Wednesday, November 2, 2022

Report. PAPUA 2022 Oktober (In Bahasa)

 PAPUA  2022

Oktober 

Oleh: Theo van den Broek

 

 

[1] PERHATIAN UTAMA

“Korupsi di Papua – kasus Gubernur Papua – Konflik Papua”

Sebagaimana diketahui bersama, Papua cukup diguncangkan dengan adanya kasus-kasus korupsi. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe (LE). Diawali dengan suatu tuduhan terbatas pada penerimaan gratifikasi sebesar 1 miliar, hingga LE dinyatakan menjadi tersangka. Dalam tahap-tahap lanjutan kasus mulai berkembang secara agak liar sampai makin sulit untuk ditangani. 

Perkembangan ‘agak liar’ adalah akibat sejumlah faktor yang berikut: [1] reaksi spontan perlawanan kelompok pendukung LE yang melawan pernyataan korupsi; [2] dugaan adanya permainan kriminalisasi politik; [3] kondisi kesehatan LE yang buruk;[1] [4] berita-berita kepada publik luas bahwa LE terlibat dalam korupsi sangat besar sampai ratusan miliar; [5] pemberitaan yang ramai mengenai gaya hidup LE yang sangat mewah, termasuk kunjungannya berkala pada casino dan pemakaian pesawat jet pribadi; [6] campur tangan [alias intervensi] dari sejumlah pejabat tinggi yang ramai berkomentar kasus korupsi ini. Termasuk Menteri Koordinasi Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud, dan Moeldoko (Kepala staf Presiden), dan Waterpauw (penjabat Gubernur Provinsi Papua Barat); [7] lahirnya polarisasi antara yang pro dan kontra; [2] [8] pergerakan 1.600 personnel keamanan di sekitar kediaman LE (untuk sebagian Brimob dari luar Papua: Maluku dan Sulawesi Utara); [9] ramainya kunjungan pada LE; termasuk Komnas HAM, Kepala BIN Papua, Tokoh-tokoh agama, Tokoh-tokoh HAM, Tokoh-tokoh Adat; [10] LE dinobatkan oleh Dewan Adat pimpinan Sorabut menjadi ‘kepala suku besar Papua’; [11] desakan Tim Kuasa Hukum LE supaya kasus ditangani sesuai ‘hukum adat Papua’ dan diselesaikan di Jayapura saja; KPK menolak pendekatan sejenis itu; [12] peluang panggilan ke-tiga oleh KPK; kalau tidak dipenuhi, akan disusul aksi ‘dijemput paksa’ dan [13] tambahnya terus kelompok dukungan, penjaga kediamannya yang untuk sebagian dilengkapi dengan alat-alat tajam. Pendek kata: keadaan menjadi makin rumit, kompleks dan mengandung potensi tindakan kekerasan. 

Dalam kelanjutan penanganan kasus korupsi LE, seorang anggota Tim Pengacara meminta supaya kasus ini diusut secara adat.  Alasannya: pada 8 Oktober sudah dinobatkan sebagai “Kepala Suku Besar Papua”. “Perkara diselesaikan saja di depan mata banyak orang, secara publik dan sesuai peraturan adat”, demikianlah saran pengacara, Alo Renwarin. [3] KPK menolak pendekatan melalui hukum adat ini. [4]

Sementara waktu para Jurubicara LE menekankan bahwa LE tetap bersedia menghadapi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sesaat dia sudah pulih kesehatannya. Sejumlah pemantau membenarkan bahwa kondisi kesehatan LE memang buruk dan bukan alasan buatan. Mereka menekankan supaya perhatian prioritas perlu diberikan kepada unsur kesehatan dulu di atas segala pertimbangan. Seruan senada dilontarkan para tokoh agama dan tokoh HAM. [5]   

 

Sampai saat ini beliau dua kali dipanggil dan dua kali panggilan ini tidak dipenuhi karena alasan kesehatannya tidak memungkinkan. Alasan ini cukup diragukan oleh pelbagai instansi di Jakarta, dan mereka menekankan bahwa kalau dalam keadaan sakit, tetap alangkah baiknya untuk dibawa ke Jakarta untuk diobati dulu di Jakarta. Perawatan medis yang tepat dijamin oleh KPK mendahului pemeriksaan lanjut. Sebenarnya LE ingin dirawat di luar negeri (Singapura atau Philippina) dimana dia sudah pernah dirawat. Namun hal demikian tidak dapat dijalankan karena LE sudah berstatus ‘dicekal’, artinya dilarang pergi ke luar negeri. LE tidak mau dirawat di Jakarta. Kemungkinan besar bahwa penolakan itu, bukan karena perawatan medis di Jakarta dinilainya di bawah standar, melainkan karena beliau (serta pendukungnya) sama sekali tidak percaya kepada keikhlasan para pejabat di Jakarta. Kepercayaan pada ‘Jakarta’ sudah nol, malahan dikhawatirkan bahwa kesempatan itu hanya akan dipakai untuk – sekurang-kurangnya – menggeser beliau dari kedudukan sebagai gubernur. 

Sementara waktu KPK memutuskan untuk mengirim ‘tim dokter independen’ bersama tenaga penyidik KPK  untuk suatu pemeriksaan awal di Jayapura saja (rencana akhir Oktober). Maka, panggilan ketiga ditunda saja dan kemungkinan penjemputan paksa dihindari. Kunjungan gabungan Tim Dokter bersama KPK akan dikawal oleh 1.800 personil keamanan, ujarnya Kapolda Papua. ‘Kubu Lukas Enembe’ sudah menyatakan bahwa akan menerima kunjungan gabungan itu dengan baik dan dengan sikap kooperatif. 

 

Faktor dugaan kriminalisasi tetap kuat. Kekuatiran LE bahwa beliau akan digeser dari kedudukannya sebagai Gubernur Provinsi Papua mempunyai kaitan langsung dengan beberapa peristiwa di masa lampau. Para pendamping LE terus mengingatkan kita akan dua momen upaya nyata untuk ‘mengontrol Lukas’. Yang pertama sewaktu menjelang pemilu lalu LE didesak oleh pejabat tinggi untuk memilih Waterpauw [mantan Kapolda Papua] sebagai ‘pasangannya’. Katanya, baik Kapolri (Karnavian), Kepala BIN (Gunawan) maupun Waterpauw terlibat dalam upaya ‘mengontrol Lukas Enembe’ itu. LE menolak secara bulat. Momen kedua sewaktu wakil Gubernur (Wagub) provinsi Papua meninggal dunia dan kursi Wagub kosong. Pada saat itu pun LE didatangkan di kediamannya oleh beberapa pejabat tinggi (termasuk Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian) untuk mengisi kursi wakil Gubernur dengan calon yang mereka sarankan, yakni Waterpauw. Sekali lagi LE menolak secara bulat. Tercatat juga berita bahwa belum lama ini LE didesak Kementerian Dalam Negeri untuk menyediakan jumlah dana sangat substantial dari anggaran provinsinya untuk membiayai pendirian tiga provinsi yang baru di Papua. Menurut beritanya, LE kurang setuju dengan permintaan itu.  Pokoknya, para pendukung LE berpendapat bahwa ‘Jakarta’ kurang senang dengan kepemimpinan LE dan terus berupaya menggeserkan nya dari kursi gubernur. Maka diduga bahwa sekarang ini adalah upaya penggeseran ketiga dengan melontarkan tuduhan korupsinya. Latar belakang ini pasti turut mendorong LE untuk menunda keberangkatan ke Jakarta sedapat mungkin, termasuk untuk menerima perawatan di Jakarta.

Keyakinan akan adanya suatu agenda politik di belakang tuduhan korupsi pada LE, hanya diperkuat lagi sewaktu a.l. Menkopolhukam, Mahfud, mengangkat kasus korupsi LE secara besar-besaran dengan melibatkan pejabat lainnya, a.l. dari KPK dan Keuangan. Dalam konferensi pers itu pejabat KPK dan Keuangan menjelaskan besarnya korupsi yang dikaitkan dengan LE. Dijelaskan adanya ‘indikasi’ atau ‘dugaan’ korupsi yang sangat besar! Memang, sangat mengagetkan bahwa Menkopolhukam secara langsung mengangkat hal itu, daripada membiarkan KPK menangani kasus ini dan menjaga independensinya. Apalagi penelitian korupsi LE masih berjalan, belum sampai pembuktian, hanya ‘dugaan’ dan ‘indikasi’.  Kebijaksanaan Mahfud sangat diragukan. 

Adanya ‘tuduhan kriminalisasi’ yang juga dikaitkan dengan gerak-gerik Waterpauw yang baru ini diangkat oleh Tito Karnavian (Mendagri) sebagai penjabat Gubernur di provinsi Papua Barat. Waterpauw sendiri mengangkat suaranya secara vokal dan kurang proporsional (a.l. menyindir LE karena gaya hidupnya) sampai mendorong ‘sesama asli orang Papua’ ini untuk mundur saja dari kursi gubernur. Sekaligus Waterpauw merasa nama baiknya dicemarkan oleh tim kuasa hukum LE dan melaporkan ketua tim itu pada polisi. Sudah tentu, tindakan ini hanya memanaskan kubu pendamping LE dan menunjukkan kekurangpahaman Waterpauw mengenai situasi eksplosif yang telah berkembang.

Dalam dinamika ‘tukar menukar pendapat sekitar kasus korupsi ini’, sebenarnya perhatian makin bergeser dari soal korupsi sebagai sesuatu yang patut ditangani secara hukum dan melalui jalur yang lazimnya dipakai, yakni KPK. Fokusnya makin bergeser ke arah ‘politik umum’, hingga kasus LE menjadi momentum untuk menunjukkan bahwa ‘kami orang Papua sudah jenuh dengan segala manipulasi Jakarta, termasuk para pemain kuasa dan para penggeraknya’. Bukan substansi korupsi ini masih menjadi fokus utama, namun cara pemerintah pusat menilai dan memberlakukan bangsa Papua! Ada omongan seperti berikut: ‘Jakarta mau apa? Indonesia sudah mencuri apa saja di Papua, tanahnya, kekayaan alamnya, martabat orangnya, dan kami dibunuh saja. Dibanding dengan itu apa yang mungkin dipakai oleh LE hanya sangat sedikit saja, tidak ada arti.’ Omongan senada itu makin sering terdengar. Reaksi demikian sebaiknya mengingatkan kita semua pada frustrasi besar yang  masyarakat Papua sudah alami selama bertahun-tahun. Pengalaman bahwa hak dan jati dirinya dirampas bukan di masa lampau (sejarah kolonial) saja, melainkan sampai saat ini. Sejarah terulang terus! Mengingat juga pengalaman baru ini sewaktu suara mereka tidak mau didengar dan segala macam keputusan diambil segelintir orang berkuasa di ‘Jakarta’ tanpa mau pusing dengan kepentingan bangsa Papua atau tanpa mengizinkan partisipasi rakyatnya secara bermakna. Segala gaya manipulasi selama bertahun-tahun sampai dalam lembaga DPR RI dengan mengesahkan UU Otsus Jilid II dan UU Pemekaran Papua, hanya menambahkan rasa dendam dalam hati banyak orang, dan memang tidak tanpa alasan. Pengalaman pahit bahwa ‘tidak diakui sebagai ‘manusia yang bermartabat’ dan sebagai ‘anak sulung’ yang memiliki hak-hak sebagai penghuni asli Papua, baik di masa lampau mau dewasa ini, menjadi beban hidupnya, dan membawa serta penderitaan yang tidak dipedulikan para penguasa. Akhirnya apa yang dimulai sebagai suatu ‘kasus korupsi’ telah berkembang menjadi suatu ‘soal politik yang panas’, menjadi ‘ungkapan konflik utama’ yang sampai saat ini kurang mau diselesaikan oleh pemerintah di Indonesia. Bukan korupsi uang menjadi fokus, ‘itulah hal sepele saja’, melainkan pengakuan martabat dan hak orang Papua menjadi fokus utama. Sudah terlalu lama pemerintah Indonesia menolak melihat inti konflik yang sebenarnya.

Dalam suatu Kolom TEMPO.co (26 September 2022)  dicatat bahwa ‘Jakarta’ sendiri turut melahirkan korupsi di Papua. https://kolom.tempo.co/read/1638342/dosa-jakarta-di-kasus-korupsi-lukas-enembe  (lihat juga Bagian [10] (a) – TvdB)

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] gerakan TNI/Polri dan TPNPB

* 7 Oktober 2022: TPNPB menyatakan bahwa pihaknya merampas sepucuk senjata api dari sopir truk yang melintas di Jalan Trans Nabire-Ilaga. Para pengikut truk itu sempat ditahan sebentar, lantas dibiarkan berangkat lagi. Mereka semua dilaporkan telah tiba di Enarotali dengan selamat. [6]

28 Oktober 2022: Satgas Damai Cartenz menembak tiga orang di Kiwirok yang diduga adalah anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) karena dari jarak jauh dilihat bahwa salah satu membawa senjata api. Menurut informasi pihak TNI, satu ditembak mati, dua lain melarikan diri serta membawa jenazah dan senjatanya.[7] Berita ini berasal dari sumber TNI, dan tidak dikonfirmasikan pihak TPNPB. Perlu dipertanyakan juga sejauh mana ‘melihat kelompok yang masih jauh dan -katanya TNI- membawa senjata’ bisa dinilai secara hukum sebagai alasan secukupnya untuk langsung menembak mati? (TvdB)

 

[b] tambahan korban

 

[c] tambahan pasukan

 

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA / SUASANA WILAYAH KONFLIK

[a] Kampung kosong di Moskona Selatan: Karena insiden pembunuhan (4 pekerja jalan trans) belum lama ini, yang disusul operasi militer sambil perburuan para tersangka, sekarang di perkampungan Inggof di Moskona Selatan sudah tidak ada lagi penghuni. Kelihatan juga hewan pemeliharaan dibawa serta. Semua mengungsi.[8]

 

[4] OTSUS PEMEKARAN

[a] Peresmian Tiga Provinsi Baru; kenapa terus terburu-buru?:  Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) akan mempercepat pelantikan penjabat gubernur tiga provinsi baru. Kemendagri juga akan mempercepat proses pembentukan struktur pemerintahan tiga provinsi itu. Menurut wakil menteri dalam negeri, Wempi Wetipo, peresmian tiga provinsi akan dilakukan akhir Oktober 2022.[9] Berkaitan dengan  pemberitahuan itu, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, mencatat: “Sejak awal pemerintah pusat terkesan ingin semuanya serba cepat. Pemerintah terburu-buru mengubah Undang-Undang Otsus dan membentuk Daerah Otonomi Baru (DOB), hingga pengisian perangkat dan pelantikan penjabat gubernur dan pengisian MRP”.  Kenapa terus begitu? Mau mencapai apa? Ia menilai pemerintah pusat dan DPR RI kompak mempercepat pemekaran provinsi di Papua meski melanggar batasan-batasan atau peraturan. “Orang Papua itu butuh kehidupan, bukan pembangunan. Pembangunan itu baik tetapi jika dengan cara-cara yang tidak elok, tidak sesuai keinginan dari akar rumput, saya pikir akan terjadi pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak dasar orang asli Papua”, kata Timotius. 

Keprihatinan Ketua MRP tidak tanpa dasar. Selama beberapa tahun terakhir kita semua sudah menyaksikan gaya pengambilan keputusan di tingkat pemerintah pusat tanpa mau memberikan kesempatan berpartisipasi efektif oleh pihak yang paling berkepentingan, yakni rakyat. Khusus untuk Papua adalah penetapan UU Otsus Jld II sebagai Bab I, disusul oleh UU DOB Papua sebagai Bab II, dan mungkin kita akan menyaksikan pembentukan pengisian penjabat gubernur dan DPR/MRP provinsi yang baru secara sepihak lagi sebagai Bab III. Sudah tentu suatu provinsi yang dibentuk dan mulai dijalankan tanpa partisipasi berarti oleh rakyat, tidak punyai masa depan yang cerah. (TvdB).

 

[5] HUKUM – HAM - KEADILAN

[a] penyelesaian kasus buruh-buruh oleh Freeport“Perjuangan para buruh Freeport Papua masuk tahun ke-enam dan telah menuntut kehidupan ratusan orang”, demikian kalimat pembuka suatu tulisan oleh Bp. Tri Puspital, koordinator Koalisi buruh pemogokan Papua yang peduli HAM’.[10] Selama 5 tahun lebih para buruh pemogokan tahun 2017 telah mencari keadilan karena dipecat sepihak oleh Freeport. Maka, hak mereka untuk berkumpul dan mogok dilanggar oleh PT Freeport. Klaim mereka memang didukung oleh kesimpulan Instansi Pengadilan Tinggi.

PT Freeport menghentikan 3.274 buruh, setelah mereka mengadakan pemogokan karena ‘diliburkan untuk jangka waktu cukup lama’ guna mengurangi biaya operasionalnya. Hal ini terjadi sesudah perusahaan pertambangan ini menjadi milik Indonesia untuk 51% . Dari belakang PT Freeport menilai bahwa partisipasi dalam pemogokan itu dapat dinilai sebagai ‘pengunduran diri sebagai karyawan secara sukarela’. Secara resmi tindakan PT Freeport dinilai oleh Pengadilan Tinggi sebagai suatu pelanggaran murni, baik terhadap hak berkumpul maupun hak pemogokan para buruh[11]

PT Freeport ternyata tidak peduli mengenai keputusan instansi Pengadilan Tinggi. Karena tidak ada langkah penyelesaian dari PT Freeport, para korban sudah mencari bantuan oleh Presiden. Beliau berjanji akan mendorong penyelesaian, namun sampai saat ini belum ada penyelesaian. Kenapa? [12]

 

[b] Rentetan penangkapan orang untuk apa? 

* 24 orang ditangkap in Kisor, distrik Aifat Selatan, Kab Maybrat: menurut suatu laporan lokal yang dapat dipercaya, TNI-Polri melakukan penangkapan 24 orang pada tanggal 14 Oktober. Orang yang ditangkap adalah laki-laki, perempuan dan anak-anak, termasuk bayi 2 bulan umurnya dan anak-anak yang masing-masing berumur 2, 3 dan 4 tahun. Setelah menangkap 19 orang di Kisor, pasukan juga berhenti di kampung Sampika dan kampung Faan Kahrio, dimana masing-masing 1 dan 4 orang ditangkap. Mereka dibawa ke Polres Maybrat. Menurut sejumlah catatan selanjutnya, kelompok perempuan serta anaknya diantar kembali ke kampung. Sedangkan 1 orang , Yan Waris Sewa (26 th),  dan dua orang lain, Manfret Ky (17 th) dan Jefri Aifat (26 th), yang disebutkan ‘simpatisan’, ditahan dan diperiksa berkaitan dengan peristiwa serangan di Kisor (Sept 2021). Ditambah lagi 6 karyawan PT BKI, semua orang asli Papua, ditangkap dan diperiksa berkaitan dengan peristiwa pembunuhan di Moskona Barat, Kab Teluk Bintuni (Sept 2022). [13]

Penangkapan ini sangat mengagetkan semua warga, karena sejak serangan di Moskona Barat, TPNPB sudah dengan jelas menyatakan bahwa mereka bertanggung jawab penuh atas serangan itu serta pembunuhan 3 orang. Sama halnya dengan peristiwa di Kisor (Sept 2021). Kenapa pihak keamanan menangkap orang yang tidak terlibat dalam serangan itu? Sudah tentu tindakan ini sangat mengintimidasi para warga di wilayah ini, dan juga ditandai ciri-ciri tidak berperikemanusiaan, karena dalam operasi militer ini malahan anak-nak kecil turut ditangkap. Dengan adanya masyarakat yang sekali lagi berhadapan dengan operasi militer yang tidak tahu bedakan antara yang salah dan tidak salah, sudah tentu, tidak perlu heran kalau jumlah pengungsi di Papua nanti akan bertambah lagi. Lantas operasi di Kisor disusul lagi dengan penangkapan di tempat lainnya, Bintuni dan Jayapura (lihat catatan di bawah). Dasar penangkapan sama sekali tidak jelas atau terbukti. Sampai kapan polisi dapat menangkap orang sewenang-wenang saja? Kenapa masyarakat terus diintimidasi terus hingga tidak merasa aman? Pihak keamanan yang justru perlu mencipta dan menjaga suasana tenang dan nyaman bagi seluruh masyarakat. Melindungi masyarakat! Aparat keamanan ini sebenarnya mau mencapai apa? (TvdB)

* Seorang ditangkap waktu sedang dalam perjalanan ke Bintuni: ternyata operasi penangkapan tidak terbatas pada penangkapan tadi (14/10). Dua hari kemudian (16/10) seorang, Yunus Orocomna, seorang staf di Distrik Moskona Barat, ditangkap sewaktu dalam perjalanan dari kampungnya ke Bintuni untuk melengkapi berkas pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dalam sebuah video isterinya memberikan kesaksian bahwa suaminya ditembak mati. Belum dijelaskan instansi kepolisian kenapa ditangkap, dipukul dan nasibnya selanjutnya.[14]

* Buchtar Tabuni ditangkap lagi: kelihatan ada musim penangkapan, hari Selasa (18/10), giliran Buchtar Tabuni, ketua ULMWP, ditangkap lagi. Alasan: dia bertemu di kediamannya (Kampwolker, Jayapura) dengan dua teman pejuang hak orang Papua. Menurut keterangan polisi, Buchtar ditangkap karena sudah tiga hari ada pertemuan di rumahnya dan “mereka tidak punyai izin, dan dinilai mengganggu komunitas”. [15]

* Lima orang ditangkap di Nabire: tgl 19 Oktober, terjadi penangkapan di kali Bobo, Nabire. Mobil Brimob-Densus 88 masuk tempat tinggalnya (in de kos) Agustinus Ugipa. Lima orang [Agustinus Ugipa, Arnes Migau, Jupen Janambani, Eliakim Sabisani, Marianus Ugipa] dibawa ke kantor Polres di Nabire. Setelah diperiksa selama 28 jam, mereka dapat pulang. Mereka diduga terlibat ancaman dengan penggunaan senjata api. Prosedur kepolisian dalam hal ini dikritik secara terbuka oleh LBH di Nabire. [16]

* Rumah Steven Itlay digeladah: tgl 23 Oktober , jam 7 pagi aparat kepolisian tiba-tiba menggeladah rumah Steven Itlay di wilayah Sentani. Aparat memakai pakaian preman dan senjata lengkap dan begitu saja mulai menggeladah rumahnya. Tidak ada surat penggeladahan. Dari belakang diberitahukan bahwa mereka mencari sebuah motor yang dicuri. ”Jangan sampai motor ada di rumah”. Itulah peringatan yang mereka berikan sebelum berangkat lagi. Ternyata mereka tidak menemukan sesuatu yang bisa menjadi alasan untuk menangkapnya. 

 

[d] Berita duka: Zode Hilapok meninggal dunia. Saudara Zode adalah salah satu dari 8 aktivis yang terlibat dalam pengibaran bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2021 di Jayapura. Selama ditahan berbulan-bulan Saudara Zode mengalami gangguan kesehatannya yang sangat serius, mulai bulan Desember 2021. Dari sejumlah laporan faktual dapat disimpulkan bahwa pelayanan medis yang diberikan kepadanya selama dalam pertahanan itu kurang memenuhi standar perawatan yang beliau sebenarnya butuhkan.[17] Maka, kesehatannya merosot terus. Hal ini menjadi alasan untuk memisahkan Saudara Zode dari persidangan 7 temannya, karena dia tidak dapat mengikuti sidangnya. Persidangan 7 teman lainnya akhirnya dibulatkan 27 Sept 2022, sedangkan kasus Saudara Zode tidak pernah dirampungkan. Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober di Rumah Sakit Yowari di Kab Jayapura. Kisah pemerosotan kesehatannya menjadi alasan sejumlah pihak untuk mempertanyakan kebijakan pihak kepolisian selama Saudara Zode ditahan.[18]

  

[e] Mantan Kapolda Papua sudah tidak tahu hukum lagi: walau mantan Kapolda Papua dan mantan perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia, Penjabat Gubernur Papua Barat, Paulus Waterpauw, ternyata sudah tidak tahu hukum lagi. Inilah kesan kuat Metuzalak Awom, seorang praktisi hukum di Manokwari, waktu mendengar pernyataan Waterpauw tentang ‘bayar kepala’ para pelaku pembunuhan pekerja jalan di Teluk Bintuni. Media lokal Manokwari menerbitkan pernyataannya (17/10) dibawa judul “Waterpauw Siap Bayar Kepala Pelaku Pembunuhan 4 Pekerja Jalan”. Hal ini terungkap dalam pertemuan yang dihadiri para Bupati dan Walikota se-Papua Barat. Pertemuan juga dihadiri Kapolda dan Pangdam XVIII Kasuari. “Sebagai pimpinan daerah yang berasal dari Polri, seharusnya Waterpauw memahami atas penegakan hukum. … Bukan membuat sayembara ‘bayar kepala’, seakan menyuruh warganya untuk saling bunuh!”, ujar Awom. Kebiasaan sayembara serupa ini, lanjut dia, hanya terjadi di zaman kerajaan-kerajaan yang lampau, seperti yang dapat disaksikan di film-film legenda Tanah Jawa. Di mana sayembara serupa juga banyak terjadi di zaman Cowboy abad pertengahan, oleh bangsa-bangsa imperialis Eropa di daerah-daerah ekspansi mereka. [19]

 

[f] Tiga anak dianiaya anggota TNI: Tiga bocah di bawa umur diduga dianiaya oleh  anggota TNI di kampung Yuwanain Arso II, Kab Keerom (27/10). Tiga anak ini  -Rahmat Faisei (14), Bastian Bate (13) dan Laurens Kaung (11)- diduga melakukan pencurian terhadap dua ekor burung kakak tua putih di Pos Kopassus Maleo. Mereka dianiaya secara keji dan tidak punyai rasa kemanusiaan. Penyiksaan ini berjalan berulang kali dengan memakai rantai, gulungan kawat dan selang air. Ketiga anak dibawa ke RS Marthen Indey di Jayapura untuk diperiksa dan dirawat seperlunya. Sepintas lalu dicatat dalam berita ini: “perlu diketahui, Kopassus yang bertugas di Keerom selalu mengumpulkan berbagai satwa endemik Papua, yang kemungkinan saja kemudian diselundupkan keluar Papua menggunakan jalur militer”. [20]

 

[6] PENDIDIKAN – KESEHATAN – EKONOMI RAKYAT

[a] pengawasan makanan di sekolah: Ada laporan (27/9) bahwa 13 siswa dari SMU Teminabuhan di Kab Sorong Selatan menjadi sakit karena makan makanan yang beracun. Mereka dirawat di Rumah Sakit selama tiga hari. Kejadian ini menjadi alasan Kantor Kesehatan Provinsi Papua Barat menyeru kepada pemerintah lokal untuk lebih mengawasi makanan yang ditawarkan di sekitar sekolah-sekolahnya. [21]

 

[b] Sekolah selama 4 tahun non-aktif: Halaman sekolah penuh rerumputan, gedung sekolah tidak terawat hingga nyaris rusak total. Kesan sudah lama tidak ada aktivitas belajar mengajar benar-benar. Itulah sekolah Dasar (SD) Negeri Ruvewes, distrik Miyah Selatan, Kab Tambrauw, Papua Barat. Ternyata anak-anak di kampung ini mencari sekolah di kampung lainnya karena sekolah di kampungnya sendiri sudah selama 4 tahun tidak berfungsi. “Kepala sekolah juga tidak aktif. Guru tidak aktif. Anak-anak sudah dipindahkan. Tidak ada kontrol dari dinas pendidikan. Orang di kantor dinas sana hanya terima laporan saja. Itu laporan palsu, karena di sini tidak ada proses belajar mengajar”, tutur Oktovianus Sedik (7/10). “Tidak ada murid itu tipu”, tambahnya. Dia mengharapkan sekolah ini dapat diaktifkan kembali, dan dengan demikian orang tua juga akan memindahkan anaknya kembali ke kampung. “Murid ada, hanya tenaga guru yang kurang”, tegasnya. Dalam tanggapannya sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Yosep Yewen, menyatakan: “Tahun 2021 kami sudah kirim guru ke sana. Guru tunggu murid, tetapi tidak ada murid, akhirnya guru minta pindah ke sekolah lain. Kami kirim guru lagi, tetapi tidak ada murid juga. Jadi, SD itu akan ditutup”. [22]

 

[c] 500.000 anak di Papua tidak menikmati pendidikan: suatu berita yang sangat memprihatinkan kami terima dari Bapak Agus Sumule, seorang dosen pada Universitas Papua di Manokwari. Beliau sangat berminat untuk mencari tahu bagaimana keadaan pendidikan dewasa ini di Papua. Beliau menemukan bahwa pada saat ini sekitar 500.000 (setengah juta!) anak di Papua tidak bersekolah. Sementara juga dicatat bahwa kekurangan tenaga guru sekarang ini paling sedikit 33.000. Kenyataan yang sangat menyedihkan ini mendorong Bapak Agus untuk menghubungi penanggungjawab pemerintah di bidang pendidikan di sejumlah Kabupaten/Kota di Papua. Bp Agus bertanya apakah “beliau (pejabat pemerintah) sudah mulai bekerjasama dengan perguruan tinggi yang memiliki kompetensi mencetak tenaga guru SD di tahun anggaran 2022?” Hasil penelitiannya: ternyata tidak ada satu pun pemerintah kabupaten/kota di seluruh Tanah Papua yang mengalokasikan anggaran tahun 2022 untuk menyelesaikan masalah pendidikan ini. Sementara waktu ditanya dana banyak yang sebenarnya diterima untuk memajukan pendidikan - provinsi Papua 900 miliar, dan provinsi Papua Barat 1,25 triliun - sebenarnya dipakai untuk apa? Kata pejabat:  ‘…untuk membayar utang lalu yang terkait dengan pendidikan’. Mendengar jawaban demikian, memang Bapak Agus hanya dapat ‘menarik nafas dalam-dalam’ saja! Pertanyaan Bapak Agus: “Siapa yang harus bertanggung jawab untuk memberikan hak konstitusional dalam bentuk pendidikan yang bermutu bagi ke-500.000 anak/penduduk usia sekolah yang tidak bersekolah di Tanah Papua?” [23]

  

[7] LINGKUNGAN – DEFORESTASI - AGROBUSINESS

[a] soal pertambangan illegal: Sudah berulang kali soal pertambangan illegal diangkat dan dijanji oleh pihak keamanan bahwa akan ditangani dengan tegas dan tuntas, baik di wilayah Arfak maupun Tambrauw, Papua Barat, dan di pelbagai lokasi lainnya di Papua. Namun demikian kita terus dapat membaca berita bahwa kegiatan ilegal sudah berjalan bertahun-tahun tanpa diganggu secara berarti oleh pihak keamanan. 

Di kampung Dombron, distrik Kwesefo, Kab Tambrauw kegiatan pendulangan emas sudah berjalan selama 8 tahun. Kegiatan berpindah-pindah sepanjang kali Syubok. “Pohon kayu merbau, matoa, pohon sagu dan tikar, ditebang untuk bisa dulang. Tempat keramat kami juga mereka lewati”, kata Yewan, seorang warga lokal. Pembukaan lahan dulang emas berawal dari iming-iming tanpa bukti. Menurut Yoseph Yesneth, awalnya mereka dibohongi oleh seorang yang mengaku sebagai pendeta. Dia berjanji nanti akan mendirikan gedung Gereja di Dombron.”Mereka datang banyak. Masyarakat tanya, mereka mengaku sebagai tukang yang akan dipekerjakan untuk bangun gereja. Tetap sampai saat ini tidak dibangun”. Ada kekuatiran juga bahwa nanti diancam abrasi yang berimbas pada masyarakat. “Hujan saja pinggiran kali Syubok terkikis dan pohon tumbang, apalagi para pendulang selalu tebang banyak pohon. Dampaknya itu nanti kami masyarakat yang alami. Masyarakat juga tidak dapat apa-apa dari hasil emas ilegal ini”, ujar Joseph. Ditambah lagi berita bahwa mereka yang sedang ditahan di Manokwari karena pertambangan ilegal, mampu untuk melarikan diri dari tempat tahanan. 

Pihak kemanan ternyata mengeluh karena tidak ada anggaran cukup untuk melawan pertambangan ilegal itu. [24]Semuanya ini cukup membingungkan. Pertanyaan banyak orang: ‘kapan semua pihak yang berwajib menjadi serius dan bertindak sesuai hukum terhadap kegiatan ekonomis yang tidak dapat diterima dan merugikan baik masyarakat maupun lingkungan?’. [25]

 

[b] program ‘food estate’ di Keerom dibuka, banjir datang:  walau ada cukup banyak catatan kritis sekitar rencana pemerintah untuk membuka lahan ‘food estate’ yang luas di pelbagai daerah, ternyata kritik itu tidak dapat menghalangi bahwa program ‘food estate’ di wilayah Keerom, hinterland Jayapura dan berbatasan dengan Papua Niugini, tetap dengan resmi dibuka bulan Agustus 2022. Sebagai tahap awal 500 ha lahan yang ex-sawit di Kampung Wambes mulai dibersihkan dan ditanam dengan jagung (11/8).[26] Dalam kerangka ini, berita yang cukup memprihatinkan disebarluaskan melalui media sosial (Yayasan Pusaka) bahwa “giliran kampung-kampung di Distrik Mannem, Keerom, dilanda banjir (22/10/2022). Berita pilu dari Kampung Yamara dan Kampung Wambes. Kampung ini belum pernah mengalami banjir, namun sejak lahannya yang luas ditanami jagung (dalam kerangka program ‘food estate’) baru sekarang kampung mengalami kebanjiran”.

 

[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

[a] Pertemuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ke-VImulai 23 Oktober sampai dengan 30 Oktober pertemuan nasional AMAN ini diadakan di Papua. Berminggu-minggu masyarakat adat di sekitar Jayapura sibuk menyiapkan venue Kongres AMAN ke-VI ini guna menerima semua delegasi masyarakat adat dari seluruh Indonesia. Pertemuan ini sangat berarti, secara khusus juga untuk Papua karena fokus utama adalah pada ‘pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia’. Ternyata pengakuan ini masih jauh dari yang diharapkan.

“Saya dituduh separatis dan penghambat pembangunan ketika saya bicara tentangan hak-hak masyarakat adat, seperti tanah dan hutan. Saya dicap sebagai penghambat pembangunan”, ujar Zakarias Bonyadone (18/10). Dialah Ondoafi Kampung Maribu yang sudah berusai 70-an tahun dan tak pernah mundur selangkah pun ketika ia dan sejumlah tua-tua adat di Tanah Papua terus ‘berteriak’ tentang aksi para penguasa bersama para pemilik modal yang pencaplokan tanah adat untuk dijadikan tanah usaha. 


Perjuangan Zakarias hanya salah satu contoh dari tindakan negara dan pemerintah yang belum mengakui keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya. Padahal masyarakat adat  sudah ada, jauh sebelum negara terbentuk. “Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi, baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya”, kata Orgenes Kaway. Baru setelah rezim Ordo baru yang dipimpin Soeharto runtuh, masyarakat adat seluruh Nusantara berkumpul dan membuat pernyataan: “Kalau Negara tidak mengakui masyarakat adat, maka masyarakat adat di Nusantara, tidak pernah akan mengakui negara ini” (Kongres Masyarakat Adat pada 17-22 Maret 1999). Pernyataan ini dibuat sesaat Indonesia sudah selama 50 tahun merdeka.  

Mendengar sejumlah reaksi tokoh-tokoh dewasa ini, ternyata perjuangan supaya hak-hak masyarakat adat diakui, belum kehilangan urgensi serta relevansinya. “Masyarakat adat itu penting karena mereka ada, sebelum masuknya agama dan pemerintahan. Mereka memiliki struktur kelembagaan, nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan serta wilayah dan segala isinya. Namun eksistensinya tak pernah diakui negara”, kata Mathius Awoitauw, Bupati Kab Jayapura. Kesannya perjuangan masih panjang![27]

Salah satu ungkapan yang sangat menarik berasal dari Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, dalam kata sambutan pembukaan Kongres: “Jikalau dunia masih ingin luput dari musibah iklim, investasi yang terbaik pada saat ini, adalah perlindungan hak-hak masyarakat adat (indigenous peoples). Bukan investasi dalam pertambangan atau kepala sawit”. Karena itu pun beliau mendesak pemerintah Indonesia untuk akhirnya mensahkan RUU Masyarakat Adat  (Indigenous Peoples Bill) yang sudah mandek hingga 11 tahun di DPR RI.[28]

 

[b] rekomendasi Dewan Adat Papua kepada Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nasional: Dewan Adat Papua (DAP) menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada Kongres AMAN ke-VI. Yang utama adalah: [1] para partai politik supaya memberikan tempat luas bagi orang asli Papua (OAP) untuk berebut posisi Bupati dan Walikota; [2] perlu merumuskan peraturan regional berkaitan dengan penjualan tanah; [3] kebutuhan akan informasi lengkap yang transparan dan benar kepada masyarakat adat sebelum memperoleh persetujuan untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Sekjen DAP, Leo Imbiri, menyatakan rekomendasi-rekomendasi ini sangat penting guna menunjang masyarakat adat dalam menjalankan haknya atas mereka punya tanah, maka sangat penting untuk berkelanjutan masyarakat adat sendiri. Dia mengharapkan bahwa Kongres akan mendesak supaya masyarakat adat diperkuat, hingga mendapat otoritas penuh dalam memperhatikan kampung-kampungnya. Hanya dengan demikian segala pembangunan, termasuk pendidikan, kesehatan dan ekonomi akan menyumbang pada kesejahteraan masyarakat. [29]

 

[9] GERAKAN PEMERINTAH PAPUA

[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK DI PUSAT INDONESIA DAN INTERNASIONAL

[a] Korupsi di Papua: ‘dosa Jakarta’: Menurut kolom Tempo.co (26 Sept 2022) ”kasus korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe adalah buah kekacauan cara pandang pemerintah pusat terhadap Papua. Jakarta selalu ingin mengendalikan provinsi tersebut dengan mencari pemimpin lokal yang bisa dikontrol. Hasilnya, kepala daerah terpilih bukan hanya tak kompeten, tapi juga korup dan tamak”. Suatu kombinasi kepala daerah yang korup serta pendekatan kekerasan untuk mengontrol Papua merupakan salah satu penyebab wilayah Papua masih sengsara terus.

Suatu survey (tahun 2017) oleh KPK yang mengukur integritas 6 lembaga dan 30 pemerintah daerah menunjukkan bahwa pemerintah Papua menduduki ranking 30 dengan indeks integritas 52,91 pada skala 100. Minimnya transparansi dalam pemerintahan daerah turut menyebab korupsi merajalela. Menurut Tempo berdasarkan kajian terakhir Badan Pemeriksaan Keuangan, dana otonomi khusus dicairkan setiap tahun kendati ada penyimpangan. Tak hanya pengawasan oleh pemerintah pusat yang kendor, peran masyarakat sipil untuk mengawasi akuntabilitas pemerintah daerahnya pun nyaris tak ada. Tanpa kontrol uang dipakai atau disalahgunakan elite yang korup untuk kepentingan politik atau pribadi. Pekerjaan rumah KPK berikutnya adalah membongkar dugaan pencucian uang hasil korupsi dana otonomi khusus secara tuntas dan transparan. Tanpa keterbukaan, pengusutan Lukas Enembe dan kawan-kawan akan mudah dituduh politis. [30]

[b] Pencekalan bagi peneliti asing: sejumlah peneliti asing yang bergabung dengan ilmuwan di Indonesia di bidang lingkungan, secara khusus nasibnya ‘orang utan’, telah dilarang oleh Kementerian Lingkungan untuk memasuki lagi Indonesia. Alasannya: para peneliti ini mempublikasikan hasil penelitian yang menunjukkan data mereka berbeda dengan yang dipakai oleh Kementerian. Tindakan semacam ini cukup memprihatinkan, karena menunjuk bahwa bukan ‘kebenaran’ diutamakan, melainkan posisi dan prestise pihak yang berkuasa. Tren ini sangat membahayakan kemajuan dan peningkatan bobot penelitian di masa mendatang. [31]

Tidak jelas sejauh mana tindakan pencekalan peneliti asing adalah hubungan dengan berita diatas. Namun menarik untuk dicatat bahwa baru ini juga beredar berita bahwa instansi pemerintah diminta untuk was-was dan mencermati Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) asing yang ‘dukung kemerdekaan di Papua’. [32]

Berita semacam ini, dari satu segi bisa meresahkan sejumlah organisasi sipil yang menerima bantuan dari luar negeri demi kelancaran programnya. Dari segi lain, juga dapat dipakai oleh pihak yang berwajib untuk mengalihkan perhatian dari akar-akar permasalahan yang sebenarnya di Papua. (TvdB)  

[c] Seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dicopot oleh DPR: Tim Hakim MK terdiri dari 9 hakim: tiga dipilih oleh Presiden, tiga oleh DPR dan tiga oleh Mahkamah Agung. Sekarang DPR mencopot salah satu dari tiga, Bp Aswanto, yang pernah dipilih oleh DPR sendiri. Alasannya, karena Aswanto salah satu hakim dalam tim yang berpendapat bahwa UU Cipta Karya, produk DPR, tidak memenuhi persyaratan hukum. Dengan kata lain: DPR RI berpendapat bahwa seorang hakim yang mereka utus ke MK selalu harus mendukung produk DPR, entah yang baik entah yang buruk. Sikap demikian sangat mengagetkan karena MK ditugaskan untuk menilai segala produk legal secara kritis dan independen. Sudah tentu sikap DPR RI sebagai lembaga yang begitu penting dalam demokrasi ternyata sudah kehilangan pegangan hukum secara benar. Menurut sejumlah ahli hukum, tindakan DPR malahan melanggar hukum. [33] Sementara Presiden diminta oleh pihak yang berprotes keputusan DPR ini, supaya tidak menerbitkan keputusan presiden (Keppres) karena penggantian itu bertentangan dengan undang-undang. Tanpa Keppres penggantian yang ditetapkan oleh DPR tidak dapat diaktifkan. [34]

 

[d] Siapa sebaiknya memilih pimpinan daerah? Sebenarnya bukan pertama kali pertanyaan ini dijadikan diskusi. Satu tahun lalu pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Bambang Soesatyo, menyarankan supaya kepala daerah sebaiknya dipilih oleh DPRD saja, dan tidak lagi melalui pemilihan umum. Saran semacam ini berbunyi sejalan dengan mundurnya ‘gaya demokrasi’ yang selama beberapa tahun terakhir ini makin kentara. Sekarang lagi isyu itu dihidupkan kembali, walau MRP ‘menjamin bahwa sampai Pemilu 2024 belum akan ada perubahan. 

Namun kemungkinan supaya Kepala Daerah dipilih saja oleh DPRD perlu dikaji lebih lanjut secara mendalam dan mungkin diputuskan ada suatu saat kemudian’. Alasannya Ketua MPR: karena ‘ternyata pemilihan umum seorang Kepala Daerah makin menyengsarakan kehidupan rakyat karena ruang korupsi kian terbuka’. Sebenarnya saran Pimpinan MPR tidak disetujui banyak orang, termasuk dari dalam MPR sendiri. Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, menyatakan bahwa isyu ini belum pernah dibahas dalam MPR sendiri sehingga “itu merupakan pernyataan individu” saja.[35] Sudah tentu masyarakat sipil menentang agenda menghidupkan kembali pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Menurut masyarakat sipil upaya Ketua MPR ini justru jalan menggeser modus korupsi di daerah ke DPRD. ”Pilkada lewat DPRD ini adalah pilihan yang akan memperburuk keadaan”, kata Fadli Ramadhanil, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (12/10). [36]

 

[e] Kebebasan Ungkapan Pendapat dan Berkumpul makin ditekan: Dalam laporan yang berjudul “Silencing Voices, Suppressing Criticism: The Decline in Indonesia’s Civil Liberties” yang diterbitkan (7/10) oleh Amnesty International Indonesia, diminta perhatian atas kenyataan bahwa kebebasan pengungkapan pendapat dan berkumpul makin tertekan di Indonesia. Walau semua pejabat tinggi, termasuk Jokowi, terus mewartakan bahwa mereka ada komitmen pada penghargaan dan perlindungan kebebasan pendapat, sebenarnya kenyataan sehari-hari menunjukkan sesuatu yang lain. Itu kesimpulan Amnesty setelah mengadakan 52 wawancara dengan sejumlah orang (wartawan, aktivis, pembela HAM dll.) dan setelah mempelajari laporan media dan kasus-kasus. Selama tiga tahun terakhir ruang gerak bagi organisasi kemasyarakatan sangat dipersempit sampai ada serangan terus akan hak kebebasan bicara, berkumpul secara damai, asosiasi, keamanan pribadi, dan perlindungan dari tahanan sewenang-wenang. 

Serangan digital yang akhir-akhir ini ditujukan pada wartawan di Narasi hanya menunjukkan bahwa masalah ini masih terus bertambah. Antara 23 dan 30 September 2022, sekurang-kurangnya 37 anggota tim editorial dari media online Narasi diserang secara digital dan diancam “Stop atau Mati”. Laporan ini juga mencatat bahwa antara Januari 2019 dan Mei 2022 sekurang-kurangnya 328 serangan fisik dan digital dan aksi intimidasi ditujukan pada masyarakat sipil, dan menghasilkan sekurang-kurangnya 834 korban (termasuk pembela HAM, wartawan, aktivis, pembela lingkungan, mahasiswa/i dan partisipan protes). Suatu survey oleh ‘Indikator Politik Indonesia’, bulan Juni 2022, mencatat bahwa: [a] 60,7% dari responden mengiyakan bahwa orang-orang dewasa ini takut untuk mengungkapkan pendapatnya; [b] 57,1% merasa bahwa menjadi jauh lebih sulit untuk mengadakan demo atau protes; dan [c] 50,6% berpendapat bahwa makin banyak orang ditangkap sewenang-wenang karena mengkritik mereka yang berkuasa. 

Semuanya ini menciptakan suatu suasana ketakutan dan ‘censor diri’. Salah satu faktor dalam peningkatan represi ini adalah penyalahgunaan ketentuan-ketentuan multi-tafsir dalam Undang Informasi dan Transaksi Elektronis (EIT). Antara Januari 2019 dan Mei 2022, Amnesty menemukan 316 kasus dimana EIT disalahgunakan untuk melanggar kebebasan pengungkapan pendapat, dan jumlah korbannya adalah 332 orang. Sementara waktu segala revisi Undang-Undang oleh DPR juga menunjukkan kecenderungan untuk lebih membatasi kebebasan daripada memperkuat perlindungannya. Protes oleh masyarakat sipil, malahan yang sangat massal, tidak dihiraukan. Aksi protes selama 2019-2021 sering berhadapan dengan pemakaian kekerasan oleh aparat secara berlebihan, dan ratusan orang ditangkap. Hanya dalam tahun 2019 saja sekitar 1.489 partisipan protes ditangkap dan 380 dijadikan tersangka pelbagai aksi kriminal. 

Salah satu tren lainnya yang memprihatinkan adalah peningkatan serangan pada pembela HAM dan organisasi sipil. Amnesty mencatat 13 kasus dengan 17 korban dari serangan membunuh atau ancaman yang terjadi antara Januari 2019 dan Mei 2022. Dapat disesali bahwa dalam banyak kasus ini para pelaku tidak diproses atau malahan tidak di-investigasi. Soal impunity  masih merupakan suatu faktor yang sangat mengganggu dalam upaya untuk mencari keadilan bagi semua. Praktik impunity membuat bahwa serangan dan ancaman hanya terulang-ulang lagi. 

Dalam bagian kesimpulannya, Laporan Amnesty  menarik perhatian pada kegagalan pemerintah Indonesia untuk menjamin respek dan perlindungan hak-hak asasi. Malahan laporan mencatat ada indikasi nyata bahwa pemerintah serta lembaga-lembaganya terlibat secara aktif dalam pelanggaran HAM Berat, yang akhirnya mengantar kita ke suatu pemerosotan hak-hak asasi manusia. [37]

 

Bukan saja Amnesty International Indonesia saja yang menarik perhatian pada perkembangan ‘merosotnya kebebasan ungkapan pendapat’. Suatu organisasi internasional lainnya, TAPOL, juga mencatat keprihatinannya. Dalam laporannya (21/10) yang berjudul “West Papua 2021: freedom of Expression and freedom of Assembly” disajikan data mengenai kasus-kasus sekitar kebebasan pengungkapan dan berkumpul dengan menyoroti situasi selama tahun 2021. Pokok-pokok utamanya: [1] jumlah penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kemanan di Papua meningkat dengan 45,9% dibanding dengan jumlah penangkapan sejenis pada tahun 2020; [2] dalil ‘Makar’ dan ‘Covid’ dipakai seluas-luasnya untuk menutup  segala gerakan  pengungkapan pendapat; [3] mahasiswa/i adalah kelompok yang paling menjadi sasaran tindakan represif; mereka 69% dari semua insiden; [4] represi beraneka ragam: bubar paksa sewenang-wenang, penangkapan sewenang-wenang, teror dan intimidasi, dan gangguan digital (online).[38]

   

[11] SERBA -SERBI

[a] bantuan 7 miliar untuk program keagamaan dan pendidikan Kab Jayapura: Sekretariat Daerah (Sekda) Kab Jayapura menyatakan telah menerima dana Otsus Rp 7 miliar untuk dihibahkan sebagai bantuan keagamaan dan pendidikan. Penyaluran dana akan dijalankan dalam waktu dekat kepada 80 lembaga keagamaan di wilayah Kab Jayapura dan sesuai proposal bantuan yang sudah diverifikasi. (yang kurang jelas dalam berita ini: berapa untuk keagamaan, berapa untuk pendidikan? – TvdB)

[b] Tiga tokoh perjuangan damai Papua meninggal dunia: baru ini, salah seorang pejuang Papua yang berdomisili di Belanda, Ibu Leonie Tanggahma, meninggal dunia (7/10), sedang beberapa hari kemudian Bapak Jonah Wenda meninggal dunia di Papua (10/7). Kemudian Bapak Filep Karma pagi harinya ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di pantai Base G di Jayapura Utara (1/11). Beliau memakai pakaian seorang penyelaman.[39] Ketiga tokoh besar ini bertahun-tahun memperjuangkan secara damai keadilan dan pengakuan akan hak-hak bangsa Papua. Maka, bepergian ketiga pribadi orang ini betul-betul merupakan suatu pukulan serta kehilangan yang sangat berarti. Semoga ketiganya dapat sekarang menikmati damai sepenuh-penuhnya dalam kesadaran pun bahwa teladan serta jasanya tak pernah dilupakan bangsanya! (TvdB)

[c] Uskup baru Keuskupan Jayapura: pada tanggal 29 Oktober Paus Fransiskus mengumumkan pengangkatan seorang Uskup baru, yakni Pastor Yanuarius T.M. You Pr untuk mengganti Mgr. Leo Ladjar Laba OFM di Keuskupan Jayapura di Papua,. Pastor Yan adalah orang asli Papua pertama yang diangkat sebagai Uskup. Maka, umat katolik di Papua sangat bergembira dan menyambut baik pengangkatan Uskup baru ini. Semoga Mgr. Yan You diberikan kekuatan dan semangat besar dalam memimpin umat katolik di keuskupan Jayapura! Terima kasih banyak kepada Mgr. Leo yang tak pernah berhenti mendorong supaya seorang asli Papua dipilih sebagai penggantinya! (TvdB)

Jayapura, 1 November 2022



[8] JUBI, edisi 31 Okt – 1 Nov, hlm. 24, “Kampung kosong di Moskona Selatan”

[9] Edisi JUBI 3-4 Okt 2022, hlm. 3, ‘Kemendagri akan percepat pelantikan penjabat gubernur tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua’  dan https://nasional.tempo.co/read/1640297/kemendagri-mutakhirkan-database-tentang-tiga-provinsi-baru-di-papua

[10] Terbitan oleh John M Miller, ETAN, [wp] The struggle of Freeport Papua workers enters its sixth year, which has claimed hundreds of lives”

[18] JUBI, edisi 31 Okt – 1 Nov 2022, hlm. 8, “TAPOL minta pemerintah evaluasi kondisi ruang tahanan dan layanan kesehatan”

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.