Tuesday, March 2, 2021

PAPUA 2021 15-28 FEBRUARI (In Bahasa)

PAPUA  2021 15-28 FEBRUARI 

Oleh: Theo van den Broek 


[1] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI

[a] korban-korban baruBertambah korban lagi di Intan Jaya (15/2). Pagi hari seorang anggota TNI, prada Ginanjar, ditembak mati oleh TPNPB; dalam penyisiran kampung selanjutnya oleh TNI-Polri, dua warga sipil ditembak dan terluka[1]. Janius Bagau dan Frans Nambagani. Frans ditemukan didepan rumahnya dan masih dirawat di kampong. Janius diantar ke Puskesmas di Bidogai oleh dua temannya, Justinus dan Soni Bagau. Namun malam mereka ketiga tewas dalam kegiatan interogasi oleh TNI-Polri di puskesmas[2]. Amnesty International mendesak agar suatu penelitian independen diadakan berhubungan dengan peristiwa pembunuhan ini[3]. Selanjutnya terjadi kontak senjata (19/2) di wilayah tetangga, yakni di sekitar airport di Ilaga (Kab Puncak) mengakibatkan seorang TPNPB tewas[4]. Kotak senjata terjadi lagi  di Hitadipa (28/2) dan seorang TPNPB ditembak mati oleh TNI-Polri[5].

[b] tambahan pasukanPenambahan/penggantian pasukan terus berjalan[6]. Tidak ada tanda bahwa kehadiran pasukan akan dikurangi, walau sudah tentu pengoperasian tidak menyelesaikan masalahnya di Papua dan hanya menambah jumlah korban dan mengabadikan ketakutan masyarakat, hingga mengungsi dan takut pulang kampong[7].

[c] daftar penembakan: Dalam laporan Tim Kemanusiaan untuk Intan Jaya a.l. dimuat suatu gambaran frekwensi penembakan di Intan Jaya selama hampir satu tahun (Nov 2019-Sept 2020)[8]. Daftar ini memberikan data jelas mengenai perkembangan konflik serta kesengsaraan di Intan Jaya selama periode itu

[2] PENGUNGSI-PENGUNGSI di PAPUA

[a] pengungsi di Timika: Pertengahan Februari, para pengungsi dari wilayah sekitar Tembagapura, pusat PT Freeport, yang sejak bulan Maret 2020 dievakuasi ke Timika, akhirnya diizinkan pulang kampung (kampung Banti dll); sekitar 1.800 orang[9]. Walau mereka tiba kembali di tempat yang serba kosong, rusak dan kebun terlantar, mereka senang karena akhirnya ada lagi di tanahnya sendiri. Semuanya lebih baik daripada bertahan dalam suatu ‘rumah kos’ di Timika. Sementara mereka kehilangan 20 orang -karena sakit dan meninggal- selama kurun waktu pengungsian di Timika. 

 

[b] pengungsi di Intan Jaya : Pengungsian di wilayah Intan Jaya berjalan terus. Sebagian mengungsi ke tempat aman di wilayahnya, yakni kompleks gereja (sekitar 1.000 orang, kebanyakan ibu dan anak-anak), sebagian mengungsi ke Nabire[10]. Ketakutan terhadap kehadiran serta pengoperasian militer di kampungnya mendorong mereka meninggalkan segala apa demi menyelamatkan nyawanya. Ternyata Timika bukan pilihannya untuk mengungsi. Sudah tentu lokasi penerimaan para pengungsi mengalamai banyak kesulitan untuk membantu para pengungsi (makanan, peginapan dll) namun semua berupaya keras sekemampuannya untuk menerima sesamanya dengan hati terbuka. Salah satu penyeleneggara bantuan adalah Keuskupan Timika; pesawat dengan bahan makanan dapat dikirim ke Intan Jaya tgl 23 dan 24 Feb. (untuk bantuan: Bank Mandiri a.n. Keuskupan Timika, no. rekening: 154 001 371 49 97)

 

[3] OTSUS dan PEMEKARAN

[a] secara umum: Gambaran umum sekitar soal Otsus tetap sama dengan apa yang dilaporkan dalam laporan sebelumnya. Protes atas tindakan sepihak oleh Pemerintah Pusat makin kuat[11]. Dalam hal ini juga menarik mencatat aksi demo damai ribuan masyarakat biasa di Dogiyai (23/2) untuk menolak pemekaran di wilayahnya. Aksi ini diikuti ribuan orang, termasuk pegawai-pegawai, tokoh-tokoh adat dan agama[12].  

Sementara waktu instansi-instansi perwakilan resmi seperti MRP dan DPRP bersuara penolakannya dengan lebih lantang. MRP merencanakan menggugat Presiden dan DPR RI, meminta suatu ‘judical review’ (revisi hukum) proses revisi UU Otsus[13]. Menurut UU Otsus yang berlaku, pasal 77, suatu perobahan UU Otsus dapat diadakan atas usulan rakyat (melalui MRP dan DPRP) di Papua. Sebagian besar protes sekitar Otsus sekaligus merupakan protes lawan perencanaan pemekaran. Terutama sejak menjadi jelas bahwa Pemerintah Pusat ingin menghapuskan segala wewenang masyakarat serta pemerintahan Papua dalam soal penentuan pemekaran di Papua; pemerintah pusat mau menghilangkan isi pasal 76 melalui revisi UU Otsus. Isi UU Otsus, pasal 76:  “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”. Banyak masyarakat makin yakin bahwa kepentingannya sama sekali tidak mau didengar di pusat pemerintahan, dan bahwa segala perhatian terfokus pada pendekatan keamanan saja. Kesadaran ini dari satu segi membuat orang merasa tak berdaya, dari segi lain makin marah dan bersedia mengambil langkah. 

[b] dukungan Otsus, ‘hasil manipulasi’: Dalam suasana protes masyarakat banyak, muncul juga suatu kampanye yang ternyata direncanakan oleh pihak TNI-Polri yang mendorong tokoh-tokoh masyarakat untuk secara publik mendukung Otsus maupun Pemekaran. Dorongan ini snagat bertanda ‘manipulatif’, maka sangat tidak halal. Contohnya: Hans Mote, seorang tokoh masyarakat suku Mee, dipaksa oleh anggota TNI membaca suatu pernyataan atas nama para kepala suku Mee, yang divideokan, lantas diberikan 2 karung beras dan 2 karton mie karena jasanya[14]. Dukungan sejenis diluncurkan 13 kepala suku Wilayah Pegunungan Tengah[15].

[c] komponen Merah-Putih: Dalam rangka ‘kampanye dukungan’ juga penting untuk mencatat bahwa sejumlah organisasi ‘komponen Merah-Putih’ sempat berkumpul (19/2) dan merumuskan sikapnya. ”Komponen Merah-Putih” yang berkumpul terdiri dari: Yonas Nusi selaku Pimpinan Barusan Merah Putih (BMP) RI, Max Abner Ohee selaku Ketua MBP Papua, Yanto Eluay selaku Ketua Presidium Putra-Putri Pejuang Pepera (P5), Jan Christian Arebo selaku Ketum Pemuda Adat Papua, Nico Mauri selaku Ketua Dewan Paripurna Daerah (Deparda) Provinsi Papua, Hendrikus Eben Gebze selaku Masyarakat Tokoh Adat Papua Selatan, Jan Puraro selaku Ketum Gerakan Pemuda Jayapura, dan Rando Rudamaga dari DPP Forum Masirei. Pernyataan sikap berbunyi sbb[16]:

Kami Putra dan Putri Komponen Merah Putih RI di Papua,

1.     Berkomitmen menjaga kedaulatan NKRI bersama-sama TNI dan Polri dari Sabang sampai Merauke

2.     Tetap memberikan dukungan terhadap setiap keputusan pemerintah dimana, telah teragendakan pembahasan Revisi UU No 21 tahun 2001 … dan tetap menjaga hak-hak dasar Rakyat Papua yang diamanatkan dalam UU dimaksud

3.     Memohon kepada Presiden RI …, agar dapat membentuk Lembaga Independen Pengelola Dana Otonomi Khusus terpisah dari APBD

4.     Mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah pusat di mana telah menerima aspirasi masyakarat dari berbagai daerah, untuk ada kebijakan pemekaran Provinsi dan juga dapat diakomodir pemekaran Kabupaten Kota yang sesuai dengan dokumen usulan pemekaran yang telah ada

5.     Menyeruhkan kepada seluruh masyarakat Papua di mana saja berada untuk tidak terhasut dengan berita-berita yang berasal dari oknum atau pihak-pihak yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan anak bangsa dan memohon kepada Polri Indonesia, untuk bertindak tegas melakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

6.     Mendukung sepenuhnya TNI dan Polri untuk mengejar dan menangkap Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) yang telah membuat jatuhnya korban dari pihak sipil maupun TNI-Polri

7.     Mendukung pihak aparat penegak hukum agar menindak tegas pejabat atau siapapun … yang melakukan tindakan penyalahgunaan dana Otsus yang mengakibatkan kerugian Negara yang berumbas pada instablitas di wilayah Papua.”

[d] dari Menteri Keuangan: belum lama ini Sri Mulyani (Menteri Keuangan) menjelaskan bahwa selama 2002-2020 Papua (kedua pronvinsi) menerima Rp. 138,65 triliun (dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur-DTI). Sedangkan sebagai Dana Desa (TKDD) Papua (kedua provinsi) menerima 702,3 triliun selama 2005-2020. Dinilai dari hasilnya, dia mencatat: rata-rata penurunan tingkat buta huruf di Papua lebih baik dari nasional; rata-rata peningkatan tingkat umur harapan hidup lebih rendah dari nasional; rata-rata peningkatan akses air minum layak lebih rendah dari nasional; rata-rata akses sanitasi layak lebih rendah dari nasional; rata-rata indeks pembangunan manusia (IPM) di provinsi Papua lebih baik dari nasional, sedangkan di provinsi Papua Barat lebih rendah dari nasional[17].  

[e] dari Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) Polri: ada dugaan korupsi uang Otsus, jumlah sebesar Rp. 1,8 triliun[18]. Baik instansi di Papua (Kadepa-DPRD) maupun di pusat (Mahfud-Menkopolhukam) menyatakan bahwa korupsi itu perlu ditangani secara serius sampai tuntas[19]. Sementara juga diminta supaya keterangan mengenai jumlah korupsi ini lebih diperjelaskan: susunan angkanya, tahun berapa, instansi mana terlibat, di tingkat yang mana?[20] Dalam berita Baintelkam rincian belum diberikan.

[f] tidak ada evaluasi sebenarnya: (catatan TvdB) sementara waktu satu kesimpulan yang sangat menyedihkan adalah: sampai saat ini tidak ada suatu evaluasi yang memenuhi persyaratan ilmiah/ obyektif mengenai 20 tahun berjalannya Otsus di Papua. Maka, segala pembahasan, termasuk rencana revisi UU Otsus diadakan tanpa ada pemahaman mengenai apa yang sebenarnya sudah berjalan dengan baik dan apa yang tidak;  atau mengenai apa yang menghalangi Otsus menjadi berkat bagi masyarakat Papua. Maka, pertanyaan tepat adalah: berdasarkan apa mau merevisi UU Otsus?

[4] SOAL HUKUM /KEADILAN

 

[a] soalnya UU ITE: Salah satu fokus di bidang ini menyangkut rencana revisi UU ITE (Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Alasana: akhir ini banyak orang dilaporkan ke polisi oleh orang yang merasa namanya dicemarakan atau yang merasa terancam dst. Polisi dalam hal ini mengaitkan yang dilapor dengan pelanggaran terhadap UU ITE. Baik, namun kesulitannya bahwa dalam UU ITE ternyata ada banyak unsur artikel yang dapat ditafsirkan secara berbeda; maka, sangat longgar seperti ‘permen karet’, dengan demikian banyak orang mulai merasa takut bicara, apalagi memberikan kritik. Dengan kata lain: ada ancaman bahwa pembebasan pengungkapan opini akan terblokir[21]. Maka demokrasi sudah turut rusak sampai tidak ada. Rencana revisi ini dapat banyak pro dan kontra, walau kebanyakan memang sepakat bahwa UU ITE yang sekarang ada sangat tidak bagus, banyak juga mempertanyakan keseriusan Pemerintah untuk merevisikan UU ITE ini[22]. Sementara waktu diskusi berjalan Menkopolhukam sudah membentuk ‘tim kajian’ untuk mengusulkan apa yang sebaiknya diubah dalam UU ITE ini. Tindakan itu juga diragukan karena menunjukkan ketidakseriusan pemerintah[23]

 

[b] soalnya praktik penyiksaanmelanjutkan catatan dalam laporan sebelumnya (1-14 Feb), dan mengingat adanya kasus penyiksaan di Papua dan wilayah lainnya, ada desakan supaya UU Internasional mengenai konvenan penyiksaan diratifikasi oleh Indonesia[24]. Memang tidak berlebihan kalau kita ingat kasus di Intan Jaya dimana pendeta Yeremias disiksa sebelum dibunuh (19/9/2020); dan kasus ke-13 anggota KNPB yang ditangkap sambil dipukul habis-habisan di Merauke pertengahan Desember lalu; salah satu dari antara mereka, Kristianus Yandum, telah meninggal dunia (27/2). Dan kasus baru di Intan Jaya dimana 3 warga sipil tewas di Puskesmas Sugapa setelah disiksa selama diinterogasi oleh anggota TNI (15/2).

[c] soalnya UU Cipta Kerja: sebagaimana diketahui bersama UU Omnibus Law/Cipta Kerja sudah disahkan oleh DPR, walau sangat diprotes masyarakat. Lantas ditekankan bahwa sejumlah unsur protes masyarakat, secara khusus menyangkut dunia keburuhan, dapat diakomodir dalam perumusan ‘peraturan-peraturan turunan’ artikel-artikel UU Cipta Kerja. Sekarang sejumlah rumusan “PP turunan” sudah diketahui dan sekali lagi menimbulkkan banyak protes karena hak buruh kurang dijamin dan/ atau diindahkan[25]. Contohnya: soal pesangon, lamanya kontrak, dan putus hubungan kerja[26].

[d] penyelesaian kasus pelanggaran HAM: berulang kali pihak yang berwewenang didesak untuk menyelesaikan sekian banyak kasus pelanggaran HAM (di Papua: a.l. kasus Wamena, Biak, Wasior, Paniai, Abepura). Tetapi kebanyakan tidak pernah diselesaikan[27]. Dalam kerangka ini Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) membahas (21/2) kenapa hanya 3 kasus dari 25 kasus ‘pembunuhan luar hukum’ yang ditangani YLBHI - termasuk yang di Papua - akhirnya dapat maju ke pengadilan? Karena sering pelakunya adalah dari kalangan aparat polri/tni, maka ‘penegak hukum’ (polisi) bergerak lambat atau sama sekali tidak. Dua hal membantu untuk golkan prosesnya, yakni: [1] kasusnya terus diangkat di media umum, dan/atau [2] gerakan massal di wilayah kejadiannya (ada yang membakar kantor polisi; memang tindakan itu juga tidak dapat dibenarkan namun akhirnya membuat kasus ditangani sampai tuntas). Bahwa hak hidup terjamin dalam tata hukum negara kita ternyata tidak selalu menjadi jaminan dalam praktek penegakan hukum[28]. Akhir tahun lalu (30/12/2020) Presiden membentuk suatu Tim Khusus percepatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, yang terdiri dari 18 pegawai Kejaksaan Agung. Namun keberhasilannya belum kentara. Sedangkan menurut Kejaksaaan Agung ada dua halangan prosedur formal hukum karena ketidakjelasan dalam perundangan sendiri, a.l. tidak jelas peraturan mengenai kapan proses penyelidikan suatu kasus dapat dinyatakan selesai? Dan juga tidak jelas kapan suatu kasus dapat dihentikan atau dinyatakan tuntas[29]Cari alasankah????

[5] MENUJU ‘PAPUA TANAH DAMAI’

Melihat perkembangan, secara khusus penambahan intensitas pemakaian kekerasan, di Papua, makin banyak orang bingung dan bertanya: Papua mau dibawa ke mana? Jumlah korban bertambah terus, perwujudan program pembangunan yang positif sudah berhenti di tempat, pemerintah sipil tidak berfungsi, dan kesannya semuanya diatur dari luar tanpa melibatkan atau mendengar suara masyarakat Papua. Maka tidak mengherankan bahwa kiri kanan terdengar seruan supaya ‘strategi penyelesaian konflik di Papua’ perlu direvisi. Walau demikian juga ada pihak yang justru ingin menguatkan pengoperasian militer saja[30]. Strategi kekerasan adalah jalan buntu, dan hanya menambah kesengsaraan di Papua. Kesimpulan ini bukan saja didengar dari sejumlah tokoh di Indonesia, namun juga diangkat oleh pelbagai pihak di luar negeri[31]. Akhir ini juga suara pihak gereja terdengar dengan jelas. Baik Dewan Gereja Papua (DGP) maupun Pimpinan Gereja Katolik (para Uskup di Papua) mengadakan konperensi pers, masing-masing 19 Feb dan 25 Feb 2021, dan menerbitkan suatu pernyataan yang cukup panjang dan mendetil. Kedua-duanya mencari suatu solusi, suatu jalan keluar dari konflik kekerasan dewasa ini. Pernyataan dari DGP diberikan judul “Orang Papua Ibarat Monyet Dalam Taman Nasional Indonesia Berwilayah Sabang Merauke[32], sedangkan pernyataan Para Uskupberjudul “Mari Kita Mulai Lagi Bekerja, Bekerja, Bekerja!”[33]. Dalam kedua pernyataan terdapat suatu uraian mengenai keadaan di Papua yang ditandai rasisme, perpecahan, militarisasi, peremehan peranan pemerintah sipil setempat, pemakaian kekerasan pelbagai pihak, masyarakat yang terpaksa mengungsi, dan penderitaan besar masyarakat yang biasa yang tak berdosa. Kedua pihak gereja mengungkapkan kesedihannya maupun kemarahannya. Sekaligus kedua-duanya ingin menuju suatu suasana yang lebih baik dan bermartabat. Bagi kedua Lembaga Keagamaan ini dialog adalah satu satunya jalan yang tepat dan bermartabat. Dalam pernyataan DGP ditanya lagi dengan jelas, kenapa solusi yang pernah dibuka bagi Aceh – suatu perundingan terbuka yang didampingi mediasi internasional - tidak dibuka bagi konflik di Papua ini? Para Uksup mengharapkan suatu dialog dapat diawali dengan secara konkrit memulihkan kembali peranan beberapa instansi yang berotoritas, yakni: pemerintah lokal, polisi dan tentara. Mereka berpendapat bahwa sejumlah konflik menjadi lebih parah karena wewenang masing-maing pihak tadi tidak tepat lagi sesuai peranan serta wewenang yang secara resmi ada pada pihak mereka masing-masing. Menarik bahwa dalam hal ini Para Uskup  memakai sejumlah ketentuan dalam UU Otsus 2001 sebagai dasar pemulihan kembali itu. Tanggungjawab yang diuraikan dalam Otsus bagi seorang Bupati perlu dipulih kembali. Sekarang Bupati tidak kelihatan lagi, sedangkan dialah otoritas utama dalam wilayahnya; dia dapat dibantu oleh polisi, dan polisi masih dapat dibantu lagi oleh tentara. Struktur demikian perlu dihidupkan kembali guna menghindari bahwa Papua makin diatur oleh ‘pihak luar Papua’. Pemulihan kembali struktur otoritas serta tanggungjawab yang sebenarnya itu bisa menjadi awal suatu dialog yang konkrit dan praktis di tempat kita. Mungkin karena visi serta saran tadi pernyataan Para Uskup menekankan kata ’mulai bekerja’ dalam judul pernyataannya. Pokoknya, kedua pernyataan yang merupakan suatu seruan dari hati, sekaligus adalah dokumen kritis dan membangun, mencari suatu solusi. Sekarang tinggal menunggu sejauh mana para penguasa di Pusat Pemerintahan bersedia mendengar suara yang ihklas ini, dan bersedia membuka diri mulai merevisi ‘strategi maut’ yang sekarang ini dijalankan. 

[6] CORONA VIRUS

 

Selama beberapa bulan terakhir Covid-19 kelihatan makin berkembang. Lihat daftarnya dibawah:

Keadaan Provinsi Papua tgl. 28 FEBRUARI dibandingkan tgl 9 FEBRUARI 2021

 

COVID-19

Jumlah positif

Jumlah dirawat

Jumlah sembuh

Jumlah meninggal

Periode 28 Feb 2021

28/2/2021

9/2 /’21

28/22021

9/2

/‘21

28/22021

9/2

/’21

28/2

2021

9/2

/’21

Kota Jayapura

7927

7387

1035

905

6756

6355

136

127

Kab Mimika

4802

4356

498

415

4263

3903

41

38

Kab Jayapura

1103

1041

115

141

942

861

46

39

Kab Biak Numfor

1045

1012

40

118

956

854

49

40

Kab Merauke

721

606

125

180

556

396

40

30

Kab Jayawijaya

709

555

106

100

556

454

4

1

Kab Nabire

429

429

8

37

407

378

14

14

Kab Mappi

287

211

5

42

14

243

2

1

Kab Boven Digoel

278

245

12

54

263

189

3

2

Kep. Yapen

239

239

53

53

179

179

7

7

Kab Keerom

217

182

45

15

167

162

5

5

Kab Asmat

175

162

13

0

159

159

3

3

Kab Superiori

76

75

0

3

76

72

0

0

Kab Paniai

70

36

28

4

40

31

2

1

Kab Sarmi

31

31

8

8

23

23

0

0

Kab Tolikara

29

29

2

2

29

29

0

0

Kab Lanny Jaya

27

27

0

0

26

26

1

1

Kab Yalimo

15

15

0

0

15

15

0

0

Kab Peg Bintang

9

9

0

0

9

9

0

0

Kab Mambera-

mo Tengah

4

4

0

0

4

4

0

0

Kab Puncak Jaya

3

3

1

1

2

2

0

0

Kab Waropen

1

1

0

0

1

1

0

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

18199

16657

2131

11,7%

2100

12,6%

15715

86,4%

14248

85,5%

353

1,9%

309 

1,9%

 

 

 

 

Jumlah tes

111602

108338

[a] penggantian Kapolda Papua: Kapolri baru menghentikan Kapolda Papua, Paulus Waterpau, dan promosikannya menjadi Kepala Badan Intel dan Keamanan di Kepolisian[34]. Wakilnya di Papua menjadi Kapolda, yakni Mathius Fakhiri.

 

[b] seorang putri Papua menjadi duta besar: Fientje Suebu akan menjadi duta besar RI di Selandia Baru. Sekarang ini beliau berkarya di kalangan kementerian luar negeri[35].

 

[c] gubernur Papua rajin mendirikan bangunan fisik: gubernur Lukas Enembe sudah mewujudkan beberapa proyek bangunan fisik seperti Jembatan MerahGedung Negara dan Stadion Lukas Enembe. Baru ini terdengar bahwa beliau ingin membangun suatu kantor gubernur baru berlantai 22. Proyek itu menerima banyak kritik pedas. Lantas terdengar masih ada rencana untuk membangun ‘jalan lingkar LUKMEN’ di Jayawijaya[36].

 

Dalam ½ bulan terakhir: [1] Jumlah Infeksi total: naik 15%-lebih (rata-rata 100-lebih setiap hari); [2] beberapa wilayah mengalami kenaikan yang tinggi: Paniai, Mappi, Merauke, Jayawijaya, Jayapura dan Mimika. Tambah lagi bahwa Merauke tetap menunjukkan suatu persentase kematian yang sangat tinggi, yakni 5% lebih. Data tambahan pasien satu hari: dari 26 ke 27 Februari ada tambahan pasien sebanyak 90 orang; rinciannya: Jayapura Kota 41, Mimika 23, Mappi 8, Asmat 6, Jayapura Kabupaten 5, Jayawijaya 5, dan Merauke 2. Program vaksinasi mulai diterapkan di pelbagai wilayah, namun masih sangat terbatas.

 

[7] SERBA-SERBI: BERITA PENDEK VARIA


[d] kantor GKI klasis di Mimika: ada rencana dari GKI untuk membangun kantor klasis di Timika; bangunan ini akan dibantu oleh Pemerintah dengan  22 miliar[37].

 

[e] mahasiwa dari Yahukimo di Manokwari: ternyata ratusan mahasiswa yang berasal dari Yahukimo di Manokwari kesulitan perumahan; belum ada fasiltas asrama yang memadai[38].

 

[f] exploitasi Blok Wabu di Intan Jaya: secara resmi PT Aneka Tambang Tbk diberikan lisensi mengeksplorasi emas di Blok Wabu dalam koalisi dengan Pemda Provinsi Papua[39].

 

[g] menolak investasi miras: Presiden telah memberikan izin untuk investasi di bidang minuman keras (miras) di pelbagai wilayah, a.l. di Papua. Reaksi di Papua: jangan intervensi dengan politik lokal; kami menolak investasi demikian. Cabut izinnya[40]Berita CNN baru beberapa menit lalu: Presiden mencabut Perpres izin investasi miras (2/3).

 

[h] prolegnas prioritas: salah satu pegangan kerja bagi DPR RI selama satu tahun adalah daftar ‘prioritas pembahasan unsur UU nasional’ (Prolegnas)[41].

 

[i] perampasan tanah: ditengah segala berita mengenai konflik di Papua, menurut Yayasan Jerat jangan lupa bahwa salah satu sumber konflik di Papua adalah perampasan tanah[42].

 

[j] siapa berkuasa di Indonesia: ternyata ada tokoh besar dan berpendidikan tinggi, Prof Salim, yang tidak tahu lagi siapa berkuasa di Indonesia ini. Jokowi orang baik, namun siapa berkuasa?[43]

 

 

 

Bahan refleksi

REVISI UU OTSUS : SARANA KEBIJAKAN TOP DOWN 

Dalam pertemuan terbatas (11/9/2020), beberapa pengusasa (Menkopolhukam Mahfud MD, Mendagri Tito Karnivian, Ketua MRP Bambang Soesatya, Ketua Komite DPD RI Yorris Raweyai, perwakilan TNI-Polri) memutuskan akan ada pemekaran provinsi di Papua. Baik argumentasi resmi (konperensi pers) dibelakang keputusan ini dapat diragukan kebenarannya, maupun kesahan pengambilan keputusan oleh segelintir orang penguasa dinilai patut diragukan karena tidak menghargai peraturan UU Otsus yang berlaku, sekaligus meminggirkan pihak yang paling berkepentingan yakni bangsa Papua serta pemerintahannya. Tambah lagi bahwa Moratorium Pemekaran masih berlaku di Indonesia. Moratorium ini diberlakukan karena suatu penelitian ilmiah menunjukkan bahwa dari segala program pemekaran sampai 2014 hanya 27% dinyatakan berhasil, artinya menguntungkan masyarakat lokal. Ternyata 73% gagal dan cenderung memarginalkan masyarakat, secara khusus di Papua. 

Ternyata segala kritik atas pengambilan keputusan tidak dihiraukan para penguasa. Hal demikian dibuktikan lagi sesaat menjadi jelas apa yang Pemerintah ingin mengubah dalam UU Otsus melalui revisinya di DPR RI. Salah satu adalah ingin menghapus pasal 76 dimana tercatat  “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”. Dalam revisi diusulkan supaya diganti/dilengkapi dengan catatan bahwa “pemekaran dapat diputuskan dan dilaksanakan secara ‘top down’ dan tanpa persiapan [44], artinya dari atas ke bawah. Maka, suara pihak yang paling berkepentingan tidak perlu didengar, alias tidak punyai suara. Pihak yang berkepentingan itu diberlakuan sebagai obyek saja. 

Rencana penghapusan/perobahan pasal 76 ini membuat sangat jelas strategi yang dipilih sejumlah penguasa di Jakarta. Sebenarnya yang paling ironis adalah bahwa ‘strategi top-down’ dimuat dalam suatu dokumen yang sebenarnya ingin menjamin ‘otonomi khusus daerah’ Papua, artinya ‘meletakkan wewenang keputusan dalam tangan pemerintah wilayah’, atau namanya ‘desentralisasi’. Ternyata suatu ‘wewenang otonom’ hanya mau diberikan sejauh ‘tidak mengganggu strategi Jakarta’; dengan kata lain pesan sebenarnya adalah : tidak mau diberikan wewenang substantial  yang menentukan! Maka, Otonomi memang tidak ada artinya, dan hanya menjadi ‘bulan-bulanan bagi para penguasa’ saja untuk menjamin bahwa kebijakan apa saja akhirnya ditetapkan di Jakarta, dan di Jakarta saja. 

Kami betul merasa suatu shock menyadari bahwa begitu mudah suara ratusan ribu orang di Papua dinilai oleh pemerintah pusat ‘tidak laku’ dan dapat diabaikan saja, ‘tidak perlu pusing’. Gejala ini sangat memprihatinkan! Apalagi kalau dikaitkan pula dengan sejumlah kebijakan lain yang sekarang ini diterapkan di Papua, seperti [1] Keppres 9, Sept 2020, [2] peranan Kogabwilhan III, [3] pelestarian stigmatisasi, [4] kampanye pembelokan pendapat/kebenaran. 

[1] Keppres No. 9, Sept 2020. Isi Keppres itu pada daarnya suatu ‘denah biru’ pembangunan di Papua yang disusun suatu tim kerja antar-kementarian di Jakarta dan akan diterapkan sesuai ketetapan di Jakarta. Gayanya agak sama dengan UP4B (Unit Percepatan Pemebangunan di Papua dan Papua Barat) – zaman Presiden SBY. UP4B ternyata gagal total, secara khusus karena memarginalkan pemerintah setempat. Kemungkinan besar kegagalan ini akan terulang. Dalam penyususnan ‘denah biru’ itu sudah tidak ada keterlibatan orang Papua secara berarti. 

[2] peranan Kogabwilhan (Koordinasi Gabungan Wilayah Pertahanan). Ternyata ‘momentum rasisme 2019’ dipakai oleh Menpolhukam (Wiranto), bersama Kapolri (Tito Karnavian) – sekarang Menteri dalam negeri - untuk mewujudnyatakan suatu rencana yang ternyata sudah siap dilaksanakan, yakni pembentukan Kogabwilhan III yang berkedudukan di Timika. Instansi ini sekarang ini menentukan segala pengoperasian militer di Papua dan mendatangkan ribuan pasukan. Apalagi mengingat bahwa pimpinan Kogabwilhan III berpangkat lebih tinggi daripada kedua Pangdam di Papua, dengan sendirinya  wewenang kedua Kodam di Papua dikurangi secara signifikan, maka dimarginalkan.

[3] pelestarian stigmatisasi. Stigmatisasi orang Papua sebagai ‘separatis, tidak dapat dipercaya, malas, mabuk, bodoh dst’ selama tahun-tahun terakhir ini hanya diperkuat. Dalam banyak berita umum, banyak cerita hanya memperkuat stigma itu karena pemberitaan sama sekali tidak ‘seimbang’, alias berat sebelah. Contoh saja: gerakan pengungsian sekarang di Intan Jaya, sering hanya dikaitkan dengan ‘ancaman TPNPB’, sedangkan kita semua tahu bahwa salah satu alasan kuat bagi orang adalah tidak merasa aman karena pengoperasian militer di kampungnya. Akibat stigmatisasi: penambahan pasukan serta pengintensifan operasi militer di seluruh Papua makin ‘dilegitimasi’. TNI menjadi ‘serba-pengurus’ dalam kehidupan harian di Papua. Malahan di wilayah konflik (seperti Intan Jaya dan Nduga) pemerintah lokal tidak ada atau tidak dapat berfungsi.

[4] kampanye pembelokan pendapat/kebenaran. Berkaitan dengan unsur stigmatisasi juga perlu ditarik perhatian pada kampanye ‘pembelokan pendapat’. Satu contoh yang jelas adalah berita dari Hans Mote, salah satu tokoh suku Mee, yang menyatakan di video bahwa dia sangat mendukung kelanjutan Otsus dan pemekaran di Papua. Dari belakang dia memberitahukan bahwa dia dipaksa untuk membaca teks itu oleh oknum TNI yang menawarkan teks itu dan memberikan 2 karung beras dan 2 kotak mie kepadanya kalau dibaca dan direkam. Kemungkinan besar sama halnya dengan pernyataan 13 Kepala Suku dari Wilayah Pegunungan Tengah’ (yang lucunya semua ada di Keerom). Juga perlu menyebutkan pernyataan dari Komponen Merah-Putih yang mengambil sikap melalui perumusan tujuh pegangan kebijakan. Semuanya ini sangat membingungkan, hasilnya ramainya berita bohong, meningkatkan polarisasi, pemecah-belahan, dan dapat berujung konflik horizontal.  

Menguraikan secara singkat beberapa unsur penting diatas ini, sudah tentu kami sangat prihatin mengenai keadaan serta perkembangan di Papua ini. Semuanya kelihatan diatur tanpa ada yang bisa melawan, tidak ada ruang sejati untuk diskusi atau oposisi politik yang begitu penting untuk mencipakan satu demokrasi yang sehat. Tapi yang paling menyakitkan hati adalah bahwa semuanya ini tidak menyumbang pada suatu penyelesaian masalah di Papua secara martabat, sebaliknya memperparah permasalahannya. Sampai kapan perlu kita tunggu suatu revisi strategi penyelesaian permasalahan di Papua yang melibatkan segala pihak yang berkepentingan dan yang berlandasan suatu pengakuan martabat setiap orang, termasuk orang Papua?  

 

Jayapura, 1 Maret 2021

 

 

 

 



[8] https://en.jubi.co.id/list-of-violent-events-in-intan-jaya/ Intan Jaya conflict (6): Here’s the list of violent events from Dec. 2019 to Dec. 2020

[17] Jubi, 19-20, hlm. 3 

[20] Jubi, 22-23, hlm. 3 

 

[44] Catatan dari Kementerian Keuangan. Lihat: Jubi, 1-2 Maret 2021, hlm. 16


-----------------------------------------------------------

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.