PAPUA 2021
16 – 30 September
Oleh: Theo van den Broek
[1] POKOK PERHATIAN UTAMA
[a] covid-19 di Papua: Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia (PAEI) Papua, Hasmi, mengatakan 5 venue pada Pekan Olahraga Nasional (PON) XX berada dalam zona merah Covid-19. Lima venue ini tidak dirincikan lokasinya. Namun situasi di empat tempat penyelenggaraan (Kota Jayapura, Kab Jayapura, Timika dan Merauke) digambarkan melalui sejumlah data yang diangkat oleh Hasmi, sbb:
· Mengenai kapasitas respons Covid-19 di Papua: positive rate per pekan sudah menurun menjadi 1,42 % dari sebelumnya selalu di atas 15%.
· Mengenai kategori tracing atau pelacakan: upayanya belum memadai, yaitu hanya 14,5%; rasio lacak isolasi juga baru mencapai 5,25%; padahal standarnya adalah 25%. Untuk rasio kontak erat per kasus di Papua hanya 1 berbanding 2,47; padahal, standar WHO adalah 1 berbanding 30
· Mengenai treatmen: sudah cukup memadai, sebab tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit saat ini hanya 21,29%
· Mengenai fasilitas tersedia: dari 24 Kabupaten yang memiiki Covid-19, hanya ada 6 wilayah (25%) memiliki alat PCR. Kemudian hanya 11 dari 24 kabupaten yang mesin TCM bisa melalukan tes Covid-19
· Mengenai vaksinasi di Papua secara umum: untuk dosis pertama sudah mencapai 39,45%, dan dosis kedua mencapai 22,3% dari target 70%; sangat jauh dari target untuk membentuk herd immunity, keterangan Hasmi. Secara khusus untuk venue PON XX: vaksinasi dosis pertama untuk Jayapura baru ini mencapai 60%. Adapun dosis kedua di hampir semua venue PON masih dibawah 50%. Sementara Merauke tertinggi dengan 40%
Hasmi meminta agar pemerintah memperhatikan kebutuhan tes Covid-19, seperti mesin, reagen, dan cartridge di lokasi yang menjadi venue PON XX. Pasalnya, Kab Merauke sempat mengalami kerusakan dan kekosongan stok cartridge untuk PCR, akibatnya tes covid di sana menjadi terhambat. Melihat situasi secara konkrit di lapangan Hasmi tidak segan memakai kata “tsunami Covid-19 usai PON XX”. “Kami di Papua harus punya prediksi terburuk pasca PON, karena hampir pasti menyisakan masalah kesehatan yang mungkin lebih dibanding sebelumnya”, kata dia.
Kurang diketahui tanggapan para penentu kebijakan di pusat Jakarta mengenai data-data ini serta dampaknya. Ternyata di Jakarta ‘pengamanan/sekuriti’ menjadi fokus penuh, sedangkan keamanan kesehatan kurang diutamakan. Entah kenapa? (TvdB)
[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB
[a] korban tambahan: Di wilayah Pegunungan Bintang pembakaran massal fasilitas umum (a.l. sekolah, puskesmas dan bank) di distrik Kiwirok (13/9) masih tetap dapat perhatian banyak. Untuk sebagian, karena pembakaran ini ternyata diiringi dengan penyerangan pada para tenaga kesehatan. Dari 11 tenaga kesehatan ini, ternyata seorang Suster perawat, Gabriella, tewas (jatuh di jurang), sedangkan 4 dievakuasi dan dirawat di RS Marthen Indey di Jayapura. Sementara seorang tenaga medis, Gerald Sokoy, cukup lama tidak diketahui nasibnya. Akhirnya menjadi jelas bahwa dia berada dalam keadaan sehat saja bersama masyarakat (TPNPB) di hutan, dan mereka membantunya pulang ke orang tuanya di Sentani (25/9). Sepulang di Sentani, dia akan diminta keterangan oleh pihak Polisi mengenai kejadian 13 Sept di Kiwirok. Sementara seorang aktivis HAM, Theo Hesegem, mengusulkan supaya dr Gerald diserahkan kepada Komnas HAM, karena beliau bisa menjadi saksi penting untuk menerangkan apa yang persis terjadi. Sebaiknya dr Gerald diberikan tempat aman. Permintaan itu ada kaitan dengan beredar dua versi mengenai kejadian di Kiwirok. Ada yang seperti disampaikan oleh pihak keamanan sampai saat ini, dan ada yang beredar secara lokal dimana dikatakan bahwa aksi TPNPB dipicu oleh penembakan yang diadakan dari dalam fasilitas kesehatan oleh seorang yang memakai baju dokter. Tindakan ini memicu kemarahan besar para aktivis TPNPB, hingga terjadi pembakaran puskesemas dan serangan pada tenaga-tenaga medis. Mana yang benar, menjadi pertanyaan penting, maka sejumlah pihak meminta suatu investigasi oleh pihak netral.
Korban lain jatuh sewaktu Tim Gabungan TNI-Polri melalukan penyerangan terhdapa kelompok KKB di distrik Kiwirok (17/9). Dalam serangan itu seorang anggota KKB tewas, Elly M BIdana, dan dua terluka. Menurut info dari pihak keamanan, Elly Bidana adalah Komandan Operasi KKB.
Lagi ada yang tewas di Kiwirok. Dalam kontak senjata seorang prajurit, Pratu Ida Bagus Putu, terkena peluru dan meninggal dunia di tempat (21/9). Lantas terdapay kontak senjata lagi (26/9) yang menewaskan anggota Brimob, Anumerta Bharatu Muhammad Kurniadi. Sedangkan dalam kontak senjata lanjutan (28/9) seorang anggota polisi kena serpihan peluru hingga perlu dirawat.
Sudah tentu kejadian tragis di Kiwirok dikutuk segala pihak yang menjunjung tinggi harga dan martabat setiap orang. Kapolda Papua sudah menugaskan Satgas Nemangkawi untuk menangani situasi di Kiwirok. Maka pasukan tambahan secara signifikan dikirim ke situ. Sementara Pemerintah setempat diajak Gubernur Papua, Lukas Enembe, supaya lebih aktif turut menangani keadaan kekerasan ini di wilayahnya. Sejumlah pihak meminta Komnas HAM untuk mengadakan investigasi di Kiwirok, sedangkan lainnya menekankan bahwa sudah waktu segala kekerasan dari pihak manapun dihentikan. Stop! Stop! Stop!
Sudah tentu serangan pada para tenaga medis ini sangat dapat disesali dan pantas dikutuk secara nyata. Sangat menyedihkan bahwa tenaga yang membantu kita semua demi kesehatan begitu saja bisa menjadi korban kekerasan. Tanggapan banyak orang muncul dan kesesalan juga disuarakan di tingkat pejabat tinggi seperti Ketua MRP, Bamsoet, dengan meminta supaya operasi militer masih lebih diintensifkan lagi guna menumpas para pelakunya. Namun, syukurlah, makin banyak pihak yakin bahwa ‘senjata tidak akan menyelesaikan masalah’, hanya akan meningkatkan kekerasaan dan jumlah korban dari segala pihak, termasuk masyarakat sipil. Pelajaran itu kita semua dapat tarik dari pengalaman selama dua tahun terakhir operasi militer di Papua ini, dimana segala pihak yang terlibat mengadakan kekerasan brutal dengan mengorbankan warga sipil, dari Pastor Yeremias di Intan Jaya sampai Suster Gabriella di Pegunungan Bintang. Karena itu sudah sungguh-sungguh waktu semua pihak, termasuk Ketua MPR RI, mengambil serius ajakan oleh Amnesty Internasional Indonesia kepada pemerintah pusat untuk berefleksi mengenai “kenapa semua tindakan yang begitu brutal dapat muncul?” Pemerintah pusat diajak untuk berefleksi atas tepatnya pendekatan keamanan yang sekarang dipakai. Perlu pendekatan yang lain guna menghentikan segala bentuk kekerasan dari pihak manapun dewasa ini. Juga Komnas HAM menegaskan jalan untuk menyelesaikan masalah di Papua adalah dialog! Kapan para pejabat tinggi mulai memahami urgensi perobahan itu?!? (TvdB)
[b] anggota KKB meninggal dalam ketahanan: seorang pimpinan KKB, Senaf Soll, meninggal dunia di Rumah Sakit Bayangkara di Jayapura. Senaf ditangkap di Dekai, Kab Yahukimo (2/9). Saat penangkapan dia ditembak kaki dan pahanya. Dibawa ke RS Bayangkara dimana dia dirawat dan meninggal dunia (26/9).
[c] kondisi kesehatan Victor Yeimo kritis: menurut direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emmanuel Gobay Victor Yeimo sedang dalam keadaan kritis kesehatannya. Dia menderita suatu resistensi obat-obat (multi-drug resistance) lawan Tuberkulosis, sebaga akibat tidak diberikan pelayanan kesehatan yang memadai. Sekarang dia membutuhkan suatu perawatan yang sangat intensif selama 6 bulan secara berkesinambungan (tak boleh terputus).
[d] indikasi pejabat pemda mendanai KKB: seorang anggota Komisi I DPR RI, Dave Akbarshah Laksono mengatakan ada indikasi pejabat tinggi pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II di Papua ikut membiayai gerakan kelompok kriminal bersenjata (KKB). Pernyataan ini disampaikan berdasarkan suatu laporan yang Komisi peroleh. Pernyataan masih terbatas pada ‘dugaan’, belum ada bukti. Dia minta pihak Kepolisian, BIN dan TNI memantau dan mengumpulkan bukti dugaan keterlibatan itu.
[e] pengejaran pelaku pembunuhan prajurit di Kisor (Maybrat): pengejaran pelaku pembunuhan 4 prajurit tetap berjalan. Menurut salah berita 8 orang -salah satu Ketua KNPB Kampung Sewa - sudah ditangkap dan sedang diinterogasi secara intensif di salah satu penginapan di Distrik Aimas (Kab. Sorong). Kalau teryata tidak terlibat akan dibebaskan kembali. Kemudian (28/9) pasukan menangkap lagi dua orang yang namanya ada di daftar orang yang dicari (DPO), yakni, Amos KY dan Robby Yam. Selain keduanya, sekarang pasukan gabungan mengamankan empat orang lainnya.
Sementara waktu Kodam XVIII/Kasuari sudah menempatkan pos-pos gabungan di kampong-kampong di Maybrat. “Untuk diketahui bahwa situasi Maybrat saat ini sudah kondusif, dengan ditepatkannya pos gabungan yang ada di kampung-kampung untuk menjamin keamanan masyarakat”, kata juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Arm Hendra Pesireron (16/9).
[f] kenapa simpatisan KKB belum ditangkap? Begitulah pertanyaan seorang Pengamat Intelijen Universitas Indonesia (UI), Ridlwanwan Habib. Dia mengangkat empat aspek sekitar masalahnya KKB itu. Pertama: ada sejumlah peraturan yang merupakan kendala bagi pasukan TNI untuk bergerak; kegiatan TNI perlu ada payung hukumnya. Untuk sebagian ini hanya dapat diberikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Selanjutnya, walau kelompok pejuang KKB kecil, TNI, yang personilnya dari luar Papua, sulit bergerak karena tidak berkebiasaan dengan lingkungan, medan operasi yang sulit. Yang kedua: operasi opini media, khususnya di media sosial yang sangat massif dilakukan oleh KKB. Berarti operasi media ini ada dukungan yang sangat direncanakan oleh kelompok [tidak dijelaskan kelompok apa - tvdb]. Dia sebutkan secara khusus “Veronica Koman, yang dapat bergerak asyik tanpa kemudian ada semacam tindakan hukum”, katanya. Yang ketiga: menurutnya, pendukung KKB di luar Papua cukup banyak, bahkan ada hampir di semua kota-kota besar melalui kelompok-kelompok mahasiwa Papua. Untuk itu, ia mempertanyakan kenapa para simpatisan KKB ini tidak ditangkap, padahal jelas label mereka teroris. Yang keempat: penggalangan tokoh lokal. Beberapa kali muncul adanya oknum pejabat daerah memberikan dukungan kepada KKB, bahkan ada oknum tokoh agama yang ditangkap polisi karena terbukti menyembunyikan anggota KKB.
Walau bunyi berita diatas sangat ‘berat sebelah’, saya menilai penting untuk memuatnya. Ini memberikan suatu kesan mengenai ‘bagaimana pikiran dunia luar tertentu’ yang dekat dengan para penentu kebijakan/penguasa. Apalagi dari catatan-catatan diatas dapat disimpulkan bahwa ‘pelabelan teroris’ yang dari awal mula dinilai ‘tidak tepat dan tidak matang’, dan sampai saat ini belum ditandatangani Presiden, dapat dipakai untuk mengejar siapa saja yang dapat dikaitkan dengan perjuangan hak di Papua. Sangat memprihatinkan, to say the least! (TvdB)
[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA dan SUASANA WILAYAH KONFLIK
[a] pengungsi di wilayah Pegunungan Bintang: berhubungan dengan operasi militer di wilayah Kiwirok sejumlah orang sudah dievakuasi ke Mabilabol (pusat Kabupaten), dan menurut Bupati Pegunungan Bintang, sekitar 1000 warga masyarakat biasa telah mengungsi ke pelbagai tempat. Pokoknya: Kiwirok kosong.
[4] OTSUS & PEMEKARAN & POLA PEMBANGUNAN DI PAPUA
[a] pemekaran hanya obat sementara: ternyata perobahan dalam UU Otsus II, yakni pemberian wewenang kepada Pusat Pemerintah Indonesia untuk menetapkan pemekaran di Papua tanpa perlu melalui prosedur persetujuan setempat, sudah mulai dipakai. Pembentukan Provinsi Papua Selatan akan jadi, walau salah satu Kabupaten yang sangat luas, Pegunungan Bintang, sudah memilih untuk tidak bergabung dengan provinsi yang baru itu. Akademisi dari Universits Cenderawasih, Marinus Yaung, berpendapat rencana pemekaran ini tak bakal manjur menyelesaikan masalah kesejahteraan dan gejolak di Papua. Pemekaran hanya obat sementara. Ia menyakini gejolak dan konflik di Papua akan tetap ada. Terlebih lagi, motif pemekaran yang hendak dilakukan saat ini bukan didasari untuk percepat pelayanan publik di Papua, melainkan alasan kepentingan politik negara di Papua. Salah satunya, kata dia, untuk memecah belah kekuatan gerakan rakyat Papua. Pemikiran banyak orang Papua untuk merdeka sampai saat ini masih ada, “karena senjata enggak bisa mematikan ideologi”, tegasnya. “Pemekaran Kodam, Koramil dan lain-lain itu dianggap orang Papua, bahwa pemekaran ini bukan untuk kepentingan Papua. Tapi kepentingan keamanan”, ujar Marinus
[5] SOAL HUKUM /KEADILAN
[a] Lembaga bantuan hukum diancam: ternyata para instansi yang membantu supaya hak-hak dasar setiap orang tetap diindahkan, perlu siap menerima ancaman. Kali ini gilirannya kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH)Yogyakarta. Kantornya diserang dengan bom molotov (18/9). Ancaman ini, kemungkinan besar, ada kaitan dengan keterlibatan LBH dalam advokasi terhadap beberapa masalah di Jawa Tengah dan Daerah Istemewa Yogyakarta.
[b] kebebasan ungkapan pendapat di Papua makin tertekan: bukan rahasia lagi bahwa kebebasan ungkapan pendapat/opini di Papua makin ditekan sampai hampir tidak ada ruang lagi. Kenyataan ini sekarang sekali lagi terangkat dalam suatu laporan yang diterbitkan oleh TAPOL yang berkedudukan di London, Inggeris (16/9). Dalam laporan ini diberikan rincian mengenai penindasan, pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenangnya, teror dan intimidasi, pemutusan internet dan/atau serangan cyber pada mereka yang mengungkapkan dukungan kepada tuntutan penentuan nasib sendiri di Papua. Banyak data dikumpulkan. Secara singkat saja, selama tahun 2020 berkaitan dengan Papua, terdapat: pembubaran paksa, 38x; penangkapan sewenang-wenang, 41x; intimidasi dan gangguan, 61x; lockdown internet, 4x. Kebanyakan tindakan diatas dilakukan oleh polisi dan tentara dan beberapa aksi dilakukan oleh militias, institusi akademis dan otoritas administratif.
[6] PENDIDIKAN, KESEHATAN dan EKONOMI RAKYAT di PAPUA
[7] LINGKUNGAN, DEFORESTASI, INDUSTRI PERKEBUNAN
[a] deforestatasi yang sangat memprihatinkan: menurut rekaman satelit, 965 ha hutan hilang selama kurun waktu Januari-Mei 2021 di Papua. Yang membuatnya: perusahaan Moorim yang berasal dari Korea-Selatan. Rekaman satelit membenarkan data yang sudah pernah dihasilkan melalui ‘drone images’. Disamping itu, masyarakat adat di wilayah itu ditolak haknya untuk memberikan atau menolak persetujuannya (free, prior, and informed consent) bagi proyek itu.
[b] moratorium kelapa sawit diminta diperpanjang: moratorium atas konsesi baru untuk ‘kelapa sawit’ berakhir 19 September 2021. Banyak pihak sebenarnya berharap bahwa moratorium ini diperpanjang saja, karena banyak hal masih perlu diperbaiki terlebih dahulu. Ada 4 alasan utama: [a] tata kelola perizinan belum selesai, [b] tata kelola produktivitas sawit juga masih belum maksimal, [c] belum adanya kepastian landasan aturan untuk sektor sawit yang berkelanjutan, dan [d] memastikan komitmen Indonesia untuk mitigasi perobahan iklim. Pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, menyebutkan, berdasarakan data yang dikumpulkan pada tahun 2020, terdapat 11,9 juta ha izin sawit tak bertutupan, 10,7 juta ha izin sawit bertutupan dan 8,4 juta ha lahan sawit yang tidak memiliki izin di Indonesia. Sementara direktur Yayasan EcoNusa, Buster Maitar, mencatat: “dari kasus yang terjadi di Papua Barat yang kami amati, dari sekitar 650.000 ha izin sawit yang telah diberikan pemerintah, hanya sekitar 52.000 ha yang benar-benar telah ditanami pohon sawit”.
[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”
[a] peranan pimpinan agama – inisiatif menbina ‘juru damai’: Dengan adanya kekerasan yang begitu menonjol di Papua, tidak mengherankan lagi bahwa banyak warga biasa makin mulai merasa bingung dan resah. Pertanyaannya: kenapa kita tidak dapat hidup dalam damai? Seakan-akan tidak ada yang dapat menghentikan kekerasan disekitar kita. Kenapa? Kita mau hidup dalam ketenangan dan damai!!!! Tolonglah!
Hari ‘Damai se-Dunia 21 Sept’ menjadi kesempatan untuk mengangkat keresahan yang terungkap diatas, dan mempertanyakan apa yang bisa diharapkan dari pimpinan agama? Dari umat beragama? Agama, yang manapun, diandaikan akan ada di barisan depan sewaktu martabat banyak orang terinjak; pada saat kekerasan merajalela; pada saat kita mulai hidup dalam ketakutan; pada saat ribuan orang meninggalkan kampung halamannya karena takut; pada saat kita semua merasa lumpuh dan tak berdaya mengubah suasana yang tidak lagi ramah manusia. Dalam suatu webinar Interfidei Yogyakarta pertanyaan banyak umat ini diangkat. Dalam diskusi itu ditekan ‘agama sebagai benteng perlindungan terakhir’ perlu berperan. Kenyataannya, para pemimpin agama agak membingungkan; ada yang diam, dan diam berarti ‘membiarkan’; ada yang bicara, namun sering secara terisolir dan tidak mencari ‘kebersamaan dalam perjuangan’, hingga suara tidak kuat dan mudah diabaikan. Pokoknya disimpulkan bahwa para pemimpin agama agak mendua, dan kenyataan itu merugikan kita semua.Keprihatinan dan rasa ’kelumpuhan’ juga menjadi nada dasar dalam suatu pertemuan sejumlah tokoh beriman (dari pelbagai agama dan lembaga) yang berkumpul selama dua hari untuk membagikan isi hatinya dan mencari jalan menuju ‘pembangunan damai di Papua’. Dalam kesimpulannya sementara juga diangkat masalahnya bahwa para pimpinan ‘tidak sesuara’ dan ‘tidak bergabung’, hingga ‘kehilangan kewibawaannya’. Sekaligus disadari bahwa perjuangan menuju perdamaian di Papua menjadi ‘misi setiap orang beragama’, maka diputuskan untuk sedapat mungkin mengajak teman-teman selingkungan untuk membuka diri turut menjadi ‘juru damai’. Mungkin dengan memulai gerakan semacam ini kita bersama-sama akhirnya menemukan jalan untuk menyakinkan para penguasa untuk mengubah strateginya di Papua, untuk akhirnya membuka diri duduk bersama dengan masyarakat yang merasa resah dan berbeda pendapat mengenai apa yang sebenarnya perlu dibuat untuk mengatasi permasalahan/konflik di Papua. Dan pertama-tama untuk menghentikan segala kekerasan – damai negatif - sambil membuka jalan mengisi damai dengan arti yang sebenarnya – damai positif. Kedua inisiatif untuk dengan lebih aktif mulai mencari jalan keluar dari ‘kelumpuhan dan kebingungan’ ini dan menjadi suatu ‘Gerakan Kebersamaan Juru Damai’ merupakan sedikit titik harapan bagi sekian banyak warga di Papua yang haus akan damai, damai, damai! Semoga ‘nyala api kecil’ ini menjadi ‘api besar kegembiraan’ di hari-hari depan! (TvdB)
[9] GERAKAN POLITIK PEMERINTAH PAPUA & PAPUA BARAT
[a] Papua Selatan mengurangi kontrol Gubernur Papua: berhubungan dengan rencana pemekaran hingga membentuk Provinsi Papua Selatan, Komaruddin Watubun (DPR RI), menyatakan bahwa pemekaran ini memang tepat karena wilayah provinsi Papua sangat luas. “Sementara kapasitas pemimpin tidak memadai mengurus Papua sebesar itu juga menjadi masalah”, ucap Komaruddin. Sementara waktu Gubernur Papua, Lukas Enembe, belum bersedia menanggapi rencana pembentukan Provinsi Papua Selatan.
[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK UMUM DI PUSAT INDONESIA dan INTERNASIONAL
[a] kontingen atlet dari Sumatra membawa Brimob sendiri: ternyata masyarakat luar Papua sudah sangat yakin bahwa Papua adalah ‘tempat sangat berbahaya’ (hasil stigmatisasi dan kampnye negatif di media!) sampai ada kontingen atlet yang akan membawa pasukan Brimob sendiri. Sumatra Barat maupun NTT berencana demikian. Berita ini membuat Bupati Jayapura sangat marah, karena ‘seakan-akan kami tidak mampu menjamin keamanannya’. “Tidak perlu bawa Brimob, Papua aman!”, tegasnya. Juga Walikota Jayapura mulai mengangkat suaranya dan menyatakan bahwa memang segala macam gerakan pengamanan betul keterlaluan, “Jayapura aman”, tegasnya. Sewaktu wakil-Gubernur Sumatra Barat menanggapi kritik oleh Bupati Jayapura, beliau menjelaskan bahwa ‘membawa Brimob sendiri’ adalah instruksi dari Kapolri Bersama Menteri Dalam Negeri. “Seluruh kontingen itu diwajibkan membawa pengamanan dari provinsi masing-masing. Aceh gitu juga, jadi semua provinsi itu”, keterangan dari wakil Gubernur Sumbar mengenai surat instruksi itu.
Instruksi Kapolri bersama Mendagri supaya setiap kontingen atlet membawa Brimob sendiri ke Papua sangat mengagetkan. Secara umum sudah diketahui bahwa tindakan pengamanan sekitar pelaksanaan PON XX sudah sangat luarbiasa; tidak kurang daripada 10.000 personil – dari dalam maupun dari luar Papua - akan dikerahkan. Sekarang mau ditambah lagi melalui pengawalan setiap kontingen. Betul tidak masuk di akal. Sebenarnya ada ‘tujuan apa’ dibelakang instruksi ini? Sudah tentu instruksi Kapolri/Mendagri ini akan sekali lagi menyumbang secara signifikan pada ‘stigmatisasi terstruktur’ terhadap Papua. (TvdB)
[b] Australia tahu mengenai pembantaian di Biak tahun 1998: karena sejumlah dokumen rahasia sekarang dibuka untuk umum, maka menjadi jelas bahwa Australia tahu mengenai apa yang terjadi di Biak tahun 1998, saat ada demo rakyat di bawah Menara Air. Beberapa hari setelah tragedi pembunuhan massal di Biak itu, sejumlah dokumen dan laporan diserahkan kepada pemerintah Australia. Walau demikian Australia tidak pernah mengangkat suaranya. Kenyataan demikian sekarang sangat dipertanyakan. Kenapa Australia diam? Kenapa Australia pada tahun 2014 malahan memusnahkan bahan bukti berupa foto-foto? Suatu tindakan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan. Seorang korban, Yudha Korwa, yang survive tragedi itu dan selanjutnya memperoleh ‘suaka politik’ hingga sekarang berstatus warga negara Australia, mulai mengangkat persoalan itu dengan sangat aktif. Di Australia sendiri berita ini juga menimbulkan reaksi yang kuat, dan diminta suatu ‘pemeriksaan mendalam’ mengenai soal ini.
[c] sekali lagi PBB ungkapkan keprihatinannya: berhubungan dengan seriusnya keadaan sakit tahanan Victor Yeimo, rapporteur khusus HAM dari PBB, Mary Lawlor, mengirim pesan urgen kepada Pemerintah Pusat Indonesia, supaya menjamin perawatan medis yang memadai untuk Victor Yeimo (39). “Jangan sampai beliau akan meninggal dalam penjara”, peringatannya.
[d] laporan tahunan SekJen PBB: dalam laporan tahunannya, Sekretaris Jendral PBB, Guterres, menyebutkan Indonesia termasuk kelompok 45 negara dimana ada praktik kekerasan dan intimidasi. Secara khusus dia sebutkan 5 kasus intimidasi, kekerasan terhadap aktivis HAM – termasuk kasus Victor Yeimo - di Papua yang lazimnya berkontak dengan PBB. Dalam tanggapannya, jurubicara Kementarian Luar Negeri, Teuku Faizasyah menyatakan “Indonesia menegaskan tidak memberi ruang bagi praktik reprisals terhadap aktivis HAM seperti yang dituduhkan dan segala sesuatunya didasarkan pertimbangan pengenaan ketentuan hukum”. Selanjutnya dia tidak berkomentar secara rinci atas 5 kasus konkrit yang disebut oleh Sekjen PBB, namun mencatat bahwa “hampir seluruh dari ke-32 negara yang dilaporkan dalam dokumen itu adalah adalah negara berkembang. Sayangnya laporan tersebut luput menyoroti kejadian pelanggaran HAM di negara-negara maju”.
[e] sejumlah negara mengangkat persoalan Papua di Sidang Umum PBB: bukan hal baru. Sudah selama lima tahun lebih Sidang Umum PBB (SU PBB) dimanfaatkan sejumlah negara, secara khusus negara-negara dari wilayah Pasifik yang dimotori pimpinan negara Vanuata, untuk meminta perhatian pada perjuangan di Papua untuk menyelesaikan masalahnya. Perhatian ditarik pada pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah itu yang dikuasai Indonesia. Sekurang-kurangnya SU PBB didorong untuk mengirim suatu misi resmi ke wilayah itu supaya situasi sebenarnya dapat diketahui sebaik-baiknya. Dalam tanggapannya, Indonesia bertahun-tahun, melalui ‘junior diplomacy’ meremehkan segala indikasi pelanggaran HAM di wilayah Papua, dan lazimnya menyerang para pelapor ‘sebagai negara yang sendiri bermasalah’ dan tidak mengerti soal HAM. Bagaimanapun juga ‘tanda simpati pada Papua’ dari sejumlah negara ternyata mengganggu Indonesia, dan bagaimanapun juga Indonesia sampai saat ini tidak bersedia menilai ‘tanda keprihatinan’ ini sebagai ‘peringatan yang serius’.
Sudah tentu: “junior diplomacy” is not the answer, apalagi sangat memalukan! (TvdB)
[f] penjabat kepala daerah 2022-2024: menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sudah tentu sejumlah kepala daerah akan habis waktu jabatannya jauh sebelumnya - mulai 2022 sebanyak 7 gubernur dan puluhan selama 2023 – maka, perlu mengangkat seorang penjabat. Dari Kementerian Dalam Negeri, ada berita bahwa terbuka kemungkinan anggota TNI-Polri yang masih aktif dapat diangkat sebagai penjabat. Berita ini sudah menimbulkan suatu keprihatinan besar bahwa masa ‘dwifungsi TNI-Polri’ mulai berlaku lagi. Memang trend ke-arah ‘dwi-fungsi’ itu sudah makin kentara dalam praktik politik dewasa ini, apalagi di Papua. Diskusi sekitar ini memanas.
[g] ketidakpuasan penerapan demokrasi di Indonesia meningkat: Lembaga survei Indikator Politik Indonesiamenyebut bahwa tren kepercayaan masyarakat pada pelaksanaan demokrasi (democratic satisfaction) di Indonesia terus menurun. Hasil survey: yang puas pada pelaksanaan demokrasi saat ini hanya 47,6%, (0,4% sangat puas dan 47,1% cukup puas) dan yang tidak puas 44,1% (37,1% kurang puas dan 7% tidak puas sama sekali). “Tren yang tidak puas naik tajam, dari 32% ke 44%”, menurut Direktur, Burhanuddin Muhtad (26/9). Kepercayaan pada Presiden juga turun dari 70-72% sebelum pandemic, sekarang sekitar 58%, maka trennya menurun secara signifikan.
[11] SERBA-SERBI – VARIA
[a] Blok Wabu di Intan Jaya: ternyata blok “Wabu” (gunung emas) di Intan Jaya sangat berisi; isinya tidak kurang dari pada 8,1 juta ounces. Artinya dalam nilai Rupiah, sekitar Rp. 221,7 triliun.
[b] Mgr Mandagi MSC menyatakan yang menolak vaksinasi adalah ‘orang berdosa’: selama kotbahnya dalam perayaan Misa di West Olilit, Maluku (22/9) Apostolic Administrator Keuskupan Ambon, sekaligus Uskup Agung Merauke, Mgr. Mandagi MSC menyatakan bahwa ‘yang menolak vaksinasi lawan covid-19 adalah ‘orang berdosa’ karena membahayakan orang lain’.
Sudah tentu bobot pastoralnya pesan ini jauh dibawah standar. Kami mengandaikan bahwa Bapak Uskup hanya bicara atas nama sendiri, dan tidak mewakili Gereja/Umat Katolik. (TvdB)
[12] CORONA VIRUS
Infograf – perbandingan antara situasi di Papua tgl 28 September 2021 dengan situasi 13 September 2021 - memberikan gambaran sbb:
COVID-19 | Jumlah positif | Jumlah terinfeksi | Jumldirawat | Juml sem-buh | Jumlah meninggal |
| Rata-rata per hari | rata rata per hari | kumulatif | | Ter-masuk isolasi | | | |
Situasi Provinsi Papua | 13/9 /’21 | 28/9 /’21 | 13/9 /’21 | 28/9/’21 | | | 13/9 2021 | 28/9 /’21 |
Kota Jayapura | 4 | 3,6 | 12796 | 12850 | 40 | 12540 | 269 | 270 |
Mimika | 9 | 5,2 | 9527 | 9605 | 47 | 9367 | 191 | 191 |
Merauke | 14 | 4,4 | 3553 | 3620 | 67 | 3300 | 244 | 253 |
Kab Jayapura | 4 | 0,3 | 3081 | 3086 | 9 | 2959 | 118 | 118 |
Biak Numfor | 1 | 0,5 | 2734 | 2742 | 17 | 2580 | 145 | 145 |
Jayawijaya | 2 | 1,8 | 1858 | 1885 | 69 | 1780 | 35 | 36 |
Mappi | 5 | 1 | 1719 | 1735 | 9 | 1713 | 12 | 13 |
Boven Digoel | 5 | 2 | 1621 | 1651 | 24 | 1600 | 26 | 27 |
Kep Yapen | 1 | 0,1 | 1150 | 1152 | 1 | 1113 | 38 | 38 |
Asmat | 1 | 1 | 1067 | 1082 | 12 | 1055 | 14 | 15 |
Nabire | 0 | 0 | 764 | 764 | 0 | 721 | 43 | 43 |
Keerom | 1 | 0 | 607 | 607 | 42 | 534 | 31 | 31 |
Paniai | 1 | 0,3 | 408 | 413 | 7 | 399 | 7 | 7 |
Puncak Jaya | 3 | 0,2 | 273 | 277 | 0 | 271 | 5 | 6 |
Tolikara | 0 | 0 | 270 | 270 | 0 | 270 | 0 | 0 |
Superiori | <1 | 0 | 252 | 252 | 0 | 252 | 0 | 0 |
Lanny Jaya | 2 | 0 | 177 | 177 | 7 | 167 | 3 | 3 |
Puncak | 1 | 0 | 103 | 104 | 0 | 100 | 4 | 4 |
Peg. Bintang | <1 | 0 | 94 | 94 | 28 | 64 | 2 | 2 |
Sarmi | 0 | 0 | 31 | 31 | 0 | 31 | 0 | 0 |
Yahukimo | 2 | 0 | 23 | 23 | 9 | 11 | 3 | 3 |
Yalimo | 0 | 0 | 15 | 15 | 0 | 15 | 0 | 0 |
Mamberamo Tgh | 0 | 0 | 4 | 4 | 0 | 4 | 0 | 0 |
Waropen | 0 | 0 | 1 | 1 | 0 | 1 | 0 | 0 |
| 52 | 20,8 | 42128 | 42440 | 388 | 40847 | 1190 2.8% | 1205 2.8% |
| | | | | | |
Diwanai biru: artinya, entah tidak ada perobahan, entah tidak ada data. Bandingkan jumlah infeksi 13 September 2021 dengan 15 hari kemudian (28/9). Beda infeksi 883 menjadi 312 = rata-rata 52 per hari menjadi 20,8 & kematian 61 menjadi 15 = rata-rata 4 per hari menjadi 1. Artinya: baik jumlah infeksi rata-rata per hari maupun kematian per hari selama satu setengah bulan lamanya menunjukkan suatu penurunan terus yang signifikatif/positif. Syukurlah! Di empat venue PON - Kota Jayapura, Timika, Merauke dan Kab Jayapura - jumlah infeksi per hari juga menurun dengan jelas, namun masih tetap ada.
Jayapura, 30 September 2021
*****