Thursday, March 18, 2021

PAPUA 2021 1-15 Maret (In Bahasa)

 PAPUA  2021

1-15 Maret

Oleh: Theo van den Broek

[1] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI

 

[a] korban-korbanAwal bulan (1/3) seorang anggota TPNPB, Ferry Elas, ditemukan tertembak mati di Mile 53 sekitar Tembagapura, pusat pengoperasian PT Freeport. TNI-Polri menganggap Ferry Elas  seorang komandan PTNPB-OPM yang beroperasi disekitar Tembagapura[1].

Dalam peristiwa penembakan lain, sekali lagi seorang warga sipil menjadi korban. Namanya Melianus Nayagau, di kampung Puyagai, distrik Sugapa (6/3). Menurut pihak TNI-Polri Melianus ditembak mati karena anggota TPNPB, sedangkan warga-warga setempat menerangkan bahwa Melianus bukan anggota TPNPB[2] namun seorang pelajar aktif SMP Negeri di Sugapa. 

Dalam editorial JUBI (8-9/3) dicatat bahwa dalam tiga minggu terakhir ini di Intan Jaya sudah lima warga sipil menjadi korban. Tiga warga sipil, Janius, Justinus dan Soni Bagau di Sugapa (Puskesmas), ditembak mati oleh TNI (15/2); berikutnya Donatus Mirip (kelainan fisik, bisu dan tuli) ditembak mati TNI pada Sabtu (27/2) di kampung Ndugisiga (Distrik Sugapa). Dan hari Sabtu baru ini (6/3) Melianus Nayagau, anak muda, pelajar SMP, menjadi korban ke-lima. Sampai kapan demikian? Tidak ada peraturan hukum lagi? Malahan dalam konflik bersenjata ada peraturan main![3]

 

[b] kebijakan pasukanAkhir ini juga sejumlah Brimob wanita ditambahkan pada Satgas Nemangkawi di Timika. Pimpinan Brimob, Inspektor Jenderal Anang Revandoko menyatakan bahwa “keterlibatan enam brimob wanita dalam suatu ‘operasi humaniter’ yang sangat menantang itu, merupakan suatu peristiwa yang luarbiasa” [4].

Sementara Kapolda Papua, Irjen Mathius Fakhiri, diangkat oleh Kapolri menjadi komandan Satgas Nemangkawi. Kapolda menyatakan memang salah satu prioritasnya adalah mengakhiri suasana kekerasan di pelbagai wilayah konflik di Papua. Dia berjanji akan mengutamakan pendekatan persuasif. Sekaligus akan tegas kalau ada yang melanggar hukum. “Pendekatan kesejahteraan akan kita laksanakan dan penegakan hukum akan secara tegas kita lakukan, kita tidak akan mundur selangkah pun, tentu dengan cara-cara yang lunak”, ujarnya di Jayapura (8/3)[5].

Selama kunjungan kerja pertama ke Timika (pusat pengoperasian TNI/Polri) Kapolda menekankan bahwa semua Brimob dari luar Papua diperintahkan untuk memahami kebudayaan serta tradisi setempat di Papua. “Kami menghargai akar-akar kebudayaan masyarakat di mana kami bertugas”, ujarnya. Inilah menjadi suatu syarat untuk bisa berfungsi secara benar dan bergaul dengan masyarakat di Papua. Sekaligus memang perlu bertindak tegas, namun “ketegasan tidak sama dengan memakai kekerasan. Segala tindakan kekerasan mesti dihentikan”, tegasnya[6].

Walaupun tidak langsung berkaitan dengan operasi TIN-Polri di Papua, menarik pun untuk mencatat ungkapan dari Kapolri yang baru, Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Beliau menyatakan keinginan untuk menjadikan polisi ke depan lebih humanis, professional, dan memahami rasa keadilan yang diinginkan masyarakat. Beliau mau melihat aparat bersikap dan bertindak secara terukur. “Kalau bisa melumpuhkan, kenapa harus mematikan?”, tegasnya[7].

 

[c] masuknya pasukan baru Dua kapal perang milik TNI bersandar di dermaga Pelabuhan Umum Jayapura (8/3). Kapal perang tersebut menurunkan 1.350 prajurit TNI untuk amankan perbatasan RI-Papua Nugini. Kehadiran 1,350 prajurit TNI ini untuk menggantikan Yonif Mekanis Raider 413/Bremoro, Yonif Raifder 312/KH, dan Yonif Raider 100/PS yang purnatugas di Satgas Ops Pamtas RI-Papua Nugini[8]. Juga 100 anggota Brimob dari Kalimantan disiapkan ‘menjalankan penugasan mulia’ di Papua[9].

Jurubicara KNPB, Viktor Yeimo, dalam suatu pernyataan baru ini (14/3) mengutarakan bahwa jumlah tentara yang dibawa ke Papua selama tiga tahun tetakhir ini adalah 21.369. Jumlah ini masih terlepas dari jumlah Kopassus yang ditugaskan di Papua. Jumlah itu juga belum termasuk ‘pasukan organik teritorial TNI/POlri’ yang sudah ada di Papua. Walaupun angka sangat tinggi ini (21.000 lebih dalam 3 tahun terakhir) sulit untuk diverifikasi, dan walaupun kemungkinan besar TNI akan menyatakan bahwa pasukan baru tidak ditambah namun mengganti yang purnatugas, sudah tentu dan tidak perlu diragukan bahwa pengiriman pasukan sudah mencapai suatu jumlah yang sangat tidak proporsional itu sangat memprihatinkan. Apalagi kalau benar bahwa tidak ada operasi militer di Papua – menurut pemerintah pusat – namun ada tindakan penegakan hukum. Tugas penegakan hukum adalah tugas kepolisian, bukan tugas TNI.  Keprihatinan masih bertambah lagi karena kehadiran serta kegiatannya semua pasukan non-organik itu untuk sebagian besar adalah diluar suatu ‘kontrol yang transparan’. Malahan Gubernur di Papua tidak tahu berapa pasukan dibawa atau akan dibawa ke Papua, apalagi kegiatannya[10].

 

[d] insiden yang aneh dan patut dipertanyakan. Ada suatu insiden khusus yang kurang jelas kedudukannya. Pada hari Jumaat (12/3) pesawat Susi Air didatangi ‘30 pejuang Papua merdeka’ di lapangan terbang Wangbe, Kab Puncak, jam 6 pagi. Pilot dan 3 penumpang ‘disandera’. Baru setelah 2 jam negosiassi mereka dilepaskan dan pesawat dapat terbang lagi. Tuntutan para penyandera, katanya, [1] tidak boleh mengangkut personil TNI-Polri, dan [2] minta ‘uang dana desa’. Berita mengenai insiden ini berasal dari Kogabwilhan (Timika). Dalam berita dari pihak TPNPB diperjelaskan bahwa TPN tidak ada urusan sama sekali dengan insiden ini, dan bawah insiden ini discenariokan oleh pihak TNI-Polri saja untuk memojokkan TPNPB. Terutama tuntututan ‘minta dana desa’ dipakai untuk memperjelekkan nama TPN dan untuk mendukung tuduhan yang sering diberitakan pihak TNI-Polri[11].

 

[2] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA

 

[a] pengungsi di Intan Jaya. Masyarakat di Intan Jaya untuk sebagian besar meninggalkan kampung halamannya. Sebagian masih mencari perlindungan di kompleks gereja di Sugapa (sekitar 1.000), sebagian mencari keamanan pada sanak saudara di tempat lain. Meteka mengungsi keluar dari Intan Jaya menuju Nabire (300an Kepala Keluarga), Paniai atau Timika. Sementara waktu bantuan (makanan, tenda, kasur, selimut dll) mulai mengalir, termasuk bantuan dari Kemeterian Sosial. Pemerintah Provinsi Papua juga menyatakan bahwa perhaian untuk para pengungsi menjadi suatu prioritas dalam kegiatannya[12].  

 

[b] kampanye berita tipuan. Ternyata kampanye ’berita tipuan’ semakin menjadi suatu kebiasaan. Sekarang ini berita tipuan muncul yang menyatakan bahwa ‘tidak ada pengungsi di Intan Jaya’ (lihat salah satu contoh di bawah). Dalam berita dipasang foto dari tokoh-tokoh agama, tanpa diminta izin atau diinformasikan kepada yang bersangkutan[13]. Sudah tentu berita tipuan tidak ada alamat pengirim. Berita-berita itu beredar bebas di media sosial dan ternyata tidak diganggu oleh pengawasan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Sangat memalukan, mengingat juga bahwa pada saat yang sama Kementerian Sosialmengirim bantuan darurat ke Intan Jaya…


 


[c] pemerintah perlu bertangungjawabDalam suatu diskusi terbuka (9/3) menyangkut para pengungsi dari Nduga maupun Intan Jaya, Pdt Dora Balubun, pimpinan Sekretariat Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC), Sinode GKI, menegaskan bahwa pemerintah pusat maupun provinsi perlu bertanggungjawab atas keadaan para pengunsgi di Papua (totalnya mendekati 40.000). Sampai saat ini “mereka buat apa? Kelihatan para pengungsi dibiarkan saja”. Gereja tidak cukup mampu untuk menangani para pengungsi. Khususnya, sikap pemerintah Papua sendiri diragukan: “mereka sibuk dengan bangunan fisik dan infrastruktur namun mengabaikan manusia!”, ujar Dora[14] Menjawab pertanyaan “kenapa semuanya ini terjadi?” Pdt Dora menyinggung salah satu faktor sangat penting yakni: kekayaan alam wilayah Papua. Papua diminati banyak instansi karena kekayaannya, bukan karena manusianya. Hal demikian sudah berpuluhan tahun menjadi salah satu faktor paling menentukan dibelakang segala kejadian serta sengsara di Papua, termasuk di Intan Jaya. Dia menyatakan: “Tanah Papua begitu kaya sehingga orang asli Papua tidak dapat tidur dengan tenang”, karena orang berminat merampas kekayaan daripadanya[15].

 

[3] OTSUS & PEMEKARAN DI PAPUA

 

[a] aksi demo. Di beberapa tempat aksi demo tetap berjalan. Antara lain lanjutan demo di pedalaman Papua (Kab Dogiyai) dan di Jakarta[16]. Secara sporadis juga ada suara yang mendukung Otsus dan Pemerkaran[17]. Sementara waktu MRP menyerahkan (10/3) salah satu buku hasil pengumpulan pendapat masyarakat kepada Gubernur[18].

 

 [b] solusinya apa? Ada usulan supaya revisi serta keberkelanjutan Otsus ditunda saja atau dibekukan dulu. Sebaiknya mengambil waktu untuk diskusi yang berbobot dan komprehensif. Memang keinginan untuk suatu evaluasi yang lebih berbobot mulai menjadi satu faktor dalam ‘mencari jalan keluar’. Sejumlah tokoh memberikan indikasi apa yang sebenarnya ada dibelakang segala penolakan dewasa ini, dan yang sebaiknya menjadi perhatian serius segala pihak yang berkewajiban. Yang diangkat adalah unsur-unsur sbb: [a] latarbelakang sejarah, [b] soal pola pembangunan, [c] pemberdayaan pemerintahan lokal, [d] kebebasan pengungkapan pendapat, [e] peluang untuk mendirikan partai poltik, [f] penyelesaiaan kasus-kasus pelanggaran HAM, [g] penghentian dismriminasi, rasisme, [h] pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Diharapkan suatu diskusi yang jauh lebih komprehensif daripada sepotong-potong catatan yang ‘terpisah-pisah’[19].

Terbitnya suatu artikel yang cukup menarik dan membantu. Artikel itu mengangkat sejumah data secara sistematis -kebanyakan berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan-, dan disediakan di Tirto.id-website[20]. Dalam artikel itu hasil sekian tahun Otsus dicheck dengan memakai tolok ukur [a] Produk Domestik Daerah Regional Bruto (PDRB), [b] Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), [c] Indeks Pembangunan Manusia (IPM), serta [d] Persentasi Penduduk Miskin. Kesimpulannya: Otsus ternyata tidak menyejahterakan masyarakat Papua. Uraian itu disusuli sejumlah catatan tambahan. Dicatat bahwa ‘konflik bersenjata dia daerah pegunungan di Papua juga menjadi salah satu hambatan pembangunan. Pasalnya, dana otsus yang seharusnya diberikan kepada kesejahteraan rakyat digunakan untuk menangani pengungsi, menangani korban dan membiayayi penambahan aparat keamanan’. Dalam refleksi selanjutnya mengenai solusinya dicatat a.l. menurut Ibu Adriana Elizabeth (Tim LIPI) ‘saat ini pun tidak ada pembicaraan terbuka antara elit politik di Jakarta dan Papua terkait implemntasi otsus, termasuk penggunaan anggaran. Contohnya, evaluasi otsus saat ini masih dilakukan sendiri-sendiri. Keputusan revisi UU Otsus pun berasal dari pemerintah pusat’. Padahal, ada dua makna utama yang terkandung dalam otsus, yakni untuk meningkatkan pembangunan di Papua dan resolusi konflik. Maka perlu mendorong ‘adanya dialog untuk menyelesaikan pemahaman terkait otsus dan menyelesaikan akar permasalahan pembangunan daripada mempolitisasi otsus’. Adriana mencontohkan kurangnya akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan dan pendidikan sebagai salah satu akar permasalahannya. Kemudian pemerintah perlu mengindentifikasi kebutuhan riil masyarakat Papua dan Papua Barat dan mencari solusinya. Dapat ditambah bahwa dalam Roadmap LIPI empat pokok permasalahan diangkat: [a] sejarah pengintegrasian, [b] marginalisasi dan diskriminasi, [c] kekerasan Negara serta pelanggaran HAM dan [d] pola pembangunan. 

 

[c] korupsi dan Otsus. Soal korupsi dana Otsus di masa lalu, 1,8 triliun, sudah dicatat dan sedang diselidikan lebih lanjut. Sekarang muncul juga indikasi penyelewengan dana Otus tahun 2020, dan perhatian tertarik ke kalangan Dinas Pendidikan[21].

 

[4] SOAL HUKUM /KEADILAN

 

[a] revisi UU ITEKesan kuat bahwa diskusi sekitar revisi UU ETI (Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) sudah mulai mereda. Tidak terdengar banyak lagi setelah Menkopolhukam, Mahfud, menyatakan bahwa kelempok kerjanya telah menyimpulkan bahwa sebenarnya UU itu ‘tidak bermasalah’.  Maka, dapat diragukan apakah masih akan ada revisi UU ETI atau tidak[22].

 

[b] pelanggaran HAM. Dalam kerangka ‘perjuangan pengundahan HAM’ patut dicatat bahwa Komnas HAM berpendapat bahwa di Indonesia masih terjadi penyiksaan oleh pihak aparat[23]. Praktik demikian tidak boleh dibiarkan. Sangat berkaitan dengan kenyataan itu adalah seruan supaya kematian Kristianus Yandum di Merauke (27/2) dibawa ke pengadilan[24].

Khusus menyangkut “pembunuhan diluar hukum” (extra juidicial killings) dapat dicacat bahwa kelompok orang yang dimotori politikus Amin Rais tetap mendesak Presiden supaya kasus pembunuhan terhadap 6 anggota FPI (Front Pembela Islam) ditangani secara tuntas. Kemajuan dalam hal ini sangat lamban[25]Sejajar kasus ini mungkin juga pantas kalau kasus pembunuhan terhadap 3 warga sipil di Sugapa (setelah diinterogasi di Puskesmas) oleh aparat (15/2)[26] dan kasus sejenisnya di Intan Jaya diangkat terus dengan suara yang lebih kuat. Antara lain dengan mendesak Komnas HAM untuk mengadakan investigasi yang resmi. Ada info bahwa Keuskupan Timika sedang menyusun suatu laporan kronologi faktual mengenai kasus 3 warga distrik Sugapa itu. (TvdB)

 

[c] catatan internasional. Selama sidang Komisi HAM PBB (UNCHR) 12 oranganisasi kemasyarakatan internasional[27] bergabung untuk mengangkat situasi di Papua. Dalam suatu pernyataan resmi yang disampaikan kepada para peserta Sidang UNCHR (15/3) mereka mendesak tiga hal: [a] mendesak Indonesia menjunjung tinggi standar Hak Asasi Manusia; [b] mendesak Indonesia menghormati dan melindungi jaminan kebebasan-kebebasan fundamential, termasuk menjamin mekanisme penyelidikan, penuntutan dan pemulihan yang cepat, efektif atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Papua – sesuai dengan kewajibannya dibawah hukum HAM internasional; [3] mendesak Dewan HAM PBB untuk terus memperhatikan HAM secara umum di Tanah Papua[28]. Dalam uraian keadaan di Papua 12 NGO internasional ini mencatat bahwa [a] Tim Khusus Kejaksaan Agung yang ditugaskan menyelesaikan 13 kasus HAM sampai saat ini belum transparan dengan apa yang dikerjakan; juga bahwa tim itu tidak dilengkapi dengan penetapan suatu periode kerja yang jelas dan mengikat; [b] bahwa kasus tindakan kekerasan terhadap warga sipil sangat meningkat di wilayah konflik Nduga, Pucak, Intan Jaya dan Timika; [c] bahwa masih ada praktik menangkap warga di Papua karena mengambil bagian dalam demo/protes secara damai di Tanah Papua; [c] bahwa masih tetap ada rencana pelaksanaan pemekaran walau diketahui bahwa pemekaran itu akan membawa serta suatu peningkatan militarisasi dan akan meminggirkan hak-hak warga di Papua.

 

[5] LINGKUNGAN, DEFORESTASI SERTA PERANAN KORPORASI/INVESTOR/KELAPA SAWIT

 

[a] Deforestasi. Dalam suatu tulisan baru ini (1/3) Mongabay, suatu lembaga internasional yang mengikuti secara kritis perkembangan di bidang lingkungan, membuat pernyataan sebagai berikut: “[a] deforestasi di Indonesia yang kaya hutan masih bertambah terus … [b] Proses deforestasi berpindah ke (Indonesia) timur, terutama ke regio Papua yang memiliki 2/5 (38%) dari areal hutan yang masih ada di Indonesia  … dimana perusahaan-perusahaan membersihkan lahan untuk kelapa sawit, pabrik kertas/pulp dan pertambangan; [c] namun bukan untuk itu saja, salah satu alasan lain untuk deforestasi adalah pembangunan infrastruktur yang dapat menjamin hubungan antar pemukiman penduduk di wilayah terpencil, dan yang de facto melayani semua perusahaan pertambangan, logging dan plantase pulp dan kelapa sawit” [29].

Untuk menilai derajat deforestasi kita tidak dapat begitu saja berpegang pada ‘ratio nasional’ yang menunjukkan suatu trend menurun deforestasi selama tahun-tahun terakhir ini. Ada beberapa wilayah seperti Sumatra dan Kalimantan yang menunjukkan suatu trend deforestasi menurun drastis, karena sebenarnya sudah menjadi ‘miskin hutan’. Namun di wilayah  ‘kaya hutan’ seperti Papua ratio deforestasi meningkat secara signifikan (lihat data dalam laporan kami 1-14 Feb, item [4]). Sejajar dengan itu perusahaan-perusahaan yang sudah ‘mengosongkan’ Sumatra dan/atau Kalimantan sekarang cenderung bergerak ke Papua. 

Menurut sumber pemerintah tahun 2020 Indonesia mencatat menurunnya persentase deforestasi yang mengesankan untuk tahun 2020, yakni 75% (menurut Kompas -9/3- untuk kelapa sawit turun 58%[30]). Kenyataan demikian dikaitkan dengan tindakan-tindakan positif dari pemerintah seperti Moratorium Kelapa Sawit dan Moratorium penebangan hutan primer. Sudah tentu kedua tindakan ini dapat mempengaruhi proses deforestasi, namun sejumlah pengamat kritis berpendapat bahwa sebagian besar penurunan ini adalah akibat pandemi covid-19, rendahnya harga minyak kelapa sawit dan kurang berjalannya ekonomi. Semua prihatin bahwa persentase deforestasi akan naik drastis sesaat moratorium dicabut (akhir tahun ini utuk kelapa sawit), ekonomi mulai berjalan dengan lebih lancar lagi – suatu prioritas paling tinggi pemerintahan Jokowi Jilid II – dan sewaktu rencana ‘konversi hutan’ (buat Papua sekitar 1 juta ha[31]) akan terlaksana, bukan saja demi kelapa sawit namun juga demi program ‘food estate’ di Papua dan Kalimantan. Apalagi dengan berlakunya Omnibus Law semuanya menjadi lebih mudah bagi para investor (a.l. peraturan lingkungan: tuntutan AMDAL dikurangi; persetujuan masyarakat lokal: kurang dibutuhkan lagi)[32].

 

[b] Berprotes membawa serta risiko. Ternyata aksi protes untuk menghindari deforestasi sesaat salah satu perusahaan mau masuk dan membersihkan hutan, tidak selalu membawa berkat. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memberitahukan bahwa tiga pemimpin masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq, Kabupaten Kuta Timur, Kalimantan Timur, dijemput paksa aparat kepolisian, Sabtu (27/2). Mereka sebelumnya mengikuti demo menolak konsesi perkebunan kelapa sawit. Mereka sebelumnya menerima surat panggilan dari kepolisian karena demonstrasi yang diikuti dinilai mengganggu jalan dan usaha perkebunan. Mereka akhirnya menginap malam di polisian[33].

 

[c] Aksi menyelematakan hutanTernyata ada suatu ‘Rencana Aksi Nasional menyelematkan Sumber Alam’. ‘Aksi Nasional‘ ini ada kaitan dengan Instruksi Presiden No. 8, 2018, dimana ditetapkan suatu Moratorium Pengalihan Hutan menjadi Plantage Kelapa Sawit.  Dalam kerangka ‘Aksi Nasional’ itu KPK (Komisi Pemberantsan Korupsi) mengadakan suatu evaluasi keadaan perusahaan yang menguasai areal hutan di provinsi Papua Barat. Ternyata 24 perusahaan menguasai areal hutan sebesar 576.000 ha (lokasi di Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Manokwari Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondana, Maybrat dan Fakfak). Dari evaluasi KPK menjadi jelas bahwa banyak dari antara perusahaan belum memenuhi persyaratan, malahan sejumlah belum sentuh konsesi arealnya. Sebagian juga memiliki permit yang tidak lengkap atau dicurigai. Sehingga KPK menyimpulkan bahwa 383.431 ha masih dapat diselamatkan. Maka, KPK mengajak Pemerintah Papua Barat untuk bertindak sesuai sampai sebagain dari konsesi itu dibatalkan/dicabut dan hutan diselematkan[34].

 

[d] Korindo group di Papua dan protes masyarakat. Dalam suatu artikel Yayasan Pusaka mengangkat perjuangan serta protes masyarakat di Boven Digoel. Sekaligus menggambarkan gaya kerja Korindo. Artikel ini sangat informatif dan faktual[35]Sangat penting dibaca dengan teliti oleh siapa saja yang ingin turut menghargai dan melindungi masyarakat lokal maupun kelestarian alam demi angkatan-angkatan masa depan. Sudah tentu juga sangat relevan bagi para penguasa yang turut menentukan kebijakan pengembangan masyarakat dewasa ini di Papua, termasuk pimpinan agama. (TvdB)

 

[e] limbah penyulingan sawitSuatu berita yang cukup mengagetkan adalah bahwa Presiden telah mencabut limbah penyulingan sawit (internasional diketahui sebagai spent bleaching earth [SBE]) dari daftar kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Disamping itu Presiden juga mencabut abu batu bara (fly ash and bottom ash [FABA]) dari daftar yang sama. Semuanya ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021[36]. Dalam suatu reaksinya, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menilai pencabutan ini berbahaya[37]. Sebenarnya dampak besar pembuangan limbah kelapa sawit berupa polusi air dan tanah; kenyataan sudah terbukti. Salah satu contoh di Amazon (Brasil)[38].

 

[6] PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DI PAPUA

 

Pendidikan. Salah satu inisiatif di Paniai memberikan semangat. Memang diketahui bahwa dimana-mana ada anak muda yang tidak bersekolah dan sering menjadi ‘anak jalanan’. Kelompok ‘anak jalanan’ sering ditandai kebiasaan ‘menghirup lem’ (aibon) guna merasa bahagia; mereka mengalami  kejenuhan, mencari hiburan dalam kenakalan dan lazimnya kehilangan suatu ‘proses menjadi besar’ dalam suatu kerangka yang terarah dan yang dapat memberikan bekal yang baik kepadanya demi suau hidup layak sebagai seorang dewasa nanti. Syukurah ada yang tersentuh dan mengambil inisiatif untuk menciptakan ruang pendidikan alternatif bagi mereka. Sr. Mariecien Kuayo DSY di Enarotali, Paniai, mengambil langkah. Awal tahun lalu,  dia mengajak beberapa anak agar duduk bersama untuk belajar bersama di Susteran mengganti sekolahnya. Dari 6 anak yang menjawab ajakannya pada awalnya, sekarang menjadi 115 anak (umur 5 sampai 22), dan suatu ruang lebih besar dibuka di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB).Suster Mariecien sudah dapat bantuan lagi dari dua suster setarekatnya, dua tenaga pengajar kontrakan, seorang pastor dan seorang mahasiwa Selolah Tinggi. SKB ini mempuyai empat tingkat: Pendidikan TK (4-6 th), Pendidikan SD (7-11 th), Pendidikan SMP (12-15 th), dan Pendidikan SMU (16 th ke atas). Mereka juga mengajak Dinas Pendidikan untuk memungkinkan bahwa anak-anak didikan informal mereka diikutsertakan dalam pengujian resmi supaya mereka pun dapat memperoleh suatu ijazah. Permintaan ini belum ditanggapi oleh Dinas[39].

 

[7] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

 

Soal stigmatisasiSalah satu alasan kenapa sejumlah pejabat kurang bersuara mengenai keadaan di Papua adalah bahwa mereka merasa akan langsung dicap ‘separatis’. Memang kenyataan itu sudah puluhan tahun menghantui para pejabat yang sebenarnya berkedudukan baik untuk memberikan informasi yang tepat dan yang dapat membantu meluruskan pemahaman publik luas mengenai Papua. Menurut Yunus Wonda, (Wakil Ketua DPR Papua), tuduhan itu muncul ketika ada dari Dewan yang menyatakan menolak pemekaran di Papua, sebab belum saatnya. Jika pemekaran dipaksakan akan ada sekian banyak OAP lagi termarjinalkan. Tuduhan separatis sama kalau misalnya ada yang meminta pemerintah membuka ruang dialog sebagai upaya mencegah konflik bersenjata berkepanjangan antara aparat keamanan dengan kelompok pejuang kemerdekaan Papua, agar warga sipil tidak terus menjadi korban. “Ketika kami di Lembaga DPR Papua bicara, dianggap separatis, pentolan TPN/OPM, dianggap orang-orang yang menghasut orang bicara Papua merdeka” (28/2). Berkaitan dengan itu Harris Azhar (Ketua Tima Kemanusiaan untuk Papua), mengatakan pemerintah perlu menjelaskan apa yang dijadikan tolok ukur menuduh orang Papua yang dianggap melawan negara sebagai bagian dari OPM. “Tidak pernah ada yang bisa menjelaskan. Hanya muncul sepihak sepihak saja. Ini yang menurut saya situasi yang dipelihara”, ujarnya. Haris menduga, stigma ini merupakan modus dalam rangka mengontrol dan dijadikan alasan penambahan pasukan ke Papua[40] 

Stigmatisasi memang sangat kuat dampaknya, malahan sampai dapat terjadi bahwa Kapolres di Malang, secara publik mengancam mahasiswa Papua dengan menyatakan: ‘tembak mereka saja, darah orang Papua halal’[41].

 

[8] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA

 

Pimpinan Umum Partai DemokratYang paling menyibukkan dunia politik di Jakarta adalah ‘coup kepemimpinan Partai Demokrat’. Suatu Kongres luar biasa (KLB) diselenggarakan (9/3) dan Moeldoko dipilih oleh peserta KLB itu sebagai pemimpin umum partai mengganti Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), anak dari SBY[42]. Jelas AHY beserta kubunya menyatakan KLB ini tidak legal dan menolak penggantiannya. Maka, kasus ini akan dibawa ke ranah pengadilan. Dengan demikian kedudukan Moeldoko sebagai kepala Staf Presiden menjadi tidak pasti lagi; kemungkinan besar diganti. Belum jelas dampaknya keributan partai ini atas dunia perebutan kuasa politik di pusat pemerintahan.

 

[9] CORONA VIRUS

 

Selama beberapa bulan terakhir Covid-19 kelihatan makin berkembang. Lihat daftarnya dibawah:

Keadaan Provinsi Papua tgl. 28 FEBRUARI dibandingkan tgl 15 Maret 2021

 

COVID-19

Jumlah positif

Jumlah dirawat

Jumlah sembuh

Jumlah meninggal

Periode 28 Feb 2021

28/2/2021

15/3 /’21

28/22021

15/3

/‘21

28/22021

15/3

/’21

28/2

2021

15/3

/’21

Kota Jayapura

7927

8392

1035

946

6756

7300

136

146

Kab Mimika

4802

5331

498

496

4263

4789

41

46

Kab Jayapura

1103

1163

115

116

942

1000

46

47

Kab Biak Numfor

1045

1049

40

13

956

984

49

52

Kab Jayawijaya

709

780

106

64

556

712

4

4

Kab Merauke

721

751

125

46

556

660

40

45

Kab Nabire

429

429

8

5

410

378

14

14

Kab Mappi

287

389

5

94

14

293

2

1

Kab Boven Digoel

278

288

12

9

263

276

3

3

Kep. Yapen

239

239

53

53

179

179

7

7

Kab Keerom

217

283

45

57

167

175

5

6

Kab Asmat

175

186

13

12

159

171

3

3

Kab Paniai

70

93

28

39

40

52

2

2

Kab Superiori

76

76

0

3

76

76

0

0

Kab Sarmi

31

31

8

8

23

23

0

0

Kab Tolikara

29

31

2

7

29

31

0

0

Kab Lanny Jaya

27

27

0

0

26

26

1

1

Kab Yalimo

15

15

0

0

15

15

0

0

Kab Peg Bintang

9

11

0

2

9

9

0

0

Kab Mambera-

mo Tengah

4

4

0

0

4

4

0

0

Kab Puncak Jaya

3

3

1

1

2

2

0

0

Kab Waropen

1

1

0

0

1

1

0

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

18199

19543

2131

11,7%

1968 10,1%

15715

86,4%

17188 88%

353

1,9%

378 1,9%

 

 

 

 

Jumlah tes

111602

108338

 

Dalam ½ bulan terakhir: [1] Jumlah Infeksi total: naik 15%-lebih (rata-rata 100-lebih setiap hari); [2] beberapa wilayah mengalami kenaikan yang tinggi: Paniai, Mappi, Keerom, Jayawijaya, Jayapura dan Mimika. Tambah lagi bahwa Merauke tetap menunjukkan suatu persentase kematian yang sangat tinggi, yakni 6,25% lebih; Biak Numfor, 5%; dan rata-rata provinsi Papua, 1,9%.. 

 

[10] SERBA-SERBI – VARIA

 

[a] Sekda Papua. Kita semua sedikit dikagetkan bahwa dua ‘Sekda Papua’ (Sekretaris Daerah) dilantik pada hari yang sama namun oleh pejabat yang berbeda. Satu di Jayapura oleh Gubernur, satu di Jakarta oleh Mendagri. Kenapa begitu, tidak terlalu jelas. Namun sekarang sudah jelas bahwa hal ini tidak punyai ‘ekor panjang’ karena Gubernur sudah memberitahukan bahwa beliau menerima Sekda, Dance Flassy, yang dilantik oleh Mendagri. Persoalan selesai[43].

 

[b] Perdagangan senjata dan amunisi. Bukan rahasia lagi bahwa terjadi perdagangan senjata oleh anggota TNI-Polri menjualnya kepada anggota TPNPB. Memang pihak Polri merasa sangat terganggu dan malu dengan kenyataan itu dan akhir ini cukup aktif mencari tahu siapa-siapa terlibat. Baru ini 5 anggota polisi ditahan sebagai terdakwa terlibat dalam transaksi-transaksi senjata[44].

 

[c] Hari perempuan seduniaHari Perempuan Sedunia (8/3) diberikan perhatian, juga di Papua. Akhirnya di pelbagai menjadi pengalaman pahit karena pertemuan, aksi, demo dibubarkan paksa (alasan: Covid-19); malahan 9 perempuan ditahan dan dibawa ke markas polisi[45].

 

[d] pulau Biak untuk peluncuran roket. Masyarakat Biak sangat marah dan protes, karena ternyata Presiden menawarkan pulau Biak kepada perusahaan milik Elon Musk untuk dijadikan tempat khusus peluncuran roket. Bukan manusia diutamakan, namun ekonominya! Sekitar 700 ha tanah kosong dibutuhkan untuk kegiatan ‘peluncuran roket’ itu. Ternyata sudah ada sejarah panjang, masyarakat Biak terus dipaksa untuk mengosongkan/menyerahkan tanahnya demi segala macam proyek ‘strategis’[46]

[e] PON di Papua ditunda. PON (Pekan Olahraga Nasional) yang semula direncanakan diadakan di Papua tahun 2020, namun ditunda karena Covid-19, disarankan ditunda lagi. Gubernur tidak mau suatu ‘pesta secara viral’; PON mesti menjadi pesta masyarakat secara fisik bertemu dan bergembira. Maka, sebaiknya ditunda lagi![47]

 

Jayapura, 17 Maret 2021



[1] https://en.antaranews.com/news/169050/platoon-commander-of-tembagapuras-armed-criminal-group-found-dead

[15] Diskusi diselnggarakan oleh Sekolah Teologia di Walter Pos, Sentani dnegan tema: “Apa ang sedang terjadi di Ingtan Jaya”, 9 aret 2021

[27] 12 NGO tersebut adalah Fransiscan International, Geneva for Human Rights, VIVAT Intenational, International Coalition for Papua, Asian Forum for Human Rights and Development (Forum Asia), Westpapua Netzwerk, TAPOL, the Commission for Justice, Peace and Integrity of Creation of the Fransiscans in Papua, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Commission of the Churches on International Affairs of the World Council of Churches, dan CIVICUS.

[32] https://news.mongabay.com/2021/03/2021-deforestation-in-indonesia-hits-record-low-but-experts-fear-a-rebound/

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.