relevansi Pemikiran Hanna Arendt” (karya Pastor Alesandro Rangga). Negara Amerika menjadi mediator dalam perundingan yang berujung penandatangan Perjanjian New York (15 Agustus 1962). Perjanjian ini merupakan awal proses pemindahan kekuasaan atas New Guinea atau Papua dari Belanda kepada Pemerintah Indonesia[36].

 

[8] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA

[a] indeks demokrasi di Indonesia: dalam salah satu acara HUT Otonomi Daerah, Wakil Presiden (Wapres), Maruf Amin, menyatakan bahwa indeks demokrasi (versi Economist Inteligence Unit) pada tahun 2019-2020 masih berada di posisi 64 dunia, dibawah score Timor Leste. Dia lihat juga bahwa indeks pembangunan manusia (versi UNDP) menunjukkan bahwa Indonesia di peringkat 107 dengan score 71,8 atau masih dibawah Malaysia dan Thailand.  Pada kesempatan yang sama Wapres membeberkan bahwa indeks persepsi korupsi (IPK) (versi Transparency International) turun menjadi 37pada 2020. ”Posisi IPK Indonesia berada di bawah Signapore, peringkat 3, dengan skor 85, Brunei, peringkat 35, dengan skor 60, dan Malaysia, peringkat 57, dengan skor 51”, ujarnya[37].

Berhubungan dengan rendahnya skor IPK dapat dicatat juga komentarnya seorang pakar hukum Universitas Gajah Mada yang berpendapat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya dibubarkan. KPK telah kehilangan kepercayaan masyarakat, karena tidak independen lagi dalam beroperasinya. Hal demikian dikaitkan dengan kenyataan bahwa berdasarkan UU No. 19 Th 2019 tentang KPK, mulai bulan Juni 2021 semua staf KPK berstatus Aparat Sipil Negara (ASN). ”Kalau semua sudah diratakan menjadi ASN, sederhannnya, enggak ada lagi penyidik indepeden. Adanya penyidik PPNS yang pengawasannya dipegang Polri, Korwas”, katanya.  Sebaiknya dibubar saja dan suatu Lembaga Independen yang baru dibentuk[38]. Sementara juga tercatat bahwa pada saat ini juga seorang staf penyidik resmi KPK, penyidik dari Polri, kena  ketersangkaan terlibat dalam korupsi sendiri. Ternyata staf kunci ini menerima uang suap (1,3miliar rupiah) untuk memastikan bahwa salah satu kasus ditutup dan tidak dilanjutkan dalam proses hukumnya[39].

 

[b] kunjungan Pimpinan Kudeta Myanmar. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, mengatakan,kehadiran pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, ke Jakarta menunjukkan sikap Indonesia yang sesungguhnya, yaitu menerima pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kedatangan pemimpin junta militerMyanmar disayangkan lantaran seolah tak mengindahkan situasi kekerasan yang terjadi di Myanmar pada saat ini. Fatia menekankan, seharusnya Indonesia mengundang National Unity Government (NUG) dalam gelaran ASEAN Leaders Meeting (ALM)[40].

 

[c] musibah tenggelamnya kapal selam. Rakyat Indonesia berkabung karena musibah yangteradai pada kapal selam Kri Nanggala 402 sampai seluruh krunya tewas (24/4). “Musibah ini mengejutkan kita semua. Tidak hanya keluarga 53 awak kapal, keluarga hiu Kencanamaupun keluarga besar TNI Angkatan Laut, tapi juga seluruh rakyat Indonesia”, kata Presdien Jokowi[41]

 

[9] CORONA VIRUS

Ancaman Covid-19 masih tetap sangat aktual. Lihat daftarnya dibawah:

Keadaan Provinsi Papua tgl. 29 April 2021 dibandingkan tgl 15 April 2021

 

COVID-19

Jumlah positif

Jumlah dirawat

Jumlah sembuh

Jumlah meninggal

Periode 29 April 2021

29/4

2021

15/4 /’21

29/42021

15/4

/‘21

29/4 2021

15/4

/’21

29/4

2021

15/4

/’21

Kota Jayapura

9014

8914

228

444

8630

8315

156

155

Kab Mimika

6049

5882

191

310

5808

5523

50

49

Kab Jayapura

1261

1228

50

116

1161

1000

50

50

Kab Biak Numfor

1094

1075

45

26

993

993

56

56

Kab Jayawijaya

961

914

32

40

922

869

7

5

Kab Merauke

875

851

31

42

793

760

51

49

Kab Mappi

644

570

66

25

573

540

5

5

Kab Nabire

491

469

58

38

415

415

18

16

Kab Boven Digoel

316

309

6

19

307

287

3

3

Kab Keerom

308

286

64

47

231

229

13

10

Kab Asmat

253

249

0

24

250

222

3

3

Kep. Yapen

239

239

53

53

179

222

7

7

Kab Paniai

99

97

2

1

94

93

3

3

Kab Superiori

76

76

0

0

76

76

0

0

Kab Tolikara

45

45

0

0

45

45

0

0

Kab Sarmi

31

31

8

8

23

23

0

0

Kab Lanny Jaya

27

27

0

0

26

26

1

1

Kab Yalimo

15

15

0

0

15

15

0

0

Kab Peg Bintang

11

11

2

2

9

9

0

0

Kab Mambera-

mo Tengah

4

4

0

0

4

4

0

0

Kab Puncak Jaya

3

3

1

1

2

2

0

0

Kab Waropen

1

1

0

0

1

1

0

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

21877

21296

837 3,8%

1148 5,4%

20557

94,2%

19736 92,7%

423

1,9%

412      1,9%

 

 

 

 

Jumlah tes

120408

118765

 

[10] SERBA-SERBI – VARIA

mengenang Arnold Ap. Di tengah segala kesusahan di Papua organisasi berita Tirto.id mengenang Arnold Ap yang dibunuh oleh Kopassus 26 April 1984. Judulnya beritanya: Arnold Ap dan Mambesak Menyanyikan Hati Nurani Tanah Papua[42].

 

Jayapura, 30 April 2021

Bahan INFORMASI sekaligus REFLEKSI

Berkaitan dengan soal mengkategorikan TPNPB/OPM sebagai organisasi teroris, dibawah ini kami mengutip sejumlah catatan dari seorang advokat, dosen dan pengamat hukum internasional Universitas Nasional (Unas), Ogiandhafiz Juanda[43]. Beliau coba menjawab pertanyaan: apakah tepat OPM dan TPNPB disebut sebagai orgnisasi teroris? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mengurainya melalui tiga pendekatan, yakni secara historisideologis, dan yuridis.

Secara historis

OPM-TPNPB bukanlah kelompok baru dalam perjalanan integrasi Papua ke Indonesia. Kelompok tersebut secara terang-terangan mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok prokemerdekaan Papua-Papua Barat.

Bagi mereka tidak diberikannya ruang bagi orang asli Papua (OAP) untuk terlibat secara langsung dalam perjanjian New York 1962 ialah alas pijak yang melatarbelakangi pergerakan mereka hingga hari ini. Meskipun perjanjian tersebut kemudian melahirkan kewajiban bagi Indonesia untuk melaksanakan Act of Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969, akan tetapi Pepera tersebut dianggap telah diwarnai dengan intimidasi dan kekerasan yang meyebabkan gagalnya Papua menjadi satu entitas yang merdeka dan berdiri sendiri.

Sebaliknya di mata Indonesia, hasil Pepera tersebut telah menjadi dasar yang kuat berintegrasinya Papua ke Indonesia dan hal tersebut telah final, sah, dan diakui oleh masyarakat internasional.

Dualisme pandangan dalam melihat sejarah integrasi Papua ke Indonesia tersebut ialah akar dari konflik vertikal yang terjadi antara OPM-TPNPB dan TNI-Polri dan secara tidak langsung menggambarkan bagaimana status atau siapa OPM-TPNPB tersebut.

Sejarah integrasi Papua versi OPM-TPNPB ini pada kenyataannya juga telah mengakar dan menyebar di antara masyarakat Papua dan melahirkan kelompok simpatisan atau pendukung (supporter).

Secara historis, penulis menilai bahwa ‘membingkai’ OPM-TPNPB sebagai organisasi teroris bukanlah satu pilihan terobosan yang tepat karena hal tersebut justru akan semakin “mengeraskan” perbedaan pemahaman dan pandangan dalam melihat sejarah integrasi Papua ke Indonesia.

 

Secara ideologis

Sekali lagi, ketidaksepakatan terhadap cara dan proses integrasi Papua ke Indoensia menjadi faktor primer atau alasan utama yang mendasari gerakan OPM-TPNPB.

Keinginan untuk memerdekakan diri yang disebabkan karena ketidaksepakatan tersebut semakin bertambah kuat karena melihat kondisi faktual masyarakat Papua yang mengalami ketertinggalan dan ketidakadilan di pelbagai sektor, yaitu ekonomi, infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

Benar bahwa “perjuangan” OPM-TPNPB terhadap hal tersebut dilakukan melalui pendekatan kekerasan bersenjata, akan tetapi hal tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan dasar untuk melabelkan mereka sebagai organisasi teroris.

Bahwa di tengah heterogennya definisi terorisme di dalam masyarakat internasional, tidak ada penyangkalan di antara masyarakat internasional bahwa terorisme “mainstream” itu berkaitan sangat erat dengan ideologi yang lahir dari pemahaman atau tafsiran keagamaan yang menyimpang. Dan, merupakan ekses dan intoleransi dan ekstremisme.

Sebagai contoh aksi terorisme yang diakui oleh masyarakat internasional dapat merujuk pada peristiwa di beberapa tempat seperti Amerika Serikat,Prancis dan Belgia yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi bernama ISI dan al-Qaeda.

Di Indonesia sendiri, teroris merujuk kepada kelompok Jamaah Asharut Daulah (JAD), Jamaah Islamiyah (JI), dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang semuanya mengadopsi tafsiran agama tertentu sebagai landasan ideologis untuk dapat membenarkan (menjustifikasi) kekerasan.

Perbedaan ideologi yang signifikan antara OPM-TPNPB dengan organiasi yang memang sudah diakui sebagai organisasi teroris oleh masyarakat internasional dan Indonesia sendiri menjadi titik yang krusial dan secara tidak langsung juga menjawab bahwa OPM-TPNPN tidak tepat disebut sebagai organsasi teroris. Karena sekali lagi, gerakan OPM-TPNPN tidak didasarkan pada ideologi yang serupa dengan aksi terorisme mainstream, tetapi lebih disebabkan oleh faktor primer yang telah penulis sebutkan tadi.

Dengan begitu, penulis menilai bahwa perbedaan perspektif dalam melihat inti masalah yaitu sejarah integrasi dan status politik Papua harus terus diupayakan melalui pendekatan dialog, komunikasi, dan sosialisasi yang intensif dalam rangka meluruskan perbedaan perspektif tersebut.

 

Secara yuridis

Menjadikan OPM-TPNPB sebagai organisasi teroris justru akan menegaskan bagaimana luasnya definisi tersebut dapat diterapkan.dan, itu tentu saja bersebarangan dengan prinsip hukum Lex Stricta dan juga Lex Certa yang mengharuskan perumusan delik dalam undang-undang tidak boleh menjadi multitafsir dan dapat dimaknai sangat luas.

Kalau kemudian definisi terorisme tersebut secara terus menerus dipahami secara tekstual, maka akan menimbulkan implikasi dan konsekuensi secara teoretis dan praktis di kemudian hari, yaitu akan membuka peluang bahwa tidak hanya OPM-TPNPB saja yang bisa disebut sebagai organisasi teroris. Karena sangat potensial definisi tersebut bisa ditafsirkan lagi berdasarkan keinginan atau subjektivitas negara yang memiliki kewenangan dan instrumen hukum pidana di kemudian hari.

Selanjutnya kalau kemudian OPM-TPNPB ditetapkan sebagai organisasi teroris, maka warga sipil yang memiliki pemahaman dan pandanagn serta tuntutan yang serupa dengan OPM-TPNPB bisa dianggap sebagai bagian dari teroris atau bahkan menjadi terduga teroris. 

Padahal bisa saja pandangan atau tuntutan tersebut merupakan tuntutan objektif yang didasarkan pada realitas dan kondisi faktual di lapangan dan merupakan aspirasi politik dan keinginan murni (genuine will) masyarakat Papua.

Hal tersebut juga akan membawa hubungan pemerintah pusat dengan Papua ”kembali” pada periode 1963-1998, di mana pemerintah menggunakan pendekatan keamanan “esktrem” dengan menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM).

Padahal pendekatan tersebutlah yang telah menyebabkan kekerasan hadir dalam sejarah panjang Papua dan merupakan salah satu sumber konflik yang seharusnya tidak boleh lagi diadopsi ulang hari ini. 

Persoalan Papua dan OPM-TPNPB haruslah dilihat secara bottom-up, yaitu mulai dengan melihat dan mengurai akar konfliknya dengan terus mengupayakan pendekatan yang humanis melalui dialog dan komunikasi secara terus-menerus.

Di waktu yang bersamaan pendekatan social kesejahteraan harus terus diberdayakan melalui penguatan dan perbaikan pelaksanaan Otonomi khusus Papua. Otonomi khusus tersebut harus mampu membawa perobahan dan dampak yang signifikan bagi masyarakat Papua.

Tantangan tersebut diatas harus mampu dijawab oleh Pemerintah Indonesia agar kemudian ketertinggalan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat Papua tidak lagi dapat dijadikan alasan oleh OPM-TPNPB untuk membenarkan tindakan mereka. Dan, dengan sendirinya melemahkan posisi OPM-TPNPB di mata masyarakat Papua, sekaligus juga mengembalikan bangunan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia. 

Walau Parson (1985) mengatakan bahwa gangguan keamanan dan ganguan stabilitas sosial dan politik akan sangat berkorelasi pada perkembangan pembangunan dan ekonomi suatu wilayah, akan tetapi pemerintah tidak boleh menghindari penangangan OPM-TPNPB melalui jalur “normal” dan menyederhanakan penanganannya dengan melabelkan mereka sebagai organisasi teroris.



[1] https://fajarpapua.com/2021/04/27/5-kkb-tewas-tiga-tim-satgas-belukar-terkena-tembakan/

[11] Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua terdiri dari: Komisi untuk rang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (Jakarta), Walhi Papua, Greenpaece Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty Internasional Indoensia, SAFEnet, YayasanLebaga Bantuan Hukum Indoensia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan, Perkumpulan JUBI, Imparsial (Jakarta), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM Jakarta).Surat terbuka tertanggal 28 April 2021. 

[15] JUBI, 23-24 April, hlm 1 dan 26.

[18] CamScanner 04-24-2021 14.12  {Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia – ELSHAM}

[21] Surat undangan BNPTttgl 20 April 2021; website BNPT  https://www.bnpt.go.id

[27] Siaran pers SETARA Institute, tgl. 29 April 2021.

[33] JUBI, 23-24 April, hlm 1,2 dan 26. Dan  https://en.jubi.co.id/korowai-people-mining-own-land

[43] https://nasional.sindonews.com/read/40961/18/menyoal-cap-teroris-terhadap-opm-tpnpb-1619445862 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.