Saturday, October 17, 2020

PAPUA 2020 1–15 OKTOBER update in Bahasa

 PAPUA  2020

1–15 OKTOBER

Oleh: Theo van den Broek

[1] Amnesty International Indonesia mencatat, ada 47 kasus pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) yang terjadi di Papua selama Februari 2018 hingga September 2020. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengungkapkan, kasus tersebut menelan 96 korban jiwa. "Ini jumlah yang sangat tinggi untuk periode yang sangat singkat, 2018 - 2020, dengan jumlah korban yang demikian, itu sangat mengkhawatirkan," kata Usman (28/9/2020). Usman merinci, terdapat 12 kasus yang melibatkan TNi-Polri dengan total 29 korban; terdapat 13 kasus yang melibatkan personel TNI yang merenggut 23 korban; terdapat 15 kasus yang melibatkan Polri dengan 16 korban. Sebanyak 26 orang menjadi korban akibat perilaku orang tak dikenal atau yang disebut pemerintah sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Terakhir, satu kasus terjadi di penjara yang menelan 2 korban jiwa. 

Data Amnesty juga menunjukkan, sebanyak 94 orang dari total korban, 96, merupakan orang Papua. Dilihat dari sebaran wilayah, Usman mengungkapkan: "Yang paling tinggi memang di wilayah di mana konfliknya cukup tinggi, yaitu di Nduga. Kedua, di Jayawijaya, ini juga masih pegunungan, baru kemudian turun ke kota seperti Jayapura, Timika, atau Deiyai," lanjut dia.
Menurut catatan Amnesty, banyak kasus yang dikatakan diinvestigasi, tetapi tidak diungkapkan lebih lanjut ke publik. Ia merinci, sebanyak tujuh kasus sedang diinvestigasi, 14 kasus diinvestigasi tanpa diungkap ke publik, sembilan kasus tidak diinvestigasi. Kemudian, lima kasus diproses di internal kepolisian, dua kasus dibawa ke pengadilan, dan dua kasus lainnya dibawa ke pengadilan militer. Sementara, delapan kasus lainnya masih diverifikasi oleh institusi penegak hukum[1].


[2] Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/ Cendrawasih membenarkan terjadinya insiden pengrusakan sekretariat pemenangan dan posko pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Teluk Bintuni, Senin (28/9) yang dilalukan oknum anggota TNI AD, Serda Ramuna Manuama. Pihak Kodam memohon maaf kepada semua pihak atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh oknum TNI tersebut dan akan memberikan sanksi tegas kepada yang bersangkutan bila terbukti bersalah[2].

 

[3] Ternyata ada program pengajaran di sekolah di wilayah Keerom yang dijalankan oleh anggota-aggota TNI. Program ini didukung oleh sejumlah guru di Sumatra Barat. Guru-guru dan kepala-kepala sekolah di Payakumbuh Kota mengumpulkan bahan pendidikan untuk diberikan kepada anak-anak sekolah Papua melalui Operasi Mengajaroleh TNI di Kabupaten Keerom[3].

 

[4] Berhubungan dengan sejumlah insiden fatal selama minggu-minggu terakhir di Hitadipa dan kampong lainnya di Intan Jaya, ada pelbagai perkembangan. 

[a] Gereja Kristen Injili (GKI), melalui gabungan 24 gereja GKI, meminta dari TNI/Polri untuk memindahkan pos militer dari Hitadipa. Permintaan ini diajukan supaya para warga yang sekarang mengungsi dapat pulang kampung dan hidup dalam ketenangan[4]

[b] Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Ham (Menkopolhukam) telah menyusun suatu Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) untuk menginvestgasi pembunuhan terhadap pastor Yeremias di Hitadipa (26/9). Susunan TGPF ini masih menimbulkan pertanyaan/kritik luas, terutama menyangkut pertanyaan kenapa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),  tidak terwakil, dan sama halnya untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Papua yang berfokus pada Hak Asasi Manusia[5]. Sedangkan Polisi dan TNI terwakil dalam tim investigasi lapangan. Maka, banyak pihak menolaknya; keluarga korban dan Gereja turut menolak TGPF ini[6]. Apalagi melalui saksi-saksi setempat sudah menjadi cukup jelas bahwa pastor ini ditembak oleh TNI. Sebenarnya Komnas HAM memilih untuk membuat suatu investigasi sendiri sebagai lembaga independen[7].

[c] Gubernur provinsi Papua membentuk suatu tim khusus untuk Intan Jaya. Suatu ‘Tim Kemanusiaan’ untuk membantu masyarakat menghadapi permasalahan belakangan ini serta trauma kekerasan. Tim terdiri dari pemerintah, gereja dan masyarakat sipil[8]. Tim ini sudah mengunjungi wilayah ini (mulai 5 Oct) dan melaporkan bahwa memang situasi masyarakat di sana sangat tidak bagus[9].

[d] Anggota-anggota TGPF juga menjalankan kunjungannya (9/10) dan menjadi sasaran penembakan TPNPB sewaktu tim bergerak di Intan Jaya. Satu anggota TGPF dan seorang prajurit dikena; mereka awalnya menerima perawatan medis di tempat, kemudian dirujukan ke Jakarta[10]. Tim sudah merampungkan kunjungannya dan menurut infonya mereka sudah memiliki cukup banyak data untuk menyimpulkan siapa pelakunya pembunuhan pendeta Yeremias. Namun dalam wawancara sebelum pulang ke Jakarta mereka tidak bisa memberikan info lebih mendetil[11]

 

[5] Indonesia, melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (menkopolhukam), Mahfud, sekali lagi membenarkan bahwa tidak ada ruang negosiasi sekitar tuntutan kemerdekaan orang Papua[12].  “Bagi pemerintah keberadaan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia sudah final. Tidak ada jalan lain, tidak ada negosiasi untuk kemerdekaan dan/atau perpisahan” keterangan Mahfud (1/10). “Dewasa ini ada orang yang mau memisahkan diri; mereka bekerjasama dengan sejumlah provokator di luarnegeri; kami perlu menghentikan mereka dan menguasai mereka karena sikapnya adalah lawan hukum”, keterangan lanjutnya[13].

 

Sebaliknya pimpinan TPNPB/OPM di Papua, Goliat Tabuni, menyatakan  (8/10) bahwa Papua perlu diberikan kemerdekaan, dan TPNPB/OPM menuntut pemerintah Indonesia dan Amerika bertanggungjawab atas masalah kedaulatan Negara Melanesia Raya di Papua BaratPenentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 juga benar-benar suatu penghinaan yang luarbiasa dan sangat merugikan nasib masa depan rakyat dan bangsa Papua”[14].

 

Dalam kerangka pernyataan Menkopolhukam maupun pernyataan Pimpinan OPM diatas, juga menarik untuk membaca berita dari Ondofolo Besar Wilayah Adat Tabi, Yanto Eluay, yang dengan tegas mengatakan proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sudah dilakukan dan hasilnya adalah final. “Pepera sudah final. Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia, dan putra putri dari tokoh-tokoh Dewan Musyawarah Papua (DMP) siap mengawal dan menjaga hasil Pepera 1969”, tegasnya. Untuk mengawal itu didirikan Presidium Putra Putri Pejuang Pepera (P5). “Bersama para pelaku sejarah dan anak cucunya, kami akan meluruskan sejarah Pepera agar fakta-fakta sejarah tidak lagi dimanipulasi sekelompok orang demi agenda politik mereka, termasuk mereka yang mendukung  gerakan Papua merdeka”, ungkapnya[15].

 

[6] Sebagaimana diketahui bersama, permasalahan di Papua baru ini diangkat kembali oleh Pimpinan Vanuatu di Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (SU PBB) – lihat item [22] laporan 16-30 Sept. Melalui diplomat mudanya Indonesia menanggapi pernyataan Vanuatu itu dengan sangat keras dan menolak intervensi Vanuatu. 

Gaya bereaksi ini dapat sorotan luas karena dinilai sangat kurang tepat, baik karena ‘logika berargumentasi’ yang sangat keliru[16] maupun karena ‘’isinya” yang bersifat penyangkalan kenyataan di lapangan.  

Tanggapan di SU PBB disusuli lagi pernyataan dari jurubicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Teuku Faizasyah bahwa Indonesia melalui Kemlu  sudah mengundangkan Komisi Tinggi HAM PBB ke Indonesia untuk membahas berbagai situasi, termasuk Papua (Kompas.com, Senin, 28/9/2020). “Pernyataan ini sangat disesalkan karena Kemluhanya membuat propaganda dan cerita sesat, untuk mempengaruhi opini masyarakat Papua dan komunitas internasional yang lagi concern dan getol menyuarakan isu pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua sejak tahun 1963-2020”, menurut opini Thomas Ch. Syufi[17]. Dia lanjut menyatakan: “Meski Indonesia meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman.. mengapa masih marak terjadi penganiayaan dan pelanggaran HAM terhadap warga di mana-mana, misalnya, di Menado, Sulawesi Utara, Tambrauw, Papua Barat dan di gerbang kampus Universitas Cenderawasih Jayapura oleh militer. Di Indonesia pelanggaran HAM oleh baik TNI, maupun Polri, bahkan pembunuhan diluar hukum pun terus terjadi”. Mengenai peran Kemlu dia mencatat: “Peran Kemlu sangat penting dan strategis untuk membantu Presiden Jokowi guna menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Kemlu kebanyakan kabur data hingga memproduksi isu-isu bohong, distorsi terhadap realitas dan fakta kejahatan HAM di Tanah Papua. Kemlu hanya hobi melakukan ‘retorika’ semu. .. dan tidak melakukan apa-apa (atau langkah konkrit) untuk menemukan jalan penyelesaiannya.

Sementara waktu (9/10) Pacific Islands Forum (PIF) menghubungi United Nations High Commissioner for Human Rights (Komisi HAM PBB), Michelle Bachelet mencari dukungan buat permintaan PIF untuk mengirim suatu Tim Misi Pencari Fakta (TMPF) ke West Papua guna menilai keadaan HAM disitu[18]. Sekaligus PIF menguat sikapnya untuk memperjuangkan suatu dialog yang konstruktif dengan Indonesia berhubungan dengan situasi di Papua[19].

 

[7] Masyarakat Keerom mengamuk karena sangat kecewa mendengarCalon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). {Hasil sendiri tidak kami ketahui, maka sulit untuk menilai alasan persis, namun yang dapat diandaikan adalah bahwa quota 80% Orang Asli Papua (OAP) dan 20% orang pedatang tidak tercermin dalam pengumuman hasil CPNS ini (TvdB)}Ratusan orang bergerak dan membakar dua kantor dinas pemerintahan Kabupaten Keerom, sedang kantor Bupati dilempari batu (1/10)[20]. Polisi berintervensi dengan mengerahkan gabungan Brimob Polda, memakai gas air dan mengeluarkan tembakan peringatan, menurut keterangan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda."Ada enam orang kami amankan, tiga orang terkait pengerusakan dan pembakaran kantor pemerintah, sedangkan tiganya tadi pagi terkait aksi pemalang di Arso II," ujar Kapolres Keerom AKBP Baktiar Joko Mujiono[21]. Sedangkan dilaporkan juga bahwa tiga warga tertembak; dua korban tengah dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara di Jayapura, sementara keberadaan korban ketiga kurang diketahui[22]. Arso kota sementara waktu dijaga 400 personel polisi[23]. Juga para pemimpin agama melalui Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di wilayah Keerom turut berberan meredakan emosi dan kemarahan masyarakat[24].

 

[8] Sejak awal tahun ini, melalui laporan berkala ini, kami agak sering menarik perhatian pada pengusulan Omnibus Law-UU Cipta Kerja oleh pemerintah untuk memperlancarkan ekonomi di Indonesia. Terutama kalangan buruh di Indonesia mengkritik habis-habisan draf UU ini dan mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Repiblik Indonesia (DPR RI) untuk menunda pembahasannya selama suasana Covid-19, supaya rakyat nanti mempunyai ruang luas untuk mengemukakan pendapatnya. DPR RI tetap menolak permintaan dari kalangan buruh itu dan membahas terus draf UU itu. Omnibus Law-UU Cipta Kerja  disahkan DPR RI hari Senin (5/10). Sudah dapat diramalkan, pengesahan ini disambut dengan banyak protes lagi[25]. Bukan saja dari pihak lembaga-lembaga buruh, namun juga dari lembaga HAM, dari lembaga keagamaan, dari kalangan mahasiswa dstnya[26]. Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengumumkan bahwa akan menyelenggarakan aksi protes selama 3 hari (6-8/10)[27]. Pihak keamanan sudah menyiapkan diri untuk menangani protes ini dan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) sudah mengirim perintah ke segala jajarannya di Indonesia untuk mencegah segala aksi protes dan menanding segala kampanye protes di media sosial[28]. Demo-demo dilarang. Katanya ‘demi keselamatan masyarakat karena ancaman Covid-19’. Tidak mengherankan juga bahwa perintah demikian sekali lagi memancing banyak kritik karena hak kebebasan setiap warga mengungkap opini dan pendapatnya dilanggar[29]

Pokoknya, banyak orang merasa terancam dengan memberlakukan Ominibus Law ini. Hari Senin (5/10) sudah muncul sejumlah aksi protes di media sosial, a.l. keterangan bagaimana Papua akan dihancurkan melalui penerapan Omnibus Law ini. Bunyinya kritik di Papua: Omnibus Law [a] mengutamakan investor diatas kesejahteraan manusia, [b] menyangkal hak masyarakat adat untuk menentukan bagaimana tanah miliknya dipakai, [c] menghapus kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan atau menolak izin beroperasi/konsesi kepada perusahaan, [d] menghilangkan kewajiban investor untuk mengadakan suatu asesmen lengkap dampak atas lingkungan, [e] dengan akibat hutan akan dibabat habis dan lingkungan alam akan dirusak, dan [f] masyarakat adat akan kehilangan jaminan makanan dan dimarginalisasi.  

Selama seluruh minggu ini (5-10/10) terdapat demo-demo masal hampir diseluruh kota besar di Indonesia. Pada dasarnya semua demo bersifat ‘protes secara damai’ namun tak dapat dihindari bahwa di pelbagai tempat terjadi kerusuhan, sampai tindakan anarkis. Ratusan orang ditangkap polisi, dan sejumlah orang menjadi korban luka. Pihak keamanan makin tegas dan memakai gas air mata. Suasana di Indonesia ditandai ‘kekacauan umum’. Dan untuk tgl 13 Oktober suatu demo yang sangat besar diumumkan. Dalam demo itu bukan saja organisasi buruh akan aktif, dan bukan saja kalangan mahasiswa, namun juga organiasi masyarakat dari kalangan agama akan mengambil bagian secara masal; salah satu tuntutan akan menyangkut mundurnya Presiden Jokowi[30]. Sementara Kapolri perintahkan 200 personel Brimob Polda Maluku ke Jakarta[31].

Atas nama pemerintah Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) membaca suatu pernyataan yang menekankan bahwa [a] UU Omnibus Law-Cipta Kerja justru dibuat untuk melindungi para buruh dan menghilangkan sekali macam burokrasi yang menghambat perkembangan ekonomi dan membuka peluang bagi para koruptor; [b] bahwa mengadakan demo masal pada saat ini sangat membahayakan kita semua karena penularan Covid-19, maka demo dilarang dan segala kelakuan yang tidak benar (kekerasan, perusakan dll) akan ditangani dengan tegas; [c] bahwa ada ruang bagi masyarakat untuk mengungkapkan kemauannya sewaktu UU Omnibus Law-Cipta Kerja ini dirincikan lebih lanjut melalui ‘peraturan turunan’ di tingkat lokal/regional; dan dapat juga digugat melalui jalur hukum[32]. {Kami bukan ahli hukum, namun kesan kami bahwa catatan bahwa masyarakat masih dapat mengubah isi UU ini melalui ‘peraturan turunan’ membuat kami bingung. Ketua DPR RI, Puan Maharani  juga menekankan bahwa masih akan ruang luas untuk partisipasi serta suara masyarakat sewaktu perumusan ‘peraturan turunan’ itu. Bagi kami catatan itu bersifat agak ‘mengelabui mata orang’ (alias ‘menyesatkan’), karena setahu kami ‘peraturan turunan’ tidak boleh bertentangan dengan ‘hukum yang tingkat lebih tinggi’, maka inti dan pokok isi UU ini tidak dapat diubah oleh peraturan turunan.(TvdB)}

Presiden makin diserukan untuk membatal “Omnibus Law” ini melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undag (Perppu). Beliau akhirnya juga angkat bersuara pada 9/10 dan memberikan alasan perlunya Omnibus Law ini[33]. Alasan umumnya: menciptakan iklim ekonomi yang baik bagi Negara. Termasuk didalammnya suatu reformasi struktural dan transformasi ekonomi, a.l. melalui penyederhanaan banyak regulasi dan peraturan. Maka UU Cipta Kerja tidak akan beliau batalkan. Lalu, karena banyak pencari kerja – 87% dari total penduduk bekerja memiliki tingkat pendidikan setingkat SMU ke bawah, di mana 39% hanya tamat SD. “Maka UU Cita Kerja bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya bagi para pencari kerja”, kata Jokowi. Alasan lainnya, tambah Jokowi, dengan UU Cipta Kerja  memudahkan masyarakat, terutama Usaha Menengah dan Kecil (UMK) untuk membuka usaha baru. Regulasi yang tumpang tindih dan prosedur yang rumit dipangkas. Jokowi mengklaim juga  UU Cipta Kerja ini akan mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.  

Akhirnya beliau menyatakan: “jika masih ada tidak kepuasan pada UU Cipta Kerja  ini silakan ajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi”,kata Jokowi melalui siaran langsung Youtube Sekretariat Presiden, Jumat, 9 Oktober. 

Walau Presiden membela pengesahan Omnibus Law-UU Cipta Kerja, makin banyak penguasa lokal mulai berpihak pada para demonstran buruh; ada Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, Gubernur Kalimatan Barat Sutarmidji, dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah. Mereka meminta Jokowi untuk membatalkan UU Cipta Kerja[34]. Sementara Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, memilih untuk mendukung penuh Presiden Jokowi. {Perlawanan pada tingkat Gubernur ini akan membawa dampak mana?}

Yang menarik juga adalah tanggapan dari 35 investor global yang mengirim surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia. Mereka mewakili investasi senilai  4,1 triliun $ Amerika. Mereka menyikapi Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja karena mereka berpandangan RUU yang baru saja disahkan pemerintah dan DPR ini akan merusak iklim investasi. RUU Cipta Kerja dianggap bakal melanggar standar praktik terbaik internasional yang ditujukan untuk mencegah konsekuensi berbahaya dari aktivitas bisnis. Pada akhirnya hal ini akan menghalangi investor dari pasar Indonesia. Surat itu juga menyoroti kerangka perizinan, pemantauan kepatuhan lingkungan, konsultasi publik, dan sistem sanksi yang diyakini akan berdampak parah terhadap lingkungan, hak asasi manusia dan ketenagakerjaan. Kekhawatiran inilah yang menjadi sumber ketidakpastian yang dihindari investor[35].

 

Yang sangat menonjol juga adalah upaya sejumlah organisasi dan/atau pribadi orang untuk mengambil manfaat politik dari seluruh kekacauan sekitar Omnibus Law ini[36]. Dalam kerangka ini diberikan sugesti – tanpa sebutkan nama – siapa-siapa ada dibelakang segala protes ini, siapa yang mendukung dan membayarnya. Salah satu sugesti bahwa mantan Presiden, Yudohyono (SBY) adalah aktor di belakang semua ini. Hal ini sangat disesali oleh SBY yang sama sekali tidak berniat mengadakan demo walau partai Demokrat memang tidak mendukung Omnibus Law di DPR[37]. Dalam permainan politik ini juga Prabowo muncul lagi dengan ‘argumen favorit’, yakni semuanya ini diatur oleh ‘pihak asing’, ‘negara-negara yang tidak menyukai kami’[38]. Aneh, argumen yang sama lagi dipkai oleh TNI dalam uraian mengenai aksi TPNPB di wilayah Intan Jaya dan Nduga[39]. {Nah, ternyata masih ada sangat sedikit ruang untuk suatu introspeksi dan uraian yang obyektif dan itu sangat memalukan (TvdB).} 

[9] Hutan alam disekitar Kali Digoel, Boven Digoel, hingga Kali Mbian, Merauke, seluas 206.800 hektar akan dikonversi untuk bisnis hutan tanaman industri perusahaan PT Merauke Rayon Jaya, milik konglomerat Sinivasan Marimutu. Masyakrakat adat Wambon Tekamerop di Distrik Subur, Boven Digoel, sepakat dan sudah menolak rencana perusahaan berkali-kali; operator dan penghubung perusahaan mendatang, menekan dan merayu masyarakat, tapi sikap masyarakat tetap tolak. “Hutan untuk kehidupan anak cucu. Hutan napas kehidupan, bukan hanya untuk orang Wambon Tekamerop, tetapi untuk masyarakat dunia”[40].

 

[10] Bukan saja di Papua masyarakat adat mengalami kesulitan. Di Kalimantan Tengah (KalTeng) masalah yang sama menekan kehidupan masyarakat adat. Elite Agro LLC, perusahaan asal Uni Emirat Arab (UEA), mulai menjajaki kerjasama sektor pertanian food estate atau lumbung pangan di Kalteng dengan luas lahan 100 ribu hektar. Masyarakat berprotes. Menteri Lingkungan dan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mengatakan KLHK siap untuk menfasilitasi penyediaan lahan tersebut.  Menurutnya, sekitar 148 ribu ha sudah mulai disiapkan skema daerah irigasi. Sekaligus “disiapkan 31 ribu ha lahan untuk food estate yang dalam manajemen pangan strategis Kementerian Pertanahan dalam bentuk pinjam pakai dari kawasan yang sudah tidak berfungsi sebagai hutan”, tambahnya. “Kerja sama Indonesia-UEA, kami pasti akan dukung apalagi sudah menyangkut lahan”, pungkasnya[41].

 

[11] Masih berkaitan dengan berita diatas dan berita dalam laporan 16-30 September 2020 [item 24] dimana kami telah menarik perhatian pada gerakan protes melawan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di wilayah Kabupaten Merauke. Dalam suatu berita di News Mongabay (6/10), kami mengerti bahwa [a] ada rencana pemerintah Indonesia untuk memperluas secara sangat besar program ‘food estate’ di Sumatra dan di Papua; [b] program ini sekarang masih dikonsentrasikan di Kalimantan dimana suatu wilayah yang pernah direncanakan sebagai ‘food estate’ dulu (1990an), namun mengalami kegagalan total, akan dipakai ulang;  [c] investor-investor swasta akan dicari untuk perluasan program ini; namun aktivis-aktivis menyatakan bahwa ada risiko besar bahwa terulang lagi suatu perampasan tanah milik masyarakat adat; [d] pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mencabut ‘status hutan’ bagi sejuta hektar hutan hujan di Papua sehingga dapat dipakai sebagai ‘tanah pertanian[42]

 

[12] Frangky Samperante (pimpinan Yayasan Pusaka) dalam berita twitter (@angkytm) mencatat: “Pandemi Corona bukan halangan membatasi gerak penguasa. Sehari setelah Omnibus Law diketuk, hari ini (6/10), perusahaan PT Menara Wasior kembali mendatangi tokoh adat Mairasi, meminta dukungan untuk ekspansi perkebunan sawit. Masyarakat Adat Papua konsisten menolak.

 

[13] Setelah Freeport Indonesia (PTFI) menghentikan open pit mining (pertambangan tanah terbuka) di Grasberg - karena tinggal suatu ‘lobang besar yang kosong’ saja -, tahun ini PTFI mulai menyiapkan dana Rp 6 triliun. Kini perusahaan sudah menambang di underground mining (pertambangan dibawah tanah) yang rencananya akan dirampungkan pada tahun 2041 “Freeport akan menutup Grasberg, tailing, perumahan karyawan dan pertambangan dibawah tanah setelah 2041. Total biayanya Rp 6 triliun. Ini harus disetorkan 15 tahun sebelum selesai menambang”, kata direktur utama PTFI, Tony Wenas [43].

 

[14] Sementara PTFI bersama Pemda dan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Amungme dan Kamoro (YPMAK)membahas pengelolaan ‘dana kemitraan’ 1% (7/10). Dana 1% (sekitar Rp 800 miliar per tahun) dikelola oleh YPMAKdan lazimnya digunakan untuk pembangunan sekolah, rumah sakit dan fasilitas lainnya. Bupati berharap supaya dalam penggunaan YPMAK juga akan sejajar dengan program pemerintah, sedangkan PTFI menekankan supaya YPMAK tidak melupakan masyarakat di kampung-kampung yang sedikti jauh dari Timika. Bupati masih tekankan juga bahwa dana 1% ini terpisah total dari 7% saham dalam PTFI yang dia menuntut sebagai milik pemerintah daerah[44].

Salah satu pihak, Lembaga Adat Suku Kamoro (Lemasko) yang merasa tidak diberikan tempat/haknya dalam segala perundingan ini, sekarang mengancam menutup pertambangan Freeport[45].

 

[15] Di distrik Dal, Kabupaten Nduga terjadi kontak senjata antara TPNPB dan pasukan TNI (3/10). Menurut informasi TNI satu anggota TPNPB tewas dalam insiden ini[46].

 

[16] Jajaran Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III TNI terus mempercepat pembangunan gedung utama markas komando dan sarana-prasarana fisik penunjang lain di Timika, Papua (6/10). Rencananya markas dibangun mulai tahun ini dan akan diselesaikan dalam 2 tahun. Markas ini menempatkan tanah seluas 79 hektar. Menurut Siswatyo, setelah markas komando di Timika selesai dibangun diharapkan semua kekuatan TNI dari tiga matra, didukung institutsi lain di wilayah tersebut bisa lebih mantap. “Ada banyak satuan tugas yang tergelar di Papua, baik itu Satgas Nemangkawi yang diperintahkan mengatasi kelompok separatis bersenjata, Satgas Pengamanan PerbatasanSatgas BIN, dan lain-lain” [47].

 

[17] Salah satu akibat suasana ancaman Covid-19 berkepanjangan adalah meningkatnya jumlah orang yang kehilangan pekerjaannya (PHK). Kenyataan demikian membuat pusing para pengurus Badan Pemerintahan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). Pengurus BPJS di Timika menjelaskan bahwa jumlah PHK di Timika hingga September 2020, tercatat sudah ada 6.686 kasus klaim yang telah diproses dengan total pembayaran Rp 135.642.482.099. Dinantikan orang yang mengajukan klaim akan bertambah lagi selama bulan-bulan mendatang[48].

 

[18] Untuk mencegah campak, rubella dan tetanus pada anak usia Sekolah Dasar, Dinas Kesehatan, Kabupaten Asmat, melakukan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (Bias). Kegiatan ini baru bisa diadakan bulan ini karena tertunda oleh ancanman Covid-19[49]

 

[19] Waktu mengunjungi Pondok Pesantren Annuqayah, di hadapan ulama dan masyarakat Madura (4/10) Menkopolhukam, Mahfud, menjelaskan bahwa ada 3 kelompok radikal yang berupaya mengubah ideologi negara. Yang pertama kelompok yang ingin menggantikan Indonesia atau Negera Pancasila menjadi Negera Bukan Pancasila. Kelompok ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia yang dibubarkan pemerintah 19 Juli 2017. Yang keduaadalah Majelis Mujahidin Indonesia. Kelompok ini disebut tidak ingin mengganti Negara Pancasila. Akan tetapi, mereka menghendaki semua hukum yang berlaku harus hukum Islam. Yang ketiga adalah Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam di Sulawesi Selatan. Kelompok ini dinyalir ingin menegakkan syariat Islam di berbagai daerah. Selanjutnya Menkopolhukam menekankan ‘saat membangun Madina, Nabi membuat Piagam Madinan. Isinya merangkul semua orang baik Islam maupun bukan Islam. Seluruh suku agama mendapat perlindungan harta, jiwa dan agama’[50]

 

[20] Dewan Gereja di Papua (DGP atau WPCC) mengirim suatu surat terbuka kepada Presiden Jokowi dan Pimpinan Keamanan (7/10). Isinya berfokus pada sikap rasis Negara terhadap Papua, dan pada keadaan militarisasi Papua. Ternyata pimpinan Negara makin menjauhkan dari hasil penelitian LIPI dimana permasalahan di Papua dijelaskan secara sangat tepat dengan mengangkat 4 masalah kunci. Hasil studi LIPI tidak dihiraukan pemerintah pusat. Dalam surat terbuka ini banyak data dicantumkan yang menunjukkan suatu strategi pimpinan negera demi menyelesaikan masalah melalui penambahan pasukan serta pembangunan markas-markas militer dimana saja dan dengan menciptakan suatu daerah yang berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Strategi demikian melanggar harapan masyarakat Papua dari satu segi dan tidak akan menyelesaikan apa-apa dari segi lain. Dewan Gereja Papuamenyerukan kepada Presiden Jokowi untuk memegang janjinya (sept 2019) untuk bertemu dengan ‘pihak pro-referendum’, dalam hal ini United Liberation Movement West Papua (ULMWP)[51]. Dengan kata lain: stop militarisasi, menarik pasukan dari Papua dan mulai berdialog sejati![52]

 

[21] Ada insiden tembakan lagi (6/10). Kali ini di Pasar Baru Kenyam, distrik Nduga. Satu pos TNI ditembaki oleh TPNPB. Seorang warga sipil, Yulius Wetipo (34) yang lewat pos itu dikena tembakan dan sekarang dirawat di Rumah Sakit di Timika[53]Menurut berita beberapa hari kemudian yang bersangkutan sudah meninggal dunia karena lukanya (TvdB).

Esok harinya (7/10) ada berita mengenai penembakan bertempat di stasi Emondi, paroki Bilogai. Korbannya, seorang pewarta gereja katolik, Agustinus Duwitau (23). Dalam berita TNI tidak disebut pelakunya, namun menuding korban bersama adiknya adalah anggota TPNPB. Pihak Gereja Katolik membantah tudingan itu[54]

Hari Minggu (11/10) lagi ada kontak senjata di Kampung Tausiga, distrik Hitadipa. Adanya korban masih kurang diketahui[55], sedang hari Senin (12/10) ada kontak senjata lagi disekitar bandara Bilorai[56].

 

[22] Gubernur provinsi Papua menegaskan kembali mau memperjuangkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sebenarnya sudah dicatat dalam UU Otsus sejak 2001, namun tidak pernah dilaksanakan[57].

 

[23] Cukup mengherankan juga. Ditengah segala kritikan dan penolakan Otsus Jokowi tiba-tiba muncul dengan suatu Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat , yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 20 Tahun 2020, ttgl 29 Sept 2020.  Tim Koordinasi baru ini mempunyai tugas melaksanakan kebijakan percepatan pembangunan kesejahteraan untuk mewujudkan masyarakat yang maju, sejahtera, damai dan bermartbat. Ada Dewan Pengarah dipimpin wakil Presiden, Ma’ruf Amin bersama sejumlah menteri; dan ada Tim Pelaksana, yang dipimpin Bappenas dan dibantu 7 anggota, lima (5) dari pelbagai kementerian dan dua (2) dari Papua, yakni berasal dari Gubernur Papua dan Papua Barat. 

Disamping Keppres No. 20 Jokowi juga terbitkan Instruksi Presiden no. 9 th 2020 ttgl 29 Sept (Inpres no. 9) untuk melengkapi Keppres No. 20. Dalam penjelasan ini Jokowi menekankan bahwa pendekatan pembangunan Papua harus berdasarkan perspektif sosial, budaya, wilayah adat, dan zona ekologis: “ini penting dalam rangka pembangunan berkelanjutan dan fokus pada orang asli Papua (OAP)”. Juga diperintahkan untuk memperhatikan kampung/pulau yang terpencil dan pegunungan yang sulit dijangkau. Selanjutnya “pemberdayaan dan pelibatan aktif masyarakat lokal dan tokoh adat dalam pengawasan dan peningkatan kualitas pelayanan publik harus diutamakan”, bunyi Inpres tersebut. Inpres No. 9 juga menyebut pembiayaan Tim Koordinasi dibebankan a.l. atas Dana Otsus[58].

Waktu kami membaca berita tadi, kami mengakui tidak terluput dari pengalaman di masa lampau, karena kami langsung teringat pada pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dari zaman Presiden Yudhoyono, yang sesudah beberapa tahun dan biaya besar dinyatakan gagal dan tidak diteruskan. Apalagi kami dapat kesan bahwa melalui Keppres dan Inpres tadi juga menjadi jelas bahwa segala kebijakan untuk Papua akan dirumuskan/dikuasai di Jakarta dan dilaksanakan di Papua dan Papua Barat. Ruang mana masih terbuka bagi Pemda Papua dan Papua Barat sanagt minim untuk sendiri mengidentifikasi dan merumuskan kebijakannya. Salah satu kesulitan dengan UP4B dulu adalah bahwa unit ini de fakto menyingkirkan peranan para pemimpin lokal. Kesannya bahwa risiko besar yang sama akan dibawa serta  oleh Tim Koordinasi yang baru ini. (TvdB)

 

[24] Berita yang cukup memprihatinkan.  Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) ada kenaikan signifikan dalam penjatuhan vonis bebas atau lepas untuk terdakwa korupsi selama semester pertama 2020 dibandingkan dengan periode yang sama 2019. Menurut data ICW , sebanyak 17 orang divonis bebas atau lepas pada semesnter I tahun 2019. Sementara, selama semester I 2020, terdapat 55 terdakwa yang divonis bebas atau lepas. Tahun 2020, 766 divonnis ringan (kurang dari 4 tahun); tahun 2019, 436 dovonis ringan. Selama 2020, 206 divonis sedang (4-6 tahun), sedangkan tahun 2019, 71 orang. Selama 2020,10 orang divonnis berat (10 tahun keatas), sedangkan tahun 2019, 2 orang. Menurut ICW maraknya vonis ringan dan bebas dikarenakan belum ada kesepahaman antara para hakim bahwa kasus korupsi adalah kejahatan luar biasa[59].

 

[25] Di Jayapura  Kongres Nasional ke-IV Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) resmi dibuka oleh Timoteus Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP). Kongres dijalankan 12-15 Okt 2020. Tema sentral kongres: “Bersatu Selamatkan Papua [60]. Intinya pokok diskusi sebagaimana terungkap oleh salah satu narasumber, Markus Haluk, ‘generasi muda Papua memiliki peran menentukan dalam upaya penyelamatan manusia dan Tanah Papua dari ancaman kebijakan pemerintah maupun korporasi yang merampas hak milik maupun hak hidup manusia Papua. Upaya penyelamatan itu tidak cukup dilakukan dengan membaca buku sejarah, namun harus diwujudkan dalam kerja nyata setiap generasi muda Paua’. “Situasi Papua saat ini menggelisahkan. Orang Papua dalam berbagai aspek kehidupan telah termarjinalkan di atas tanah sendiri. Praktek politik diskriminasi rasial pemerintah Indonesia mengakibatkan orang Papua menjadi korban”, kata Haluk[61]AMPTPI menilai diri sebagai salah satu wadah penting dimana pemimpin masih depan disiapkan[62]

 

[26] Ternyata TNI sudah memasuki wilayah tetangga, Papua Nugini (PNG). Menurut berita ada pos TNI sekitar 30 km dari perbatasan Papua masuk wilayah PNG. Adanya pos ini tidak disangkal oleh TNI. Hal ini sedang ditangani ditingkat diplomasi antara PNG dan Indonesia[63].  

 

[27] Syukurlah masih tetap ada suara yang mendesak pemerintah pusat untuk mengubah pendekatannya di Papua: meninggalkan pendekatan pengamanan, memakai kekerasan, dan beralih pada pendekatan dialog dan damai. Majalah Tempo (edisi bahasa Inggeris) memberikan perhatian luas kepada kebutuhan perobahan ini[64]. [berita lebih lengkap dalam bagian Refleksi dibawah]. Dan baru ini (14/10) juga mantan wakil Presiden Jusuf Kalla mengangkat suara lagi dan siap membantu mengembangkan suatu ‘diplomasi damai’dalam persoalan di Papua. Walau beliau tidak merincikan saran ‘diplomasi damai’ ini, beliau mencatat bahwa penyelesaian di Papua tidak sama dengan di Aceh, mengingat bahwa di Papua ada  banyak ‘faksi kepentingan’ dan belum terorganiasir dalam sautu organisasi yang satu komando yang jelas. Namun demikian, beliau berpendapat bahwa suatu ‘diplomasi damai’ bisa berhasil dan akan memberikan keutungan kepada kedua belah pihak (win-win) dan mengindahkan martabat segala pihak yang terlibat (dignity for all)[65].

 

[28] OTSUS. Pada umumnya masyarakat Papua masih bersikap kuat penolakan Otsus Jilid I dan meminta ‘Jakarta’ untuk mendengar masyarakat Papua[66]. Lebih konrit perkembangan paling menonjol adalah sekitar penyelenggaraan Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) serta hasilnya. MRP Papua Barat (MRP PB) sudah menyelesaikannya dan hasilnya bahwa masyarakat sebenarnya tidak meminta Otsus melainkan meminta Referendum[67]. Hasil ini berbeda dengan apa yang sudah dikirim Pemda PB ke Jakarta. Bagaimana penyelesaian intern hal ini masih kurang diketahui. Di provinsi Papua rencana RDP ada namun belum dijalankan, malahan kegiatan MRP sering mengalami pemboikotan oleh kelompok yang menolak Otsus. Baru ini MRP diberikan dukungan oleh AMPTPI (lihat item [24]). Walau sebagai organisasi AMPTPI tidak mendukung Otsus Jilid II mereka berpendapat bahwa MRP berhak menjalankan tugasnya mengadakan RDP, dan hasilnya bisa menjadi dasar keputusan Pemda Provinsi mengenai apa yang direkomendasi ke Jakarta[68].  

Sementara waktu ada perkembangan sekitar Otsus yang mungkin jauh lebih menentukan, yakni terbitnya Keppres No. 20 dan Inpres No. 9, ttgl 29 Sept 2020 (lihat item [23] diatas). Melalui tindakan ini Presiden menarik segala perencanaan pembangunan di Papua ke pusat, menjadi tugas Tim Koordinasi yang terdiri dari jajaran Presiden di Jakarta. Peranan Pemda Papua sangat tidak ditonjolkan, sedangkan pihak Polisi dan TNI di Papua masih diberikan peranan aktif dalam ‘mengajak’(lobby), a.l. melalui tokoh-tokoh adat, tokoh, gereja, tokoh-tokoh masyarakat[69]. Dengan demikian dapat disimpulkan, tidak perlu diskusi banyak lagi karena [a] pemerintah tetap akan menyediakan ‘dana Otsus’ dari satu segi, dan [b] pemerintah akan mengambil kontrol seluruh perencanaan serta pemakaian ‘dana Otsus’ dari segi lainnya. Maka, tidak berlebih-lebihan kalau dipertanyakan: wewenang Pemda Papua, masyarakat Papua untuk sendiri secara ‘otonom’ menentukan sesuatu masih sisa apa? Apalagi ‘dana Otsus’ untuk sebagain dikerahkan untuk membiaya ‘Tim Koordinasi Jakarta’; maka sebagian dana yang disediakan ‘Jakarta’ untuk Papua de fakto kembali ke ‘Jakarta’. Kesannya bahwa dengan demikian segala pembahasan Otsus di Papua hanya dinilai oleh Jakarta sebagai ‘hiasan kaca’ saja, dan tidak akan berdampak sedikitpun pada ‘ruang otonomi yang de fakto mau diberikan oleh pemerintah pusat’. Dengan  kata lain: untuk apa kita masih diskusi Otsus???(TvdB)

 

[30] Update Covid-19 pada tanggal 15 October: Kasus Positif: 8,282; sedang Dirawat 3,345; sudah Sembuh 4.803; yang Meninggal 133; dan PCR+TCM tests 68,991.

COVID-19

15 Oktober 2020

JUMLAH POSITIF

JUMLAH DIRAWAT

JUMLAH SEMBUH

JUMLAH MENINGGAL

PROBABLE

SUSPEK

Kota Jayapura

4099

1783

2245

71

8

 

Kab Mimika

2177

691

1462

24

26

 

Kab Jayapura

556

152

391

12

6

 

Kab Biak Numfor

448

278

161

9

19

 

Kab Nabire

289

166

115

8

 

 

Kep. Yapen

173

140

28

5

 

 

Kab Keerom

121

36

83

2

 

 

Kab Jayawijaya

117

21

96

0

 

 

Kab Merauke

112

29

83

0

 

 

Kab Boven Digoel

30

5

25

0

 

 

Kab Sarmi

29

22

7

0

 

 

Kab Lanny Jaya

27

0

26

1

 

 

Kab Tolikara

27

0

27

0

 

 

Kab Superiori

21

8

13

0

 

 

Kab Yalimo

15

0

15

0

 

 

Kab Paniai

15

7

7

1

 

 

Kab Mappi

12

6

6

0

 

 

Kab Peg Bintang

8

0

8

0

 

 

Kab Mambera-

mo Tengah

4

`

3

0

 

 

Kab Puncak Jaya

1

0

1

0

 

 

Kab Waropen

1

0

1

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

8,282

3,345 = 40%

4,803 = 58%

133 = 2%

59

1,280

 

 

 

 

Tes PCR

68,991

 

 

 

Sejumlah catatan Covid-19

·       Trend dari 2 minggu sebelumnya terus berkelanjutan; kenaikan cukup signifikan: jumlah yang tes positif tambah lebih daripada 100 setiap hari.Yang meninggal turut bertambah: dari 99 akhir Sept menjadi 133 tgl 15 October - tambah setiap hari 2 orang.

·       Di provinsi Papua dan Papua Barat, ternyata dari jumlah orang yang dites, 16% lebih tes positif! Standard WHO adalah 10%. Di seluruh Indonesia ternyata lebih tinggi[70].

·       Peraturan protokol kesehetan masih tetap pada tongkat sebelumnya. 

 

B A H A N    R E F L E K S I

 

Sebagai bahan refleski kami mencantumkan terjemahan sejumlah kutipan dari artikel dalam majalah TEMPO, versi Inggeris.

 

https://en.tempo.co/read/1394324/dialogue-not-violence

TEMPO.COJakarta – Sambil menolak perpanjagan Otsus, sejumlah kelompok di Papua menuntut referendum. Pemerintah harus memprioritaskan dialog.

Sebaiknya pemerintah tidak berburu-buru menanggapi penolakan perpanjangan otonomi khusus (otsus) oleh sejumlah kelompok di Papua. Tuntutan mereka akan hak menentukan nasibnya sendiri, jangan dijawab dengan tindakan-tindakan repressif. Seperti lingkaran setan, kekerasan hanya akan melahirkan lebih banyak kekerasan lagi.

Akar-akar permasalahan di Papua adalah ketidakadilan dan diskriminasi. Selama masalah-masalah itu tidak ditangani, dana otonomi khusus – entah bagaimanapun besarnya – yang Jakarta mengririm ke Papua hanya merupakan ‘manisan’ saja. … Presiden Joko Widodo menunjukkan niatnya pada Papua dengan memungkinkan satu harga saja untuk bahan bakar dan mendorong konstruksi jalan trans-Papua. Namun inilah tidak cukup. Walau kesejahteraan diprioritaskan, pemerintah tidak mengirim guru banyak atau tenaga kesehatan ke Papua. Malahan sebaliknya, pemerintah mengirim tambahan prajurit dan brimob, secara khusus sesaat ada gangguan disitu.

Justru pendekatan pengamanan ini sering menghasilkan ketegangan dan sering membawa pelanggaran hak-hak asasi. Yang melakukan pelanggaran boleh berbeda orangnya, namun korban-korban selalu sama: bangsa Papua. Sesudah penembakan fatal Pastor Yeremias Zanambani, pertengahan September, tentara menuding militia sebagai pelakunya. Namun, isteri Yeremias dan warga lokal menyatakan bahwa sebenarnya tentara ada di belakang pembunuhan itu. Walau mungkin suatu hari pelaku itu ditahan, Yeremias dan korban-korban lainnya tidak pernah akan kembali.

Seharusnya ada suatu dialog antara pemerintah dan mereka yang melawan otonomi khusus. Pemerintah perlu menarik kembali pasukan pengamanan dari Papua. Sementara waktu militia perlu menurunkan senjatanya. Betapapun panjangnya dan menguras tenaganya, suatu dialog selalu lebih baik daripada pembunuhan yang tak pernah berakhir. 

 

Jayapura, 17 Oktober 2020



[16] https:/geotimes.co.id/komentar/kekeliruan-argumentasi-diplomat-silvany-pasaribu/

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.