Saturday, September 19, 2020

PAPUA update in Bahasa. 1–15 SEPTEMBER Oleh: Theo van den Broek

 PAPUA  2020

1–15 SEPTEMBER

Oleh: Theo van den Broek

[1] Tuntutan sebagian masyarakat supaya semua calon pimpinan daerah (Bupati maupun wakil Bupati) mesti OAP (Orang Asli Papua) – lihat butir [26] laporan 16-31 Agustus – masih memupuk suasana polemik (31/8). Penolakan orang non-Papua yang muncul melalui aksi unjuk rasa damai sebenarnya suatu upaya masyarakat adat Merauke untuk mempertahankan hak politiknya. Sek Dewan Adat, John Gobay, menperjelaskan upaya itu: “kita, orang asli Papua, tidak anti saudara non-Papua. Kita tetap saudara, tapi posisi kepala daerah berikanlah ke kami. Seperti selama ini pastilah kita berbagi posisi dalam pemerintahan. Saudara kami non-Papua pasti akan kebagian posisi strategis di pemerintahan dan swasta”. John mendukung aspirasi tadi namun juga mengakui bahwa sampai saat ini tuntutan ini belum memiliki kekuatan hukum. Dalam UU Otsus Papua hanya mewajibkan orang asli diusung sebagai calon gubernur dan wakil gubernur [1].

 

[2] Di Biak tibalah 400 prajurit lagi pada tgl 31 Agustus. Ini Satgas Parahwan Yonif Raider 500. Mereka akan ditugaskan demi operasi pengamanan daerah rawan di Kab Puncak Jaya, Puncak, Paniai, Intan Jaya, Dogiyai, Deiyai dan Enarotali. Beberapa hari kemudian (10/9) berita lebih memprihatinkan lagi. Jenderal TNI Andika menyatakan bahwa akan mengerahkan pasukan tempur ke Papua dan Papua Barat. Ternyata – sangat ironis – atas permintaan seorang pejabat tinggi orang asli Papua, yakni wakil-Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (MenPUPR), John Wempi Wetipo. Alasannya: karena program pembangunan infrastruktur mengalami gangguan. Katanya beliau bahwa Presiden Jokowi menyarankan kepadanya untuk meminta bantuan TNI[2]. Ternyata pertemuan, Wetipo dengan Andika, juga divideokan dan beredar di media sosial sebagai propaganda TNI sekaligus menumbuhkan stigmatisasi terhadap Papua. Ternyata tidak ada akhiran penambahan pasukan di Papua. Ada berita tambahan (14/9) bahwa dari Maluku dikirim 100 personil Brimob yang bertugas untuk mengamankan Timika[3].

 

Hasil tindakan ‘mengerahkan pasukan tempur’ dapat diramalkan: {a} ketakutan/traumatisasi masal, {b} jatuh banyak korban warga yang tidak bersalah, {c} semangat masyarakat asli Papua untuk menjauhkan diri dari Indonesia makin kuat/meningkat. Kesimpulan: masalah yang sesungguhnya lagi tidak diakui dan tidak ditangani. Sampai kapan kehidupan kita sehari-hari diatur melulu oleh kemauan pihak keamanan? Kapan suara rakyat didengar dan pemerintahan sipil boleh berfungsi lagi dan memutuskan kebijakan di Papua…???

 

[3] Anggota DPR RI, Marthen Douw, menginterupsi ketua DPR RI yang sedang berpidato dalam mengingat HUT ke-75 kemerdekaan Indonesia. Marten minta perhatian bagi situasi di Papua yang belum merasa merdeka. Secara khusus dia meminta supaya masyarakat Papua diberikan kesempatan untuk membahas Otsus dengan baik, maka perlu enam (6) bulan untuk itu, dan bukan dua (2) bulan yang diizinkan oleh Menteri dalam Negeri. Ketua DPR RI berjanji untuk menyampaikan aspirasi ini kepada Menteri dalam Negeri[4].

 

[4] Pemerintah Provinsi Papua membentuk Pemuda Anti Corona (PAC) di masing-masing keluruhan di Kota Jayapura dan selanjutnya juga akan dibentuk di 28 Kabupaten (1/9/2020). Tugasnya untuk menyosialisasikan bahaya Covid-19 kepada masyarakat. PAC yang direkrut dan bekerja sekitar 2.500 pemuda dilengkapi dengan seragan dan buku[5].

 

[5] Selama ini sudah ada cukup banyak kritik terhadap regulasi pemerintah pusat yang memberikan wewenang besar kepada para pejabat keuangan di tingkat Negara sambil meminggirkan DPR sebagai lembaga yang sebenarnya perlu menyetujui alokasi anggaran. Apalagi para pejabat dijamin tidak dapat digugat atas kebijaksanaannya. Maka, tidak mengherankan kalau sekarang muncul kritik pedas lagi karena pembentukan Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan (1/9). Terkait dengan hal ini, ekonom senior Rizal Ramli ikut angkat bicara. Menurutnya, aturan ini akan membuat semua otoritas keuangan yang independen yaitu Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KKSK) dalam satu komando. Maka lembaga-lembaga tadi kehilangan indepedensi. Bijaksanakah?[6]

 

[6] Menarik juga mendengar berita bahwa ditengah kecenderungan resesi ekonomi di Indonesia, hanya Papua dan Papua Barat ternyata masih menunjukkan suatu pertumbuhan positif[7].

 

[7] Muncul suara dari Afrika (2/9), yakni melalui president United Sates of Africa di Nairobi, Kenya. Beliau menarik perhatian pada ‘katastrofe/musibah kemanusiaan’ di Papua dan mendesak Indonesia untuk menghormati Hak Hak Asasi Manusia, menghentikan segala bentuk penganiayaan, intimidasi, penangkapan sewenang-wenang dan ancaman pada pembela HAM dan warga sipil[8].  

 

[8] Tahun 1970-an Misi Katolik mengembangkan suatu program ekonomi lokal di wilayah Moanemani, wilayah budaya Meepago, termasuk program membudidayakan kopi. Proyek ini sangat berkembang baik dan melibatkan banyak masyarakat lokal, petani dengan keluarganya. “Kopi Moanemani” menjadi cukup terkenal dan laris dicari banyak orang. Namun akhir tahun-tahun 1990-an proyek ‘kopi Moanemani’ mulai kehilangan dinamikanya dan macet. 

Ini sebagai introduksi saja untuk berita yang menggembirakan sbb: Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) sedang berupaya untuk menyemangati para petani kopi di wilayah Meepago untuk mengintensifkan produksi kopinya melalui suatu program revitalisasi yang didukung oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) Kabupaten Paniai.  Program revitalisasi dinamakan Gerakan Menamam Kopi dan akan melibatkan 2.090 petani lokal dari 290 kampung; mereka akan dilatih untuk menanam, merawat, memanen dan mengelola kopi. Ternyata sudah ada sejumlah pengusaha muda yang membuka ‘ekonomi kopi’ termasuk membuka ‘warung kopi’ baik di Nabire maupun di tengah jalan trans, dan ternyata tempat minum kopi makin laris. Karena sekarang semua dapat ditransportasi melalui jalan darat pemasaran produk juga menjadi jauh lebih mudah dan ternyata minat akan ‘kopi Moanemani’ masih tetap meningkat[9].  

 

[9] Awal September ini sebuah video-ceramah muncul. Pembicara Amin Rais, seorang tokoh agama Islam dan pemimpin politik di Indonesia yang sangat berpengaruh. Isi ceramahnya sangat kaya isyu serta pendapatnya. Isinya suatu campuran data-data faktual, kritik terhadap pemerinah dan pendapat pribadinya yang mudah dapat memancing reaksi. 

Gambaran yang terpamer dalam ceramahnya membantu kita juga untuk memahami bagaimana kedudukan persoalan Papua dalam mata seorang politikus nasional serta para pengikutnya. Sebaiknya disadari juga bahwa  beliau baru mendirikan partai politik baru, dan mungkin ceramah di video tidak lepas dari upayanya untuk merangkul masyarakat Papua mendukung partainya. 

Beberapa isyu pokok ceramahnya. Beliau mencatat sejarah Papua sampai pada pengintegrasian dalam NKRI. Termasuk juga protes masyarakat Papua yang tidak menyetujui New York Agreement dan menolak hasil Pepera, “Act of Free Choice” yang lazimnya dinamakan oleh masyarakat Papua Act of No Choice. Selanjutnya Amin Rais juga mengangkat gaya respons pemerintah dan menekankan bahwa pendekatan keamanan tergabung dengan pemberian Otsus sudah terbukti tidak berhasil dan sudah waktu untuk segera meninggalkan pendekatan itu, diganti dengan ‘pendekatan keadilan’, mendengar suara orang Papua. Dia juga menyinggung keadaan ‘pelanggaran HAM di Papua’; menurutnya, terutama dunia internasional yang terus mengangkat kenyataan itu seakan-akan Indonesia terlibat dalam upaya  ‘genosida’. Amin Rais menambah pernyataan bahwa  ‘komunitas internasional menyebarluaskan banyak berita hoax mengenai Papua’. Jelas pernyataan demikian sangat kontroversial. Selanjutnya dia sangat nekad menolak segala dominansi perusahaan pihak asing di Papua, dan mengusulkan supaya Freeport ditutup saja. “Stop segala ekosida” (penghancuran lingkungan) serta perampasan segala sumber daya alam. ‘Sumber Daya Alam adalah milik Indonesia dan mesti diandalkan untuk Indonesia, bukan untuk pihak asing’, catatannya. Dia menekankan supaya peningkatan perjuangan serta diplomasi Papua, a.l. melalui ULMWP, di dalam dan luar negera tidak dianggap remeh. Vokalitas serta diplomasi itu sangat efektif dan sebaiknya dinilai serius oleh pemeritah pusat dan direspons sebelum semuanya terlambat. Dalam kerangka ini dia membuat referensi pada {a} pernyataan Dewan Gereja Papua (WPCC) dimana dinyatakan bahwa ‘Tuhan Otsus dan Pembangunan Indonesia di Papua sudah Mati” (6/7), dan pada {b} pernyataan serta saran para Imam Katolik Pribumi (21/7) untuk memberikan kesempatan referendum kepada masyarakat Papua. Dia mengakhiri ceramahnya dengan menyatakan bahwa “suatu pemerintahan yang tidak peduli keadilan pastilah akan runtuh”[10]

 

[10] Dari Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Perwakilan Papua mendapat berita bahwa selama ini sejumlah laporan masuk mengenai pengaduan kekerasan yang melibatkan oknum aparat TNI-Polri (2/9). Menurut Bp Frits Ramandey, direktur Komnas HAM Perwakilan Papua, pengaduan ini berasal dari Kabupaten Memberamo Raya, Nduga, Boven Digoel, Mimika dan Jayapura. Selama ini baru satu – Boven Digoel – dapat ditangani, sedangkan yang lain masih mengalami penundaan karena Covid-19 dan juga kesulitan anggaran, namun akan ditindaklanjuti semua, tegasnya[11].

 

[11] Menteri Agama (Menag), Jenderal (Purn) TNI Fachrul Razi sedang mengadakan kunjungan kerja di Papua a.l. guna mempromosikan program Menag “Kami Cinta Papua”. Para tokoh agama diundang bertemu. Namun Ketua Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), memutuskan tidak hadir. Alasannya tiga: [a] GIDI merasa bahwa pemerintah pusat selama ini belum dapat menyelesaikan empat (4) akar permasalahan di Tanah Papua yang disimpulkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). [b] Dewan Gereja Papua sebagai anggota Dewan Gereja Pasifik melihat bahwa program “Kami Cinta Papua” adalah slogan yang dimunculkan untuk menutupi kasus-kasus pelanggaran HAM, dan [c] Dalam surat undangan dicantumkan untuk menyerahkan foto copy rekening yang aktif; catatan itu tidak menghargai posisi gereja yang mana timbul suatu anggapan bahwa gereja dapat dibeli dengan uang[12]

Sewaktu Menag mengunjungi Sentani (3/9) untuk peletakan batu pertama pembangunan Gedung Layanan Kerukunan Umat Beragama (KUB) dan Monumen Zona Integritas Kerukunan Umat Beragama,  beliau memuji penetapan zona integritas kerukunan umat beragama di Kab Jayapura. Dia menyakini masyarakat asli setempat berhati baik dan pendamai sehingga senantiasa hidup harmonis dengan warga lain[13]

 

[12] Alliansi Jurnalis Independen (AJI) kota Jayapura mendesak Kapolres Yahukimo agar menindak tegas personelnya yang melakukan kekerasan verbal, intimidasi dan penghalangan terhadap jurnalis Rasio Sumohal Dekai dan Suara Papua di markas polres Yahukimo pada tanggal 27 Agustus dan 2 September 2020. AJI mendesak pimpinan polisi untuk menjamin keamanan dan keselamatan dalam melakukan liputan di lapangan[14].

 

[13] Bumi Kenambai Umbai Kabupaten Jayapura berduka. Mantan Bupati, Dr. Habel Melkias Suwae, meninggal dunia pada usia 68 tahun di Jakarta (3/9/2020). Beliau menjabat sebagai Bupati Kab Jayapura selama dua periode: 2001-2006 dan 2006-2011. “Masyarakat dan Pemkab Jayapura kehilangan tokoh masyarakat Tabi. Tokoh berpengaruh pada masanya, baik sebagai Ketua DPRD, Bupati Jayapura, maupun Ketua Partai Gokkar Jayapura. Jasa-jasanya untuk kemajuan masyarakat Kab Jayapura akan dikenang selalu. Terima kasih dan selamat jalan senior, abang, dan sahabat yang baik”, ucap Bupati Awoitauw[15].

 

[14] Terdapat inisiatif baru untuk memperjuangkan pemekaraan lokal, walau program pemekaraan masih dikena ‘moratorium’. Ternyata lima distrik menuntut pemekaran dari Kabupaten Dogiyai. Menyangkut distrik Mapia, Mapia Tengah, Mapia Barat, Piyaiye dan Sukikai Selatan; mereka bersama ingin membentuk Kabupaten Mapiha. Mereka yakin mampu menjalankan pemerintahan baru karena didukung potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia (3/9). Oskar Makai, ketua tim persiapan, menyatakan bahwa pimpinan Kab Dogiyai juga setuju, dan mendukung. Maka, dalam waktu dekat  akan menghadapi MRP, DPR Papua dan Gubernur Papua[16]

 

[15] Sewaktu pak Mahfud diangkat sebagai Menteri Koordinasi Politik Hukam dan HAM (Menkopolhukam) masyarakat di Papua berharap bahwa mulai sekarang ‘soal hukum dan HAM’ akan ditangani dengan lebih tepat. Mengingat latarbelakangnya serta jabatan sebelumnya diharapkan bahwa sejumlah kasus pelanggaran HAM diberikan perhatian penuh. Ternyata harapan ini pelahan-pelahan hilang, karena sejak masuk dalam ‘kalangan pemerintahan pusat’ Mahfud mulai menunjukkan sikap tidak terlalu peka akan kasus-kasus pelanggaran HAM, to say the least![17]  

 

[16] Hari Jumaat (4/9) 60 anggota Front Rakyat Maubere untuk West Papua menggelar aksi di depan kantor Kedutaan Besar Indonesia di Dili, Timor Leste. Aksi ungkapan kesetiakwanannya diganjar dengan penangkapan enam belas partisipan oleh polisi Timor Leste karena menurut UU Timor Leste aksi mesti diadakan berjarak lebih jauh daripada 100 meter dari Kantor KBRI, sedangkan mereka beraksi pas di depan kantor KBRI[18].

 

[17] Tenaga honorer yang dipakai oleh pemerintahan daerah sudah cukup lama mengeluh bahwa mereka sangat lama honorer saja dan tidak jadi diangkat sebagai pegawai, sebaliknya dihentikan sewenang-wenangnya. Ada yang menjalankan pelayanannya selama lebih daripada sepuluh tahun dan tetap tidak diangkat sewaktu ada penerimaan pegawai baru. Akhir-akhir ini soal ini diangkat ramai-ramai lagi, dan ternyata mulai ada efek. Baik di Provinsi Papua Barat maupun di Provinsi Papua sekarang ada langkah yang memberikan harapan baru pada honorer. Dalam pertemuan (4/9) dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-BR) wakil Gubernur Propinsi Papua meminta 20.000 tenaga honorer di provinsinya diangkat jadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). MenPAN-BR memberikan angin kepada permintaan itu dan minta supaya proses dirampungkan November 2020[19].

“Atas dasar itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua selaku kuasa hukum 12.447 orang tenaga honorer yang tergabung dalam Forum Komunikasi Honorer Provinsi Papua menegaskan kepada Kepala BKD Provinsi Papua untuk segera menindaklanjuti perintah Gubernur Papua untuk mengangkat 20.000 orang tenaga honorer se-Provinsi Papua”, kata Direktur, Emanuel Gobay[20].

 

[18] Suatu artikel dalam magazine Inside Indonesia dimana perhatian ditarik pada tingginya angka “kematian ibu” membuat prihatin. Di Papua 573 perempuan meninggal per 100.000 kelahiran (1.6 x angka rata-rata nasional); di Papua 35% dari semua kelahiran bertempat di fasiltas kesehatan (angka nasional 76%); di Papua 60% dari kelahiran dibantu oleh seorang yang trampil/terlatih (angka nasional 93%). Lazimnya tingginya ‘angka kematian ibu’ dsbnya dikaitkan dengan faktor keadaan geografis, transportasi, jauh dari kota, dan pandangan tradisional-budaya, hingga banyak ibu tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk melahirkan anak, dan memilih melahirkan ditempat keluarganya. Dari suatu penelitian yang baru di Papua menjadi jelas bahwa argumentasi yang ‘lazim’ itu kurang tepat, karena ada unsur lain yang menentukan pemilihan tempat melahirkan. Yang diangkat secara khusus adalah kebinggungan para ibu sekitar pengadaan ‘operasi ceasar’ demi melahirkan. Ternyata dalam pengalaman banyak ibu yang dilibatkan dalam penelitian itu, ada kesan kuat bahwa dokter-dokter di Rumah Sakit sangat cepat menyatakan ‘perlu ceasar’; atau ibu-ibu berhadapan dengan uraian dokter-doker yang berbeda-beda; tambah lagi bahwa ada suatu pengalaman ‘kolektif’ di Papua bahwa program Keluarga Berencana (KB) pernah ditandai ‘sterilisasi paksa’ banyak ibu Papua. Pengalaman demikian menghasilkan pendapat banyak masyarakat Papua bahwa pemerintah berupaya untuk mengurangi jumlah kelahiran orang asli Papua dengan sengaja; suatu kebijakan politik. Akibatnya ada ketakutan memasuki rumah sakit sewaktu mau melahirkan karena ada risiko yang tidak diinginkan. Selain pengalaman-penalaman tadi juga ditarik perhatian pada kenyataan bahwa mengadakan ‘operasi ceasar’ lebih membawa untung (keuangan) buat dokter dan/atau Rumah Sakit. Kenyataan demikian turut menumbuhkan ‘ketidakpercayaan’ terhadap dokter. “Gambaran kenyataan sekitar ‘operasi ceasar’ tadi adalah salah satu alasan kunci orang Papua menghindari rumah sakit”, bunyinya kesimpulan penelitian itu[21].   

 

[19] Dirjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (MenPenBud), Jumeri menyatakan di Jakarta (4/9): ada enam provinsi yang tinggi buta aksarnya yaitu: Papua (21,9 %), Nusa Tenggara Barat (7,46 %), Nusa Tenggara Timur (4,24 %), Sulawesi Selatan (4,22 %), Sulawesi Barat (3,98 %), dan Kalimantan Barat (3,81 %)[22].

 

[20] sekitar 50 warga Suku Awyu di Kab Boven Digoel melakukan aksi menyampaikan aspirasinya kepada Ketua DPRD dan Bupati (28/8). Mereka makin merasa kehilangan (hak atas) tanah adat/ hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka sehari-hari. Maka sekarang memprotes rencana perluasan areal perusahaan kelapa sawit. Ada sejumlah perusahaan yang berencana begitu: PT Indo Asiana Lestari, PT Graha Kencana Mulia, PT Kartika Cipta Pratama. PT Megakarya Jaya Raya, PT Boven Digoel Buidaya Sentosa, PT Perkebunan Biven Digoel Abadi, dan PT Perkebunan Boven Digoel Sejahtera. Masyarakat adat Awyu meminta pemerintah daerah melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat adat. “Tanah adalah mama kami, tanah adalah identitas kami, kami hidup tergantung dengan hutan, jangan bunuh kami dengan kelapa sawit, jangan gusur kami punyai tempat cari makan dan hutan rawa sagu”, kata Frengky Woro, tokoh masyarakat adat Awyu. Ketua DPRD menyatakan: memang “saya lihat wilayah adat Awyu hutan ini sudah habis”! dan bersama Bupati berjanji menindaklanjuti aspirasi masyarakat adat. Bupati menambah bahwa soal izin perusahaan perlu dibahas dengan provinsi karena provinsi berwewenang berkaitan dengan izin beroperasi. Aksi ini berjalan damai hingga sore hari[23].

 

[21] Sejak 2014 ada sebanyak 21 perusahaan perkebunan kelapa sawit telah beroperasi di Tanah Papua. Sementara 20 perusahaan lainnya diduga hampir siap beroperasi, dimana telah siap melepaskan kawasan hutannya untuk konversi perkebunan. Hal demikian tertuang dalam buku berjudul “Atlas Sawit Papua Dibawa Kendali Penguasa Modal”, yang diterbitkan Yayasan Pusaka[24].

 

[22] Pada 7 September dua ‘hari ulang tahun’ khusus diingatkan, yakni {1} 21 tahun lalu mahasiswa serta partisipan lain aksi protes pada pemerintahan jadi ditembak dan tewas bertempat di  Semanggi I. {2} 16 tahun lalu Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM, diracuni dalam perjalanannya dengan Garuda ke luar negeri[25]. Kedua kasus masih tetap diadvokasi karena tidak pernah mencapai suatu nilai penyelesaian secara hukum yang memuaskan. Orang yang merupakan ‘otak’ dibelakang kedua kasus tidak pernah diadili dan masih bergerak bebas. Memperingati kasus Semanggi I, mahasiswa di kampus Universitas Atma Jaya di Jakarta memasang suatu banner yang berisi “berapa banyak presiden lagi perlu dibawa ke meja pengadilan karena membiarkan pelaku-pelaku pelanggaran HAM?’. Ketidakjelasan sekitar investigasi kasus peracunan Munir Said Thalib menggambarkan dengan jelas sikap pemerinttah yang menolak mengambil tanggunjawabnya dan menjamin bahwa keadilan terwujud. Sekurang-kurangnya dua pemerintahan, Yudhoyono dan Jokowi, gagal memberikan keadilan bukan saja kepada keluarga Munir namun juga kepada Negara, karena suatu impunitas tetap dipertahankan bagi pelaku-pelaku pelanggaran HAM yang berat. Pemerintah Indonesia, seperti juga pemerintahan-pemerintahan lain, mempertahankan sikap penyangkalan suatu daftar panjang ‘crimes against humanity’ (kriminalitas melawan kemanusiaan); kenyataan ini benar sangat ironis sewaktu Indonesia menduduki salah satu kursi dalam Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) periode 2020-2022.[26]

Dalam kerangka yang sama Asian Legal Resource Centre (ALRC) menerbitkan suatu laporan berkaitan dengan penculikan serta penghilangan sejumlah aktivis dalam periode 1997-1998; suatu kasus yang sampai saat ini tidak pernah diselesaikan, sedangkan pelaku/penanggungjawab utama dalam kasus ini menikmati kebebasan, alias impunitas terjamin[27].

 

[23] Dalam suatu pernyataannya (7/9) KNPB mengajak semua anggota serta pengurusanya untuk tidak terlibat dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak December 2020. Yang terlibat akan dinilai “pengkhianat bangsa[28]”.

 

[24] Asian Human Rights Commission (AHRC) di Hongkong bersama May 18 Memorial Foundation di Korea dan International Bridges for Justice (IBJ) menyerukan untuk partisipasi kita semua untuk mengkahiri militerisme dan otoritarianisme. “Mari bergabung bersama untuk mengukuhkan tanggal 18 May sebagai ‘Hari Universal Untuk Pencegahan terhadap Militerisme dan Otoritarianisme’ sehingga kita memiliki fokus dalam perjuangan mengakhiri militerisme dan otoritarianisme dan untuk merealisasikan demokrasi dimana semua orang menikmati hak-hak dasar yang dimilikinya”[29].

 

[25] PT Freeport Indonesia atau PTFI tengah melakukan restorasi kawasan bekas tambang terbuka Grasberg. Langkah tersebut dilakukan setelah dipastikan sudah tidak ada lagi aktivitas di kawasan tambang terbuka tersebut. General Superintendent of Highland Reclamation and Monitoring PTFI, Pratita Puradyatmika, mengatakan, restorasi sebenarnya telah berlangsung sejak awal masa operasional Grasberg dan masih akan terus dilakukan hingga masa operasional seluruh tambang perusahaan berakhir[30].

 

[26] Berhubungan dengan beberapa pembunuhan di Yahukimo, aparat terus mengadakan operasi penyisiran pemukiman warga. Dalam penyisiran lazimnya aparat menyita segala ‘senjata tajam’, termasuk parang, linggis, kapak dst. DPRD Yahukimo sekarang meminta supaya penyitaan sejenis itu dihentikan total karena sebenarnya banyak ‘senjata tajam’ adalah alat kerja harian melulu. Malahan ‘busur dan panah’ bukan untuk menyerang siapapun namun dari dulu sudah menjadi unsur inti ‘gaya penampilkan setiap laki-laki’. Tanpa atribut itu dia secara tradisional ‘bukan laki sejati[31]’.  

 

[27] Konflik sekitar tanah memang bukan sesuatu yang baru. Cukup wajar juga karena memiliki tanah adalah pegangan serta jaminan hidup seorang atau kelompok. Baru ini (10/9) ada bentrokan antar-kampung yang dipicu oleh perebutan batas wilayah adat di Holtenkam, Jayapura. Sejak siang hari massa dari Kampung Nafri bentrok dengan massa di kampong Enggros di dekat Jembatan Youtefa (jembatan merah) dan menyebabkan akses jalan tersebut tidak bisa dilalui warga. Segi lain yang lebih ngeri lagi: konflik ini sudah menghasilkan tujuh (7)[32] orang terluka. Pihak polisi sedang memediasi, dan akhirnya jembatan dibuka lagi, namun masih dijaga ketat. Masalah sendiri belum diselesaikan; hanya dapat diselesaikan secara adat; perlu perundingan[33].

 

[28] Korupsi masih jauh dari dibrantas. Tim penyidik pidana khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Papua Barat masih mendalami kasus dugaan korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Papua Barat anggaran tahun 2018, senilai Rp. 598 miliar. Meski belum ada penetapan tersangka dalam dugaan kasus tersebut, namun sedikitnya 8 orang telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi[34].

 

[29] Wilayah Asmat mau dibuka untuk kalangan turis sebesar-besarnya. Untuk itu lapangan terbang di Ewer, pintu masuk wilayah Asmat, telah diperpanjang secukupnya untuk menerima pesawat yang lumayan besarnya (jenis ATR)[35].

 

[30] Bukan sesuatu yang baru, karena sudah lama diperkenalkan di Papua, yakni: main togel. Inilah suatu permainan angka yang kalau tebak angka yang tepat akan menghasilkan hadiah berupa uang. Dalam suasana di mana ‘proyek-proyek bantuan’ makin diandalkan oleh pihak pemerintahan, banyak orang, lebih-lebih kaum pria, meninggalkan pekerjaan swastanya, berkebun dll. dan berbalik pada sikap menunggu bantuan sambil sibuk bermain togel karena ‘cari untung, dan pasti akan dapat’. Kebiasaan yang destruktif ini, karena sering memicu ketegangan serta konflik dalam rumah tangga dan di ruang sosial, cukup tersebar di Papua, hingga tidak mengherankan bahwa pihak gereja-gereja di Papua Barat meminta tindakan dari pemerintah menghentikan praktik ‘togel’ itu[36].

 

[31] Suatu berita (12/9) yang menenangkan bahwa menurut Dinas Kesehatan di Timika wilayah pegunungan dan wilayah pantai Kab Mimika masih bebas corona. Dari Potowaiburu sampai Jita wilayahnya masih bersih. Dalam waktu dekat suatu tim medis lagi dikirim ke wilayah-wilayah itu untuk menjamin pelayanan dasar kesehatan[37].

 

[32] Ternyata konflik-konflik tradisional antara kesatuan-kesatuan adat masih mudah terjadi. Entah kenapa? Bisa soal dendam, bisa soal tanah, bisa soal sosial lainnya. Baru ini (11 dan 12/9) ada bentrokan di Jayawijaya antara masyarakat Meagalima dan Wuka Lapok; alasannya kurang dijelaskan. Hanya diketahui bahwa ada 16 orang terluka[38]. Konflik semacam ini juga bisa berdampak pada hubungan antara anggota kesatuan adat yang sama walau tinggal di tempat jauh. Maka, tidak berlebihan bahwa beberapa tokoh dari Jayawijaya mengajak para mahasiswa dari wilayah itu di Jayapura untuk tidak dipengaruhi oleh bentrokan di kampong halamnnya. Sebaliknya supaya mereka bicara antar mereka sendiri dan mengajak komunitasnya di kampong halaman untuk menghentikan bentrokannya; jangan sampai diperluas lagi. Ditambah lagi catatan: “jangan sampai orang lain memanfaatkan situasi iitu untuk merugikan kita karena kita orang asli Papua semakin sedikit di tanah kita sendiri”[39].

 

[33] Selama para warga di Papua sibuk mencari jalan ditengah kekacauan “Otsus Tidaknya”, muncul suatu berita dari pusat mengenai pemekaran. Ternyata sudah diputuskan di Jakarta bahwa Papua akan dijadikan 5 provinisi dan ini semuanya sesuai amanat pasal 76 UU 21 Tahun 2001 dan semuanya ini untuk ‘meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua’. Keputusan ini diambil dalam pertemuan tertutup yang dihadiri Menkopolhukam, Mahfud, Mendagri, Tito Karnvian, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, wakil dari TNI dan Polri dan Ketua Komite II DPD RI, Yorrys Raweyai (11/9)[40]. Hari-hari berikut kritik dari pelbagai pihak mulai muncul di Papua yang jelas menolak sikap pemerintah pusat yang ‘kolonial itu’[41]. Secara lebih halus juga seorang anggota DPR RI mengangkat suaranya dan meminta pemerintah pusat untuk menghentikan ‘memprovokasi’ rakyat Papua[42].

 

[34] Dewan Pers merilis laporan hasil survey terkait Indeks Kebebasan Pers (IKP) di 34 provinsi seluruh Indonesia. Secara umum dicacat bahwa ada perbaikan dibandingkan dengan 2019, karena IKP naik 1,56 menjadi rata-rata 75,27. Yang tertinggi 84,50 % dan yang terendah 70,42 %. Tingkat “75,27%” itu lazimnya dinilai masuk kategori “cukup bebas”. Bagi beberapa provinsi ternyata tingkat itu tidak tercapai. Tiga provinsi yang paling rendah IPK-nya adalah Provinsi DKI Jakarta (72,63 %),Papua Barat (71,06 %), Papua (70,42 %)[43].

 

[35] Badan Intelijen Nasional (BIN) dan pasukan Rajawali[44]. Peningkatan ‘gaya militarisme’ di Indonesia juga dipamerkan oleh BIN, karena tiba-tiba menjadi jelas bahwa BIN memiliki pasukan bersenjata sendiri, yakni Pasukan Rajawali. Penemuan ini sangat mengagetken. Kenapa BIN mesti memiliki suatu pasukan khusus sendiri? Belum cukuplah adanya Kopassus danDensus, dan bagian militer spesialis lainnya? Kritik sangat jelas muncul dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan[45]. Dalam konperensi persnya (14/9) dinyatakan bahwa dengan mengadakan suatu pasukan sendiri BINmelampaui wewenangnya[46], dan dicatat bahwa  ‘wewenang untuk menangkap orang akan membawa serta suatu legalisasi penculikan orang’[47]. Dalam konperensi pers ini juga diberikan sejumlah catatan dan saran supaya BIN  tetap diitegrasikan dalam kesuluruhan sistem pemerintahan dan peranannya tetap diberikan sesuai wewenang yang dijelaskan dalam UU RI No. 17 tahun 2011 bagian UU Intelijen Negara , pasal 30. Menurut Undang-Undang itu BIN tidak diberikan wewenang untuk membentuk pasukan khusus bersenjata[48]

 

[36] Lembaga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) mengadakan suatu dialog (virtual) untuk membahas dan mendorong Pembentukan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) (13/9). Dijelaskan bahwa kehadiran perwakilan Komnas Ham di provinsi Papua Barat sangat dibutuhkan karena [a] provinsi terlalu jauh dari Jayapura untuk dilayani oleh perwakilan disana, dan [b] penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di Papua Barat sangat dibutuhkan[49].

 

[37] Kabupaten Intan Jaya tetap merupakan suatu wilayah yang penuh insiden. Ada berita bahwa ada kecelakaan mobil di tikungan jalan Mamba, distrik Sugapa (12/9); satu truk yang mengangkut sekelompok prajurit jatuh di jurang, 2 orang mati dan 15 terluka[50]. Dua hari kemudian ada berita (14/9) dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) bahwa mereka mengadakan serangan pada pos TNI di kampong Mamba. Menurut info dari TPNPB serangan berujung tiga (3) anggota TNI tewas[51]. Lantas ada berita bahwa dua (2) tukang ojek ditembak oleh kelompok yang tidak dikenal (14/9). Mereka sedang dirawat di rumah sakit[52].

 

[38] Bupati Kab Sorong Selatan bersama Danlantamal XIV, Bridgen TNI Markos mengunjungi Teminabuan. Tujuannya: Bridgen TNI Markus meminta izin kepada Bupati “mendirikan Pos TNI Angkatan Laut berkerjasama dan bersinergi dengan Pemerintah Daerah”. Sementara Bupati menyampaikan bahwa “akan mengupayakan agar secepatnya pembangunan Pos Lantamal XIV Sorong” jadi[53]

 

[39] Otsus. Sudah tentu bahwa isyu Otsus masih ramai diangkat selama ini. Tetap tambah individu serta kelompok yang menyatakan bahwa Otsus Gagal saja dan Otsus Jilid II ditolak secara bulat[54]. Namun ada juga yang mulai menyatakan bahwa Otsus sangat dibutuhkan[55], namun jumlahnya tidak terlalu mengesankan sebanding jumlah yang menolaknya. Dari pihak Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) masih tetap ada rencana untuk mengadakan suatu evaluasi yang melibatkan masyarakat luas Papua[56]. Sementara MRP Papua bersama MRP Papua Barat telah menarik kembali draft Otsus Plus yang sudah lama ada di meja DPR RI dan yang mau diandalkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai salah satu alternatif untuk mengangkat soal Otsus di DPR RI[57]. Menurut Menkopolhukam, pemerintah pusat tetap akan memberlakukan Otsus dan revisi Otsus akan dibatasi pada satu pasal saja, yakni, pasal 34. Sedangkan Kaukus For Papua (terdiri dari orang Papua anggota DPR dan MPR RI) tetap akan membahas Otsus. Menurut Menkopolhukam  Kaukus ini diharapkan bisa membantu pemerintah membahas sejumlah isyu dengan masyarakat Papua [58]. Juga ada perundingan dengan Mendagri supaya diberikan waktu secukupnya untuk ‘evaluasi bersama masyarakat’. Katanya Mendagri mau semuanya selesai dalam satu-dua bulan, sedangkan sudah tentu bahwa pembatasan waktu demikian tidak memungkinkan proses yang diharapkan MRP. Suatu unsur yang cukup baru dalam seluruh diskusi ini, malahan sedikit mengagetkan, adalah perobahan sikap pada ULMWP (dan diandaikan termasuk KNPB). ULMWP menyatakan bahwa memang suatu perundingan/evaluasi dengan masyarakat perlu namun perundingan itu tidak dapat diselenggarakan oleh MRP atau DPRP karena mereka adalah sarana politik pemerintahan. Maka, pertemuan dengan masyarakat perlu diselenggarakan oleh ULMWP dengan mengundang serta MRP, DPRP dan instansi-instansi pemerintahan lainnya. Sebagai agenda perundingan dengan masyarakat luas, ULMWP mencatat: [1] bagaimana pendapat masyarakat: Otsus dihentikan atau dilanjutkan? dan [2] menurut masyarakat jalan yang terbaik mana untuk menyelesiakan permasalahan di Papua?[59].

 

[40] Corona, ya virus itu! Ternyata Indonesia sampai saat ini belum terlalu berhasil mengendalikan penyebaran virus ini. Secara khusus DKI Jakarta menjadi hotspot yang sangat memprihatinkan. Menurut info terakhir jumlah kasus meningkat secara signifikan sampai Gubernur Jakarta menyatakan bahwa tempat tidur di Rumah Sakit yang dibutuhkan tidak akan ada cukup. Beliau memutuskan supaya suatu ‘lockdown’ berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan dengan segera. Keputusan itu kemudian dikritik oleh MenteriKoodinatinasiEkonomi (MenkoEkon) yang melihat efek negatif keputusan ini atas ekonomi. Kesannya ada tarik-menarik kepentingan ekonomi dengan urusan kesehatan! Lantas suatu polemik mulai berkembang dan menunjukkan betapa miskin perundingan serta koordinasi intern di tingkat pemerintahan pusat. Seakan-akan tidak ada kekompakan dan setiap orang melihat dia punyai ‘medan terbatas’ saja. Apalagi masyarakat makin bingung dan kritisi mulai memanfaatkan kekacauan ini secara politik[60]. Ada juga yang justru sekarang baru menjadi sadar bahwa tindakan PSBB yang ketat sebenarnya sudah perlu diterapkan enam bulan lalu, namun sebaiknya lebih baik ‘late than never’ (lambat daripada tidak pernah).[61] Mengingat peningkatan signifikan kasusnya, Presiden dalam petunjuk-petunjuknya akhir-akhir ini menyebutkan delapan wilayah yang perlu diberikan perhatian yang intensif dalam kerangka perlawanan pada Covid-19. Delapan wilayah itu adalah[62]: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Papua. Koorinator perhatian : menteri Luhut Panjaitan. Karena peningkatan signifikan jumlah kasus Covid-19 KomNas HAMmengusulkan supaya Pilkada 2020 ditunda[63].

Kebingunan mengenai policy Covid-19 bukan saja di Jakarta. Di Jayapura (dan/atau Papua) pun makin muncul keraguan akan policy Civid-19 yang dijalankan sekarang ini. Kesannya bahwa para ‘pengambil keputusan policy’ cenderung untuk melonggarkan protokol Covid-19. Kebijakan demikian bertentangan dengan kenyataan bahwa selama satu setengah bulan terakhir ini peningkatan kasus sangat signifikan. Selama 16 hari terakhir jumlah kasus per hari naik dari rata-rata 30 per hari menjadi rata 54 per hari, suatu kenaikan sebesar 80%. Peningkatan ini tidak ditanggapi dengan kebijakan yang sesuai, kesan kami. Sudah berminggu-minggu suasana ‘lalu lintas sosial’ di Jayapra seperti biasa saja, seakan-akan tidak pernah ada berita mengenai ancaman Covid-19. Apalagi sejumlah kegiatan di sekitar ‘policy Covid-19’ hanya bersifat ‘proyek’ dan seremonial, seperti aksi “satu juta masker”, yang bertujuan untuk memberikan gratis masker kepada siapa saja yang lewat titik-titik distribusi pada hari Sabtu 5 September lalu. Aksi yang pasti lumayanlah mahal! Suatu ‘proyek’ lainnya adalah pembentukan “Pemuda Anti Corona” (PAC) yang sudah kami singgung dalam laporan ini. Segala proyek semacam ini sebenarnya tidak efektif dan ternyata tidak akan menghentikan penyebaran virus ini! Yang kurang didengar adalah upaya untuk memikirkan dan menerapkan suatu kebijakan yang mengefektifkan testing masal, penyuluhan professional dan sistematisserta protokol lebih ketat yang membantu pembatasan penyebaran virus itu. Sekarang ini pengawasan tidak nyata walau banyak instansi/tenaga diandaikan menangani tugas demikian. Kesadaran serta kepedulian masyarakat makin berkurang, kesan kami. 

 

[41] Update Covid-19 pada tanggal 14 September 2020: Kasus Positif: 4.560; sedang Dirawat 1.020; sudah Sembuh 3,478; yang Meninggal 62; ODP 1.881; PDP 1.086; dan PCR+TCM tests 46.828.

COVID-19

1 Agustus 2020

JUMLAH POSITIF

JUMLAH DIRAWAT

JUMLAH SEMBUH

JUMLAH MENINGGAL

KONTAK ERAT

SUSPEK

Kota Jayapura

2455

469

1948

38

 

 

Kab Mimika

997

217

773

7

 

 

Kab Jayapura

389

73

308

8

 

 

Kab Biak Numfor

207

92

112

3

 

 

Kab Nabire

113

56

53

4

 

 

Kab Keerom

88

255

62

1

 

 

Kab Merauke

73

18

55

0

 

 

Kab Jayawijaya

61

1

60

0

 

 

Kep. Yapen

49

23

26

0

 

 

Kab Tolikara

27

9

18

0

 

 

Kab Lanny Jaya

27

19

7

1

 

 

Kab Boven Digoel

21

1

20

0

 

 

Kab Yalimo

15

12

3

0

 

 

Kab Sueriori

12

1

11

0

 

 

Kab Peg Bintang

8

0

8

0

 

 

Kab Sarmi

7

0

7

0

 

 

Kab Mappi

6

4

2

0

 

 

Kab Mambera-

mo Tengah

3

0

3

0

 

 

Kab Puncak Jaya

1

0

1

0

 

 

Kab Waropen

1

0

1

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

4.560

1.020 = 22%

3.478=76%

62=1,4%

1.881

1.086

 

 

 

 

Tes PCR

46.828

 

 

 

Sejumlah catatan Covid-19

·       Perkembangan selama 16 hari terakhir: Kasus positif: 3.681 menjadi = 4.560 naik 54 per hari; (dalam laporan lalu masih 30 per hari, berarti 80% lebih tinggi daripada selama 16 hari sebelumnya! Yang meninggal: 43 menjadi 62 (1,4%). Wilayah yang naik secara signifikan: Jayapura Kota: 2080 menjadi 2.445 , Mimika: 747 menjadi 997, Biak Numfor: 140 menjadi 207, Nabire: 75 menjadi 113,  Keerom: 67 menjadi 88, Merauke: 63 menjadi 73, Yapen: 26 menjadi 49[64]. Distrik yang baru: Kab Mappi: 6 kasus.

·       Ternyata di Kab Bintuni pemerintah akan melalukan lockdown 2 distrik[65].

·       Walikota Jayapura mengumumkan bahwa aktifitas di kota Jayapura sudah bisa kembali pada jam biasa, maka sampai 21.00 malam[66]

·       Pemuda Anti Corona (PAC) akan dikerahkan dalam semua keluruhan di Jayapura demi penyosialisasi ancaman Covid-19 dan mendorong disiplin berpeganan protocol kesehatan.

·       Kasus kematian Covid-19 Provinsi Papua tambah 2 orang, menjadi 52 (8/9)[67]

·       Kasus kematian Covid-19 di Provinsi Papua bertambah 2 orang. Dengan demikian, jumlah sementara kasus kematian di Bumi Cenderawasih hingga Selasa (08/09/2020) menjadi 52 orang atau 1 persen.

·       Kasus corona di Timika meningkat secara signifikan[68].

·       Pemintah Kota Jayapura sedang memperjuang jaminan bantuan melalui Badan Peyelenggara Jaminan Sosial (BPJamsostek) bagi para pekerja informal yang sementara ‘Bukan Penerima Upah’ (UPB)[69].

·       Bisnis gadai di Pegadaian Area Jayapura tumbuh 30 persen selama ‘musin covid-19’[70]

·       Tujuh (7) calon Bupati/Wakil Bupati untuk Pilkada 2020 ternyata dites positif Covid-19[71].

·      Mulai tgl 16 September Walikota Jayapura akan mengawasi dengan sangat tegas  dan memberikan denda pada siapa saja yang tidak memakai masker atau tidak mengindahkan protokol kesehatan[72].

·       Ternyata kasus Covid-19 di Sorong juga meningkat lagi secara signifikan di Sorong.

 

 

TANGGAPAN KHUSUS

 

RENCANA PEMEKARAN PROVINSI DI PAPUA

 

Salah satu hal yang cukup mebuat heboh lagi adalah keputusan sejumlah kecil pejabat pemerintah pusat yang memutuskan bahwa Papua akan dimekarkan menjadi 5 provinsi. Pertemuan  pejabat tinggi ini dihadiri Menkopolhukam, Mahfud, Mendagri (mantan Kapolri), Tito Karnavian, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, perwakilan TNI-Polri, dan dilengkapi dengan Ketua Komite DPD RI, Yorrys Raweyai. Kesimpulan mengenai pemekaran ini dicapai dalam suatu pertemuan yang tertutup pada 11 September 2020[73]. Mereka menyatakan bahwa pemekaran ini sudah menjadi amanat UU 21 Tahun 2001 (UU Otsus Papua), dan tujuannya “menyejahterakan rakyat Papua, karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan Indonesia bukan Indonesia tanpa Papua”, kata Ketua MPR.

 

Pertemuan ini patut ditanggapi dengan sejumlah catatan kritis, sbb.:

 

[1] Keputusan ini, katanya Menkopolhukam, didasarkan atas isi pasal 76 dalam UU Otsus, yang berjudul Ketentuan Penutup dan berbunyi: “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”. Ternyata dalam pasal ini tidak ada amanat untuk mengadakan pemekaran, namun isinya adalah:  ‘seandainya pemekaran mau diadakan sejumlah kriteria perlu dipenuhi’. Yang justru menjadi keraguan besar sejauh mana kriteria dalam pasal 76 sungguh-sungguh diindahkan oleh pejabat-pejabat tadi. Dalam Pasal 3 yang khususnya menyangkut Pembagian Daerah juga tidak dapat temukan amanat pemekaran provinsi, karena semua catatan disitu ada hubungan saja dengan pemekaran Kabupaten/Kota atau/dan kampung. Secara sangat umum dikatakan – Pasal 3 (4) - : “pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Provinsi Papua” (Pasal 3,(4). Itu saja.

 

[2] termasuk dalam isi pasal 76 juga (dan sebenarnya juga dalam Pasal 3 tadi) ditekankan: demi pemekaran perlu ada persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Apakah mereka sudah secara resmi memberikan persetujuan untuk pemekaran provinsi? Dimana naskah persetujuan ini? Apalagi ternyata MRP dan DPRD yang paling berhak untuk ‘menentukan pemekaran tidaknya’ tidak diundang hadir dalam pertemuan itu, sedangkan kehadiran pihak TNI-Polri dalam pertemuan ini sangat menonjol. Alasannya apa?

 

[3] menurut ungkapan dalam pertemuan dengan media seusai pertemuan, pemekaran ini akan diadakan dengan tujuan “menyejahterakan rakyat Papua, karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan Indonesia bukan Indonesia tanpa Papua”. Perumusan tujuan pemekaran, yakni: ‘peningkatan kesejahteraan rakyat’ sudah menjadi ungkapan biasa waktu membicarakan soal pemekaran. Yang kurang lazim adalah tambahan “karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dst.”. Terselubung dalam tambahan ini adalah motivasi lainnya yang sebenarnya lebih dekat dengan apa yang diberitahukan sampai saat ini, yakni pernyataan Mendagri/Mantan Kapolri, Tito Karnavian (Oct-Nov 2019), bahwa pemekaran dibutuhkan berdasarkan ‘info BIN’. Ternyata sampai saat ini argumen ini tetap diutamakan, maka tidak mengherankan bahwa muncul dugaan kuat bahwa keputusan pemekaran di Papua tidak diputuskan “setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguhkesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang” (Pasal 76). Sedangkan isi pasal 76 memang mutlak perlu diindahkan, termasuk oleh para pejabat tinggi pemerintah pusat! 

 

[4] kita semua tahu bahwa di Indonesia masih berlaku suatu Moratorium Pemekaran; dengan kata lain: tidak boleh mengadakan pemekaran. Moratorium Pemekaran ini diberlakukan sejak 2014 dan memiliki dasar yang kuat. Tahun  2014 suatu penelitian diadakan, mengevaluasi hasil pemekaran di seluruh Republik Indonesia. Ternyata penelitian menyimpul bahwa hanya 23% dibuktikan berhasil, sedangkan 77% terbukti gagal. Hasil penelitian memang pantas membuat kita sangat hati-hati dengan meminta pemekaran. Sebenarnya sangat lucu lagi menyedihkan bahwa ‘produk yang begitu buruk’ (pemekaran wilayah) dinilai sangat cocok untuk diterapkan di Papua! Sekaligus suatu Moratorium Pemekaran  yang sangat beralasan tidak dihiraukan sama sekali. Maka, pertanyaan sangat sah: ada apa dibelakang rencana pemekaran provinsi di Papua ini??? Mungkinkah ‘tambahan tujuan’ yang tadi terungkap oleh Ketua MRP RI “karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan Indonesia bukan Indonesia tanpa Papua” memberikan suatu jawaban awal atas pertanyaan tadi?

 

[5] yang menimbulkan pertanyaan serta kecurigaan juga adalah fakta bahwa pertemuan para pejabat tinggi tadi diadakan secara tertutup. Sebenarnya apa yang perlu disembunyikan? Gaya ‘tertutup’ ini betul menjadi masalah, tambah lagi tidak menghadirkan para penentu kebijakan utama dalam soal pemekaran di Papua, yakni: MRP, DPRP dan Gubernur Papua. 

 

[6] juga saat penetapan pemekaran ini diputuskan merupakan saat yang tidak tepat. Semua sibuk dengan suasana Covid, dan khusus untuk di Papua banyak perhatian juga dituntut berhubungan dengan kelanjutan Otsus tidaknya. Kenapa segala pembahasan sekitar pemekaran tidak ditunda? Sangat memprihatinkan bahwa partisipasi serta hak suara pihak paling utama dalam soal ini, rakyat Papua serta perwakilannya, secara sistematis ditiadakan. 

 

[7] melihat sepintas lalu saja hasil pemekaran di Papua di masa lalu, kita semua secara spontan hanya mengingat {a} bahwa ternyata ‘marginalisasi komunitas asli Papua’ sangat meningkat; {b} bahwa terdorong ‘penghancuran pola hubungan tradisional yang harmonis karena perebutan kedudukan politik’; {c} bahwa membawa serta ‘penambahan signifikan masuknya migran’ sehingga masyarakat asli Papua makin menjadi minoritas penduduk di tanahnya sendiri, dan {d} bahwa ‘masyarakat asli makin kehilangan kekuatannya di baik bidang ekonomi maupun politik’ (bandingkan saja jumlah orang non-Papua yang menduduki kursi di DPR lokal dengan jumlah orang asli yang memperoleh kursi). Jelas gambaran pengalaman masa yang lalu kelihatan lain sekali daripada isi slogan “pemekaran demi menyejahterakan rakyat Papua”. Dalam keadaan politik dewasa ini suatu tahap pemekaran lagi hanya akan mempercepat proses yang sangat destruktif tadi dan hanya dapat menyuburkan tanah untuk muncullah konflik horizontal maupun vertikal yang mematikan. 

 

[8] dalam pertemuan baru ini di Jakarta para pejabat tinggi sebenarnya mewakili kepentingan siapa? Namun sudah tentu: mereka tidak mewakili kepentingan rakyat Papua!

 

 

Jayapura, 16 September 2020



[21] Inside Indonesia 141: Juli-Sep 2020; “Distrust in doctors’ decision making around c-sections is a key cause of Papuans’ avoidanve hospitals, oleh-- Jenny Munro (Queensland), Els Rieke Katmo (Manokwari), Meki Wetipo (Jayapura).

[24] https://suarapapua.com/2020/09/09/sejak-2014-lebih-dari-21-perusahaan-perkebunan-sawit-beroperasi-di-tanah-papua/

[27] ALRC-CWS-45-002-2020, August 20, 2020. A Written Submission to the 45th Regular Session of the United Nations Human Rights Council by the Asian Legal Resource Centre. “INDONESIA: Twenty two years of unresolved enforced disappearances while the offender enjoys impunity”

[29] AHRC-JST-010-2020, September 08, 2020

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.