Thursday, August 26, 2021

An epilogue in a book recently released by Pdt Yoman. Epilogue written by Theo van den Broek (In Bahasa)

 EPILOG

 ‘PAPUA BUKAN TANAH KOSONG’ 

dan 

‘GAYA PENGUASAAN di PAPUA’

 

Oleh Theo van den Broek[1]

 

Bagi siapa saja yang mengikuti perkembangan di Papua selama beberapa tahun terakhir ini, sudah tentu jelas bahwa di Papua terdapat suatu masalah yang sangat rumit dan yang mewarnai seluruh seluruh kehidupan sehari-hari orang Papua. Kenapa ada masalah? Dan kenapa masalah itu berkepanjangan dan kelihatan tidak dapat diselesaikan? 

Sebagian judul diatas dipinjam dari salah satu buku Memoria Passionis Seri No.37 (Jayapura: SKPKC Fransiskan Papua, 2019), “Papua bukan tanah Kosong”. Judul itu muncul di benak kami sewaktu mulai menulis kata epilog ini, karena inti masalah di Papua sebenarnya sudah terungkap dalam judul itu. Sudah terlalu lama banyak orang berpersepsi bahwa Papua inilah tanah kosong, ‘tanah tanpa tuan’, maka dapat diambil begitu saja. 

Memang tidak mudah sebagai orang dari luar untuk memahaminya. Bagi kami sendiri hanya secara pelahan-lahan kami mulai memahami isi pengalaman pahit yang membuat orang asli Papua gelisah, cemas dan berteriak. Proses pemahamannya memakan waktu sekaligus menuntut suatu keterbukaan serta keinginan jujur untuk hidup bersama secara betul. Melalui pergaulan bertahun-tahun kami sekarang dapat turut merasa dalamnya luka dan rasa sakit di hati orang Papua. Intinya, orang yang datang dari luar sering berpersepsi seakan-akan tanah Papua ‘tanah kosong’, ‘tanah tanpa tuan’, atau dengan kata lain, seakan-akan kehadiran serta hak-hak wajar bangsa Papua tidak perlu dihiraukan. 

Coba bayangkan. Mereka, bangsa Papua, selama ribuan tahun menghuni suatu bagian di dunia ini yang ternyata dikaruniakan kepada mereka sebagai tempat hidupnya. Mereka dapat memakainya untuk menjamin kelanjutan hidupnya secara pribadi dan sebagai kelompok, suku dan bangsa. Mereka bergumul dengan alam yang luar biasa mempesona sekaligus menantang dan kelihatan kadang-kadang mengancam. 

Mereka pelahan-lahan menempatkan diri di dalamnya dan akhirnya merasa betah di dalamnya. Mereka bersyukur atas tempat ini, merawatnya dengan baik sekali dan betul mereka merasa memiliki tempat ini, menjadi satu dengannya dalam suatu harmoni dengan alam semestanya. Merasa betah dan memiliki tempat yang indah adalah hasil suatu proses yang panjang, yang berjalan dari generasi ke generasi, dan akhirnya menjadi dasar kebanggaannya, tempat tinggal menjadi ‘honainya’. Sekaligus mereka sangat bersyukur atas ‘keibuannya’ tanah ini yang subur dan memberikan hidup terus-menerus, hingga menjamin keberlanjutannya hidupnya sebagai pribadi, kelompok, suku dan bangsa. 

Sekali sampai di situ terjadi sesuatu yang orang Papua memang kurang dapat mengerti, yakni, munculnya orang, bangsa lainnya, warna kulitnya berbeda, penampilannya yang berbeda, namun sama-sama manusia yang ternyata mengklaim bahwa mereka lebih berhak memiliki tanah ini. Lebih berhak mengelolanya, lebih berhak untuk mengaturnya dan membawa hasilnya. Tiba-tiba ada orang dari luar yang berlaku seakan-akan tanah Papua adalah tanah kosong, tanah tanpa tuan, yang begitu saja dapat diambil. Orang Papua kaget, merasa sangat aneh dan sewajarnya tidak setuju, namun ternyata ‘manusia lain yang masuk’ lebih kuat sampai dapat memaksa orang Papua untuk menerima bukan saja kehadirannya namun juga penguasaannya. 

Pengalaman orang Papua yang sangat mengganggu itu, kita semua tahu dari buku sejarah sebagai ‘pengalaman kolonialisme’. Dasar kolonialisme memang adalah keyakinan sejumlah bangsa bahwa ‘mereka sebagai orang yang lebih maju, lebih terdidik dan seterusnya’ juga lebih berhak, lebih pantas, dan lebih ‘manusia’ daripada ‘orang yang sederhana yang ribuan tahun mampu menjamin hidupnya sendiri’ dan mampu menjamin pelestarian alam semestanya. Aneh, namun nyata! Bukan saja orang Papua mengalami kenyataan demikian, namun juga orang Indonesia. Keduanya ternyata, dengan alasan kuat, tidak dapat menerima sikap itu, hingga berjuang hingga bebas dari segala penindasan itu. 

Sikap keangkuan kolonial demikian berabad-abad dinilai sebagai suatu kehebatan, suatu keberhasilan yang luar biasa. Keberhasilan para perintis dan penemu dunia, dibanggakan dan menjadi dasar peningkatan kesejahteraan ‘di kampung halamannya’, sedangkan ‘bangsa sederhana yang didatangi dimanfaatkan sebagai sarana peningkatan kesejahteraan bangsa asing itu. Itulah ‘gaya kolonial’ yang tidak jauh beda dengan ‘gaya rasis’ yang oleh para ilmuwan antropologi lazimnya dinamakan ‘etnosentrisme’. 

Artinya, semuanya dinilai dengan standar milik bangsa penguasa, dan dinilai sebagai peluang untuk meningkat keberadaan bangsanya sendiri tanpa menghiraukan nasibnya bangsa yang dikuasai. Dan mungkin yang paling mengherankan bahwa sikap keangkuan itu berabad-abad dinilai bagus, betul, adil dan sesuai dengan kewajaran kemanusiaannya. Pengalaman yang pahit adalah di sisi bangsa yang dikuasai; kesenangan dan kebenaran adalah di sisi bangsa penguasa.

Begitulah inti pengalaman awal bangsa Papua setelah wilayahnya, honainya, mulai didatangi ‘orang lain’. Dalam hal ini bangsa Papua mempunyai banyak teman bangsa lainnya yang mengalami hal yang sama, seperti para Aborigines di tetangganya, Australia, bangsa Maori di Selandia Baru, atau bangsa-bangsa Indian di benua Amerika. Menyebut beberapa saja. Mereka tidak diberikan ruang dan peluang, untuk menolak penguasaan itu, sekaligus kemanusiaanya disangkal, martabatnya diinjak. Sebenarnya bukan karena mereka tidak mampu; mereka sudah membukti selama ratusan tahun bahwa mereka sangat mampu untuk menghadapi tantangan banyak dan survive! Hanya memang gaya hidupnya lain daripada yang datang dari luar wilayahnya yang lazimnya hanya mengukur apa saja dengan standar mereka sebagai satu-satunya bangsa yang benar dan pantas menguasai bangsa lain. 

Pengalaman pahit ini, penolakan eksistensinya sebagai bangsa, mereka alami karena tindakan manusia lainnya. Mulai dengan para kelompok kolonial yang cari keuntungan melulumelalui proses pemaksaan pengintegrasian dalam Republik Indonesia di mana suaranya ditolak secara sistematis dan manipulasi referendum – Pepera– tahun 1969. 

Penolakan eksistensi itu juga dialaminya melalui kebijakan arus migrasi yang membuat bangsa Papua menjadi minoritas di tanahnya sendiri. Kebanyakan kursi di DPR Daerah diduduki orang dari luar. Pemerintah sipil yang dipimpin orang Papua mulai diambilalih oleh aparat keamanan. Mereka mengalami diskriminasi sosial serta marginalisasi karena pola pembangunan tidak didasarkan pada kepentingan orang Papua, pola ekonomi rakyat, namun berlandasan kepentingan ekonomis masyarakat luar. Bahkan, ketika mahasiswa Papua di pelbagai tempat di Indonesia mengalami tindakan rasis, seperti disebut ‘monyet’, yang terjadi antara lain di kompleks asrama mahasiswa di Surabaya, 16 Agustus 2019. 

Orang Papua mengalami tindakan tersebut dan negara tidak melindunginya dari serangan rasisme itu. Negara tidak mengejar para pelaku rasisme, melainkan mengejar para lawan politik di Papua dengan mengirim pasukan dan menangkap sejumlah pejuang damai orang Papua, serta tidak diberlakukan adil di depan hukum.Kenyataan demikian sangat nyata dalam segala proses penangkapan sampai dengan persidangan para tahanan politik selama periode serangan rasisme 2019-2020. 

Tindakan-tindakan serupa dihadapi oleh orang Papua dalam proses penentuan keberlanjutannya Otonomi Khusus (Otsus) dan rencana pemekaran wilayahnya. Para pejuang hak-hak bangsa Papua dikategorikan bukan saja separatis, namun, lebih parah lagi, teroris. Segala perjuangan untuk diakui hak-haknya yang wajar serta martabatnya akhirnya berujung pada penilaian negatif pihak penguasa yang disertai dengan tindakan kekerasan. Penilaian negatif ini juga dijadikan penentu persepsi masyarakat luas sambil membentuk pendapatnya terhadap ‘siapa orang Papua’. 

Perjuangannya orang Papua tidak pernah dibiarkan mendorong masyarakat di sekitarnya untuk berupaya memahami latarbelakangnya yang benar, sambil mengambil jarak dari segala stigmatisasi yang murah dan sangat meremehkan.  

 

***

Semuanya itu adalah ’sejarah manusia’, atau dengan kata lain ‘dunia ciptaan manusia’; bukan sesuatu yang terjadi karena ‘kekuasaan ajaib dari luar’, sebaliknya semuanya adalah hasil tindakan kita manusia sendiri. Dalam proses ‘distorsi penguasaan’ ini konflik makin parah, dan keparahan itu terungkap dalam arus perlawanannya yang makin nyata. Munculnya kubu-kubu, konflik vertikal dan horizontal, kekerasan, perang, pelabelan, termasuk pelabelan para pejuang Papua sebagai teroris. Sedangkan pihak penguasa menilai diri sendiri serba benar dan berhak. Dalam proses itu juga muncul ‘stigmatisasi’ yang kuat termasuk ‘stigmatisasi politik’ yang mempermudah dan ‘melegitimasi’ pihak penguasa untuk bertindak, seperti pemakaian kekerasan untuk menguasai situasi, sambil menyangkal masalah yang sebenarnya. 

Selama beberapa tahun terakhir ini gambaran peningkatan konflik sebagaimana dicatat secara singkat diatas makin berkembang. Seriusnya masalah secara khusus sangat terasa sewaktu bulan Agustus 2019, orang Papua secara publik dinilai sebagai ‘monyet’ (dan beberapa istilah hinaan lainnya). Akhirnya sikap rasis ini tidak direspons dengan melindungi korban rasisme itu, melainkan justru orang Papua dipersalahkan dan makin diorbitkan sebagai ‘orang separatis’ dan saat ini sebagai ‘teroris’. Pengorbitan demikian menjadi dasar untuk menambah pasukan terus guna menguasai kembali setiap sudut wilayah Papua. Tindakan itu tidak menjawab masalahnya namun justru menambah keparahan konflik sambil menghasilkan korban di segala pihak, termasuk pengungsian ribuan orang Papua. 

Begitulah inti pengalaman bangsa Papua selama wilayahnya mulai terbuka untuk dunia luar. Namun selama itu juga mereka tidak pernah kehilangan keyakinan bahwa mereka sebenarnya tidak boleh diberlakukan demikian karena mereka betul-betul adalah ‘tuan rumah di Papua’, dan mereka punyai harga diri sama dengan orang lain, di mana saja di dunia ini. Mereka siap menerima orang dari luar dan malahan menjamin hidupnya, apalagi bagi migran yang serba kekurangan, asal mereka, orang Papua sendiri, tetap diakui sebagai ‘pemilik tanahnya’, ‘tuan rumah di tanahnya sendiri’ serta ‘hak anak sulungnya

Harapan wajar orang Papua demikian ternyata tidak dinilai wajar oleh orang yang berniat menguasai wilayah yang sangat kaya ini. Di situlah letaknya segala konflik dan penderitaan selanjutnya.

Semuanya itu ‘perbuatan manusia’! Nah, karena kesalahan manusia, solusinya pun perlu diharapkan dari manusia yang sama. Dalam kesadaran ini akhir ini makin banyak suara terangkat yang menyeru supaya segala kekerasan dihentikan dan supaya akhirnya semua saling mendengar dan coba memahami dengan benar akar-akar permasalahannya, sehingga solusinya juga tepat. Sudah terbukti bahwa kekerasan hanya menciptakan kekerasanbaru dan tidak menyelesaikan apa-apa. 

Presiden dalam arahannya pertengahan Juni 2021, menyatakan bahwa ‘solusinya tidak dapat diperoleh dengan senjata dan letusan’, namun perlu dicari dengan damai dan martabat. Titik awal keterbukaan serta ‘political will’ ini untuk mencari suatu solusi yang damai dan bermartabat, hanya dapat diharapkan menjadi efektif kalau makin banyak orang, termasuk para petinggi di negara ini, mulai memahami betul latar belakang permasalahan di Papua dan bersedia membuang segala stigmatisasi; bersedia masuk ke dalam suatu ‘proyek bersama yang jujur’: mengakhiri konflik di Papua secara damai. Suatu dialog bersama yang sungguh-sungguh adalah satu-satunya jalan.

Hanya berdasarkan suatu ‘pemahaman bersama yang benar’ terciptalah ruang untuk duduk bersama, berhadapan satu sama lain dan mendengar suara hati masing-masing. Keyakinan itu perlu kita terjemahkan dalam sejumlah langkah konkrit berupa suatu intensifikasi upaya untuk memahami dan meningkatkan respek secara timbal balik. Upaya untuk menginformasikan diri secara kritis dan benar adalah salah satu kunci dalam proses penyelesaian masalah di Papua. Dalam uapaya itu kita dapat dibantu dengan penerbitan buku sebagaimana disajikan oleh Pdt Socratez Yoman bersama ini. 

Berdasarkan informasi dari dalam, pengungkapan isi hati orang Papua oleh orang Papua sendiri, kitadibantu meninggalkan simplisme, pembohongan dan kemasabodohan yang diciptakan oleh stigmatisasi. Dengan memahami secara benar, kita, termasuk semua orang dari luar, dibantu turut mendorong mencari suatu penyelesaian, bukan dengan senjata, melainkan melalui suatu kebersamaan yang bernilai tinggi. Yakni, suatu kebersamaan sebagai manusia yang semua seharga dan semartabat; atau dengan kata lain, sebagai manusia yang saling menghargai eksistensinya dan kesadaran akan wajarnya orang Papua memperjuangkan ‘hak kesulungannya’ di tanahnya sendiri.

 

Jayapura, 23 Juni 2021

Theo van den Broek

 



[1] Epilog ini ditulis sebagai catatan penutup pada buku yang ditulis Dr. Socratez S. Yoman, yang berjudul “Kami bukan  bangsa teroris”. Pustaka Larasan,  2021; ISBN 978-623-6013-24-3 

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.