Monday, August 2, 2021

PAPUA 2021 16-31 Juli (In Bahasa)

 PAPUA  2021

16-31 Juli

Oleh: Theo van den Broek

 

[1] POKOK PERHATIAN UTAMA

[a] Penyebaran infeksi Covid-19: Walau sudah menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 untuk Jawa-Bali mulai 7 Juli sampai dengan 20 Juli, ternyata jumlah kasus infeksi positif belum terlalu menurun; targetnya 10.000 kasus sehari pada tgl 20 Juli. Ternyata angka masih diatas 30.000-an[1]. Maka Presiden memutuskan penerapan PPKM level 4 diperpanjang sampai 2 Agustus. Sesudah itu mungkin diadakan suatu pelonggaran bertahap. Sementara masyarakat terus didorong untuk mengurangi mobilitasnya dan mencari vaksinasi. Ternyata semuanya tidak mudah dan banyak personil dikerahkan untuk memotivasikan masyarakat. Juga dianjurkan supaya selama perayaan Hari Raya Idul Adha (20/7) masyarakat tetap tinggal di rumah dan jangan sampai ’mudik lagi’. Walau demikian ternyata para penjaga tetap perlu membuat ribuan kendaraan ‘balik dan pulang’. 

TNI dan Bin dilibatkan secara massal. Tidak semua tindakan pemerintah disambut dengan gembira oleh masyarakat, apalagi karena sekali-kali masyarakat merasa dipaksa/diberlakukan secara tidak sopan alias brutal[2]. Dalam hal ini menarik juga bahwa Bambang Soesatyo, Ketua MRP RI, yang dua bulan lalu masih menarik perhatian besar karena menyatakan bahwa berkaitan dengan operasi aparat keamanan di Papua ‘soal HAM di Papua dibacara dari belakang saja’, sekarang ini menyerukan kepada aparat supaya ‘perspektif HAM diprioritaskan dalam tindakan penegakan hukum’.[3]

 

[b] covid-19 di Provinsi Papua: Di Papua sendiri suara untuk mengambil tindakan yang lebih tegas makin terdengar kuat, karena angka kasus meningkat terus dan tidak menurun selama minggu-minggu terakhir ini. Dalam rapat 24 Juli disimpulkan: 

·       Kasus covid-19 provinsi Papua: 31.601; kematian 704 (22 Juli 2021)

·       Penimgkatan luarbiasa selama minggu ke-2 Juni hingga minggu ke-2 Juli; angka kematian melonjak

·       Fokus penanganan, kendala saat ini: 1. protocol kesehatan (prokes) tidak berjalan baik; 2. mobilitas masih tinggi; 3. vaksin belum optimal

·       Sudah ada Covid-19 Varian Delta di Merauke

·       Kondisi RS di Jayapura, Kab Jayapura dan Kerom: segala tempat tidur dipakai (di atas 100%)

·       Sedang diusahakan membuka tempat perawatan yang baru

·       Tenaga Kesehatan (nakes) minim:  94 nakes positif termasuk dokter (jantung, paru, patologi klinik)

·       Kebutuhan 450-500 Tabung Oksigen; yang tersedia 350 tabung; perlu oksigen bertekanan tinggi

·       Plasma konvasalan dapat dilakukan di Papua; dokternya masih isolasi mandiri

·       Papua hanya memiliki 3 Ventilator; 5 pasien memerlukan Ventilator saat ini

·       TNI dan Kemenkes akan berupaya mengirimkan bantuan ke Papua secepatnya[4]

Juga wilayah di pedalaman seperti Wamena tidak luput dari ancaman covid. RSUP Wamena sudah penuh sesak[5].Ternyata juga sulit untuk memotivasikan banyak warga untuk divaksinasi. Ternyata beredarnya banyak mis-informasi sekitar vaksinasi yang membuat orang segan divaksinasi[6]. Katanya pemerintah kota Jayapura sudah memutuskan untuk mengadakan vaksinasi ‘dari pintu ke pintu’. Gubernur turut mendukung rencana itu dan meminta masyarakat Papua untuk “siap PPKM-level-4 selama satu bulan” (Agustus). Berhubungan dengan penyelenggaraan PON (Pekan Olah Raga Nasional) bulan Oktober 2021 mendatang, semua instansi mendorong untuk meng-vaksinasi semua warga dari kota Jayapura, Kab Jayapura, Timika dan Merauke (4 venue utama PON).

Keadaannya di provinsi Papua Barat sama memprihatinkan (infeksi: 18.027; kematian: 278); PPKM-level-4 sudah diterapkan baik di Manokwari maupun Sorong[7].

Secara khusus di Papua, keterlibatan TNI-BIN dinilai pelbagai pihak kurang bijaksana dan tidak akan meningkatkan semangat/kesiapan warga Papua untuk divaksinasi, mengingat bahwa kehadirian serta kegiatan TNI sering memunculkan rasa takut dan trauma pada sebagian besar warga asli Papua[8].

 

[c] Tsunami PHK ditakuti: sebagai akibat penyebaran covid-19 banyak orang di Indonesia mulai takut akan terjadi suatu tsunami Pemutusan Hubungn Kerja (PHK). Sebagian kalangan pengusaha sudah memberi sinyal soal ancaman gelompbang II PHK. Bahkan fenomena pemangkasan gaji sudah tidak terhindarkan dialami oleh pekerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Igbal, menyebut bahwa pemotongan gaji sudah terjadi sejak beberapa bulan lalu, kondisi makin parah setelah adanya penerapan PPKM level 4 ada beberapa kategori pekerja yang kena dampak[9].

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] korban tambahan. Sekitar 30 organisasi masyarakat sipil Indonesia mengecam perbuatan aparat negara yang melakukan tindakan kekerasan, penyiksaan dan apapun, yang merendahkan martabat seseorang, mengancam dan menghilangkan nyawa seseorang. Kecaman organisasi masyarakat sipil ini berkaitan dengan dugaan penembakan oleh oknum anggota TNI yang bernama Syarifudin, yang bertugas sebagai Babinsa Pos Ramil Asgon. Koramil 1707/Kepi kepada masyarakat sipil Papua bernama Yosep Kamogou Samogoi (26 th) di Kampung Kanami, distrik Asgon, Kabupaten Mappi (16/7). Korban sedang dirawat di rumah sakit daerah di Kepi[10].

Relevansi kecaman 30 organisasi ternyata sangat beralasan karena tiga kasus penganiayaan lain lagi dapat dicatat. Seorang warga, Nikolas Kemerai (46 th) di kampung Bariat, Kab Sorong Selatan dipukul dan ditembaki seorang anggota polisi (20/7). Alasannya karena anggota polisi yang bersangkutan telah drop 20 liter minuman lokal, Cap Tikus, pada Nikolas dan meminta menebang 2 pohon kayu besi. Sewaktu operator chainsaw datang, keluarga berkeberatan dan suruh operator pulang. Alasan buat anggota polisi, inisial OD, untuk datang memukul dan menembaki (5 peluru) Nikolas. Syukur Nikolas tidak terkena peluru, karena ternyata OD dipengaruhi minuman alkohol. Ternyata anggota polisi ini juga penjual minuman alkohol secara illegal[11].

Kasus kedua di Nabire (28/7) diman seorang, Nikolas Mote,  yang ingin berpartisipasi dalam pemilihan ulang Pilkada ditangkap dan dianiaya polisi karena bikin ribut di TPS[12].   

Kasus ketiga di Merauke, dimana seorang bisu wicara (tidak bisa bicara), Steven (18) yang berperang mulut dengan seorang pemilik warung, diperlakukan sewenang-wenang oleh dua anggota TNI AU, Serda Dimas Harjanto dan Prada Rian Febrianto (26/7). Mereka meringkus Steven dengan kasar, memaksa Steven tertelungkup atas trotoar, lalu menginjak kepalanya. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial semuanya ini direkam hingga ini ‘bukan hoax’, namun menggambarkan situasi riil. Video ini dapat perhatian nasional dan internasional hingga pelbagai instansi bereaksi, termasuk Kantor Presiden Jokowi[13] dan Komnas HAM. Kepala staf TNI AU Marsekal Fadjar Prasetyo telah meminta maaf secara publik kepada masyarakat Papua dan kepada keluarga Steven. Kedua anggota TNI AU akan dihkum sedangkan atasannya di Merauke dicopot dari jabatannya. Akun twitter milik Victor Mambor (JUBI) yang memuat video tadi, hilang 3 jam setelah video ini mulai beredar[14].

Setelah peristiwa “George Floyd” di Amerika (2020), dan kasus rasis (2019) di diharapkan bahwa para instansi yang berwajib sudah sadar akan sikap anggotanya dan sudah bertobat sampai mengutamakan martabat manusia dalam segala situasi. Minta maaf tidak menyelesaikan akar masalahnya. Kejadian ini menunjuk bahwa situasi di Indonesia tahun 2021 ini masih sangat memprihatinkan! Ini bukan kasus terisolir. ‘Hanya puncak dari gunung es saja’, sebagaimana dicacat oleh asiapasifikreport.nz[15]. Kasus baru ini dapat disaksikan seluruh masyarakat Indonesia melalui video dan mungkin akan membantu untuk lebih memahami kenapa banyak orang Papua berteriak dan menuntut haknya. “Kepala Sakit Steven adalah Kepala Sakit Kita di Papua”! (TvdB)

.

[b] penambahan pasukan: ternyata rencana pengiriman pasukan ke Papua sudah menjadi suatu kebiasaan. 450 Prajurit dari Batalyon Infanteri Raider Khusus 114/Satria Musara menuju ke Papua; 200 prajurit sudah diberangkatkan 26 Juli, sedangkan 250 lainnya akan menyusul 29 Juli 2021[16]

 

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA dan SUASANA WILAYAH KONFLIK

 

[4] OTSUS & PEMEKARAN DI PAPUA

[a] Pasal-pasal Siluman dalam UU Otsus 2021[catatan pendahulu: bagian ini saya mencatat dalam huruf italics karena bersifat campuran informasi fakta dengan unsur refleksi saya sendiri]

UU Otsus 2021 disahkan oleh DPR RI 15 Juli 2021. Produknya cukup kontroversial. Selain suatu penolakan total akan perpanjangan berlakunya Otsus, seperti disuarakan oleh Petisi Rakyat Papua (PRP) – 714.000 orang dan 112 organisasi diklaim tolak Otsus Papua[17] - ada yang memilih membuat aksi protes damai. Koalisi Cipayung Jayapura dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) se-Tanah Papua mendesak pemerintah Papua, baik MRP, DPRP dan Gubernur provinsi Papua membuat mosi tidak percaya kepada pemerintah pusat karena secara sepihak sahkan perobahan RUU Otsus Papua[18]. Suatu aksi demo di Sorong untuk menolak UU Otsus Jilid II diakhiri oleh pihak keamanan seperti biasa dan akhirnya 35 orang - termasuk dua anak - ditahan di Polres Sorong (19/7); akhirnya 34 dibebaskan sedangkan satu, Samuel Kogoya, masih ditahan untuk diperiksa lanjut[19].  

 

Gubernur Papua, Lukas Enembe, dalam tanggapan melalui jurubicaranya, Muhammad Rifai Darus, berharap, pemerintah pusat dan daerah bisa memiliki pemahaman yang sama terkait UU tersebut, sehingga tak ada perbedaan dalam penerapan aturan ini. Menurut jurubicara, Gubernur juga mencatat bahwa ada beberapa pasal dalam UU Otsus yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Papua untuk direvisi tidak diakomodasi. “Sekalipun demikian, Gubernur mengakui bahwa perobahan kedua atas UU Otsus tersebut secara parsial telah mengakomodasi sejumlah masalah krusial”, katanya[20]. Meski begitu, Rifai Darus mengatakan bahwa persoalan di tanah Papua masih belum selesai. Ia mengatakan perobahan terhadap 18 pasal dan penambahan 2 pasal baru di dalam RUU Otsus Papua belum berbanding lurus dan sesuai dengan harapan dan kebutuhan Pemerintah Daearh dan rakyat Papua. Rifai juga menyoroti aspek Politik, Hukum dan HAM yang ia nilai tidak mendapat porsi dalam perobahan UU tersebut. Padahal, ia menyebut desakan atas penyelesaian masalah politik, hukum dan HAM rutin disuarakan oleh berbagai kalangan dan merupakan hal yang urgen dan krusial[21].

 

Selanjutnya pelbagai pihak telah memberikan komentar kritis terhadap hasil pembahasan Otsus di DPR RI. Yang secara khusus disoroti adalah penambahan perobahan ‘last minute’ (pada titik terakhir persidangan) menyangkut 15 pasal yang diubah dan 2 pasal yang dihapus. Sorotan ini melengkapi penilaian kritis yang sudah berbulan-bulan mengiringi proses pembahasan UU Otsus ini. Seluruh proses pembahasan tetap dinilai tidak sesuai harapan rakyat Papua karena sepihak (“Jakarta punyai” ‘oleh dan untuk Jakarta’) dan menutupi diri atas dinamika demokrasi serta mengabaikan peraturan mengenai perobahan yang sebenarnya sudah ditetapkan dalam UU Otsus 2001, pasal 77

Suatu analisa secara hukum ditawarkan oleh Aliansi Demokrasi Papua (ALDP). Menjadi sangat jelas, bahwa revisi ini lebih mencerminkan ‘wajah Jakarta’ daripada ‘wajah Papua’. Kesimpulan sbb: [22]

1.     Masalah terpenting dari Otsus adalah kewenangan dimana pada perjalanan revisinya, pihak (OAP) yang mendukung Otsus, pada intinya menekankan soal pentingnya kewenangan yang lebih besar diberikan kepada Papua.  Namun menilik amandemen UU Otsus yang baru disahkan jelas bahwa kewenangan yang merupakan permintaan tertinggi dari OAP dan seharusnya menjadi ruh dari UU Otsus, justru makin hilang. Sebagian besar kewenangan ditarik ke pusat mulai dari pembentukan sejumlah Peraturan Pemerintah, pembentukan Badan Khusus, kewenangan pemekaran provinsi sampai juga terkait  dana Otsus.

2.     Amandemen ini menunjukan makin kuatnya ketidakpercayaan pemerintah terhadap pemerintah provinsi dan rakyat Papua. Aspirasi yang datang dari bawah tidak diakomodir karena dianggap membahayakan. UU Otsus menjadi kebijakan top down. Dengan demikian Otsus untuk Papua, diakhir sendiri oleh Jakarta melalui amandemen kedua ini.

3.     Budaya tutup mata dan tutup telinga yang dilakukan oleh pemerintah akan menjadi akumulasi kekecewaan dan kemarahan. Memicu konflik dan meluas,  tidak saja konflik vertikal dengan aksi massa atau aksi bersenjata tetapi juga konflik horizontal dengan  pemicu yang beragam dimana warga sipil lainnya menjadi sasaran (korban) kekecewaan dan kemarahan.

4.     Revisi Otsus seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk memahami Papua secara komprehensif selain aspek kesejahteraan yang selalu menjadi jargon, yang paling mendesak adalah menetapkan langkah konkrit untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua dan penegakan hukum yang non diskriminasi. Membuka ruang demokrasi, mendengarkan aspirasi rakyat serta memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi OAP dan warga sipil lainnya di tanah Papua.

Sikap pihak pemerintah pusat demikian mengakibatkan banyak kemarahan dan emosi di kalangan masyarakat Papua dan akhirnya berpotensi memperkuat gerakan “Papua tidak ada masa depan di Republik Indonesia”. Menurut Amnesty International Indonesia, hak-hak Orang Asli Papua (OAP) makin terancam dalam hasil revisi ini; misalnya melalui pasal 76 dimana ‘Jakarta’ dapat menetapkan pemekaran wilayah tanpa perlu lagi persetujuan dari MRP dan DPR Papua[23]. Tapi bukan di bidang itu saja; di masa lampau hak-hak OAP sangat tidak diindahkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Deforestasi pun berlanjut; antara 2000 dan 2009 laju deforestasi di Papua sekitar 60.300 hektar per tahun. Antara tahun 2013-2017, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektar per tahun[24]

Dalam hal ini juga judul komentar di Jakarta Post adalah signifikan “New Deal, Old Approach” (Kesepakatan Baru, Pendekatan Lama). Intinya terdapat dalam dua kalimat pertama, sbb: “Suatu keputusan unanim DPR mendukung revisi UU Otonomi Khusus Papua, minggu lalu, menunjukkan sekali lagi kecenderungan dari elit Jakarta untuk mendiktekan masa depan suatu wilayah tanpa menghiraukan seruan terus menerus untuk menghargai tuntutan lokal. Maka ‘kesepakatan’ ini, kemungkinan besar, tidak akan mengakhiri kekerasan di provinsi-provinsi kaya sumber alam itu, yang untuk sebagian besar adalah akibat dari penolakan Jakarta untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di masa yang lampau”. Kesimpulannya: “Selama pendekatan yang usang, pendekatan yang Jakarta-sentris, tetap dipertahankan, damai dan kesejahteraan Papua tetap tidak akan terwujud”.[25]

 

Menurut Wakil Ketua Komnas HAM, Amuruddin UU Otsus ini mungkin bisa saja membawa transformasi perlahan di Papua (21/7). Namun, Bumi Cenderawasih saat ini butuh perobahan segera “Kekerasan ini mesti dihentikan, saya membayangkan undang-undang hasil perobahan ini memang memberi modalitas negara atau pemerintah untuk tangani atau menghentikan kekerasan, walau dalam ini kita belum dapat kejelasan akan dibuat seperti apa”, katanya. “Fakta tentang situasi konflik bahkan logika dari kekhususannya tidak pernah dibicarakan secara mendasar”.[26]

Pada kesempatan lainnya Amuruddin mencatat pendapat kritisnya mengenai penyusunan Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3) di mana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dijadikan anggota. Ia menilai bahwa Bappenas tidak terlalu memperhatikan aspek hak asasi manusia dalam perencanan pembangunan. Bappenas justru sangat teknokratik dengan mengutamakan statistik dan jumlah, maka dia mempertanyakan apakah BK-P3 nantinya akan berjalan dengan instrumen HAM dalam mengawasi program pembangunan[27].

 

Sebenarnya susunan BK-P3 tidak beda jauh dengan Badan yang sudah ditetapkan oleh Presiden bulan September 2020 yang ditugaskan untuk menyusun rencana pembangunan di Papua. Badan itu maupun BK-P3 diketuai Wakil -Presiden dan keanggotaan diisi dengan pejabat-pejabat kementerian di Jakarta sedangkan untuk Papua diberikan ‘satu kursi’ kepada masing-masing provinsinya. Kedua badan sangat dominan ‘Jakarta punyai’ dan keduanya dibiayai dengan memanfaatkan dana Otsus. Berhubungan dengan BK-P3, ALDP mencatat dalam analisanya: “Badan ini akan menjadi sumber masalah baru, mulai dari penganggarannya, peran dan tugas hingga koordinasi dengan lembaga lainnya. Birokrasi akan menjadi rumit, makan waktu dan tidak efektif. Dikhawatirkan juga jika badan ini  akan menjadi ruang pertarungan bagi elit-elit Papua”.

 

Kritik demikian sekarang dilengkapi dengan suggesti kuat bahwa ada ‘pasal-pasal siluman’ dalam UU Otsus 2021[28]. Kecurigian ‘pasal siluman’ muncul sekitar ‘last minute’ paket tambahan pasal yang diubah diluar yang tiga yang dijadikan fokus pembahasan selama tujuh bulan. Secara khusus perhatian ditarik ke pasal 7 dimana secara tidak langsung pemilihan Gubernur dan wakilnya dapat dipilih oleh DPR Papua; bukan lagi oleh warga. Ditanyakan: “Kenapa disini DPR (Papua) mengusulkan pengangkatan dan pemecatan, artinya ke depan gubernur dipilih DPR (Papua), bukan warga”.[29] Apakah tidak bertentangan dengan perundangan pemilihan yang sedang berlaku? Kenapa perobahan ini khusus untuk Papua? Latarbelakangnya apa? 

Tidak kurang mengherankan adalah fakta bahwa pasal 28 dalam UU Otsus 2001 yang mengatur peluang untuk membentuk ‘partai politik lokal’ begitu saja dihapus dalam UU Otsus 2021[30].

 

Kedua contoh (pasal 7 dan 28) ini adalah bagian dari ‘last minute’ paket perobahan, yang, menurut Mendagri, ditambah untuk menunjukkan bahwa pemerintah pusat terbuka untuk mengakomodasikan saran-saran yang disampaikan oleh pelbagai pihak[31]. Kesan kuat bahwa ‘last minute paket’ ini disetujui dalam persidangan paripurna DPR RI tanpa pembahasan yang sewajarnya dan/atau tanpa mendengarkan segala pihak yang berkepentingan; kesannya bahwa begitu saja diangkat dan disetujui! Entah kenapa? Mungkinkah semua anggota DPR RI begitu saja mengikuti anjuran Ketua Pansus PDR RI, Komarudin Watubun, yakni “lebih cepat lebih baik, tergantung kesepakatan kita. Hukum tertinggi dalam demokrasi Pancasila itu ada kekeluargaan”[32]. Retorik demikian memang tidak membantu – to say the least - untuk menghasilkan suatu produk yang berkualitas dan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ternyata bobot produk pembahasan kurang diprioritaskan lagi. Hasilnya: suatu produk yang patut dipertanyakan kualitasnya, termasuk kualitas hukumnya, maka dinilai perlu dkirim ke Mahkamah Konstitusi untuk ‘revisi juridis’ (judicial review)[33].

 

Gugatan berupa suatu ‘revisi juridis’, Majelis Rakyat Papua (MRP) sudah serahkan pada kepada Mahkamah Konstitusi di Jakarta (20/7). MRP menggugat sejumlah unsur prosedur – semuanya sekitar kenyataan bahwa masyarakat Papua tidak didengar sepatutnya. Apalagi menyangkut hal prinsip dan hukum seperti peluang dalam UU Otsus 2021 bahwa gubernur dan wakilnya dapat dipilih oleh DPR Papua. Atau yang berkaitan dengan sasaran penggantian model DPR Kab/Kota dengan pembentukan institusi perwakilan gaya lain dimana 25% dari kursi Dewan Perwakilan akan dikhususkan untuk orang Papua asli melalui proses penunjukan; dari ‘kuota kursi tunjukan’ 30% perlu diberikan kepada perempuan [34].

 

JDP-LIPI (Jaringan Damai Papua Bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menyarankan supaya pemerintah meng-follow-up pengesahan UU Otsus 2021 dengan beberapa langkah yang penting, berupa [a] sosialisasi, [b] pendampingan, [c] evaluasi, dan [d] komunikasi.”Penting bagi pemerintah untuk menjelaskan(alasan) penambahan pasal, perobahan pasal, hingga penghapusan pasal agar tidak memunculkan kesalahpahaman”, kata seorang koordinator JDP-LIPI. Hal itu merupakan tindakan utama yang harus dilakukan mengingat minimnya keterlibatan orang-orang Papua dalam proses revisi UU Otsus. Bentuk pendampinganimplementasi juga perlu dijelaskan, lengkap dengan penjadwalan dan sasaran-sasaran yang mau dicapai. Sedangkan evaluasi perlu dijalankan bersama: orang-orang Papua bersama instansi pemerintahan. Dan yang keempat, perlu membuka ‘ruang untuk berkomunikasi’; banyak hal di masa lalu, termasuk UP4B -Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat-, gagal total karena pemerintah tidak berkomunikasi. Dengan membentuknya Badan Khusus Percepatan Pembangunan Papua (BK-P3) – suatu badan baru untuk mengawal implementasi Otsus II - diharapkan bahwa ‘ruang berkomunikasi’ betul diciptakan hingga efektivitas pembangunan dapat terjadi.[35]

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, turut mengangkat kepentingan mengutamakan soal berdialog itu: “pemerintah semestinya membangun dialog untuk mengatasi persoalan yang ada, termasuk menemukan solusi yang berbasis kebutuhan dan aspirasi rakyat Papua”. [36]

 

Akhirnya mau menyimpulkan apa? Sudah tentu revisi UU Otsus tidak menyelesaikan konflik di Papua. Malahan sebaliknya, revisi UU Otsus hanya cenderung mempertajam konfliknya. Alasannya? Disamping lima catatan kritis yang kami catat dalam laporan sebelumnya, yakni: [1] tidak ada evaluasi; [2] gugatan di MK diabaikan; [3] sabotase mendengar suara rakyat; [4] penolakan masal Otsus oleh rakyat; dan [5] penyangkalan kebebasan ekspresi [37], dapat ditambah [6] peranan Perwakilan Rakyat baik DPRP maupun DPR RI yang tidak efektif dan tidak sesuai inti penugasannya, yakni mewakili rakyat yang memilih anggotanya. Ternyata tidak ada faktor oposisi yang sehat dan kritis -ikut garis kepentingan pemerintah saja- dan malahan tanggungjawabnya untuk menyediakan perangkat hukum (UU) yang berbobot diabaikan. Alangkah baiknya reses berikutnya kedua instansi perwakilan ini memakainya untuk mengevaluasi peranannya, berefleksi dan -harapan kami- bertobat. 

 

Kita memang semua diajak untuk memanfaatkan UU Otsus sebaik-baiknya. Ajakan itu boleh saja, namun tidak berarti bahwa kita semua perlu diam dan menelan saja produk yang kurang berbobot ini. Sementara waktu kalau memang pemerintah pusat serius dan ihklas dalam niat untuk menyelesaiakan konfliknya di Papua, marilah pemerintah mengambil langkah-langkah berikut: 

[1] dialog yang sejati dan terbuka dimulai tanpa ditunda. Dialog yang dimaksud mesti sistemtais, komprehensif, inklusif dan terarah; bukan gaya dialog yang disuggesti oleh Menkopolhukam, Mahfud MD, dalam komunikasinya dengan para pejabat tinggi luarnegeri, dimana dia menyatakan bahwa dialog sudah dijalankannya; ‘dialog gaya Mahfud’ tidak lain daripada pertemuan insidentil dengan sejumlah tokoh saja; sudah jelas bukan itu yang akan menyelesaikan permasalahan; 

[2] kedua pihak, TPNPB dan TNI/Polri, yang saling berperang, diajak/diperintahkan menghentikan segala kekerasan, sekurang-kurangnya sementara waktu; menciptakan suatu ‘jeda kemanusiaan’ 

[3] memberikan ruang luas kepada suara rakyat, termasuk kebebeasan ekspresi pendapat dan opini sesuai UUD Negara Indonesia, sambil menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan stigmatisasi, termasuk pelabelan teroris; 

[4] membina kader pemerintah lokal hingga lebih dibekali untuk menjalankan secara aktif dan kreatif peranan serta program pemerintahan otonom Papua; maka, peranan pemerintah otonom demikian tidak jadi diambil alih oleh pemerintah pusat, entah secara langsung entah melalui badan manapun.  .

Langkah-langkah awal ini sangat dibutuhkan dengan urgen untuk berespons pada situasi yang serba subur konflik di Papua dewasa ini (TvdB).

 

[5] SOAL HUKUM /KEADILAN

[a] KPK melaporkan Greenpeace: ternyata Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan Greenpeace pada polisi. Alasannya, karena Greenpeace, selama protes kebijakan KPK berhubungan pelaksanaan ‘tes wawasan kebangsaan’ (TWK) -lihat laporan kami bulan Juni Item 10 [b]- Greenpeace memakai laser untuk memproyeksi teks di Gedung KPK yang berbunyi Berani Jujur Pecat. Menurut KPK gaya itu membuat suasana di KPK tidak nyaman lagi, maka KPK tidak setuju. Apalagi aksi protes tidak ada izin dari pihak yang berwenang[38].

 

[b] peranan Ombudsman di Indonesia: yang menarik untuk dicatat adalah peranan Ombudsman di Indonesia. Sudah beberapa kali terjadi bahwa sesaat masyarakat merasa tidak didiperhatikan sewajarnya oleh instansi-instansi yang berkaitan permasalahannya; maka, Ombudsman menjadi tempat pelariannyaJuga para korban kebijakan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan  rencana pemecatan sejumlah staf (75 orang), memilih jalan itu. Mereka terancam dipecat karena tidak lulus suatu tes, yakni Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Selama ini sudah menjadi jelas ada dugaan kuat bahwa seluruh proses testing itu direkayasa supaya sejumlah staf kritis/independen di KPK dapat disingkirkan. Para korban mencari bantuan Ombudsman yang akhirnya membuka laporan hasil pemeriksaannya. Dalam laporannya disampaikan bahwa lima pimpinan lembaga lembaga negara melanggar prosedur pembentukan peraturan KPK dalam soal TWK. Lima lembaga yang dimaksud: Badan Kepegawaian Negara (BKN), Lembaga Administrasi Negara (LAN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB).[39] Maka, Ombudsman menyarankan supaya semua instansi terkait memperbaiki keadaan ini dan mengambil tindakan kearah penyelesaiaan yang tepat[40]. Sejumlah instansi telah menyambut hasil pemeriksaan ini dan mendesak instansi-instansi berkewajiban untuk menyelesaikan masalah ini. 

Syukurlah, masih ada instansi seperti Ombudsman, yang siap mendengar suara masyarakat dan berani kritis dan syukurlah kewibawaannya makin diakui[41]. (TvdB)

 

[6] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYAT di PAPUA

 

[7] LINGKUNGAN, DEFORESTASI, INDUSTRI PERKEBUNAN

[a] Korindo menanggapi tindakan oleh FSC: sebagaimana kami sudah laporkan dalam laporan sebelumnya, Forest Stewardship Council (FSC) mencabut status ‘keberlanjutan’ perusahaan Korea, Korindo . FSC juga akan mengakhiri perizinan perdagangan (trademark licences) Korindo dengan FSC, mulai October 2021. Dalam tanggapannya Korindo mengungkapkan bahwa pencabutan merk perdagangannya oleh FSC akan ‘sementara waktu’. Mereka akan bekerja sesuai petunjuk FSC untuk memperbaiki situasi. Untuk mencapai itu suatu ‘roadmap’ sudah disiapkan dengan sasaran-sasaran yang spesifik yang dapat diverifikasi oleh suatu pihak ketiga yang independent dan tidak memihak[42].  

 

[b] mulai sadar akan bahaya perobahan iklim: sampai saat ini perobahan iklim sebenarnya kurang diangkat dalam kebijakan pemerintah. Maka, cukup penting untuk mencatat ungkapan dari Menteri Keuangan, Sri Mulyani, “Climate change adalah global disaster yang magnitudenya diperkirakan akan sama seperti pandemic covid-19”. “Sama seperti pandemic, tidak ada negara yang bisa escape atau terbebas”.[43] Presiden Amerika, Joe Biden, juga turut memperingatkan hal ini pada Indonesia[44].

Tapi ada beda: covid-19 itu muncul tanpa peringatan, sedangkan mengenai musibah ‘perobahan iklim’ sudah diberikan banyak peringatan. Kami berharap bahwa kesadaran ini akan juga terungkap dalam sejumlah kebijakan pemerintah, secara khusus menyangkut lingkungan dan deforestasi. (TvdB)

 

[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

Menghindari panjangnya laporan ini, untuk langkah menuju damai di Papua lihat saja sejumlah catatan dalam kesimpulan di bagian [4] Otsus, paragraph paling akhir. Yang dibutuhkan adalah langkah-langkah sekitar empat pokok: [1] dialog yang betul, [2] stop kekerasan, [3] kebebasan mengungkap pendapat, dan  [4] pemberdayaan pemda Papua. (TvdB)

 

[9] GERAKAN POLITIK PEMERINTAH PAPUA & PAPUA BARAT

[a] Gubernur mengusulkan calon pengganti wakil gubernur Papua: Juru bicara Gubernur Papua mengatakan Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Papua sudah mencalonkan Wakil Ketua DPR Papua, Junus Wonda, sebagai kandidat wakil gubernur. Koalisi partai pendukung Gubernur, namanya Koalisi Papua Bangkit masih berhak untuk mengusulkan seorang kandidat tambahan, lantas diserahkan kepada DPR Papua untuk dipilih[45]. Partai Golkar mengusulkan a.l. pencalonan mantan kapolda Papua, Paulus Waterpauw[46].

 

[b] rencana kantor baru gubernur dipertanyakan: Gubernur tetap ingin membangun kantor gubernur yang baru berlantai 10.  Rencana ini makin dipertanyakan dan membuat orang makin sinis dalam menilai berfungsinya pemerintah provinsi Papua dewasa ini. Di tengah segala macam masalah yang luarbiasa, termasuk Covid-19, gubernur hanya dapat memikirkan pembangunan gedung yang bergengsi. Gubernur, melalui jurubicaranya, menyatakan bahwa rencana pembangunan ini sudah disetujui Mendagri dan anggaran pun sudah disetujui yakni 400 M. Maka, sewajarnya dibangun saja, mulai sekarang ini[47].

Memang ada cukup banyak alasan buat warga Papua untuk mulai mempertanyakan kebijakan Gubernur dkk. Selama ini kita semua paling sibuk dengan bukan saja soal Covid-19, namun juga dengan konflik kekerasan, soal pengungsi, miskinnya pelayanan pendidikan dan kesehatan, pengabaian peningkatan ekonomi rakyat dst. Dalam situasi semacam ini kita semua mengharapkan bahwa pimpinan pemerintah provinsi mengambil peranan aktif dan kreatif dalam memajukan program-program kemanusiaan. Semua rencana gedung-gedung hebat bisa ditunda saja, apalagi kantor gubernur lama selama periode pertama Gubernur Lukas Enembe terus direhab sampai dengan pagarnya hingga menuntut biaya besar. Kantor yang ada sangat luas, tinggal dipakai dan dirawat saja semestinya. Bagaimanapun juga, program kemanusiaan perlu dijadikan prioritas utama karena sangat urgen, dan mengalahkan nilai segala kesibukan lainnya, termasuk pembangunan gedung bergengsian. Malahan banyak suara di media sosial sudah mulai menyuarakan keprihatinannya dengan misalnya pelenggaraan PON. Kesannya bahwa acara itupun diutamakan diatas keprihatinan kemanusiaan. Gubernur dkk/Pemda provinsi Papua mau membawa Papua ke mana? Melihat isi kesibukan Gubernur saat ini, pertanyaan ini bukan tanpa alasan kuat. (TvdB)

 

[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA

[a] sekitar pemberantasan korupsi: potongan hukuman bagi Joko Tjandra dan Pinangki Sirna Mafasari mengenapi musim obral vonis ringan perkara korupsi belakangan ini. Tahun lalu 760 terdakwa kasus korupsi divonis di bawah 4 tahun penjara. Sebanyak 66 terdakwa bahkan divonis bebas atau lepas dari hukuman. Dalam dua tahun terakhir ini, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung pun memangkas hukuman bagi seratus lebih terdakwa, termasuk pada kasus korupsi kakap yang mendapat sorotan masyarakat. Kemunduran nyata seiring dengan pelemahan KPK[48].

 

[11] CORONA VIRUS

Infograf – perbandingan antara situasi di Papua tgl 13 Juli dan 29 Juli - memberikan gambaran sbb:

 

COVID-19

Jumlah positif

Jumlah dirawat /

Jumlah sembuh

Jumlah meninggal

 

Satu hari 

kumulatif

isolasi

 

 

 

 

 

Situasi Provinsi Papua

29/7

/’21

29/7 /’21

13/7 2021

29/7 /’21

13/7 2021

29/7 /’21

13/7

2021

29/7 

/’21

Kota Jayapura

132

11500

655

1765

9188

9506

184

229

Kab Mimika

43

8441

664

990

6694

7331

68

120

Kab Biak Numfor

15

2544

777

1132

1164

1291

76

121

Kab Jayapura

97

2502

390

716

1293

1701

65

85

Kab Merauke

38

1929

449

332

1109

1465

88

132

Kab Jayawijaya

16

1580

206

370

1062

1193

7

17

Kab Mappi

35

1146

107

226

755

913

6

7

Kep. Yapen

58

1019

53

363

179

628

7

28

Kab Boven Digoel

31

985

101

303

431

669

6

13

Kab Asmat

10

780

202

237

294

535

4

8

Kab Nabire

0

763

195

81

381

639

13

43

Kab Keerom

0

491

64

172

231

289

13

21

Kab Paniai

0

304

76

114

98

184

5

6

Kab Superiori

9

237

42

64

83

173

0

0

Kab Tolikara

6

167

43

67

53

100

0

0

Kab Puncak Jaya

4

129

1

37

2

91

0

1

Kab Lanny Jaya

0

119

0

30

26

87

1

2

Kab Peg Bintang

0

39

0

19

11

18

0

2

Kab Sarmi

0

31

0

0

31

31

0

0

Kab Yalimo

0

15

0

0

15

15

0

0

Kab Mambera-

mo Tengah

0

4

0

0

4

4

0

0

Kab Waropen

0

1

0

0

1

1

0

0

Total 

494

34726

4022 14,4%

7018

20,2%

23434 83,6

26873 77,4%

563 

2,0%

835

2,4%

 

 

 

 

Jumlah tes

144591

 

Diwanai biru: artinya, entah tidak ada perobahan, entah tidak ada data. Bandingkan jumlah infeksi 22 Juli 2021: infeksi 31.601 & kematian 704, dengan angka seminggu kemudian, 29 Juli 2021: infeksi 34.726 & kematian 835. Beda infeksi 3.125 -459 per hari- & kematian 134 -19 per hari!!!

 

[12] SERBA-SERBI – VARIA

[a] sisa orang asli di Port Numbay: ketua Pemuda Adat Port Numbay, Kota Jayapura, Rudi Mebri. Khawatir akan keberlansungan suku-suku asli di ibu kota provinsi Papua(29/6). Ia mengatakan hasil penelitian pihaknya bersamaYayasan Konsultasi Independen Rakyat (KIPRA) Papua pada 2014 silam, populasi orang Port Numbay hanya sebanyak 9.456 jiwa. Menurutnya, jumlah ini sudah termasuk orang Port Numbay yang berada di daerah lain di Papua, di luar Papua, dan di beberapa negara. Katanya, diprediksi 25 tahun mendatang orang asli Port Numbay akan semakin minoritas. Jumlah mereka dalam setiap kampung diperkirakan hanya akan berkisar lima orang. “[Begitu juga dalam berbagai posisi], posisi pemerintahan kah, swasta kah, maupun apapun, hanya lima dan itu sangat sulit [bagi kami],” ujarnya[49]Mungkin berkaitan dengan ‘seruan hati’ tadi, dari pihak wali kota disampaikan (16/7) bahwa 80% jabatan pemerintah kota diisi anak Port Numbay[50].

 

[b] jumlah orang miskin di Indonesia:  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Maka, sekitar 10% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia[51]Di Papua jumlah orang miskin sekitar 27% dari jumlah penduduk di Papua. (TvdB)

 

[c] Komnas HAM menanggapi ungkapan rasis Menteri Sosial: pernyataan Menteri Sosial, Tri Rismaharini, yang mengancam pegawainya dipindahkan ke Papua sempat ditanggapi Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan “Papua bukan tanah kosong, bukan tempat pembuangan dan penghukuman bagi yang dianggap tidak bisa bekerja. Papua setara dan sederajat dengan daerah lain di Indonesia”. Menurutnya pernyataan Ibu Risma semakin menebalkan stigmatisasi terhadap Papua dan masyarakat Papua. Dia mendesak Ibu Risma untuk meminta maaf![52]

 

[d] kerusuhan di Kab Dogiyai: sekelompok penduduk membuat kerusuhan di Dogiyai (17/7). Mereka sebelumnya ditegur karena mengganggu keamanan karena minum mabuk dan menduduki landasan Bandar Udara di Moanemani. Mereka ditegur oleh dua anggota Pasukan Khas TNI Angkatan Udara. Kurang menerima peneguran itu, mereka marah dan menghantam personil Pasukan tadi. Lantas membakar sejumlah kios (sekitar 30 buah). Dalam peristiwa ini dua anggota Pasukan Khas itu terluka, sedangkan – berita belum terkonfirmasi - salah satu pemilik kios tewas terbakar[53]

 

[e] protes pengusaha di provinsi Papua Barat; kantor dipalang: protes dIadakan oleh ratusan pengusaha konstruksi asli Papua (17/7) berkaitan dengan pembagian proyek dari “Paket Proyek Penunjukan Langsung”. Para peserta protes karena membaca tanda bahwa paket ini tidak ditujukan secara khusus kepada mereka, sedangkan mereka berpendapat bahwa perlu dimanfaatkan demi kepentingan pengusaha asli Papua. Gubernur berjanji akan langsung tangani dan minta mereka sabar,. Sesudah itu pemalangan kantor diakhiri[54].

 

[f] warga Paniai dapat 4G koneksi: warga kabupaten Paniai, terutama di Madi dan Enarotali, akan segera dapat layanan jaringan telekomunikasi selular 4G. Layanan sambungan internet yang lebih cepat itu diperkirakan sudah dapat digunakan sebelum 17 Agustus 2021[55].

 

[g] KPA Papua beli obat illegal: Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua sedang melakukan penyidikan dugaan kasus korupsi pengadaan obat di Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Papua. “Dugaannya, KPA Papua mengadakan obat yang tidak ada izin edarnya. Pembelian tanpa prosedur lelang, itu membahayakan kesehatan orang”,ujar Kepala Kejati (22/7). Kasus ini terjadi tahun 2019; kerugian negara sekitar Rp 5M[56].

 

[h] 2.111 orang Papua masuk sekolah polisi:  1.500 orang asli provinsi Papua (1.400 pria, 100 perempuan) lolos seleksi dan siap dikirim ke 10 Sekolah Polisi Negara (SPN) untuk menjalani pendidikan. Papua Barat juga mengirim 611 (605 pria, 6 perempuan), maka totalnya 2.111. Seluruh biayanya pendidikan ditutup oleh dana Otsus.[57]. TNI juga ada program sejenis dan dibebankan pun kepada dana Otsus.

 

 

Jayapura, 1 Agustus 2021

“Kepala Sakit Steven adalah Kepala Sakit Kita”

*****



[4] Laporan intern rapat di FKUB Papua, Jayapura, 24 Juli 2021; rapat dihadiri sejumlah nara sumber inti ‘soal covid-19’

[11] JUBI, edisi 28-29 Juli 2021, hlm. 3 Anggota polisi di Sorong Selatan diduga aniaya warga. 

[12] JUBI, edisi 30-31 Juli 2021, hlm. 22 Kapolres Soal Anggota Bogem Warga di Nabire: Saya Minta Maaf

[37] Papua 2021, 1-15 Juli oleh Theo van den Broek, hlm.4 item [4] Otsus & Pemekaran di Papua

[51] https://video.tempo.co/read/25356/penduduk-miskin-di-indonesia-2754-juta-jiwa-pada-maret-2021

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.