Friday, June 24, 2016

New report-Rising voices, rising arrests: A look at West Papua in 2015

Rising voices, rising arrests: A look at West Papua in 2015

24 JUN 2016
A new report by Papuans Behind Bars (PBB) exposes the Indonesian government’s increased use of arbitrary arrests to shut down protests in West Papua in 2015. The 28-page report ‘Rising voices, rising arrests: A look at West Papua in 2015’ exposes how freedom of expression and assembly in the region remains severely restricted. Based on data and testimonies collected and verified by PBB, the report shows that 1083 Papuans were arrested arbitrarily across Indonesia in 2015. This represents the highest number of arbitrary arrests documented in a single year since comprehensive records began in 2012. 80% of those detained were arrested for participating in or planning peaceful demonstrations.
———————————————————————————-

Media release,

Papuans Behind Bars 2015 report, “Rising Voices, Rising Arrests: A look at West Papua in 2015” is being launched in London today. Please find below TAPOL´s Press Release on the report. The report is available online at: http://tapol.org/id/node/525

Indonesia: End impunity and arbitrary arrests in West Papua

(London 24 June 2016) –A new report by Papuans Behind Bars (PBB) exposes the Indonesian government’s increased use of arbitrary arrests to shut down protests in West Papua in 2015. At the launch of the report, held at the Amnesty International Secretariat in London on 24 June, UK-based NGO, TAPOL, urged the Indonesian government to answer for ongoing impunity, state violence and increased arbitrary arrests in West Papua.
“The Indonesian government must end mass arrests at peaceful demonstrations as freedom of expression and peaceful assembly are in accordance with Indonesia’s obligations under international human rights law” Todd Biderman (Coordinator, TAPOL)
The 28-page report ‘Rising voices, rising arrests: A look at West Papua in 2015’ exposes how freedom of expression and assembly in the region remains severely restricted. This is in spite of the release of five prominent long-term political prisoners in May 2015, and President Joko Widodo’s assurances that West Papua is open to foreign journalists.
Based on data and testimonies collected and verified by PBB, the report shows that 1083 Papuans were arrested arbitrarily across Indonesia in 2015. This represents the highest number of arbitrary arrests documented in a single year since comprehensive records began in 2012. 80% of those detained were arrested for participating in or planning peaceful demonstrations.
The report shows a change in the pattern of charges. In a positive development, the use of treason charges under Article 106 of the Indonesian Criminal Code against political detainees decreased significantly and the use of the controversial Emergency Law 12/1951 ceased altogether. However, the use of charges of incitement under Article 160 of the Indonesian Criminal Code increased.
“The escalation in arbitrary arrests raises serious concerns that the Indonesian government is deliberately using Article 160 to criminalise peaceful political protests and limit freedom of expression and assembly in Papuan civil society” Todd Biderman, TAPOL
The report also shows that, although the number of cases of torture of detainees on arrest and in detention decreased significantly, reports of torture outside of detainee cases remain frequent. The report also gives evidence that ill-treatment of detainees is on the rise. In 2015, 690 cases of ill-treatment of detainees were recorded, more than four times as many as than in 2014. Testimonies from political prisoners highlight their concerns over being denied visits from their families, being under constant surveillance and poor or complete lack of access to medical treatment.
In addition, the report exposes ongoing state violence and impunity of state security personnel. At least 11 people died as a result of state violence in West Papua in 2015. Further, the culture of impunity remains embedded amongst security forces, the perpetrators of the fatal shooting of four teenagers in Paniai regency, Papua province,  in December 2014, have still not been brought to trial.
The report’s publication comes at a time when national, regional and international actors are increasingly voicing concerns over human rights abuses in West Papua.
At the launch of the report Budi Hernawan, lecturer at the University of Paramadina in Jakarta stated: “State violence constitutes the mode of governance of Papua over the last fifty years. My own doctoral research on the practice of torture in Papua from 1963-2010 confirms this pattern. The Indonesian state security apparatus do not hesitate, not only to use excessive violence against Papuans but also to demonstrate that they can do anything they want to the bodies of Papuans.”
UK opposition leader, Jeremy Corbyn noted at the recent meeting of the International Parliamentarians for West Papua that human rights and justice “should be the cornerstone of foreign policy, the cornerstone of our [the UK’s] relationship with every other country.”
The serious issue of human rights violations, including arbitrary arrests, summary executions, and torture in West Papua was raised at the United Nations Human Rights Council  in June 2016 by the delegations of the Solomon Islands and Vanuatu. Both delegations urged the Human Rights Council and the Government of Indonesia to work together to facilitate a visit by Mr David Kaye, the current UN Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression to West Papua.
This echoes promises that the Indonesian government made during the country´s previous Universal Periodic Review (UPR) in 2012, promises that it has yet to follow-up on. Indonesia’s human rights record will come under the international spotlight again for the country's UPR in 2017. PBB’s 2015 report calls on Indonesia to “Allow free and unrestricted access for all UN Special Rapporteurs wishing to visit and report on Papua.” Ahead of the 2017 UPR, TAPOL urges the Government of Indonesia to take meaningful actions in-line with their international human rights commitments  towards ending arbitrary arrests, torture, and ill-treatment of detainees, as well as to address ongoing impunity within the security forces.

Media Contact:
Todd Biderman (Co-Cordinator, TAPOL)  
+44 7847 575 064

Adriana Sri Adhiati (Co-Coordinator, TAPOL)
+44 7444 058 975

Kind Regards,
TAPOL

_____________________________________



Dengan hormat, 

Hari ini kami meluncurkan laporan Papuan Behind Bars 2015 "Aksi Protes Makin Meninggi, Penangkapan Makin Meningkat di London, Inggris. Silahkan unduh laporan kami di http://tapol.org/node/526.

Indonesia: Hentikan Impunitas dan Penangkapan Sewenang-wenang di Papua


(London 24 Juni 2016) –Sebuah laporan terbaru oleh Papuans Behind Bars mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan tindakan penangkapan sewenang-wenang untuk membungkam protes di Papua oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2015. Dalam peluncuran laporan yang dilakukan di Sekretariat Amnesty Internasional di London pada 24 Juni, organisasi HAM berbasis di London, TAPOL meminta pemerintah Indonesia untuk menjawab situasi impunitas yang terus berlanjut, kekerasan Negara dan meningkatnya tindakan penangkapan sewenang-wenang di Papua.

“Pemerintah Indonesia harus menghentikan tindakan penangkapan masal dalam demonstrasi damai sebagai wujud kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai sesuai dengan tanggungjawab Indonesia dalam hukum HAM internasional,” ujar Todd Biderman, Koordinator TAPOL.

Laporan 28 halaman berjudul Papuan Behind Bars 2015 “Aksi Protes Makin Meninggi, Penangkapan Makin Meningkat: Melihat Situasi di Papua 2015” memperlihatkan bagaimana kebebasan berekspresi dan berkumpul di wilayah ini tetap sangat terbatas, meskipun telah terjadi pembebasan lima narapidana politik yang telah ditahan selama puluhan tahun pada bulan Mei 2015, dan jaminan Presiden Joko Widodo untuk membuka wilayah Papua untuk jurnalis asing.

Berdasarkan data dan testimoni yang dikumpulkan dan diverifikasi oleh Papuan Behind Bars, laporan ini menunjukkan bahwa 1083 orang Papua telah ditangkap secara sewenang- wenang di seluruh Indonesia pada tahun 2015. Ini merupakan jumlah tertinggi penangkapan sewenang-wenang yang didokumentasikan dalam satu tahun melalui pendokumentasian komprehensif yang kami lakukan sejak tahun 2012. Sebanyak 80% dari mereka yang ditahan telah ditangkap karena berpartisipasi atau merencanakan demonstrasi secara damai.

Laporan ini menunjukkan adanya perubahan pola tuduhan. Dalam perkembangan yang positif, penggunaan tuduhan melakukan tindakan makar berdasarkan Pasal 106 KUHP Indonesia terhadap para tahanan politik menurun secara signifikan dan penggunaan UU Darurat kontroversial 12/1951 berhenti sama sekali. Namun, penggunaan tuduhan penghasutan berdasarkan Pasal 160 KUHP Indonesia telah meningkat.

“Eskalasi peningkatan tindakan penangkapan sewenang-wenang menimbulkan keprihatinan serius bahwa pemerintah Indonesia sengaja menggunakan Pasal 160 KUHP untuk mengkriminalisasi protes politik secara damai dan membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul di masyarakat sipil Papua,” ujar Todd Biderman, TAPOL

Laporan itu juga menunjukkan bahwa, meskipun jumlah kasus penyiksaan dalam tahanan pada proses penangkapan dan penahanan menurun secara signifikan, namun tindak penyiksaan di luar proses penahanan tetap sering terjadi. Laporan ini juga membuktikan bahwa perlakuan buruk terhadap tahanan terus meningkat. Pada 2015, tercatat 690 kasus perlakuan buruk terhadap tahanan, empat kali lebih banyak dari tahun 2014. Kesaksian dari narapidana politik menyoroti keprihatinan mereka karena kunjungan oleh keluarga kerap ditolak, terus menerus di bawah pengawasan serta kurangnya akses atas perawatan medis.

Selain itu, laporan memaparkan kekerasan negara yang sedang berlangsung dan impunitas pada aparat keamanan negara. Setidaknya 11 orang tewas akibat kekerasan negara di Papua pada tahun 2015. Budaya impunitas tetap tertanam di antara pasukan keamanan, pelaku penembakan yang mematikan kepada empat remaja di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, pada bulan Desember 2014, dan masih belum diproses secara hukum.

Publikasi laporan muncul pada saat aktor nasional, regional dan internasional nasional menyuarakan kekhawatiran atas pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat. Pada peluncuran laporan, DR. Budi Hernawan, dosen di Universitas Paramadina di Jakarta menyatakan: “kekerasan Negara merupakan tata kelola Papua selama lima puluh tahun terakhir. Penelitian doktoral saya mengenai praktik penyiksaan di Papua sejak tahun 1963-2010 menegaskan pola ini. Aparat keamanan negara Indonesia tidak ragu, tidak hanya menggunakan kekerasan yang berlebihan terhadap rakyat Papua tetapi juga untuk menunjukkan bahwa mereka dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap tubuh-tubuh Papua.”

Pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn pada pertemuan baru-baru ini Parlemen Internasional untuk Papua menegaskan bahwa hak asasi manusia dan keadilan “menjadi landasan kebijakan luar negeri, landasan hubungan kami [Inggris] dengan setiap negara lain.”

Masalah serius pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penangkapan sewenang-wenang, eksekusi, dan penyiksaan di Papua diangkat dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Juni 2016 oleh delegasi pemerintah dari Kepulauan Solomon dan Vanuatu. Kedua delegasi mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Pemerintah Indonesia bekerja sama untuk memfasilitasi kunjungan David Kaye, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi agar berkunjung ke Papua.

Ini merupakan gaung dari janji2 yg dibuat pemerintah indonesia sewaktu sessi UPR sebelumnya di 2012; janji2 yg sampai sekarang belum ditindaklanjuti. Catatan hak asasi manusia di Indonesia akan dilaporkan lagi di bawah sorotan internasional untuk UPR negara pada tahun 2017. Laporan Papuan Behind Bars 2015 menyerukan Indonesia untuk “Memberikan izin untuk akses bebas dan tak terbatas untuk semua Pelapor Khusus PBB yang ingin mengunjungi dan melaporkan kondisi Papua.” Menjelang UPR 2017, TAPOL mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan yang berarti sejalan dengan komitmen hak asasi manusia internasional untuk mengakhiri penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, dan penganiayaan kepada tahanan, serta untuk mengatasi impunitas yang sedang berlangsung di dalam institusi keamanan.

Kontak Media:

Todd Biderman (Koordinator, TAPOL)  


+44 7847 575 064

Adriana Sri Adhiati (Koordinator, TAPOL)


+44 7444 058 975


Salam,

TAPOL
-----------------------------------------------

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.