Tuesday, December 21, 2021

PAPUA 2021 1 – 15 Desember. In Bahasa

 PAPUA  2021

1 – 15 Desember

Oleh: Theo van den Broek

 

[1] POKOK PERHATIAN UTAMA: Tanggal 1 Desember merupakan tanggal ‘bersejarah’ bagi semua orang Papua. Pada tanggal 1 Desember 1961 bendera Papua untuk pertama kalinya dikibarkan berdampingan dengan bendera Belanda , lagu kebangsaan digemakan, dan Dewan Nieuw Guinea (Nieuw Guinea Raad)[1] yang untuk pertama kalinya resmi beranggotakan 50% anggota dari bangsa Papua. Langkah ini dinilai oleh bangsa Papua bersama penjajah Belanda sebagai langkah awal menuju suatu kemerdekaan sempurna yang direncanakan akan dirampungkan dalam beberapa tahun mendatang. Maka, sudah tentu, peristiwa ini sangat tergores dalam hati bangsa Papua, hingga sepatutnya diingatkan setiap tahun secara khusus. Apalagi tahun ini adalah HUT ke-60.

Peringatan diwarnai kegiatan yang penuh damai, sambil mengungkapkan aspirasinya berlambang bendera, lagu, doa dan seruan. Bendera dinaikkan di enam daerah (5 Kabupaten, 1 kota) dan sejumlah orang ditangkap. Bukan saja di Papua, juga di wilayah lain di Indonesia peringatan ini dijalankan, seperti di Ambon, Bali, Jakarta dan Makasar. Juga di pelbagai tempat di luarnegeri peringatan ini diberikan perhatian besar, secara khusus di Australia dan Kawasan Pasifik. Semua demo disertai seruan supaya pasukan TNI-Polri ditarik kembali dari Papua sampai menuntut referendum.

Selama kegiatan di Papua 27 orang ditangkap (19 di Merauke dan 8 orang di Jayapura). Delapan (8) orang yang ditahan di Jayapura akhirnya juga dinyatakan resmi sebagai tersangka makar. Dalam suatu tanggapan tegas Amnesty International Indonesia dan Amnesty International Australia mendesak supaya delapan tahanan ini dibebaskan dengan segera dan tanpa syarat.[2]

Anggota Komisi bidang pemerintahan politik, hukum dan HAM DPR Papua, Laurenzus Kadepa menyatakan ‘pengibaran bendera bintang kejora pada enam daerah di Papua mesti menjadi refleksi semua pihak, terutama para pengambil kebijakan’. [3]

 

Dalam penilaian ‘kegiatan peringatan 1 Desember 1961’ sebaiknya kita mengutamakan perspektif dan persepsi orang Papua. “1 Desember” yang diperingati karena merupakan bagian penting dari ‘sejarah bangsa Papua’. Maka, sepatutnya dirayakan sesuai ‘persepsi bangsa Papua’. Sejarah tidak pernah boleh disangkal karena adalah bagian tak terpisah dari masa depan setiap bangsa. Kejadian 1 Desember 1961 bukan suatu bagian dari ‘sejarah bangsa Indonesia’. Maka, sewajarnya dalam penilaian kegiatan pada hari itu jangan dinilai dari ’perspektif bangsa Indonesia’, karena memang tanggal itu tidak mempunyai makna khusus bagi bangsa IndonesiaIndonesia membanggakan prinsipnya “Bhineka Tunggal Ika”. Prinsip itu menjamin bahwa kekhasan sejarah serta hidup suku-suku bangsa yang menjadi bagian dari Indonesia tetap dihormati dan diberikan tempat. Memperingat kejadian-kejadian sejarah adalah hak setiap bangsa, termasuk menjadi hak bangsa Papua, apalagi kalau dijalankan dalam suasana penuh damai. Alangkah baiknya hak itu dijadikan dasar utama dalam penilaian bermacam kegiatan yang dijalankan warga Papua pada 1 Desember 2021.

Sekaligus, mengingat ramainya kegiatan perayaan tahun 2021 ini, kegiatan-kegiatan itu bisa menjadi momentum bagi semua warga Indonesia untuk turut memahami dengan lebih baik dan tepat latarbelakang perjuangan di Papua dewasa ini. Sudah tentu ‘ingatan sejarah’ perlu diberikan suatu tempat kunci dalam pemahaman situasi di Papua, supaya persepsi umum di Indonesia dapat dikoreksi karena sudah terlalu lama diwarnai berita info yang ‘tidak lengkap’, berita hoax dan kampanye stigmatisasi orang Papua. Sudah waktu kita semua introspeksi dan melihat permasalahan di Papua dengan mata terbuka dan adil. (TvdB)    

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] Panglima baru membuka rencananya: Akhirnya Panglima menjelaskan ‘pendekatannya yang baru’ di Papua. Ternyata aspek baru adalah perobahan istilah dari ‘operasi tempur’ menjadi ‘operasi teritorial’.[4] Tetap akan ada tambahan pasukan di Papua. Artinya apa? Sejauh kami mengerti penjelasan Panglima ada tiga hal kunci: [a] memperkuat struktur/jaringan militer organik (tambah jumlah kodim, koramil dan Babinsa); [b] tempatkan pasukan non-organik dalam ‘struktur organik’, yakni di kodim, koramil dan babinsa; [c] membina masyarakat melalui kodim, koramil dan babinsa. 

 

Mendengar inti ‘pendekatan baru’ oleh Panglima, muncul sejumlah catatan: apakah in perobahan pendekatan atau suatu strategi struktural melulu? Apalagi kalau, menurut pernyataannya sebelumnya, akan ada penambahan pasukan lagi di Papua. Maka, pendekatan tetap sama, yakni: pendekatan keamanan melulu. Tren itu juga diperkuat dengan catatannya bahwa secara khusus  Babinsa akan difungsikan kembali dalam struktur itu. Suatu sugesti yang sama bunyi pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dalam kunjungannya di Manokwari baru ini. Dengan ‘pendekatan baru’ ini lima hal dapat menonjol: [a] kehadiran masal pasukan militer dimana-mana saja di Papua sampai di pelosok; artinya, bukan lagi di wilayah konflik saja, namun dalam seluruh wilayah jaringan militer organik; tambah banyak jumlah Kodim, Koramil dan Babinsa; [b] kemungkinan sangat terbuka munculnya pengacauan komando antara ‘pasukan organik’ dan ’pasukan non-organik’ karena tercampur di tingat Kodim, Koramil, Babinsa; otoritasnya siapa? [c] memperkuat tren pihak TNI makin mengambil alih bagian tugas pokok Kepolisian, yakn sebagai ‘penegak hukum’; [d] memperkuat tren pihak TNI makin mengambi alih bagian tugas pemerintah sipil, a.l. pembinaan masyarakatnya. Dan akhirnya [e] pendekatan ini akan memperkuat kesan bahwa Papua sudah dijadikan ‘Daerah Operasi Militer’ (DOM), walau kenyataan itu tidak pernah diumumkan resmi oleh Presiden. 

Muncul juga pertanyaan sejauh mana ‘konsep restrukturisasi’ ini dibahas sebelumnya dengan segala pihak berkepentingan di Papua? Siapa-siapa ‘memiliki’ konsep restrukturisasi ini? Hanya kalangan TNI bersama Menkopolhukam? Kesannya juga bahwa pendekatan ini jauh dari ‘pendekatan baru’ karena lebih menekankan restrukturasi pendekatan yang lama menjadi mirip ‘model beroperasian Orde Baru’. 

Kesan bahwa ini suatu pendekatan yang kurang ‘baru’ terbukti juga dalam fakta bahwa dalam seluruh konsep baru ini tidak diberikan tempat pada kebutuhan akan suatu dialog yang bermartabat. Walaupun kenyataan di lapangan telah membukti bahwa pendekatan militer adalah suatu kekeliruan kebijakan, ternyata pihak Panglima tetap mengandaikan bahwa ‘pendekaan keamanan’ akan menyelesaikan permasalahan di Papua. Walaupun sekian banyak pihak yang berkehendak baik menyeru untuk mengubah pendekatan keamanan ini diganti dengan pendekatan yang tidak ditandai kekerasan serta kekuasaan, namun didominasi pemahaman, kebenaran dan dialog, ternyata Panglima tetap tidak berespons pada seruan itu. Ternyata Panglima baru belum sampai memiliki suatu konsep sesuai dengan penyelesaian permasalahan sebagaimana diinginkan banyak warga Indonesia, apalagi warga Papua. Dalam pendekatan yang diharapkan, yakni pendekatan perdamaian ditekankan bahwa pasukan non-organik perlu ditarik dari Papua, dan dialog dengan rakyat Papua dimulai dengan sistematis dan bernilai. Panglima baru masih lebih utamakan penambahan pasukan, sedangkan dialog diartikan sebagai ‘pembinaan masyarakat’ sesuai kebijakan yang sedang mau diterapkan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) TNI dan didukung Menkopolhukam. Isi kata ‘dialog’ makin dikaburkan. Tambah lagi dalam pemahaman Menkopolhukam dialog sudah berjalan karena beliau terbuka saja mengundang tokoh-tokoh untuk bertemu dengannya untuk membahas persoalan Papua. Dalam segala seruan jelas bahwa suatu dialog yang berbobot lainnya diharapkan banyak pihak. [5]

Pokoknya, penyampaian ‘konsep baru’ oleh Panglima kurang memberikan harapan kepada warga di Papua. Salah satu hal yang sangat dibutuhkan kita semua adalah ‘penarikan pasukan non-organik’ dari Papua, supaya menciptakan suatu ‘jeda kemanusiaan’ yang memungkinkan ‘kita duduk bersama’. Ini salah satu syarat paling menentukan kalau kita ingin tingkat kekerasan di Papua akan berkurang sampai hilang. ‘Jeda Kemanusiaan’ yang terus diminta oleh Jaringan Damai Papua (JDP) bersama LIPI, dan didukung segala pihak yang ingin suatu penyelesaian yang bermartabat. Dapat disesali bahwa isi seruan demikian belum diberikan tempat dalam pendekatan Panglima yang baru. (TvdB)  

 

[b] penyisiran oleh TNI-Polri di Ambaidiru, kepulauan Yapen: dalam berita resmi dari pihak keamanan kita diberitahukan bahwa TNI-Polri telah menemukan suatu tempat kegiatan pelatihan militer oleh kelompok yang berseberang dengan Pemerintah Indonesia di wilayah Ambaidiru, kepulauan Yapen. Oleh karena itu diadakan penyisiran di kampung itu dan satu orang ditangkap, namanaya Adi Rawai (27th), sedangkan tiga nama lain dimasukkan dalam “DPO” (daftar orang yang dicari). [6]

Kemudian dari seorang saksi ditempat kami menerima laporan sebagai berikut: pada tgl 8 Desember 2021, waktu 22.00 malam, sekelompok pasukan – 3 mobil Dalmas dan 4 kendaraan pick-up jenis Hilux - masuk wilayah Ambaidiru di Yapen. Ternyata mereka mencari seorang ‘yang diduga terlibat kegiatan yang mencurigakan’. Karena masyarakat setempat ternyata sudah dengar mengenai rencana pasukan kesitu, sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan kampungnya karena takut. Beberapa orang yang ditemukan oleh pasukan selama penyisiran itu diborgol dan ditahan dulu. Esok harinya (9/12) masih ada tambahan pasukan lagi. Akhirnya ada negosiasi antara beberapa tokoh dengan pasukan itu dan mereka mundur dengan membawa yang sudah ditahan untuk diinterogasi. Termasuk seorang anak perempuan umurnya 14 tahun. Semua dibebaskan lagi kecuali satu, atas nama Beltazar Rawai (18 th), yang masih ditahan. Sebelum  meninggalkan wilayah Ambaidiru pimpinan pasukan mengancam para warga wilayah ini bahwa akan kembali lagi dan bertindak tegas kalau dalam waktu dekat orang yang mereka cari tidak melaporkan diri. Demikianlah laporan warga setempat. 

 

[c] operasi wilayah konflik serta tambahan korban: baik di Yahukimo, di Intan Jaya dan di Pegunungan Bintangterjadi kontak senjata. Dalam kontak senjata di Suru-suru (Yahukimo) seorang prajurit tewas, Serda Putra Rahadi, dan satu, Praka Suheri,luka tembak (2/12).[7] Satgas Nemangkawi menyatakan bahwa selama kontak senjatanya di kampung Pisiga (Intan Jaya), mereka berhasil menewaskan satu anggota KKB, Marten Belau, dan melukai yang lain, Jaki Sondegau (6/12). Di Pegunungan Bintang pos Brimob di Serambakom menjadi sasarannya (13/12), sedangkan di Intan Jaya sekali lagi kontak senjata terjadi di kampung Pisiga (13/12). Di Pegunungan Bintang juga sebagian gedung sekolah, SMAN 1 Oksibil dibakar habis(4/12), dan di kampung Serambakom sebagian gedung SMPN (14/12), namun tidak jelas siapa-siapa ada di belakang pembakaran itu.

Di wilayah konflik Maybrat, menurut berita sepihak (Viva Militer), sekelompok Marinir , pasukan Rajawali, dikerahkan ke Distrik Sorong Timur dimana mereka menumpaskan KKB yang menguasai wilayahnya (13/12). Katanya, operasi ini djalankan atas perintah Panglima TNI dengan persetjuan Presiden. Tidak diketahui berapa korban jatuh dalam operasi ini. [8]

 

Soal: berita benar dan tidak benar! Salah satu hal yang sangat mengganggu dalam pemberitaan mengenai kejadian-kejadian di wilayah konflik adalah kesulitan untuk meverifikasi berita-berita yang sepihak, entah pihak keamanan, entah pihak pejuang Papua Merdeka. Akhir-akhir ini, secara khusus wilayah konflik Pegunungan Bintang, ditandai ketidakjelasan keadaan maupun aktor-aktornya.  Kesulitan itu muncul karena akses pada wilayah konflik sangat dibatasi oleh pihak keamanan. Maka, terdapat  pemberitaan yang berbeda isinya. Contohnya: baru ini ada berita mengenai kekacauan di sekitar kampung Serambakom, Pegunungan Bintang (lihat diatas). Secara khusus diberitakan bahwa “personel TNI-Polri ditembaki oleh KKB saat membantu evakuasi warga dari rumah mereka ke gereja”.[9] Selanjutnya kami dapat berita dari seorang saksi di tempat kejadian yang dapat kami percaya. Catatannya begini: [1] Senin,13/12/2021 di Kampung Wanbakon, distrik Serambakon terjadi baku tembak dari jam 04.30-05.30. [2] Selasa, 14/12/2021 terjadi lagi baku tembak, jam 09.00-12.00. [3] SMP Negeri Serambakom dibakar pada pagi hari, sekitar jam 05.00-06.00. Yang bakar belum bisa dipastikan. [4] Medan Wanbakon berbukitan, akses jalan darat: jalan aspal sampai ke ujung kampung. Berbanding terbalik dengan yang diberitakan dalam informasi media. [5] Masyarakat tidak mengungsi! Masyarakat berkumpul di Kapela St.Petrus Serwan untuk mengamankan diri (sekitar 60-70 orang). [6] Saya bersama umat di tempat kejadian, kapela Serwan pada jam 10.00-15.00 pada Selasa, 14/12/2021. [7] Pernyataan TNI-Polri mengantar pengungsi/lindungi pengungsi saat baku menembak tidak benar! Saya di tempat kejadian peristiwa, tidak ada satu pun Polisi yang datang!!! (TvdB)

 

[d] yang ditangkap: Polisi menangkap seorang anggota KBB di Nabire, namanya Alek (21). Alek ini ditangkap bersama seorang teman, DW (23 th), dan menurut jurubicara Polisi si Alek terkait kasus pembelian amunisi yang melibatkan anggota Polri. Dalam proses penangkapannya Alek dilumpuhkan karena melawan. [10]

 

[e] tambahan pasukan: Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan operasi militer yang dilakukan pasukan TNI di Papua merupakan tindakan illegal karena tak sesuai dengan Pasal 7 Ayat 3 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Operasi militer itu dinilai telah mendorong adanya pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih (10/12). Operasi militer semacam ini haya dapat dijalankan berdasarkan suatu keputusan politik negara; artinya keputusan Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. Keputusan berkwalitas itu sampai saat ini tidak ada. Hanya, kenyataannya adalah bahwa Presiden maupun DPR tidak pusing dengan masalah ini. Kenapa? [11]

 

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA dan SUASANA WILAYAH KONFLIK

[a] Komnas Perempuan kunjungi pengungsi dari Maybrat: Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyanti ada di Sorong (9/12) dan ingin bertemu dengan pengungsi akibat konflik di Maybrat. Para perempauan yang dia bertemu di Sorong, menyatakan betapa berat bagi keluarganya yang menampung mereka. Memang disitu akses pelayanan pendidikan serta kesehatan ada. Namun keadaan pasti lainnya bagi para pengungsi-pengungsi di daerah. Semua ingin pulang kampong dan lagi hidup seperti biasa, dan tentunya mesti mendapat jaminan keamanan. Komnas Perempuan akan tetap berkomunikasi dengan pihak-pihak berkewajiban sehingga keinginan serta kebutuhan para pengungsi dipenuhi.[12]

Didampingi Komnas HAM perwakilan Papua dan Forkompimda, pada tgl 9 Desember 98 orang pengungsi di Maybrat [total pengungsi di Maybrat adalah 3.121] diantar kembali ke kampungnya. Walau sepulang di kampung mereka menemukan bahwa banyak rumah rusak dan barang berantakan atau hilang, mereka tetap bergembira karena akhirnya mereka lagi ada di rumahnya sendiri. [13]

 

[4] OTSUS & PEMEKARAN & POLA PEMBANGUNAN DI PAPUA

[a] Kerjasama MRP Papua dan Aceh: setelah bertemu beberapa kali dan bersama membahas situasi di Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan wali Nanggroe Aceh memutuskan untuk bekerjasama menangani soal Otsus. Kedua wilayah mengalami kesulitan sekitar UU Otsus hingga dapat menggabungkan kekuatannya untuk memperjuangkan perbaikan sewajarnya.[14]

 

[5] SOAL HUKUM /KEADILAN

[a] akhirnya kasus pelanggaran HAM Berat di Paniai ditangani: Jaksa Agung akhirnya membentuk  tim investigasi resmi kasus pelanggaran HAM Berat di Paniai (3/12). Tim penyidik ini beranggotakan 22 orang jaksa senior dan diketuai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus). Kasus pelanggaran HAM Berat ini menyangkut peristiwa pada tgl 8 Desember 2014, dimana 5 siswa SMP/SMU dibunuh, 6 dilukai secara kritis dan 11 lain dicedera lebih ringan sewaktu TNI-Polri membuka penembakan atas kelompok warga sipil lokal yang memprotes karena sejumlah anak muda mereka diserang oleh sekelompok anggota keamanan malam sebelumnya. [15]  

 

[b] Kontras minta supaya Moeldoko diperiksa: karena kasus pelanggaran HAM Berat di Paniai (2014) sekarang resmi mulai ditagani oleh Jaksa Agung, Kontras (Komisi Orang dan Korban Kekerasan) meminta supaya Moeldoko, kepala staf Presiden, diperiksa. Karena sewaktu pelanggaran itu terjadi (2014) Moeldoko bertugas sebagai Panglima TNI. TNI adalah salah satu pihak yang berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM Berat ini. Disamping itu Kontras meminta supaya seluruh proses penanganan investigasi kasus HAM Berat ini akan dijalankan secara independen dan transparan. Hanya dengan demikian hak atas kebenaran, keadilan dan rehabilitasi para korban dapat dipenuhi. [16]

 

[c] suku di Papua dapat penegasan hak atas tanah tradisionalnya: salah satu suku  Papua untuk pertama kali mendapat pengakuan resmi atas hak miliknya tanah tradisionalnya. Bupati Sorong, John Kamuru,  menerbitkan suatu pernyataan resmi bahwa suku Malak Kalawilis Pasa adalah pemilik sah tanah nenek moyangnya. Pernyataan ini memberikan suatu perlindungan yang kuat melawan majunya terus perampasan tanahnya demi plantasi kelapa sawit dll. Sekaligus pernyataan resmi ini juga menjadi dasar untuk memulai prosedur di Jakarta supaya hak miliknya juga diakui secara resmi oleh pemerintah pusat. Bupati menyatakan bahwa ini “baru satu suku karena mereka sudah membuat pemetaan tanahnya yang jelas. Dan pemerintah akan tetap mendukung dan mendorong suku-suku lainnya untuk mengadakan pemetaan tanahnya”. [17]

 

[d] Tindakan Bupati Sorong mencabut izin perusahaan dibenarkan:  sudah beberapa bulan lalu Bupati Sorong, John Kamuru, mencabut izin beroperasi beberapa perusahaan. Tindakannya disambut baik masyarakat setempat maupun Komisi Pemberenatasan Korupsi (KPK), yang menilai ‘pencabutan izin-izin perusahaan sawit sudah tepat untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat dan penyelamatan lingkungan hidup’. [18] Beberapa perusahaan menggugat tindakan Bupati ini di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jayapura. Akhirnya PTUN di Jayapura juga menilai tindakan Bupati adalah sah, maka gugatan oleh 3 perusahaan tidak diterima. [19]

 

[e] Jokowi diminta bentuk pengadilan HAM di Papua: direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH), Yan Warinussy mendesak Presiden agar segera membentuk pengadilan HAM di Jayapura, Papua (9/12). Pembentukan ini akan mencerminkan komitmen Presiden dalam menuntaskan berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua, seperti Kasus Wasior (2001), Kasus Wamena (2003), Kasus Paniai (2014). Belum termasuk semua kasus ‘dugaan pelanggaran HAM Berat’ sebelum 2000, artinya sebelum keluarnya  UU No. 26 Tahun 2000, yang sementara diserahkan kepada DPR untuk dianalisis, apa bisa dibuktikan untuk dibawa ke pengadilan.[20]

 

[f] Hari HAM se-dunia: diwarnai doa dan pernyataan: Hari HAM sedunia yang lazimnya diberikan perhatian 10 Desember, tahun ini cukup diperhatikan banyak orang. Ada yang berdoa seperti di Lapangan Zakeus, Abepura (lihat [8] [d]), ada yang berdikusi dan meluncurkan pernyataan. 

Salah satu adalah seruan moral yang disampaikan oleh komunitas akademis Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur. Setelah menguraikan sejumlah fakta nyata yang menandai situasi tragis Papua dewasa ini, mereka mencapai sejumlah kesimpulan, a.l.: [a] mendukung seruan moral para pastor (194) Gereja Katolik, [b] menghentikan operasi militer di daerah konflik diseluruh tanah Papua, [c] membuka dialog sejati Jakarta-Papua yang dimediasi pihak ketiga yang tidak berkepentingan, [d] mendesak supaya pemerintah Indonesia membuka akses masuk di Papua bagi Komisi HAM PBB dan wartawan internasional, dan [e] mendesak Pemerintah Pusat menghentikan tambahan pasukan TNI-Polri di Papua. [21]

Juga di luar Papua “Hari HAM” mendorong orang untuk mengangkat suara. Di Manado sejumlah organisasi Mahasiwa Papua (IMIPA dan DPW-AMPTPI) bersama rakyat Minahasa (CMK) dan Front Rajyat Indonesia for West Papua (FRI-WP) gelar mimbar bebas menperingati hari HAM Sedunia. Mereka meminta Pemerintah Indonesia selesaikan pelanggaran HAM di Tanah Papua sejak tahun 1961 sampai 2021. Ketua Cakrawala Muda Kerakyatan (CMK) mengatakan, pelanggaran HAM berawal sedari tahun 1961, dimana komando Presiden Soekarno, sejak itu lah Bangsa Papua jatuh kedalam kejahatan kemanusiaan. “Tak hanya itu, tapi Ali Murtopo yang megatakan, ia tidak butuh orang Papua. Ia hanya butuh emas yang ada di Papua”, tegasnya. Diantara 8 rekomendasi a.l.tercatat [a] kemutlakan penarikan pasukan dari Papua, [b] pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk selesaikan pelanggaran HAM berat, dan [c] jika negara tidak bisa menyelesaikan semua kasus pelanggaran ini, maka solusinya Negara harus menerima tuntutan rakyat Papua yaitu, Referendum sebagai solusi demokratis. [22]

 

[g] kasus Pdt Yeremia ditangani: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai penanganan kasus Pendeta Yeremia Zanambani belum ideal. Pasalnya, anggota TNI yang terlibat dalam penembakan masih diproses di peradilan militer, bukan pengadilan umum. Walau belum ideal, Komnas HAM menilai bahwa ada kemajuan dibandingkan sebelumnya sewaktu hasil investigasi oleh Komnas HAM sering ditolak mentah-mentah saja oleh pihak TNI. Kali ini mereka menerimanya dan memproses orangnya. [23]

 

[6] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYAT di PAPUA

[a] ketidakmampuan baca tulis anak-anak pedalamam: ternyata tingkat ketidakmampuan baca-tulis anak-anak pedalamam di Papua masih tinggi. Yayasan Nusantara Sejati (VNS) sudah beberapa tahun aktif mengintervensi kesulitan itu dan sekarang masih mendampingi 157 Sekolah Dasar (SD) di delapan Kabupatan di Tanah Papua. Menurut jurubicaranya, Palekahelu, ‘setelah intervensi melalui program literasi selama dua tahun, mulai 2016, ketidakmampuan anak-anak baca tulis Provinsi Papua Barat yang awalnya 48% menurun menjadi 18%. Sedangkan di Provinsi Papua yang awalnya 50% turun menjadi 31%.’ Hasilnya lumayanlah, namun sudah tentu pekerjaan masih jauh dari selesai! [24]

 

[b] organisasi penggerak: pendampingan yang dicatat diatas sebenarnya menjadi suatu unsur dalam program ‘organisasi penggerak’ yang dijalankan oleh Dinas Pendidikan. Dalam kerangka itu pula Wahana Visi Indonesia (WVI) melakukan pendampingan di 70 SD di Kabupaten Jayapura. Dalam tahap satu program itu perhatian khusus diarahkan kepada peningkatan kemampuan para guru, maka sejumlah pelatihan diadakan. Selama 3 bulan WVI akan mendampingi tenaga pengajar 70 SD ini. [25]

 

[c] Kab Jayapura: 43% dari 853 siswa SD belum bisa membaca: ini kesimpulan dari survey yang diadakan WVI di 78 SD di Kabupaten Jayapura. Survey yang diadakan selama 2 minggu melibatkan siswa kelas 3 SD yang akan naik ke kelas 4 SD. [26]

 

[7] LINGKUNGAN, DEFORESTASI, INDUSTRI PERKEBUNAN

[a] tidak ada mekanisme kuat untuk penyelesaian konflik sekitar ‘perampasan tanah’: dalam suatu studi[27]menyangkut 150 kasus sekitar ‘konflik antara perusahaan-perusahaan dan masyarakat lokal’ (perampasan tanah) di empat provinsi di Indonesia (provinsi Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah) terdapat sejumlah penemuan yang menarik. Pertama-tama disimpulkan bahwa Indonesia tidak memiliki mekanisme yang efektif untuk menangani konflik ini. Kedua bahwa jalur-jalur yang ada untuk menyelesiakan konflik-konflik antara warga kampung dan perusahaan plantasi tidak menghasilkan suatu penyelesaian yang bermakna buat warga/kampung yang terkena. Ketiga studi ini juga menunjukkan bahwa kasus kekerasan yang didokumen dalam kasus-kasus ini lazimnya dilakukan oleh polisi dan pihak kemanaan yang berkaitan dengan perusahaan kelapa sawit. Terdokumentasi juga bahwa pimpinan warga kampung sering ditangkap dan dipenjarakan dengan tudingan-tudingan yang patut dipertanyakan. Studi ini mendokumentasikan sekurang-kurangnya 30 kasus demo/pemalangan yang dihadapi dengan kekerasan oleh pihak keamanan. Dicatat juga 55 insiden kekerasan diluar ‘aksi demo’ sesaat polisi ‘mengunjungi kampung dengan tujuan mengintimidasi para warga kampung’. Sedangkan dalam 42% dari 150 kasus itu anggota komunitas lokal ditangkap, jumlah totalnya 798 orang dan dibebankan dengan ‘tudingan buat-buatan’. 

Dalam rekomendasinya, studi ini pemerintah didesak untuk membentuk “badan mediasi” yang tidak berpihak (imparsial), dan/atau ‘conflict resolution desks’ (biro penyelesaian konflik) di tingkat provinsi atau distrik. Rekomendasi ini diterima baik oleh Pemerintah untuk dipertimbangkan namun belum dapat dijanjikan akan jadi.[28]

 

[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] SKP Papua menanggapi pernyataan Ketua KWI:  seusai rapat tahunan mereka, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) se-Papua (beranggotakan: SKP Keuskupan Timika, SKP Keuskupan Agats, SKPKC Fransiskan Papua, dan SKPKC Augustin Papua) menerbitkan suatu pernyataan tanggapan atas sikap yang diutarakan Konperensi Waligereja Indonesia (KWI) baru ini. Dalam penjelasan sikap Gereja Katolik, Ketua KWI, Ignatius Kardinal Suharyo, menyatalan bahwa “Sikap Gereja Katolik yang resmi terhadap masalah Papua itu sangat jelas, yaitu mendukung sikap pemerintah, karena dijamin undang-undang internasional”. 

Berpegang pada pemberitaan sikap itu (TEMPO, https://nasional.tempo.co/read/1533986/bertemu-ketua-kwi-muhaimin-iskandar-diskusi-solusi-bagi-papua) SKP se-Papua mencatat kekecewaannya. Pertama-tama mereka menilai bahwa Bapak Kardinal ternyata mengabaikan segala informasi yang dikirim oleh SKP Papua kepada KWI mengenai kondisi faktual di lapangan di Papua. Yang kedua bahwa Kardinal sebaiknya mendengar dulu para Uskup sebagai wakil utama Gereja Katolik di Papua sebelum mengeluarkan suatu pernyataan politik. Yang ketiga, juga dicatat bahwa Indonesia terikat pada sejumjah Kesepakatan International, secara khusus menyangkut pengindahan Hak Asasi Manusia, namun sering melanggarnya. Dan akhirnya dicatat bahwa dalam pernyataan Bapak Kardinal tidak aada suatu ‘suara pastoral’, yakni, kepedulian akan penderitaan banyak orang di Papua. Sebagai umat di Papua, mereka paling mengharapkan suatu sikap pastoral terungkap sesaat seorang pejabat tinggi Gereja Katolik mengangkat bicara. [29]

Pernyataan Bapak Kardinal juga menjadi alasan bagi Front Mahasiwa Papua katolik se-Jakarta mengadakan suatu aksi demo damai di Keduataan Besar Vatikan dan KWI di Jakarta. Tujuannya untuk mendesak supaya informasi mengenai keadaan penderitaan di Papua disampaikan kepada Pimpinan Gereja Katolik di Roma (Vatikan, Italia), dan supaya “pernyataan dukungan kepada pemerintah Indonesia dicabut, karena [kami] menduga dukungan tersebut melegitimasi operasi militer di Papua”, jelasnya Ambrosius Mulait. [30]

 

[b] Dewan Gereja Papua (DGP) sekali lagi minta perdamaian: dalam konperensi persnya 8 Desember 2021, DGP sekali lagi mendesak segala pihak untuk mencari suatu solusi damai di Papua. Setelah menggambar kondisi di Papua yang makin ditandai kekerasan dan militarisasi, mereka mencatat sejumlah rekomendasi: [a] minta Komisi Ham PBB ke Papua untuk datang menginvestigasi situasi HAM; [b] supaya Jokowi membuka dialog dengan melibatkan ULMWP; [c] stop pengoperasian militer, stop penambahan pasukan, dan stop menambahkan infrastruktur militer di Papua; [d] stop perencanaan pemekaran di Papua; [e] stop diskrimanasi dan bebaskan semua tahunan politik; [f] DGP meminta dukungan komunitas internasional. 

Akhir kata, DGP juga mengungkapkan penghargaannya yang tinggi kepada semua tokoh budaya, cendikiawan, agama, media dan negara di dalam maupun diluar negeri atas solidaritasnya dan komitmennya dengan mendukung perdamaian di Papua. [31]

 

[c] doa jalan salib bersama untuk Damai di Papua: suatu inisiatip yang menarik diambil oleh pastor John Bunay Pr supaya pada Hari HAM se-Dunia, 10 Desember 2021, kita semua berkumpul dan bersama berdoa demi damai di Papua. Pertemuan diselenggarakan di Lapangan Zakeus [32] di Padangbulan, Abepura. Pertemuan ini akhirnya menjadi ibadah eukumenis yang dipimpin hamba-hamba Tuhan dari Gereja Katolik  dan Gereja Protestan (pelbagai denominasi). Ibadah ini ditandai  ‘acara ikut jalan salib lewat 14 stasi/momen perjalanan Yesus menuju sampai mati di salib’. Ratusan orang mengikuti ibadah di lapangan terbuka ini. Tema utama: rekonsiliasi antar orang Papua, antar suku di Papua sebagai langlah pertama menuju perwujudan Papua Tanah Damai. Dalam ibadah itu dirayakan keyakinan bahwa perdamaian di Papua dapat dimulai dengan menciptakan komitmen untuk berdamai antar orang Papua sendiri. Dari situlah kita dapat menciptakan damai untuk Papua yang menyeluruh, termasuk mendorong penyelesaiaan segala pelanggaran HAM dan kekerasan. [33]  

Sementara waktu Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) menyelenggarakan dua hari (14-15/12) ‘diskusi lintas etnis’ dengan tema “Papua sebagai Rumah Bersama” 

 

[9] GERAKAN POLITIK PEMERINTAH PAPUA & PAPUA BARAT

 

[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA dan INTERNASIONAL

[a] Presiden minta Kapolri memecat Kapolda yang tidak mendukung investor: menurut Jokowi, investasi merupakan kunci penggerak ekonomi. Maka dia mengingatkan semua kepala polisi daerah untuk mengawal investasi dengan baik hingga jadi. Malahan beliau mengancam bakal memerintah Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolda yang tidak mengawal investasi.[34]

Pernyataan diatas menuai kritik yang cukup pedas. Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur bertanya bagaimana kalau nanti investor menggusur masyarakat dari tanahnya? Dan/atau lingkungan dirusak? “Polisi memiliki kewajiban mengawasi masyarakat, juga berkewajiban melindungi masyarakat, tidak kemudian polisi harus membela investor dan menggebuk masyarakat. Itu kesalahan juga”, tegasnya. Apalagi kebebasan pendapat orang perlu dijamin oleh polisi. [35]

Menanggapi pernyataan Presiden, Gde Siriana Yusuf, direktur Indonesia Future Studies, menambah bahwa instruksi ini berpotensi menabrak aturan perundang-undangan. Mengawal investasi adalah tugas Pemerintah Daerah, bukan Polisi. Sangat mungkin terjadi gesekan antara kepolisian daerah dan pemerintah daerah dalam urusan investasi di daerah. Apalagi kalau Kapolda, karena takut nanti dicopot, sangat rajin memajukan investasi, sedangkan itulah tugas konstitusional pemerintah daerah. Dicatat juga bahwa Indonesia mungkin nanti akan mengalami ketegangan di ‘dunia internsional’, a.l. oleh negara-negara G20. Negara-negara Barat memiliki komitmen tinggi terhadap transparansi dan akuntabilitas pembangunan. Investasi sebagai bagian dari pembangunan haruslah menjaga aspek lingkungan yang berkelanjutan dan melibatkan pastisipasi masyarakat seluas mungkin. Sikap otoriter demi investasi dapat merugikan nama baik Indonesia. [36]

 

[b] Ungkapan yang memperihatinkanwalau Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa UU Ciptaker adalah produk yang ‘cacat hukum’, yakni berlawanan dengan Konsitusi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK),Siti Nurbaya menyatakan pengusaha jangan risau izin olah hutan karena “Presiden telah menyatakan UU Ciptaker dan semua peraturan pelaksanaannya tetap berlaku dalam jangka dua tahun ke depan”.  [37]

 

[11] SERBA-SERBI – VARIA

[a] Jangan anggap sensitif isu Papuadalam acara diskusi (2/12) Redaktur Pelaksanan Majalah Tempo, Bagia Hidayat menyatakan: “untuk melihat Papua lebih adil, jangan menganggap [bicara] Papua isu sensitif”. “Akses informasi mengenai Papua mesti bebas agar bias dan prasangka kita hilang. Ketika informasinya ditutup, hasilnya adalah ketidakadilan”.[38]

 

[b] persoalan PHK di Freeport: ternyata 8.300 karaywawan yang dihentikan pekerjaannya (PHK) sepihak oleh PT Freeport setelah mereka berpartisipasi dalam demo tahun 2017 belum diakomodir kembali. Walau Mahkamah Agung (MA) memutusakan bahwa perlu ‘mengakomodasi hak-hak para karyawan’, termasuk haknya untuk berdemo, sampai saat ini PT Freeport tidak membuat apa-apa. Pemerintah perlu mendesak PT Freeport (51% dimiliki negara sendiri)! PT Freeport kebal hukum kah?, pertanyaan DPRP.[39]

 

[c] Rakyat Indonesia meminta maaf: suatu tanda simbolis yang sangat mengesankan dapat disaksikan dimana sekelompok warga mengungkapkan kesadarannya. Mereka atas nama Rakyat Indonesia minta maaf atas kejahatan Pemerintah dan Negara kepada Rakyat Papua. Lihat videonya[40]

 

[d] bantuan hukum untuk[41] para wartawan: Ketua Aliansi Jurnalis (AJI), Lucky Ireeuw, meluncurkan Perkumpulan Bantuan Hukum Pers Tanah Papua (PBHPTP) di Jayapura (10/12). Lembaga itu dibentuk untuk memberikan bantuan hukum bagi setiap jurnalis maupun perusahaan media di Bumi Cenderawasih yang menjadi korban kekerasan dalam kerja-kerja jurnalistik. Ternyata ada banyak kasus kekerasan yang dialami para jurnalis yang bekerja di Papua. 

 

[e] Filip Karma selamat: selama sehari para kerabat dan teman Filip Karma, pejuang non-kekerasan andal Papua Merdeka, gelisah dan cemas karena Filip hilang. Beliau pergi menyelam di pantai Base G, namun ternyata dibawa arus kuat. Walau dicari di pantai Base G sampai dengan pantai Hamadi, Filip tidak lagi ditemukan. Syukurlah esok harinya, pagi hari, penduduk kampung di pantai Skouw Sae menemukannya dan ternyata beliau dalam keadaan baik namun lemas. Setelah menjadi tamu sejenak di rumah sakit, Filip dapat pulang rumah dan semua sangat bergembira dan bersyukur!

 

[12] CORONA VIRUS

Penanggulangan pandemic Covid-19 dilaporkan mulai terkendali. Masih ada 25 orang dirawat di Rumah Sakit: di Mimika, Biak Numfor, Merauke, masing-masing 2 orang; di Kota Jayapura dan Jayawijaya masing-masing 4 orang, di Mappi 3 orang, di Boven Digoel dan Puncak Jaya masing-masing 1 orang. Varian Covid ’omicron’ belum terdeteksi di Papua. [42] Namun di negara tetangga, Papua Niu Gini, sudah terdeteksi, maka perlu antisipasi penyebarannya!

 

Mengenai tingkat vaksinas. JUBI, dalam edisinya 10-11 Desember, hanya mencatat keadaan di Kota Jayapura saja, sbb:

 

LOKASI

SASARAN

DOSIS 1   

%

DOSIS 2   

%

Kota Jayapura[43]

231.863

170.885

73

119.487

51,53

 

Jayapura, 15 Desember 2021

P.S.: berhubungan dengan Pesta Hari Natal dan tahun Baru 2022, update yang berikut baru akan kami susun pada akhir bulan Januari 2022. Mohon dimaklumi!

Kepada para Pembaca kami mengucapkan 

DAMAI dan SEGALA YANG BAIK !!!

NATAL 2021 dan TAHUN BARU 2022



[3] JUBI, edisi 3-4 Desember 2021, hlm. 3, “Pengibaran Bintang Kejora di enam wilayah Papua mestimenjadi refleksi semua pihak”

[18] JUBI, edisi 1-2 Desember 2021, hlm.5, “KPK fokus tiga hal terlait pencabutan izin perusahaan sawit di Sorong”

[19] JUBI, edisi 8-9 Desember 2021, hlm. 24, “Bupati Sorong menangi gugatan pencabutan izin kelapa sawit”

[24] JUBI, edisi 3-4 Desember, hlm. 4 “Masih tinggi ketidakmampuan baca tulis anak-anak pedalaman Papua”

[25] JUBI, edisi 13-14 Desember 2021, hlm. 4, “WVI damping 70 SD di Kabupaten Jayapura dalam program organiasi penggerak”

[26] JUBI, edisi 15-16 Desember 2021, hlm. 4, “43 persen dari 853 siswa SD di Kabupaten Jayapura belum bisa membaca”

[27] Studi dijalankan oleh tim gabungan akademisi Belanda dan Indonesia dalam hubungan kerja erat dengan 6 LSM Indonesia.

[32] Lapangan Zacheus adalah tempat dimana tahun 2011 Kongres Rakyat Papua ke-III dijalankan dan yang menjelang penutupannya diwarnai kekerasan oleh pihak pengamanan yang sangat mengerikan. Peristiwa waktu itu dapat perhatian besar dalam media nasional dan internasional, karena suatu acara yang penuh damai akhirnya diubah menjadi tempat berdarah dimana sejumlah orang ditembak, dibunuh dan ratusan orang ditangkap dan/atau dilukai. 

[38] JUBI, edisi 3-4 Desember 2021, hlm. 1-2, “Jangan anggap senisitif isu Papua”. 

[39] JUBI, edisi 8-9 Desember 2021, hlm. 1-2, “Pemerintah harus tegas terhadap Freeport”

[41] JUBI, edisi 13-14 Desember 2021, hlm. 1-2, “PBHPTP berdiri mengadvokasi jurnalis” 

[42] JUBI, edisi 8-9 Desember 2021, hlm. 18, “Satgas klaim penanggulangan Covid-19 terkendali”.

[43] JUBI, edisi 10-11 Desember 2021, hlm. 16, Infografis


----------------------------

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.