Tuesday, October 6, 2020

PAPUA 2020 16–30 SEPTEMBER Oleh: Theo van den Broek (in Bahasa)

 PAPUA  2020

16–30 SEPTEMBER

Oleh: Theo van den Broek

[1] Harapan pengungsi kampung Waa-Banti, Kimbeli dan Opitawak bisa pulang kampung. Menurut pemantauan pihak keamanan kelompok TPNPB yang akhir ini mengganggu distrik Tembagapura, wilayah Operasi PT Freeport, sudah meninggalkan wilayah itu. Mereka sekarang kembali ke markasnya di wilayah lainnya. Keamanan ketiga kampong tadi masih akan dicheck dan kalau benar, unit-unit intelijen dikerahlan ke lokasi-lokasi itu, kemudian aparat bersama PT Freeport dan PemKab Mimika akan menyiapkan rencana mengembalikan seribuan warga tiga kampung itu yang sementara mengungsi ke Timika bulan Maret lalu[1]. Dengan demikian seruan Kepala Kampung Waa, Yohanes Jamang kepada para penguasa di Timika ternyata terdengar: “Kampung kami di Waa-Banti adalah surga yang Tuhan ciptakan untuk kami. Jadi kami tidak bisa melepas begitu saja dan kamipun tidak bisa menjalani kehidupan di Timika”[2]

 

[2] Suatu tindakan yang cukup menarik perhatian dan mengagumkan!  Ternyata Veronica Koman, seorang yang sangat berjasa bagi orang Papua (bantuan hukum dalam soal tuduhan makar dll.) memberitahukan bahwa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) menunutut pengembalian beasiswanya, sebanyak Rp 773.876.918 (sekitar US$ 53.000). Tim Solidaritas Ebamukai di Papua merasa bahwa karena jasanya masyarakat Papua sewajarnya membantunya. Sudah terkumpul sumbangan sukarela Tim Solidaritas memutuskan untuk menyerahkan uang beasiswa itu kembali kepada LPDP di Jakarta (16/9). Bukan saja membawa bukti transfer jumlah lengkap hutang beasiswa, namun juga secara simbolis satu juta tunai dalam pecahan kecil dari masyarkat, dan sekaligus ingin menyerahkan bendera merah-putih bersama Otsus. Ternyata semua pintu masuk kantor LPDP tertutup,’karena peraturan Covid-19’ katanya penjaga pintu. Akhirnya dititip pada Kementarian Menkopolhukam, Mahfud, untuk meneruskannya. Dengan tindakan ini, de facto beasiswa Ibu Vero dibayar oleh rakyat Papua[3].

 

[3] Banjir bandang Sentani terjadi 16 Maret 2019. Ternyata masih ada korban yang belum dibantu setelah satu setengah tahun kemudian, hingga masih menghuni gedung pasar rakyat di Doyo Baru. Sejak banjir bandang itu tidak ada perhatian dari pemerintah setempat secara langsung; justru dari luar kabupaten, seperti Keerom, Provinsi, donator, BUMN, yang lebih peduli dengan kondisi kami” kata Kony (16/9). Pengungsi yang menghuni gedung pasar rakyat ini adalah warga sekitar, yang rumah mereka hancur diterjang banjir bandang. Jumlahnya sedikitnya 33 Kepala Keluarga.  Ada janji bantuan namun tidak ada pelaksanaanya! [4].

.

[4] Indonesia berpikir/mimpi besar. Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan wacana pemerintah membangun bandara khusus antariksa di Biak, Papua. Terungkap selama diskusi mengenai Ekonomi Keantariksaan Sebagai Penggerak Pertumbuhan Menuju Indonesia Emas (16/9)[5]

 

[5] Tahun ini sebenarnya rencana untuk mengadakan sensus kependudukan. Program ini memang sangat dibutuhkan; perlu berupaya mengoreksi data kependudukan yang sudah bertahun-tahun sangat membingungkan. Munculnya Covid-19, sudah menjadi halangan besar kelancaran pelaksanaan sensus ini. Ada halangan lainnya: yakni suasana politik yang telah berupa suatu keptidakpercayaan terhadap pemerintah dan yang mewakilinya. Karena suasana itu sejumlah warga di sekitar Sentani menolak memberikan data kepada petugas sensus penduduk, dan di Nduga (16/9) warga-warga menyita segala dokumen petugas sensus. Alasan mereka: selama kami mengungsi dan menderita sudah cukup lama pemerintah tidak membuat apa-apa; hanya pasukan dikirim untuk membunuh kami; maka, mau apa lagi?[6].

 

[6] Salah satu proses hukum berkaitan dengan insiden-insiden rasis selama pertengahan kedua 2019, yakni proses pengadilan di Sorong, akhirnya juga dirampungkan dan vonis ditetapkan. Sebelas terdakwa ‘makar’ pada demo berujung rusuh di Sorong tahun lalu, divonis 10 bulan (17/9). Mereka ditahan sejak 27 November 2019, maka setelah divonis dapat pulang dalam 10 hari. Fernando Ginuny, koordinator penasehat hukum 11 tahanan politik ini, menyatakan: “kami berharap agar pemerintah republik Indonesia lewat aparat kepolisian, sebelum menetapkan seseorang tersangka makar perlu memperhatikan hal-hal yang mendukung tindakan tersebut, karena kalau tidak demikian maka orang Papua yang akan menjadi sasaran kriminalisasi oleh aparat kepolisian”. Ia melanjutkan beberapa kasus yang ditangani LBH Kaki Abu semua berhubungan dengan tindakan kriminalisasi oleh aparat kepolisian tetapi ditetapkan oleh Polisi bagai ‘upaya makar’. Natalis Yemen, Koordinator Umum Forum Peduli Keadilan Bagi Monyet menyatakan: “bagi Negara Indonesia kesebelas orang ini adalah tahanan politik, tetapi bagi Orang Asli Papua (OAP), kesebelas orang ini adalah pahlawan karena ditangkap dan ditahan atas dasar menyuarakan apa yang menjadi persoalan bagi orang Papua”.[7]

 

[7] Berhubungan dengan catatan tim bantuan hukum tadi, menarik juga untuk mencatat apa yang disampaikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Mahfud dalam Rapat Kerja Teknis Bidang Pidana Umum Kejaksaan Agung (16/9). Dia mengingatkan para peserta bahwa kesan penegakan hukum di Indonesia sangat buruk. “Sudah sangat jelek kesan penegakan hukum kita di masyarakat, nanti diperas, nanti malah ditangkap, dan sebagainya. Saya tidak bisa melakukan apa-apa, Presiden tidak bisa melakukan apa-apa, karena semua punya batasan kewewenangan. Karena itu, perlunya pembinaan dan moralitas”, kata Mahfud[8].

 

[8] Sebagaimana diketahui suasana kemasyarakatan di Yahukimo akhir ini memburuk; ada beberapa pembunuhan; ada operasi militer berupa aksi penyisiran termasuk penyitaan segala ‘alat tajam’ yang semuanya dinilai ‘senjata tajam’, walau sering menyangkat alat kerja melulu. Berita baru adalah bahwa ada tambahan aparat gabungan Brimob-TNI yang masuk tgl 17/9 dan langsung mengadakan aksi penyisiran sementara juga menangkap 6 orang untuk dibawa ke markasnya. Yang dtangkap: Les Giban, Oneseeph Sobolim, Agus Kobak, Yepi Magayang, Tunen Amokoso dan Nareen Kobak[9]

Akhir September (27/9) sekali lagi DPRD di Yahukimo, melalui anggotanya Nathan Wetipo, meminta kepolisian (Polres) di Yahukimo untuk menghentikan operasi penyisiran pemukiman warganya dan beroperasi sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Ternyata operasi itu berjalan terus dan bikin masyarakat sangat takut dan merasa tidak aman. Wetipo menekankan bahwa ‘polisi sudah tahu identitas orang yang ada di belakang aksi-aksi kekerasan akhir ini, maka cari orang itu saja! dan jangan mengganggu terus masyarakat biasa’. “Sekarang terus masuk ke rumah-rumah warga ini maksudnya apa?” Kapolres membantah keterangan dari Pak Wetipo dan menyatakan bahwa semua operasi penyisiran sudah sesuai SOP; dan banyak berita adalah ‘berita hoax’ saja![10] Sementara waktu sejumlah orang yang ditangkap dalam penyisiran beberapa hari sebelumnya (17/9) masih ditahan di Polres Yahukimo, dan alat-alat kerja yang tajam yang disita belum dikembalikan!

 

[9] Dalam laporan 1-15 Sept item [37] kami sudah menyinggung sejumlah insiden kekerasan di wilayah Intan Jaya. Satu insiden lagi terjadi tgl 17 Sept; dua orang dibunuh oleh anggota-anggota TPNPB; seorang anggota TNI dan seorang tukang ojek. Pada akhir minggu berdarah itu (19/9), dua korban lagi dicatat di Hitadipa, Kab Intan Jaya, Satu, seorang prajurit, Dwi Akbar Utomo, dan yang kedua, seorang pastor, Yeremias Zanambani, 63 tahun. Prajurit dibunuh dalam suatu serangan oleh TPNPB, sedangkan pastor ditembak selama kegiatannya memberikan makanan pada ternak babinya[11], dan siapa pelakunya masih merupakan bahan polemik. Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) telah menyurati Presiden supaya suatu investigasi mendalam diadakan, dan supaya menghentikan pengoperasian militer di Intan Jaya. Gereja (Gereja Kingmi) juga kecewa bahwa dari pihak pemerintah, entah jajaran Jokowi entah jajaran Gubernur, belum ada tanggapan atas pembunuhan pastor di wilayah Hitadipa[12]. Siapa pelakunya? TNI menuduh TPNPB, namun sejumlah saksi lokal menyatakan bahwa pastor ditembak oleh TNI. TPNPB telah menyatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam penembakan pastor Yeremias[13]. Kapolda juga menuding TPNPB. Berkaitan sikap Kapolda, anggota Panitia Khusus Kemanusiaan DPRP , Paskalis Letsoin, meminta ‘Polda Papua sebagai penyidik tidak ikut tuding menuding soal pelaku penembakan Pdt Yeremias. Polda Papua diharapkan fokus melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus penembakan itu’. Dalam hal ini Kompas mencatat bahwa ini mungkin pastor yang ketiga yang ditembak mati oleh TNI di Papua[14]

Bagaimanapun juga, akibat kekerasan di wilayahnya masyarakat untuk sebagian terbesar sudah mengungsi ke hutan dan/atau kampung-kampung bersahabatan[15]. Berita terakhir adalah bahwa sekali lagi akan ada tambahan pasukan di Intan Jaya. Menurut Kapolda, lima kelompok TPNPB beroperasi disekitar Hitadipa, sedangkan jumlah personil in Hitadipa Militer Komando terbatas. Hanya ada satu jalan akses ke Hitadipa melalui distrik Sugapa. Kebanyakan serangan terjadi disekitar jalan itu. Maka jalan perlu dijaga keamanannya berlapis-lapis [16]

Dalam perkembangan lanjut baik TPNPB maupun TNI/Polri menyatakan wilayah sekitar Hitadipa sebagai ‘medan perang terbuka’[17]. Maka, masyarakat juga didesak oleh masing-masing pihak untuk meninggalkan wilayahnya[18].

 

[10] Solidaritas Kaum Profesional dan Intelektual Asli Kabupaten Intan Jaya dalam sepucuk ‘surat terbuka’ meminta pemerintah dan DPRD membentuk suatu Tim Khusus (Timsus) untuk menyikapi konflik yang terjadi beberapa waktu terakhir. Covid-19, ditambah lagi kontak tembak antara TNI dan TPNPB membuat masyarakat trauma berkepanjangan. Keamanan mereka tidak terjamin. Situasi ini perlu dibahas dengan serius bersama masyarakat. Dalam seruannya Kaum Solidaritas ini mencatat 11 point untuk dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Salah satu saran adalah untuk membentuk Timsus, yang diminta menyusun suatu laporan factual dan diserahkan kepada Gubernur untuk ditindaklanjuti. Yang menarik juga ditekankan bahwa Pemkab Intan Jaya harus menetap dan menjalankan tugas-tugas pemerintahan di wilayahnya untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat. Ternyata Bupati dan jajarannya serta DPRD, mereka semua tidak ada di tempat, namun selama delapan tahun berdomisili dan berkantor di Nabire! [19] Catatan terakhir itu betul membuka mata atas suatu realitas yang bukan saja realitas di Intan Jaya, yakni bahwa banyak pejabat kunci hidup dan kerja diluar mereka mempunyai wilayah. Situasi semacam ini terjadi setelah diadakan pemekaran Kabupaten beberapa tahun lalu. Sangat menyedihkan bahwa situasi demikian masih ada sampai saat ini. Bayangkan masyarakat merasa ditinggalkan; selama seluruh periode Intan Jaya diduduki pasukan militer  dan mengalami operasi militer berjalan intensif, mulai bulan Desember 2019 sampai saat ini, masyarakat sendirian saja dan Bupati dkk tidak ada di tempat. Maka sangat tepat Kaum Solidaritas ini menuntut pembahasan situasi di Intan Jaya secara serius sambil mendesak Bupati dkk untuk “pulang kampung”! (TvdB)

 

[11] Dalam rangka mencari pengakuan atas hak ulayat masyarajat adat, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Kab Sorong Selatan, George Knodjol, melaporkan  perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit di distrik Tenimabuan dan Konda kepada Komnas HAM Republik Indonesia. Perusahaan-perusahaan melanggar hak masyarakat adat. Izin konsesi yang mereka punya adalah suatu kompromis antara pemerintah daerah (Pemda) dengan perusahaan tanpa melibatkan masyarakat adat. Walau masyarakat sampai tiga kali menyatakan kepada Pemda bahwa mereka menolak beroperasinya perusahaan, ternyata izin tetap diberikan saja. Peringatan tegasnya ketua DAP: “jangan coba masuk atau mengambil atau mengelola hasil alam di Kab Sorong Selatan tanpa izin kepada asyarakat adat”[20].

 

[12] Sebuah helikopter, milik PT National Utility Helicopters (NUH), hilang dalam perjalanan dari Nabire ke Baya Biru dalam distrik Paniai (17/9). Esok harinya helikopter itu ditemukan, namun tempat pendaratan darurat belum bisa dijangkau untuk mengevakuasi 3 awaknya. Evakuasi diadakan Sabtu (19/9) dan ketiga awak helikopter sekarang dirawat di rumah sakit di Nabire[21]

 

 [13] Mendengar suara Gubernur, Lukas Enembe, ada rencananya untuk memberikan nama-nama orang Papua pada sejumlah gedung yang penting. Pada tanggal 20 Oktober bukan saja Stadion Baru Papua Bangkit akan diresmikan dan diberikan nama Stadion Lukas Enembe, namun sekaligus airport di Sentani akan dibaptis ulang menjadi Airport Theis Eluay[22].

 

[14] Walaupun banyak unsur dari Omnibus Law  masih merupakan bahan diskusi dan ditolak menurut Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan Omnibus Law  ini bisa disahkan bulan ini (19/9). Dia menjelaskan bahwa policy ini bisa menjadi senjata Indonesia untuk menjadi Negara yang sangat kompetitif ke depannya[23]. Berita ini ditanggapi dengan cukup kritis sampai dinyatakan merupakan kebohongan. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menegaskan pihaknya tetap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan. Presiden KSIP, Said Iqbal, menyatakan (22/9): “Sebaiknya pemerintah fokus dalam masalah covid-19, ancaman jutaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan resesi ekonomi. Tidak perlu membahas Omnibus Law. Bohong kalau Omnibus Law disahkan akan menyelesaikan masalah resesi ekonomi, investor berbondong-bondong masuk ke Indonesia, dan masalah PHK akan tertanggulangi” [24].

 

[15] Di Timika ada rencana pembangunan Pelabuhan Pomako. Berhubungan dengan rencana ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) diingatkan supaya berkoordinasi dengan pemilik lahan. Peringatan ini disampaikan kuasa hukum PT Baruh Langgeng Abadi, Eus Berkasa, saat staf ahli Kementerian Perhubungan berada di Mimika dan Pemerintah Kabupaten menyampaikan bahwa masalah lahan sudah selesai. Ternyata belum diselesaikan![25]

 

[16] Berdasarkan ‘suatu program survey kependudukan oleh pemerintah regional dan lokal di Provinsi Papua’, Gubernur, Lukas Enembe, menyatakan bahwa populasi asli Papua di provinsinya adalah 2,3 juta orang. Jumlah total penduduk Provinsi Papua adalah 3.435.530, sedangkan jumlah penduduk yang ‘siap kerja’ adalah 1.839.409[26]Memang syukurlah kalau akhirnya kita sudah memiliki data kependudukan yang lebih akurat daripada yang lazimnya dipakai sampai hari ini. Namun sangat mengherankan bahwa angka-angka tadi diumumkan Gubernur, sedangkan, setahu kami, ‘sensus penduduk 2020’ masih sedang berjalan. Hasilnya belum diketahui! Maka, angka-angka tadi sebenarnya berdasarkan data mana?(TvdB)

 

[17] Seorang tokoh politik, Fadli Zon, anggota Komisi I DPR RI di Jakarta mengungkapkan rasa puasnya karena TNI sudah berani untuk menyebutkan para separatis di Papua ‘teroris’. "Kita double standard melihat teroris. Biasanya 'radikal' 'teroris' 'fundamentalis' disematkan pada yang berbau 'Islam' sehingga menimbulkan Islamophobia. Teroris yang jelas-jelas menggunakan senjata dan kekerasan masih disebut 'kelompok kriminal bersenjata'," ucap Fadli Zon. "Baru TNI yang berani sebut separatis teroris" [27].

 

[18] Pembangunan markas militer, Korem, di Jayawijaya tetap ditolak masyarakat setempat. Masyarakat menginginkan tanah adat milik mereka bebas dari markas militer. Penolakan ini sudah disuarakan oleh masyaraat sejak awal 2019, namun ternyata upaya-upaya oleh TNI untuk mengadudombakan masyarakat setempat dengan satu/dua tokoh adat terus berjalan.  Sekarang (22/9) mahasiswa dan gereja bergabung dengan masyarakat dalam pernyataan penolakan pembangunan Korem ini[28]

 

[19] Ratusan pasukan baru  akan tiba di Papua. Kapal Perang Indonesia KRI Tanjung Kambani 971, dijabarkan (23/9) telah sandar di dermaga cargo Dock PT Freeport Indonesia di Timika. Kapal ini membawa ratusan pasukan tempur TNI Angkatan Darat. Para prajurit berasal dari dua batalyon yang terkenal sangar di tubuh TNI, yakni pasukan elit dari Batalyon Infanteria Raiders 400/Banteng Raiders milik Komando Daerah Militer IV Diponegoro Jawa Tengah. Dua kelompok yang dibawa ke Papua, masing-masing terdiri dari 450 personil. Ratusan prajurit adalah pasukan tergabung dalam Satuan Tugas mobile Pengamanan Perbatasan Republik Indonesia dengan Papua Nugini[29]

 

[20] Berhubungan dengan pernyataan oleh TPNPB bahwa mereka akan menembak pesawat sipil yang akan mengangkut personel TNI/Polri, Kapolda merasa bahwa penerbangan sipil memang akan was-was. “Terror yang dilakukan KKB kini berimbas kepada penerbangan maskapai yang enggan mengangkut aparat keamanan TNI/Polri”, kata Kapolda (24/9)” [30]

 

[21] Kita sudah masuk masa menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kiri-kanan pasangan calon (Paslon)Bupati serta wakilnya mulai ditetapkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU)  di Papua masih menunda penetapan 3 paslon, di wilayah Keerom ( 2 paslon) dan Yahukimo (1 paslon). “Dari 35 bakal paslon yang terdaftar, 31 memenui persyaratan, dan masih tersisa 3 paslon yang belum ditetapkan (karena masih positif covid-19) dan 1 bakal paslon tidak memenui syarat”, keterangan anggota KPU Papua, Melkianus Kambu[31].

 

[22] Selama Sidang Umum United Nations (Sidang PBB)di New York, 22-29 Sept 2020, pemerintah Vanuatu sekali lagi mengangkat permasalahan di Papua dan mendesak Indonesia untuk mempertanggungjawabkan berita-berita mengenai pelanggaran HAM di wilayah itu (26/9)[32]. Seperti lazimnya Indonesia menyangkal segala permasalahan di Papua dan menegur keras Vanuatu supaya jangan bercampur dalam politik dalam negeri Indonesia[33].

Selama Sidang Umum PPB ini juga presiden Jokowi sempat menyampaikan pidatonya. Terlepas dari seruannya untuk selalu bekerjasama secara internasional untuk mengatasi masalah-masalah seperti Covid-19, beliau juga menyatakan bahwa Indonesia mendukung aktif kemerdekaan Palestina. Sudah tentu bahwa pernyataan terakhir ini sangat menarik perhatian di Papua sampai ditanyakan: masalah Palestina diambil serius oleh Indonesia, namun  masalah di depan pintunya, Papua, disangkal dan tidak dipertimbangkan kemerdekaannya?[34]

 

[23] Berita yang mengagetkan. Yakni: keputusan Presiden Jokowi menyetujui pengangkatan dua eks anggota Tim Mawar menjadi pejabat di lingkungan Kementerian Pertahanan. Tim Mawar  merupakan Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang dipimpin Prabowo Subianto, dan diduga menjadi dalang operasi penculikan aktivis jelang menjatuhnya Soeharto pada 1998. Sejumlah aktivis yang diculik akhirnya dikembalikan namun dari13 aktivis tidak diketahui nasibnya dan diandaikan sudah mati dibunuh. Berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Brigjen TNI Yulius Selvanus dan Bridjen TNI Dadang Hendrayudha merupakan anggota Tim Mawar yang ketika itu berpangkat kapten melakukan operasi dan menghilangan paksa terhadap aktivis pada era Orde Baru. Atas tindakan penculikan itu, melalui Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti), Yulius Selvanus dikuhum 20 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI. Sementara, Dadang Hendrayudha dihukum 16 bulan penjara tanpa pemecatan. Dalam keputusan tingkat banding pemecatan terhadap Yulius Selvanus dianulir, sehingga keduanya masih menjabat aktif sebagai militer. Dandang Hendrayudha dipercaya menjadi DirekturJenderal Potensi Pertahanan Kemenhan, sementara Yulius Selvanus menjadi Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kemenhan.

Sekretaris Jendral Ikatan Keluarga Orang Hilang di Indonesia (IKOHI), Zaenal Muttaqin mengatakan, keputusan Presiden tersebut telah menambah luka keluarga korban yang selama lebih dari dua dekade tak kunjung mendapatkan keadilan[35]. Zaenal menilai, kedua orang itu tak pantas mengemban jabatan strategis di pemerintah. Alasannya sederhana saja: kedua nama tersebut tersandung kasus pelanggaran HAM. Kooridnator Kontras, Fatia Maulidiyanto mencatat bahwa hal ini juga menambah daftar panjang lembaga-lembaga negara yang diisi oleh orang-orang yang memiliki masalah dalam pelanggaran HAM masa lalu. “Selain berpotensi untuk melemahkan makna penegakan hukum di Indonesia (impunitas), hal tersebut juga dapat

mendorong terjadinya kembali pelanggaran HAM, kata Fatia[36]. “Kebijakan ini menguatkan, keyakinan kami, bahwa Pemerintah Jokowi sedang keluar jalur dari agenda reformasi dan mengeyampingan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam membuat keputusan”, tegas Fatia. Fatia mendesak Jokowi untuk mencabut Keppres pengangkatan kedua orang ini sebagai pejabat publik di Kemenhan. “Tidak terkecuali juga terhadap pengangkatan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan”, katanya. KontraS juga mendesak Presiden Jokowi untuk mendorong Jaksa Agung menindaklanjuti penyelidikan KomNas HAM, serta menuntut para terduga pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui Pengadilan HAM ad hoc.

 

[24] Sejak pemerintahan Presiden Yudhoyono ada mega-proyek namanya Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Suatu program pembangunan – seluas 2.052.551 ha - yang mau diefektifkan Presiden Jokowi. Pemerintah Jokowi merencanakan pembangunan food estate dengan dalih untuk mengantisipasi kelangkaan dan krisis pangan akibat pandemic Covid-19. Luasan areal ini sebagai akumulasi dari 1.034.574 ha Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Konversi, serta 734.377 ha Areal Penggunaan Lain (APL). Koalisi Masyarakat Sipil (Koalisi CSO) yang terdiri dari CSO yang berbasis di Papua menyatakan sikap penolakannya program ini melalui siaran pers 28 September 2020[37]. Pada “awalnya pengembangan proyek (2015) direncanakan didominasi tanaman pangan seperti beras, jagung,kedelai dan tanaman pangan lainnya; saat ini faktanya lebih banyak didominasi industri perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). … Pemerintah menberikan izin beroperasi kepada 45 perusahaan dengan mengkonversi kawasan hutan dan lahan seluas lebih dari 1,3 juta hektar. Maka, program ini bukan saja akan merusak alam karena deforestasi, tetapi juga akan mengorbankan berkelanjutan hidup masyarakat adat Papua. Bagi masyarakat adat ini, hidup mereka bukan saja tergantung pada alam, tetapi hidupnya menyatu bersama alam. Kepunahan alam berarti mengancam berkelanjutan masyarajat adat. … Ada fakta juga bahwa sebelum integrasi Orang Asli Papua (OAP) mampu bertahan bukan karena negara menjamin mereka hidup, melainkan ketersediaan pangan dan akses pengelolaanya memberi kepastian untuk masa depan secara turun-menurun. … Ada banyak cerita dari Merauke yang sudah didokumentasikan … bagaimana deforestasi telah mengubah alam masyarakat adat Malind dan pemilikan tanah mereka beralih ke pihak lain atau dirampas (land grabbing) dengan surat-surat resmi yang diterbitkan oleh pemerintah”.

“Terkait kehidupan OAP yang mengalami terpurukan, negara belum hadir memberi rasa keadilan sesuai dengan amanat konstitusi. Pertanyaannya, dimana tanggungjawab negara terhadap kehidupan OAP?” Kenapa MIFEE harus dihentikan? Karena [a] deforestasi dan kerusakan alam, [b] mengancam berkelanjutan hidup masyarakat adat Papua, [c] Orang Asli Papua menjadi korban ketidakadilan, [d] Orang Asli Papua kehilangan identitas budaya dan adatnya[38].

 

[25] Tapol di Ingeris menerbitkan suatu laporan lengkap (data dan analysis) mengenai Gerakan West Papua Melawan 2019  mulai dengan insiden rasis di Surabaya. Bagi yang berminat mengikuti perkembangan di Papua, sekarang ada dua laporan tersedia, yang khusus berfokus pada perkembangan serta dampaknya peristiwa rasis dalam periode Agustus-Desember 2019: yakni, {1} buku yang berjudul Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum (terbitan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Juli 2020) dan {2} West Papua Uprising 2019 Report (terbitan Tapol, United Kingdom, September 2020)[39]

 

[26] OTSUSPemerintah pusat di Jakarta dinilai tengah panik menghadapi tuntutan rakyat Papua atas kegagalan pelaksanaan Otonomi Khusus Papua (Otsus). Rencana pemerintah pusat untuk mengubah secara sepihak ketentuan tentang masa berlaku dana Otsus dan ketentuan pemekaran di Papua dinilai sebagai langkah yang menghalalkan segala cara terhadap Papua[40]. Pihak Uncen menyiapkan dan menyerah suatu ‘kajian akademik UU Otsus’ kepada Gubernur Provinsi Papua. Reaksi Gubernur tidak terlalu entusias[41], dan menyerahkan naskah ini kepada DPRP dan MRP untuk dibahas. Dia sendiri tidak akan membahasnya: “kami pemerintah sudah sepakat tidak akan membahas lagi; kami punya naskah OtsusPlus sudah diserahkan kepada DPR RI tahun 2014; sampai saat ini tidak dibahas; maka untuk saya sudah cukuplah”[42]Pemerintah provinsi Papua Barat menyediakan ‘draf Otsus Jilid II’ tanpa mencari persetujuan  dari Majelis Rakyat Papua Papua  Barat (MRPPB) dan melangkah menyerahkannya kepada pemerintah Pusat[43]. MRPPB menilai bahwa pemerintah daerah sudah bersalah karena tidak memungkinkan MRPPB untuk menjalankan tugasnya karena tidak menyalurkan anggaran yang dibutuhkan[44]MRPmasih didukung oleh Dewan Adat Papua (DAP) dan beberapa Organisasi Masyarakat  Sipil (Ormas Sipil) untuk berupaya mengadakan ‘rapat dengar pendapat’ (RDP)[45]. Namun di pelbagai tempat pertemuan itu diganggu oleh aktivis yang menolak Otsus serta pembahasannya[46]Ketua Sinode GKI meminta Jokowi  untuk membuka dialog yang terbuka untuk mengevaluasi Otsus[47]. Yang sangat mengganggu juga adalah tindakan pihak keamanan yang masih secara sistematis melarang kelompok untuk berdemo guna mengungkap opininya, dalam hal ini menolak Otsus. Terus disuruh dibubarkan malahan diiringi dengan ‘tembakan peringatan’ seperti di kompleks Uncen (28/9)[48]dan sejumlah pendemo ditangkap dan diantar ke markas polisi[49]. Pelarangan/pembubaran ini bukan saja di Papua, tapi malahan diterapkan juga di Menado[50]. Di Makasar para pendemo Otsus diserang oleh sekelompok aktivis Organisasi Masyarakat[51]. Selanjutnya ada kesannya bahwa ULMWP kurang menindaklanjuti sarannya supaya pembahasan Otsus tetap diadakan - lihat item [39] lap 1-15 Sept. Entah kenapa? Dari pihak Pemerintah Pusat, berita tetap bahwa Otsus akan jadi ‘sebagai satu upaya menjaga perdamaian dan membangun kesejahteraan masyarakat’; perlu evaluasi supaya manfaat Otsus lebih terasa masyarakat[52]Kesan umum: ribut sekitar Otsus Jilid II banyak, dan ternyata aksi demo yang damai saja malahan dilarang oleh pihak keamanan. Alasannya apa? Sejumlah pertemuan pembahasan penyelenggaraan MRP masih diganggu aktivis yang menolak Otsus. Sangat disesali juga bahwa dari pihak pemerintah daerah tidak ada garis kebijakan jelas dalam permasalahan ini; malahan di provinsi Papua Barat ada konflik terbuka antara pemerintah daerah dengan MRP[53]. Pemda provinsi Papua bersikap masabodoh saja. Jelas kekacauan ini tidak akan menguntungkan siapa pun!

 

[27] Pemekaran Provinsi di Papua. Keputusan memekarkan Papua menjadi lima (5) provinsi yang diumumkan pemerintah pusat tgl 11 September, dapat tanggapan yang cukup banyak. Dan pada umumnya bernada: ‘batal rencana itu saja, atau sekurang-kurangnya menundanya’, karena [1] ‘tidak sesuai prosedur’, terutama pihak yang paling berwewenang dalam hal ini tidak didengar, dan [2] tidak akan menyejahterakan masyarakat Papua. Gubernur provinsi Papua sudah menjelaskan bahwa beliau tidak akan memberikan rekomendasi pemekaran kepada pemerintah pusat. “Kami tidak akan merekomendasikan [pembentukan] Daerah Otonom Baru. Yang harus dilakukan adalah penataan sesuai dengan UU Otsus Papua”, kata Enembe dengan tegas[54]. Berikut sejumlah tanggapan berdasarkan artikel di ‘tirto.id’[55].  

Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP),  Timotius Murib sudah tegas menyatakan “kami menolak rencana pemekaran Papua”(15/9). MRP adalah “representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua”( menurut Pasal 1 huruf g UU Otsus). Murib mengatakan Presiden Joko Widodo tak mendengar aspirasi orang asli, dalam banyak hal, termasuk perkara pemekaran ini. Pemerintah gagal membangun Papua karena seluruh kegiatan tidak dikontrol oleh komunitas. Ia juga mengkritik orang-orang Papua yang pro terhadap pemekaran. Ia menyebut mereka sebagai “golongan yang secara tidak langsung sedang melakukan genosida/pembasmian orang asli Papua di Tanah Papua.”

Peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas mengatakan “harusnya MRP itu didengar oleh pemerintah” bukan hanya karena itu kewajiban undang-undang, tapi karena merekalah yang paham situasi dan kondisinya. Bila MRP enggan menerima usulan pemekaran, maka rencana itu sebaiknya ditunda saja. “Meski ada masyarakat adat yang mendukung, tapi harus didiskusikan bersama. Pemerintah harus dengar langsung dari mereka. Harusnya MRP itu didengar oleh pemerintah,”(16/9) Jika dipaksakan, maka rakyat Papua bakal semakin curiga ada maksud jahat, entah itu kepentingan politik, eksploitasi sumber daya, atau kontrol keamanan.
Elvira Rumkabu, pengajar di FISIP Universitas Cenderawasih, Jayapura berpendapat serupa. Pertama, menurutnya pemekaran ini kerap kali tak melibatkan masyarakat Papua--pola yang sejak dahulu tak berubah. Bahkan evaluasi dari pemekaran pun tak ada, misalnya dari kelahiran provinsi Papua Barat atau kabupaten. Akibatnya adalah tidak ada kemajuan. “Justru angka kekerasan meningkat, indeks pembangunan manusia Papua tetap di bawah rata-rata nasional. Dilihat secara umum, sebenarnya [dampak pemekaran] semakin buruk, bukan membaik,” kata Elvira, Rabu (16/9). Kekerasan, selain dari aparat secara langsung, juga berasal dari intimidasi dari korporasi yang tidak berkaitan dengan Organisasi Papua Merdeka. Konflik horizontal juga makin banyak seiring dengan arus migrasi. Namun tetap saja ada yang diuntungkan dari kebijakan ini. Itu adalah para elite.

[28] Update Covid-19 pada tanggal 30 September 2020: Kasus Positif: 6,306; sedang Dirawat 2,232; sudah Sembuh 3,975; yang Meninggal 99; ODP 1.884; PDP 1.409; dan PCR+TCM tests 57,818.

COVID-19

1 Agustus 2020

JUMLAH POSITIF

JUMLAH DIRAWAT

JUMLAH SEMBUH

JUMLAH MENINGGAL

PROBABLE

SUSPEK

Kota Jayapura

3141

1050

2035

56

8

 

Kab Mimika

1605

515

1073

17

23

 

Kab Jayapura

492

166

318

8

6

 

Kab Biak Numfor

317

173

138

6

16

 

Kab Nabire

173

111

56

6

0

 

Kep. Yapen

156

126

27

3

 

 

Kab Keerom

101

22

77

2

 

 

Kab Merauke

91

21

70

0

 

 

Kab Jayawijaya

90

30

60

0

 

 

Kab Tolikara

27

6

21

1

 

 

Kab Lanny Jaya

27

0

26

1

 

 

Kab Boven Digoel

23

2

21

0

 

 

Kab Yalimo

15

0

15

0

 

 

Kab Sueriori

12

0

12

0

 

 

Kab Sarmi

10

3

7

0

 

 

Kab Peg Bintang

8

0

8

0

 

 

Kab Paniai

7

7

0

0

 

 

Kab Mappi

6

0

6

0

 

 

Kab Mambera-

mo Tengah

3

0

3

0

 

 

Kab Puncak Jaya

1

0

1

0

 

 

Kab Waropen

1

0

1

0

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Total 

6.306

2.232 = 35%

3.975=63%

99=2%

53

1.409

 

 

 

 

Tes PCR

57,818

 

 

 

Sejumlah catatan Covid-19

·       Yang paling menonjol selama 16 hari terakhir ini: Kasus positif bertambah sangat cpeat, yakni dari 4.560 menjadi 6.306; artinya dari 54 per hari menjadi 109 per hari. Satu bulan lalu masih ‘hanya’ 30 sehari. Jumlah orang meninggal menjadi 99 daripada 42 sebulan lalu; daripada 1% menjadi 2%!

·       Jumlah yang dirawat  di Jayapura, Mimika, Kab Jayapura,Biak Numfor, Nabire, Yapen, Jayawijaya nak dengan 100% atau lebih selama 16 hari terakhir ini. sednagkan Kabupaten-kabupaten di Pegunungan menunjukkan suatu situasi yang agak stabil, walaupun ada Kabupaten baru yang dtabah, yakni Kab Paniai (7 kasus). 

·       Perkembangan ini tidak tercermin dalam perobahan ‘penetapan peraturan’ selama ini; protocol yang berlaku masih tetap sama dan sangat longgar! Sudah tentu bahwa kapasitas medis untuk berespons pada kenaikan ini makin kurang memadai. Sejumlah fasilitas pelayanan ‘penyakit biasa’ mulai tertutup atau dikurangi. Di Sorong 4 Puskesmas menutup karena tenaga medisnya terpapar virus. Juga di Jayapura-Entrop ada yang ditutup. Di Timika masyarakat palang jalan ke puskesmas Mapurajaya, karena berita bahwa mau dipakai untuk ‘pasien covid-19’. 

·       Sampai saat ini juga ada kesan bahwa Provinsi Papua Barat sudah lebih megontrol ancaman Covid-19; namun selama buan terakhir ini, disitu pun jumlah orang yang kena virus corona sangat meningkat. Menurut data 27 Sept 2020: tambahan per hari sekitar 40; 19,2% daripada yang dites ternyata ‘positif covid-19’; total orang yang positif, 1.990; yang meninggal: 48 orang. Wilayah yang paling terkena: Kota Sorong (852) dan Kab Bintuni (378), disusul Kab Manokwari (355), Kab Sorong (155) dan Kab Raja Ampat (113).

 

 

B A H A N    R E F L E K S I

 

Sebagai BAHAN REFLEKSI kami ingin menarik perhatian kepada dua berita secara khusus: [1] berita mengenai keputusan Presiden untuk mengankat dua pribadi militer yang oernah divonnis kerana pelanggaran HAM berat, menjadi pejabat tinggi di kementerian Pertahanan, dan [2]  berita mengenai vonnis yang diberikan kepada seorang anggota TNI AD yang tahun lalu membunuh empat wraga sipil di wilayah Asmat. 

 

Berita pertama kami telah uraikan sejenak dalam laporan ini, lihat item [23]. Berita ini sangat penting karena menujukkan kami sejauh mana pemerintah Jokowi melindungi hak-hak dasar para warga, menjaga penerapan nilai ‘negara hukum’, dan turut menghilangkan segala bentuk ‘impunitas’ (kekebalan hukum). Sewaktu menyetujui pengangkatan dua anggota TNI yang pernah diadili dan divonis karena terlibat dalam pelanggaran HAM berat (1998), Presiden Jokowi menunjukkan suatu sikap terhadap nilai-nilai tadi yang sangat mengagetkan. Kedua anggita TNI pernah terlibat dalam menghilangkan paksa aktivis-aktivis HAM/politik. Mereka tetap dinilai oantas diberikan suatu jabatan tinggi didalam kalangan pemerintahan, dalam hal ini Kemenetrian Pertahanan yang dipimpin Prabowo Subianto yang sewaktu aksi penghilangan paksa menjadi pimina Tim Mawar  yang melaksankan aski enhilangan itu. Lebih-lebih semua sanak-saudara  yang mengalami kehilangan orang yang mereka sangat sayangi, dan sampai saat tidak tahu nasib kekasih itu, merasa sangat tertusuk di hati mendengarkan keptusan Presien ini. tidak heran juga bahwa semua lembaga hukum dan HAM turut mengutuk tindakan Presiden dalam hal ini. 

 

Berita kedua menyangkut hasil proses pengadilan terhadap seorang anggota TNI yang tahun lalu (27 Mei 2019) menembak sekelompok warga yang memprotes hasil pemilu legislatif 2019 sejauh menyangkut perwakilan mereka di DPRD. Penembakan ini terjadi di Basim. Hasilnya empat orang mati, dan satu orang cacat seumur hiduonya. Sejak kejadian itu prajurit yang bersangkutan ditahan oleh pihak militer dan akhirnya divonis karena terbukti kesalahannya. Dia divonnis penjara selama satu tahun dan sepuluh bulan. Vonnis ini dirasa banyak masyarakat tidak proporsional sama sekali dengan beratnya perbuatannya. Naskah vonnis diserahkan pihak militer kepada pimpinan Komnas HAM daerah Papua, Frits Ramandey. Pak Frits menyatakan bahwa dia tidak mau menilai sejauh mana vonnis proporsional tidaknya, karena itu “bukan wewenang kami”. Dia hanya mau meminta salinan keputusan di pengadilan Militer kasus penembakan  oleh Serka Fajar, “guna memberikan kepastian hukum kepada keluarga korban Fayit”(28/9). Dengan berahkirnya hingga dijatuhkan vonnis terhadap terdakwa, Frits menilai kasus Fayit yang masuk dalam pelanggaran HAM ini telah selesai. Kalau keluarga menilai tidak proporsional, ya, sebaiknya mereka menyatakannya, namun bukan dia sebagai pimpinan Komnas HAM wilayah Papua[56].

 

Refleksi awal. Kedua berita ini pasti mengganggu orang serta lembaga yang berupaya kuat supaya semua warga di Indonesia ini boleh menikmati keadilan dan terlindung hukum secara sungguh-sungguh. Menjadi pertanyaan sangat mendasar: pola keadilan/hukum  macam apa sedang diterapkan oleh pemerintahan Jokowi? Banyak tindakan pemerintah, lebih-lebih aksi pihak keamanan, apalagi di Papua, selalu dilegitimasi dengan dalih “perlunya penegakan hukum”. Kita semua sepakat bahwa yang salah perlu diberikan hukuman sesuai. Namun yang kita saksikan melalui dua berita ini adalah bahwa ternyata orang yang sudah terbukti tidak mengindahkan hak-hak dasar warga dapat diberikan jabatan – sampai malahan kedudukan sebagai menteri - dimana dia dapat memutuskan kebijakan berhubungan dengan ‘perlindungan warga’, berhubungan dengan ‘kepastian hukum’, berhubungan  dengan penilaian ‘siapa salah siapa tidak’ dan berhubungan dengan ‘aksi penegakan hukum’ mana yang perlu dijalankan. 

Banyak korban dari aksi pelalku-pelaku pelanggaran HAM dalam berita tadi masih kurang jelas nasibnya; 13 aktivis masih tetap hilang tanpa bekas; malahan sanak-saudaranya tidak tahu dimana mereka ditinggalkan dan/atau dikuburkan. Bagi setiap orang yang ikut perasaan hatinya secara murni, muncul perasaan: bagaimana mungkin? dan apa yang dapat kita pegang sebagai jaminan pelindunganan, sebagai hukum yang adil diterapkan? Ada kehilangan pegangan. Kita ada ‘negara hukum’ model apa? 

Perasaan yang sama ada pada sanak saudara korban yang ditembak di Asmat. Orang bisa membunuh 4 orang dan melukai seorang menjadi cacat untuk seumur hidupnya, dan hanya divonnis 1 tahun 10 bulan. Hidup seorang Papua begitu murahkah??? Vonnis semacam ini, siapa dapat secara jujur mempertanggungjawabkannya?

Sampai kapan nilai keadilan dan kebenaran akan dipermainkan demi keuntungan politik dan/atau perebutan kuasa?, itulah masalah dasar yang sangat mengganggu kita bersama.

 

Juga agak mengherankan bahwa pimpinan Komnas HAM wilayah Papua sendiri tidak berani menyatakan bahwa vonnis ini sama sekali tidak proporsional sebanding perbuatan kriminalnya. Kalau Komnas HAM wilayah tidak berwewenang mengangkat ‘keanehan penegakan hukum’ semacam itu, untuk apa lagi Komnas HAM wilayah Papua bisa diharapkan masyarakat?

 

 

 

 

Jayapura, 2 Oktober 2020



[9] Joe Collins for reg.westpapua@lists.riseup.net 18/9/2020

[12] CNN Indonesia - September 24, 2020

[37] Pernyataan pers oleh Koalisi Masyarakat Sipil, 28 September 2020. Koalisi teridiri dari a.l. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua, KPCK Sinode GKI di Tanah Papua, Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua, Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (pt.PPMA) Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke, Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat , SKPKC Fransiskan Papua , KIPRa Papua dan Pengurus Nasional Papuan Voices.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.