Monday, October 2, 2023

PAPUA 2023 SEPTEMBER Report (In Bahasa)

 PAPUA  2023 SEPTEMBER 

Oleh: Theo van den Broek

 

 

[1] PERHATIAN KHUSUS

 

“SAYA TIDAK AKAN KEMBALI KE KAMPUNG SELAMA MASIH ADA PRAJURIT DISITU”

 

Ungkapan seorang pengungsi yang menjadi judul refleksi ini  langsung muncul di benak kami sewaktu membaca berita bahwa TNI akan menjalankan “Bhakti TNI membantu masyarakat”. Menurut kejelasan Pangdam XVII/Cenderawasih  program ini akan dijalankan di enam kabupaten, yakni Kodim Jayawijaya, Kodim Nduga, Kodim Nabire, Kodim Puncak Jaya, Kodim Mimika dan Kodim Merauke. Program akan berjalan dari September sampai Desember 2023. Berbagai kegiatan dilaksanakan, di antaranya memperbaiki gereja atau rumah warga, komunikasi sosial dan bantuan sembako. ‘Kegiatan teritorial ini merupakan bentuk darma bhakti TNI guna membantu pemerintah untuk mengatasi permasalahan kesulitan masyarakat baik fisik maupun non-fisik’, kata Danrem 172, Brigjen TNI Deni Hardono[1]. Strategi untuk mendorong pasukan untuk memasyarakat. Bergaul dengan masyarakat setempat.  Hal yang sama terungkap oleh Pangdam V Brawijaya, sewaktu beliau membangkitkan semangat ratusan prajurit Yonzipur 5/ABW yang akan bertugas selama 12 bulan dalam misi membantu pembangunan infrastruktur di wilayah Sinak dan Agandugme, Papua (19/9). Beliau menekankan pentingnya menjalin hubungan baik antara prajurit TNI dan masyarakat setempat. Ia memahami betapa berharganya interaksi yang pernah kasih sayang dengan masyarakat, dan mengajak para prajurit untuk berperilaku bijaksana dalam setiap tindakan[2]

Membaca berita di atas, mau tak mau, kami teringat kembali pada sejumlah catatan yang disampaikan warga-warga biasa dari sejumlah wilayah di mana mereka dari hari ke hari berhadapan dengan kehadiran dominan anggota-anggota TNI. Lazimnya nada dasar dalam catatan-catatan itu adalah: ‘kami merasa terganggu’.  Maksudnya: ‘dimana saja gerakan kami diawasi’, ‘kami tidak bebas ke kebun, maka mau makan apa’, ‘dimana saja mereka [prajurit] hadir bersenjata lengkap’, ‘mereka tiba-tiba menghadiri pertemuan masyarakat atau keluarga-keluarga tanpa diundang’, ‘mereka bersenjata lengkap masuk rumah sakit tanpa minta izin hingga tenaga medis lari keluar’, ‘mereka mengajar anak-anak kita tapi tidak kompeten’, ‘mereka paksa kita diperiksa kesehatannya’, ‘mereka muncul di gereja dengan senjata lengkap’, ‘kemana saja kami pergi, kami diperiksa dan interogasi’, ‘kalau jalan tanpa diketahui sebelumnya ada risiko bahwa nanti ditembak’, ‘kehadiran pasukan juga mengajak TPNPB untuk beraksi serangan di tempat kami’, ’makin banyak warga biasa menjadi korban, termasuk anak-anak’ (lihat secara khusus berita dalam The Guardian[3]), dan seterusnya. Pokoknya: kehidupan masyarakat sehari-hari di kampung tidak dapat dijalankan dengan santai dan tenang. Penderitaan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Semuanya tidak normal lagi. Sekaligus kehadiran petugas pemerintah sipil tidak muncul lagi, termasuk tenaga guru dan mantri. Pemerintah sipil tidak berfungsi, semuanya dikuasai pihak keamanan saja.  

Sudah tentu pengalaman yang bersifat traumatis yang terungkap secara sederhana saja dalam sejumlah catatan tadi mesti menjadi bahan refleksi dan evaluasi pihak TNI maupun Pemerintah sipil. Kalau TNI mengklaim mau mendengar masyarakat dan menghargai kebutuhannya, sudah tentu program kehadiran secara khusus untuk ‘menyelamatkan masyarakat dari permasalahannya’ akan berubah. Bukan TNI diharapkan masyarakat untuk membangun kampungnya, melainkan pemerintah sipil. Maka, program khusus selama sekian bulan sebenarnya akan sangat kontraproduktif. Ungkapan “Saya tidak akan kembali ke kampung selama TNI ada di situ”, adalah suara jelas. Suara sekitar 70.000 pengungsi, namun juga suara ribuan warga biasa yang mengalami bahwa kehidupan di kampung mereka terganggu, sampai rusak dan tidak sesuai dengan pola kemanusiaan yang ramah, bebas, dan kekeluargaan. Mereka mau bahwa TNI kembali ke markasnya dan Pemerintah sipil diberdayakan menjalankan tugasnya dengan baik dan tanpa takut. Masyarakat biasa tiudak manin politik, mereka mau hak hidup dihargai dan diakui, artinya mau hidup berkomunitas secara tenang, berdamai dan menggembirakan serta ingin akses bebas pada kebunnya – sumber makanannya  - dan akses pada pelayanan sipil yang memadai, seperti pendidikan dan kesehatan. 

Situasi yang memprihatinkan ini patut juga menjadi bahan pokok semua instansi yang peduli mengenai hak hidup setiap orang secara pribadi dan berkomunitas. Mendengar suara yang terungkap dalam catatan-catatan lapangan tadi adalah bukti bahwa ada sesuatu yang betul tidak beres dan betul tidak benar dalam strategi pemerintah serta lembaganya. Suara pengungsi “Saya tidak akan kembali ke kampung selama prajurit masih di situ” perlu bergema dalam telinga dan hati nurani kita semua. (TvdB)

[baca juga “Salah Resep Menangani Papua” di item 8, di bawah]

 

[2] KEAMANAN dan OPERASI TNI/POLRI dan TPNPB

[a] catatan umum mengenai suasana

Dibandingkan dengan catatan bulan Juli keadaan di Papua secara khusus di wilayah konflik dan di tempat pengungsi masih tetap sama dan sangat menyedihkan. TPNPB menjalankan serangan di wilayah Pegunungan Bintang, hingga masyarakat mengungsi. Dalam satu minggu (10-16 September 2023) 9 orang ditembak mati oleh TNI-Polri; 5 di Yahukimo dan 4 di wilayah Fakfak. Tambah lagi 3 orang pada awal bulan di Nduga, dan 5 orang  pada akhir September di Pegunungan Bintang. Secara khusus juga wilayah Nduga menjadi medan penderitaan banyak masyarakat, termasuk tokoh-tokoh gereja[4]. Apalagi kita sekali lagi merasa suatu shock membaca suatu berita mengenai kasus penganiayaan yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Seorang muda, masih anak sekolah, Wity Une (17) dianiaya dan dilukai bakar oleh aparat keamanan sampai mati. Harian Inggris yang bernama, The Guardian, menerbitkan kesaksian mengenai kasus ini[5]. Beberapa bulan lalu (7 April 2023) 6 orang muda ditangkap oleh pasukan keamanan selama operasi penyisiran di kampung Kuyawage. Lantas mereka dibawa oleh helicopter ke markas militer 100 km dari tempat penangkapan. Dalam tahanan di markas militer itu Wity meninggal dunia karena penganiayaan. Sedangkan 5 yang lain dibebaskan, karena suatu organisasi HAM telah memulai mengangkat penangkapan 6 anak itu. Ternyata mereka lima pulang penuh dengan luka kebakaran dari kepala sampai kakinya hingga membutuhkan perawatan medis yang intensif. Tanggapan warga sipil setempat: ‘terus terbukti bahwa siapa saja bisa ditangkap. Semua orang bisa melihat bahwa 6 anak itu bukan anggota PTNPB, mereka anak sekolah semua. Ternyata siapa saja bisa dikejar, ditembak, dibunuh dan menjadi korban tindakan-tindakan yang tidak manusiawi’. Kapan berita yang semacam ini akan menggerakkan hati nurani para penguasa yang menentukan strategi keamanan di Papua? (TvdB)

 

[b] aksi kekerasan/bersenjata

* 3 September 2023: TNI-Polri menewaskan tiga anggota TPNPB di wilayah sekitar kelompok Egianus Kogoya di Kab Nduga. “Membalas pembunuhan tiga orang oleh TPNPB di Batas Batu 16 Agustus”, jelasnya pihak TNI[6].

* 9 September 2023: aparat keamanan menembak mati 4 warga sipil yang diduga terlibat dalam aksi pembakaran kantor distrik dan sekolah di Kramomongga, Kab Fakfak (15/8)[7].

* 11 September 2023: Kontak senjata TNI-Polri versus TPNPB di sekitar kampung Arumaga, Kab Puncak. Kontak senjata ini, menurut keterangan TNI-Polri, terjadi seusai pembakaran 10 rumah dinas kesehatan; dalam kontak senjata satu anggota TPNPB terkena tembakan TNI. Tidak ada konfirmasi dari pihak TPNPB. [8]

* 14 September 2023: aparat keamanan menewaskan 5 warga sipil di muara Sungai Brasa, di distrik Dekai, Kab Yahukimo. Menurut pihak keamanan mereka diduga anggota TPNPB; baik pihak TPNPB maupun Pimpinan Gereja di Dekai menyatakan bahwa 5 orang ini warga sipil biasa saja dan bukan anggota TPNPB[9].  Korban-korban: Darnius Heluka, Musa Heluka, Man Senik, Yoman Senik dan Kapal Bayage

* 15 September 2023: Sejak pengungsian besar-besaran warga sipil akibat serangan TNI, pada hari Jumaat (15/9) ditemukan mayat di ruang mayat UGD DKI Yahukimo.

* 18 September 2023: Kontak senjata terjadi di Kabupaten Pegunungan Bintang, sekitar kampung Yapimakot; kontak senjata berujung kematian seorang anggota Brimob, Briptu Rudi Agung. TPNPB mengakui terlibat dalam pembunuhan itu. Selanjutnya dapat pembakaran suatu pasar dan 7 kios di distrik Serambakon di Kabupaten yang sama. Dalam insiden itu juga tiga orang terkena peluru; mereka sedang dirawat. Diduga bahwa pembakaran ini dibuat oleh sekelompok TPNPB. [10]

* 21 September 2023: TPNPB kembali menyerang di Oksibil, Kab Pegunungan Bintang. Aksi serangan terjadi di Esipding, mata jalan SMA Negeri 1, Oksibil. TPNPB mengklaim telah menembak 5 anggota TNI-Polri, sedangkan satu anggota TPNPB mengalami luka tembak yang kritis  oleh TNI-Polri. TNI-Polri mengklaim telah menembak mati seorang anggota TPNPB, Ricky Sasaka, tapi tidak memberikan informasi mengenai korban di kalangan sendiri [11].

22 September 2023: Pos TNI ditembak orang tak dikenal (OTK) di Distrik Aroba, Kab Teluk Bintuni. Lokasi pos TNI ini berbatasan dengan Kab Fakfak[12].

30 September 2023: Pihak TNI/Polri menyatakan bahwa mereka telah menembak tewas 5 anggota TPNPB di Pegunungan Bintang[13]. Belum ada konfirmasi dari pihak PTNPB.

 

[c] tambahan pasukan

* Kab Fakfak: seusai insiden-insiden kekerasan di wilayah Kab Fakfak ada tambahan pasukan dalam skala besar.[14]

* Kab Pegunungan Bintang: seusai aksi kekerasan akhir ini Kapolda mengirim tambahan personil ke Oksibil, dan meminta supaya separuh regio – bukan saja pusat Oksibil - dilengkapi dengan pos polisi yang aktif di tempat.[15]

 

[d] sekitar pengamanan pemilu 2024

* Riwayat Calon Presiden dan Wakilnya mesti ‘bebas pelanggaran HAM’: Mahkamah Konstitusi diminta mengatur pelaku pelanggaran HAM berat, termasuk penculikan aktivis, tak boleh menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (wacapres). Hal itu disampaikan Anang Suindro selaku kuasa pemohon uji materiil Pasal 169 huruf d dan Pasal 169 huruf q UU Pemilu terkait syarat capres dan wacapres dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta (18/9)[16].

* Enam Kabupaten di provinsi Papua Tengah akan  memakai sistem Noken dalam Pemilu 2024:  Menurut berita dari KPU Kab Dogiyai (95.655 pemilih), Deiyai  (77.427 pemilih), Paniai (117.756 pemilih), Intan Jaya (114.508 pemilih), Puncak (155.536 pemilih), Puncak Jaya (198.827 pemilih) akan mengikuti sistem pemilihan melalui ‘sistem Noken’. Total jumlah pemilih 6 Kabupaten dengan ‘sistem Noken’ ialah 759.709 suara. Nabire dan Timika dikecualikan dan akan mengikuti sistem pemilu sesuai Undang-Undang Umum yang berlaku. Sementara waktu KPU Provinsi Tengah sedang menjalankan rapat koordinasi atas perintah surat Ketua KPU Republik Indonesia No. 991/PL.01.8.SD/05/2023. Dalam rapat semua pihak yang berkepentingan – termasuk 18 partai politik - diundang hadir[17].

Berita ini cukup mengherankan, mengingat bahwa banyak kabupaten yang akan mengikuti ‘sistem Noken’ sudah memiliki pengalaman cukup dengan sistem pemilu sesuai UU Pemilu yang umum. Apalagi hampir semua tempat tinggal penduduk sudah terjangkau melalui sarana pengangkutan yang memadai. Pemakaian ‘sistem Noken’ sebenarnya hanya dapat dipakai sebagai suatu pengecualian dimana suasana medan begitu sulit sehingga sulit menjangkau para pemilih. Muncul pertanyaan: kenapa ‘sistem Noken’ dipakai secara begitu luas? (TvdB).

 

[e] sekitar penyanderaan pilot Susi Air

Awal bulan pihak keamanan -melalui siaran CNN Indonesia- memberitahukan secara resmi bahwa ada berita baik mengenai pembebasan, seakan-akan sudah mulai kunjung titik akhir[18]. Ternyata ‘ramalan’ itu keliru. Kesannya bahwa tidak ada kemajuan nyata, namun akhir bulan Kapolda masih menyampaikan berita bahwa pastilah pilot masih dan keadaan hidup dan sehat[19].  Syukurlah!

 

[3] PENGUNGSI-PENGUNGSI DI PAPUA / SUASANA WILAYAH KONFLIK

[a] pengungsian masal di sekitar Dekai: seusai kontak senjata pada 21 Agustus 2023 dimana banyak orang kehilangan segala miliknya di kampung, 674 orang mengungsi dan akhirnya ditunjukkan lokasi pengungsian di Muara Bonto, Dekai[20]. Dari pemantauan selanjutnya ada berita bahwa mereka betul menderita dan akses pada pelayanan penting seperti pelayanan medis sangat kurang. Sudah dilapori bahwa 12 orang ada sakit sedangkan seorang anak kecil telah meninggal karena tidak dapat pelayan medis yang dibutuhkannya[21]Dalam suatu laporan kunjungan pastoral situasi mereka digambarkan dengan lebih jelas lagi, maka kami lampirkan laporan ini[22]. (TvdB)

[b] pengungsian di Pegunungan Bintang dan di Fakfak: Seusai beberapa aksi kekerasan (18/9) di Kab Pegunungan Bintang sejumlah orang meninggalkan kampungnya dan sedang mencari tempat yang lebih aman. Menurut berita awal ada 91 pengungsi baru.[23] Kab Fakfak pun mengalami bahwa banyak masyarakat mengungsi mencari tempat aman sewaktu operasi keamanan mulai berjalan[24].

 

[4] OTSUS PEMEKARAN

[a] lokasi kantor gubernur Provinsi Pegunungan tetap diprotes: Dalam suatu laporan investigasi berkaitan proses “kesepakatan masyarakat” sekali lagi dijelaskan bahwa kesepakatan yang selalu diklaim oleh pihak pemerintah sebenarnya tidak punyai dasar yang benar di kalangan masyarakat yang bersangkutan. Proses penetapan lokasi sangat diwarnai pola negosiasi, intimidasi dan tindakan yang tidak transparan. Partisipasi yang benar oleh masyarakat yang berkepentingan dihindari secara sistematis, sedangkan merekalah yang memiliki tanah lokasi itu. Alasan utama penolakan masyarakat terungkap oleh Ruben Wetipo dan Markus Lani selaku kepala suku Wouma dan Welesi sbb: “Kami bukan menolak pembangunan. Kami terima karena ini program dari Pemerintah Pusat. Yang kami tolak adalah penempatannya di area perkebunan rakyat, bukan hanya untuk suku Wio (Wouma) dan Welesi tetapi kerabat lain dari Nduga, Lanny Jaya, Tolikara, Mamberamo Tengah, Yahukimo. Meepago semua sedang berkebun dari sini”. [25]

 

[b] pemekaran di Papua menjadi daya tarik banyak migran: Sebenarnya dari awal mula telah diberitahukan bahwa pemekaran di Papua akan menjadi ancaman substantial bagi masyarakat asli Papua. Dalam suatu diskusi dalam jaringan (16/9) yang bertema “Demografi, Pemekaran dan Pembangunan Papua” kenyataan itu digarisbawahi sejumlah tokoh akademisi. Gerald Bidana, dekan Fakultas Sosial Sains Universitas Okmin Papua, menyatakan: “pemekaran daerah otonom baru (DOB) di Papua merupakan desain pemerintah pusat untuk memarjinalkan Orang Asli Papua (OAP) dengan membuka keran sebagai jalan masuk para transmigran secara masif dalam skala besar”.  “Pemekaran itu sama dengan jalan masuk transmigrasi, OAP hanya diiming-iming dengan kesejahteraan lah, pembangunan lah, semuanya tipu saja”, kata Gerald.  Sebenarnya antropolog, Universitas Negeri Papua, Dr. Nguruh Suryawan senada: “DOB berdampak pada penyingkiran OAP secara besar-besaran. Karena imigran akan banyak masuk tanpa aturan sehingga sedikit demi sedikit OAP tersingkirkan”. Selain itu, Dr. Riwanto Tirtosudarmo, Ahli demografi Politik Indonesia, menilai dengan adanya DOB di Papua secara dinamika demografi politik, warga OAP akan menjadi minoritas di tanahnya sendiri. [26]

 

[5] HUKUM – HAM - KEADILAN

[a] dua unsur pimpinan KNPB ditangkap: Hari Sabtu pagi hari (2/9) Ketua Umum KNPB, Agus Kossay, bersama Sekretaris KNPB Numbay, Beny Murib, ditangkap secara paksa oleh aparat di rumah kediamannya. Yang ditangkap sekaligus Pimpinan Seksi Diplomat KNPB, Ruben Wakla dan adiknya Beny Murib. Dalam pemeriksaan selanjutnya hanya diberikan perhatian pada Agus Kossay dan Beny Murib. Kedua tokoh ini menolak menanggapi pertanyaan-pertanyaan para pemeriksa, karena soal yang dipertanyakan menyangkut suatu soal intern organisasi KNPB yang dapat mereka selesaikan secara kekeluargaan. Namun setelah tiga jam diperiksa, mereka dua dinyatakan berstatus tersangka dalam hal pengeroyokan dan penghasutan, sedangkan dua lain dipulangkan. Gustaf Kawar (LBH Papua) menyatakan bahwa segala prosedur tidak sesuai dengan peraturan hukum yang sebenarnya. Maka, LBH menjalankan protes atas penangkapan dan tahanan kedua tokoh KNPB.[27]

 

[b] melatih pendamping HAM di tingkat komunitas: Suatu perkumpulan ahli hukum, yang bernama AVAA, mulai menyelenggarakan suatu “sekolah Hak Asasi Manusia Papua”. Tahap pertama (23-31 Agustus) diselenggarakan di wilayah Sorong Raya dan melibatkan 15 peserta. Para peserta dilatih menjadi pendamping komunitas dalam soal HAM. “Tahap kedua dan ketiga akan dilakukan pada akhir tahun 2023, dengan peserta yang sama dan materi yang difokuskan pada pendalaman konsep HAM dan peningkatan kemampuan kerja di lapangan atau dalam aksi advokasi HAM”, ujar salah satu anggota tim AVAA, advokat Gustav Kawer. Proses ini sebagai ruang membawa peserta mengenal realitas dinamika sosial politik, dan HAM di Papua.[28]

 

[c] dua anggota TNI divonis lepas dari tuntutan hukum: Dalam proses persidangan di Pengadilan Militer III-14 di Denpasar Bali, dua terdakwa pembunuhan warga sipil di Timika, ternyata divonis lepas dari tuntutan hukum. Perkumpulan Pengacara HAM Papua, melalui advokat Gustav Kawer, sangat berprotes vonis demikian. Menurutnya vonis ini sama sekali tidak sesuai isi dakwaan yang berbunyi “Serttu Vicentie De Oliviara dan Praka Bahari Muhrim [dari Kesatuan Yonif Raider 900/SBW, Kodam IX.Udayana, Bali] didakwa melakukan pembunuhan terhadap Eden Bebari  dan Ronny Wandik dengan dua dakwaan, Dakwaan Pertama: Pasal 338 KUHP Jo.Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, dan kedua Pasal 170 Ayat (2) Ke-3 KUHP, yakni ancaman dakwaan pertama 15 tahun sedangkan dakwaan kedua ancaman hukumannya 12 tahun”. Vonis ini sekali lagi menunjukkan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM, karena menurutnya, putusan itu bentuk ketidakadilan, karena menuntut tanpa fakta-fakta persidangan dan rasa keadilan. ‘Sebaiknya Oditur mengajukan Kasasi atas vonis ini’.[29]  

 

[d] tiga mahasiswa USTJ akhirnya bebas: Tiga mahasiswa terpidana kasus makar mimbar bebas di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ) dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura, hari Kamis (7/9). Ketiga dijemput puluhan aktivis mahasiswa di Kota Jayapura. [30]

[e] serangan kantor di Kramomongga serta tindak lanjut: dalam laporan bulan Agustus 2023 kami telah mencatat serangan serta kebakaran Kantor Distrik dan Sekolah di Kramomongga, Kab Fakfak (15/8). Dalam peristiwa itu juga seorang kepala distrik, Darson Hegemur, tewas. Berkaitan dengan serangan/pembakaran itu pihak kepolisian menyusun suatu Daftar Pencarian Orang (DPO) yang diduga terlibat dalam aksi itu. Sementara waktu 12 orang sudah diamankan sedangkan 5 orang yang diduga sebagai pelaku ditembak mati di tempat. Satu ditembak pada tanggal 31 Agustus sedangkan 4 lainnya tewas ditembak pada 9 September 2023. Sementara waktu 7 dari 12 yang ditangkap sudah dibebaskan, tinggal 5 yang masih ditahan.[31]  

Pola tindakan pihak kepolisian sebenarnya menimbulkan banyak pertanyaan, termasuk juga kenyataan bahwa DPO yang dipublikasikan ternyata jelas keliru.[32]  Apalagi, kenapa lima orang begitu saja dapat ditembak mati? Maka, demi tegaknya hukum dan demi kepentingan perlindungan hak asasi manusia dalam arti seluas-luasnya, maka sejumlah lembaga dan pribadi orang bantuan hukum mendesak supaya akan ada suatu investigasi yang independen. Antara lain ada desakan pada Komnas HAM untuk turun ke lapangan[33]. Sementara waktu, apa yang sudah ditakuti banyak orang, jumlah anggota aparat keamanan di Kab Fakfak ditingkatkan secara sangat substansial. Sekali lagi suatu wilayah yang sampai saat ini penuh damai menjadi ‘wilayah konflik’.

[f] lima warga ditembak mati di Yahukimo: Ternyata di mana-mana warga sipil menjadi korban konflik bersenjata di Papua. Pada Jumaat (15/9) lima warga sipil ditemukan meninggal dunia di muara Sungai Brasa, Dekai, Kab Yahukimo. Menurut pihak keamanan inilah akibat dari kontak senjata TNI/Polri dengan TPNPB pada hari sebelumnya (14/9). Menurut keterangan TNI/Polri lima orang yang tewas adalah anggota TPNPB. Berita ini ditanggapi baik oleh pihak TPNPB maupun pihak Pimpinan Gereja di Dekai yang keduanya menyatakan bahwa lima orang ini bukan anggota TPNPB, melainkan warga sipil biasa[34]. Sebby Sambom menyatakan: “Mereka bukan anggota kami. Mereka murni warga sipil yang hendak pulang ke kampung mereka lalu ditembak dan dibom oleh militer Indonesia. Militer Indonesia telah menembak mati warga sipil yang tidak tahu apa-apa”.[35]  Maka, sekali lagi ada seruan supaya akan ada suatu investigasi yang independen.

Yang Memprihatinkan

INVESTIGASI KASUS SANGAT LAMBAT: Selama tahun-tahun terakhir ini banyak insiden kekerasan dicatat di Papua dan banyak diantarnya tidak jelas kedudukan yang sebenarnya karena informasi sepihak, informasi bohong atau setengah-tengah saja. Berita-berita sangat sulit diverifikasi, karena akses pada tempat kejadian sangat terbatas atau sama sekali tidak ada. Sekaligus ada kesan bahwa terlalu mudah orang siapa saja bisa dinilai ‘orang yang diduga’, ‘orang yang dicurigai’ dan seakan-akan dengan demikian ada dasar cukup untuk ditembak mati. Situasi ini sangat memprihatinkan. Bagaimana kenyataan demikian bisa terjadi dalam suatu negara yang membanggakan diri sebagai ‘negara hukum’? Maka, berulang kali ada seruan banyak pihak supaya akan diadakan investigasi yang dapat dipercaya, alias suatu investigasi independen. 

Lazimnya harapan ditaruh antara lain pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta jaringannya. Namun selama ini menjadi cukup jelas bahwa investigasi yang diharapkan kurang diadakan atau sangat lambat maka bobotnya juga berkurang secara signifikan. Baru ini pimpinan perwakilan Komnas HAM di Papua menyatakan bahwa memang benar bahwa sulit untuk mengadakan semua investigasi yang diharapkan, karena – sederhana saja – tidak ada ruang keuangan operasional secukupnya untuk menjalankannya[36]. Sudah tentu kenyataan demikian cukup mengecewakan masyarakat yang mengharapkan perlindungan dan mengalami bahwa begitu banyak orang dibunuh begitu saja. Hanya dalam kurun satu bulan  -September ini saja- sudah ada 19 orang yang ditembak mati. Disamping itu masih ada insiden lainnya hingga jumlah korban selama bulan September ini sangat tinggi (lihat di atas: [2] aksi kekerasan). Terlepas dari argumen yang disampaikan direktur perwakilan Komnas HAM, sering juga pelaksanaan investigasi terlalu lama ditunda. Direktur Aliansi Demokrasi Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar, berpendapat bahwa Komnas HAM beraksi sangat lambat. Beliau mengangkat persoalkan insiden di Dogiyai, dimana pada 13 Juli terdapat pembunuhan terhadap tiga orang, sedangkan menurut pihak kepolisian tidak ada korban dalam peristiwa 13-14 Juli itu. Maka, suatu investigasi independen sangat dibutuhkan dan mendesak. Menurut Ibu Anum, penundaan investigasi dalam peristiwa penembakan di Kab Dogiyai ini telah menyumbang pada eskalasi konfliknya di wilayah itu. Menunda investigasi dapat mengintensifkan konflik dilihat dari pelbagai aspek, seperti: pengungsian warga, gangguan dalam pemerintahan lokal, stagnasi perekonomian, gangguan dalam irama pendidikan, peningkatan stigmatisasi Orang Asli Papua (OAP) dan peningkatan ketegangan antara OAP dan komunitas non-OAP. Maka, Anum mendesak Komnas HAM untuk memprioritaskan kasus-kasus kekerasan di Papua dan memberikan suatu perhatian yang lebih mendalam pada situasi konflik di Papua.[37] Memang catatan-catan kritis Ibu Anum sangat mendasar dan harapan besar kita semua supaya catatan ini dapat mendorong Komnas HAM untuk mengambil langkah seperlunya, sehingga investigasi yang sangat dibutuhkan memang jadi dan jadi dengan cepat. (TvdB)

[g] lima petugas gereja Kingmi ditangkap di Nduga: Minggu malam (17/9) sekelompok Brimob mendatangi kantor Klasis Kenyam, Gereja Kingmi, di Kenyam, Kab Nduga dan setelah merusak pintunya mereka masuk untuk menangkap 5 pelayan Gereja Kingmi (4 pria dan 1 wanita) yang sedang tidur di dalam kantor itu. Penangkapan disertai pemukulan dan tindakan kurang manusiawi, sedangkan surat penangkapan tidak ditunjukkan. Lima orang ini masing-masing Pdt Urbanus Kogoya, Marko Kogoya, Indisina Gwijangge, Barini Gwijangge dan Indoweriknak Arabo. Ternyata mereka ditangkap karena diduga telah membantu kelompok PTNPB yang sedang menyandera seorang pilot.[38]  Esok harinya perwakilan dari Gereja-Gereja setempat bergabung dan menunggu para pimpinan wilayah untuk meminta keterangan atas tindakan para Brimob Minggu malam.[39]  Sementara Kapolda Papua minta maaf atas tindakan kekerasan oleh pihak keamanan yang tidak sesuai peraturan maupun perikemanusiaan, namun juga menekankan bahwa mereka yang diduga menjadi pendukung Egianus Kogoya patut ditangkap dan diperiksa.

 

[h] Viktor Yeimo bebas: Karena masa tahanan sudah berakhir Viktor Yeimo bebas lagi pada hari Sabtu, 23 September. Dia selama 2 tahun dan 4 bulan hidup dalam tahanan, sedangkan keterlibatan dalam aksi makar tidak pernah dapat dibuktikan. Menjelang pembebasan ini pihak kepolisian telah meminta para pendukung Bapak Viktor untuk membatasi diri dalam acara penyambutannya supaya tidak menjadi gangguan lalulintas dan pergerakan masyarakat umum. Aparat akan mengawasi acaranya. Sedangkan pihak KNPB justru meminta aparat untuk tidak memprovokasi pembebasan Victor. [40]

Pada tanggal 23 September ribuan orang berkumpul untuk menyambut Victor di depan pintu penjara di Abepura. Kemudian diantar ke kompleks Expo dimana acara penerimaan dijalankan dalam suasana perayaan kesatuan komunitas Papua, kegembiraan dan pesan-pesan mengenai perjuangan dan harapan supaya akhirnya bangsa Papua diakui dalam hak hidupnya dan hak politiknya[41].

 

[6] PENDIDIKAN – KESEHATAN – EKONOMI RAKYAT

[a] HIV/AIDS tetap perlu perhatian: Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Papua, Roby Kayame, berdasarkan data Dinkes Papua yang masih membawahi tiga daerah otonomi baru (DOB) hingga Maret 2023, tercatat 51.408 orang terkena HIV-AIDS (13/9). Menurutnya, terbanyak akibat berganti pasangan (heteroseksual). Jumlah tertinggi dapat di Nabire 9.412; lantas kota Jayapura 7.953, Mimika 7.130, Jayawijaya 6.88, Kab Jayapura 4.533, Biak 2.904, Merauke 2.729, Paniai 2.111, Kepulauan Yap[pen 1.661 dan Tolikara 1.177[42].

Walikota Jayapura, Frans Pekey, mengajak seluruh masyarakat untuk menjaga diri. Menurutnya jumlah HIV/AIDS di kota masih tinggi, dan mungkin hanya ‘puncak gunung es’. Lazimnya masyarakat kurang memeriksa diri. Untuk itu, dia mengimbau dalam mengatasi persoalan penyakit ini, masyarakat bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan juga keluarga[43]

Di Nabire, Ketua Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) di Kab Nabire, Paola Package, menyatakan bahwa di Nabire jumlah HIV/AIDS sudah sampai 9.550 akhir bulan Juni 2023 (bandingkan: seluruh Provinsi Papua – wilayah sebelum pemekaran 2022 – akhir Juni 2023 jumlah total 52.130).  Di Kab Nabire sumber utama, menurut Ibu Paola, adalah pola pergaulan bebas (termasuk seks yang berisiko) di kalangan anak muda-mudi. Maka. Sosialisasi di tingkat sekolah makin mendesak lagi[44].

 

[b] ‘drop out’ pendidikan di Sorong tinggi: Sebanyak 7.000 anak putus sekolah di Kab Sorong Selatan. Bupati, Samsudin Anggiluli, menyatakan bahwa data ini diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS).  Menurutnya hal ini perlu diberikan perhatian serius karena Kab Sorong Selatan ingin menjadi ‘model pendidikan’. Hal ini tidak dapat diatasi dengan hanya membuat ‘pendidikan gratis’; perlu ada aksi lainnya. Beliau belum memperjelaskan lebih lanjut langkah-mana yang perlu diambil[45].

Berkaitan dengan catatan Bupati Sorong Selatan, juga menarik untuk mencatat pernyataan akademisi Universitas Cenderawasih, James Mandouw, yang berpendapat bahwa isyu “pendidikan gratis di Papua” kerap menjadi bahan pada saat pemilu. ‘Pendidikan’ menyangkut banyak bentuk dan tingkat pendidikan. “Jadi selama ini ‘isyu pendidikan gratis’ digunakan oleh para politisi adalah pencitraan yang membodohi masyarakat”, katanya. Mungkin lebih baik omong mengenai ‘biaya sekolah’.[46]

 

[c] ‘beasiswa’ masih tetap menjadi persoalan. Di Kab Yahukimo rumah Kepala Dinas Pendidikan dipalang oleh sejumlah mahasiswa. Aksi pemalangan ini dijalankan karena sebagian besar mahasiswa belum dapat dana bantuan studi yang dianggarkan oleh pemerintah daerah Yahukimo (1/9)[47]. Di Timikapara mahasiswa meminta Kepala Bagian Sumber Daya Manusia di ganti, karena sampai saat ini beasiswa mereka tidak disalurkan. [48]

 

[c] Ekonomi rakyat dan investor: Dari Timika dilaporkan bahwa pemerintah Kab Mimika menilai hutan desa berperan penting bagi perkembangan ekonomi masyarakat di daerahnya. Ternyata ada 30 kelompok usaha kehutanan sosial yang mengelola hutan desa dan memanfaatkan lahan tersebut untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Kepala Sub Bidang Lingkungan Hidup dan Pengairan Mimika, Sumitro Hamzah, setiap anggota diberikan hak mengelola hutan desa pada kawasan hutan lindung atau hutan produksi, maka kelestarian dalam kawasan hutan negara atau hutan adat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama[49]

Satu contoh ‘ekonomi rakyat’ lainnya terdapat di Lembah Grime-Nawa, Kab Jayapura, dimana masyarakat didorong untuk bukan saja memproduksi buah kakao, melainkan juga memproses buah coklat menjadi suatu produk yang dapat dinikmati masyarakat luas. Masyarakat adat di situ sudah sejak zaman penjajahan Belanda memiliki plantation kakao, dan jual buahnya sebagai bahan baku. Sekarang bahan baku itu diproses mereka sendiri. Sampai menjadi ‘produk pasar’.  Seorang penggerak masyarakat, Yekusamon, berperan besar dalam peningkatan pembangunan ekonomi masyarakat adat di Grime-Nawa. Dia menunjuk jalan kepada komunitas adat untuk mengamankan mereka punyai hak atas tanah dan hutan adat mereka, termasuk ‘hutan coklat’ melawan ancaman dari pihak perusahaan kelapa sawit[50].

Berita-berita di atas berkontras dengan banyak berita dimana jelas para investor diprioritaskan dan bukan masyarakat adat. Cerita aktual mengenai pulau Rempang menjadi contoh yang sangat nyata[51]. Namun Papua juga terus mengalami pola ‘prioritas investor, bukan masyarakat adat’ sejak lama, dan kedengaran tidak pernah akan ada akhiran karena banyak sumber alam yang ingin dieksploitasi oleh pemerintah pusat demi kemajuan perekonomian negara. Contoh paling baru: rencana negera memulai mengeksploitasi minyak di Warin Block[52], dan mengejar realisasi investasi smelter nikel di KEK Sorong[53]. (TvdB)

 

[7] LINGKUNGAN – DEFORESTASI - AGROBUSINESS

[a] Pengadilan Tinggi Usaha Negera (PTUN) membenarkan masyarakat adat: suatu Pengadilan Nasional di Jakarta menolak gugatan dua perusahaan Kelapa Sawit yang beroperasi di Tanah Merah, Papua. Artinya: dua perusahaan, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama, dituntut menghentikan segala aksi membersihkan hutan yang masih sisa dalam wilayah konsesi (wilayah konsesi tidak kurang daripada 280.000 hektar hutan hujan). Para aktivis menyambut dengan gembira keputusan Pengadilan ini, namun juga menekankan bahwa masyarakat adat dalam wilayah ini belum diberikan suatu kepastian hukum, yakni suatu pengakuan hukum bahwa hutan adalah milik tradisional mereka. Maka, mereka meminta untuk melengkapi keputusan ini dengan memberikan pengakuan resmi atas hak milik masyarakat adat ini, dan supaya izin beroperasi kedua perusahaan dicabut secara resmi oleh pemerintah[54].

 

[b] masyarakat adat tetap memperjuangkan haknya:  Koalisi Peduli Masyarakat Adat Suku Awyu menuntut Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan terpadu Satu Pintu  (DPMPTSP) provinsi Papua segera mencabut izin usaha yang diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) (12/9). Alasan utama gugatan ini, karena izin ini diterbitkan tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat Suku Awyu. Konsesi ini menyangkut lahan adat seluas 36.096 hektar di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kab Boven Digoel.[55]

 

[c] PT Freeport dan masalah ‘pembuangan sampahnya’: Setelah banyak desakan dan pemberian informasi, akhirnya Komisi II Dewan Perwakilan Daerah Papua menghasilkan suatu kesepakatan mengenai ‘soal limbah’ PT Freeport (14/9). Sudah bertahun-tahun masyarakat lokal mengeluh mengenai polusi wilayahnya oleh operasi PT Freeport. Salah satu pejuang, John NR Gobai, ketua perwakilan masyarakat adat dalam DPR Papua, menjelaskan kesepakatan ini menyangkut sejumlah unsur, antara lain komitmen PT Freeport untuk membangun sejumlah proyek infrastruktur dan pembentukan suatu tim pengawas. Semua tugas mesti dijalankan dalam hubungan kerja sama dengan masyarakat adat setempat. Juga sejumlah saran diterima menyangkut pemakaian materi yang lebih ramah-alam dalam proses pengoperasian sehingga bahaya polusi lingkungan akan berkurang[56].

 

[d] daripada diputihkan, sebenarnya mesti dipidana: Sebagaimana kami pernah memberitahukan [edisi bulan Juni] ada rencana pemerintah memutihkan 3,3 juta hektar lahan sawit ilegal berdasarkan isi pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja. Pemutihan mulai dilaksanakan mulai 2 November 2023. Sekarang mulai muncul kritik yang sangat jelas. Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo, berpendapat bahwa pemerintah perlu referensi pada Peraturan Presiden No. 88, Tahun 2017, hingga semua yang berkaitan dengan lahan sawit ilegal perlu dipidanakan, bukan diputihkan. Sebenarnya mereka yang beroperasi secara ilegal lahan kelapa sawit; kita ‘negara hukum’ kah? Apalagi Achmad juga menarik perhatian pada fakta bahwa sampai saat ini tidak jelas 3,3 juta ha itu dioperasi perusahaan yang mana, ada di mana, siapa pemiliknya? Semuanya itu serba tidak transparan! Walau ada kritik yang sangat masuk di akal, ada tanda bahwa pemerintah pusat terus akan melaksanakan pemutihan itu. Entah kenapa?[57]

 

[8] MENUJU “PAPUA TANAH DAMAI”

“Salah resep menangani Papua”

Kesannya bahwa selama ini tidak ada gerakan apapun menuju suatu perdamaian. Semuanya menjadi lebih suram dengan peningkatan pembunuhan di Papua. Korban dari peperangan TPNPB versus TNI-Polri bertambah terus, dan untuk sebagian terbesar korban adalah warga sipil yang begitu mudah dinilai adalah ‘unsur TPNPB’. Sudah tentu seandainya gaya strategi sekarang dibiarkan terus, Papua tidak pernah akan menikmati suasana yang tenang , manusiawi dan damai. Kenyataan demikian mesti mendorong semua pihak untuk berefleksi dan BERSEDIA MEMBANTING STIR DEMI KEMANUSIAAN. Kenapa para pejabat tinggi yang terlibat dalam pemerintah pusat dan lembaga-lembaga terkait tidak sampai melihat yang benar, tidak sampai mendengar penderitaan sebenarnya, tidak sampai terbuka akan refleksi diri, namun terus sibuk merebut kekuasaan melulu? Mereka datang ke Papua untuk apa? Kalau tidak bersedia membanting stir, jangan terus mempersalahkan orang Papua!

Situasi yang suram ini bukan lagi rahasia dan makin dapat disadari banyak orang asal terbuka dan memantau keadaan dengan sikap kritis. Gambaran dalam editorial Koran Tempo, hari Selasa 26 September 2023, yang ditulis oleh Stefanus Pramono, dapat membantu kita semua untuk sadar dan berubah. Judulnya: ‘Salah Resep Menangani Papua’[58]. Berikutnya kutipan teksnya:

“Tindakan brutal polisi di Gereja Kemah Injil[59] menambah panjang daftar aparatur negara di Papua. Dalih mencari warga Kenyam, Kabupaten Nduga, yang terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah menjadi alasan generik polisi terus-menerus memprovokasi Papua. 

OPM memang organisasi yang telah dilarang pemerintah. Namun dalih mengejar pendukungnya tak lantas membuat aparatur negara bisa berbuat sewenang-wenang. Penangkapan di rumah ibadah tanpa surat penggeladahan merupakan tindakan main hakim sendiri. Apalagi penangkapan lima orang terduga anggota OPM itu dilakukan dengan merusak gereja dan menghajar anggota jemaat yang sedang tidur.

Tugas polisi adalah menjaga keamanan … Namun dalih menegakkan hukum dengan … memakai kekerasan malah membuat polisi menjadi penyebab ketidakamanan. Tindakan keras aparatur negara itu juga membuat Papua terus bergejolak. 

Akibatnya adalah antipati masyarakat Papua makin menebal kepada pemerintah. Slogan dialog dan cara damai yang didengungkan pemerintah untuk menyelesaikan problem Papua akan makin tak terlihat ujungnya. 

Pangkal tindak kekerasan oleh aparatur negara terhadap orang Papua adalah penetapan OPM sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). [ditetapkan oleh Mahfud pada 29 April 2021].  Akibat pelabelan ini, OPM masuk kategori teroris menurut UU No, 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. 

Dengan status itu, aparat keamanan bisa menindak siapa pun yang mereka tuduh sebagai anggota OPM dengan tindak kekerasan. Maka, status KKB itu kian menjauhkan harapan damai dan penyelesaian konflik di Papua. Menurut studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2009, disebutkan ada empat sumber konflik Papua: [1] marginalisasi orang asli Papua, [2] kegagalan pembangunan, [3] pelanggaran hak asasi manusia dan tindak kekerasan militer, serta [4] proses integrasi Papua [ke dalam Republik Indonesia]. 

Bukannya membuat solusi empat sumber konflik yang mendorong orang Papua hendak merdeka, pemerintah dan aparat keamanannya malah memperburuk sumber konflik itu. Maka, jangan salahkan orang Papua jika mereka terus minta merdeka karena penanganan konflik memakai kekerasan. 

Tanpa melabeli OPM sebagai KKB saja, pada 2010-2021 terjadi 299 kasus kekerasan di Papua dengan jumlah korban meninggal 395 orang dan 1.579 orang lainnya terluka akibat tembakan, terkena panah, atau senjata tajam. Artinya 27 kasus kekerasan di Papua setiap tahun. Setelah dilabeli KKB, jumlah kasus kekerasan di Papua meningkat menjadi 51 kasus per tahun.

Studi-studi lain sudah pula menyodorkan saran ihwal solusi penyelesaian konflik Papua, yakni dialog dan meninggalkan pendekatan keamanan. Untuk mewujudkannya, pemerintah harus menarik polisi dan tentara dari Papua, lalu mengirim para diplomat ke sana. Orang Papua hanya ingin didengarkan keinginannya, sehingga menghadapinya bukan dengan senjata, melainkan dengan telinga.

Jika Indonesia masih menginginkan Papua tetap menjadi bagian dari NKRI, satu-satunya cara adalah merangkul orang Papua dan mengajaknya bicara. Solusinya memang tidak mudah karena masalah telah bertumpuk akibat kekeliruan pendekatan dalam penyelesaian konflik Papua sejak masa Orde Baru.

Untuk memulainya, pemerintah bisa menapaki tangga paling awal, yakni menghentikan kekerasan. Cabut label KKB, stop melabeli siapa saja yang berbeda dari pemerintah sebagai anggota OPM, lalu bernegosiasi dengan mereka. Jika tidak, kekerasan yang terjadi di Gereja Injil di Nduga itu akan berulang terus di masa mendatang.” 

 

[9] GERAKAN PEMERINTAH PAPUA

[a] proteksi perdagangan produk pribumi: Pedagang lokal mendesak pemerintah daerah di Jayapura untuk melindungi perdagangan produk asli Papua. Produk seperti: sagu, pinang, sayur, kentang manis, dan ikan bakar. Hak menjualnya perlu diberikan secara eksklusif kepada orang asli Papua[60]. Seruan ini bukan saja didengar di Jayapura, melainkan secara umum di Papua. 

 

[b] pengakuan hak milik tanah adat di Bintuni: Bupati Kab Bintuni Teluk, Petrus Kasihiw, secara resmi mengakui hak milik tiga klan - Masakoda, Yen dan Yee -  dari suku Moskona. Wilayah tanah adat seluas 6,262 ha (9/9).[61]  

 

[c] Tujuh Kesepakatan Asosiasi Gubernur se-Tanah Papua:  Dalam rapat kerja pertama di Timika (20/9) para Gubernur se-Tanah Papua mencapai 7 kesepakatan, sebagai berikut[62]

1. Badan Hukum Asosiasi Gubernur se Tanah Papua segera dibentuk sebelum akhir tahun 2023.

2. Asosiasi Gubernur se Tanah Papua sepakat mendukung kebijakan dan program-program nasional di daerah terkait percepatan penurunan kemiskinan ekstrem, penurunan stunting, pengangguran dan pengendalian inflasi di daerah masing-masing.

3. Asosiasi Gubernur se Tanah Papua merekomendasikan peran BP3OKP dalam menjembatani, mengoordinasikan kepentingan daerah dengan kementerian/lembaga, memperhatikan aspirasi yang berasal dari bupati dan wali kota melalui Gubernur se Tanah Papua.

4. Asosiasi Gubernur se Tanah Papua bersepakat untuk melaksanakan dan mensukseskan pemilu legislatif, presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 senang tertib dan damai.

5. Melanjutkan sosialisasi kewenangan otonomi khusus di bidang kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi dan infrastruktur guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tanah Papua.

6. Asosiasi Gubernur se Tanah Papua sepakat untuk menyelesaikan pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen (P3D) sesuai ketentuan yang berlaku.

7. Dalam rangka penguatan ketahanan pangan, perlu melakukan kerja sama antar daerah untuk menetapkan dan mendistribusikan komoditi unggulan daerah masing-masing.

[10] TRENDS/GERAKAN POLITIK DI PUSAT INDONESIA

Nasional

[a] masyarakat adat pulau Rempang di bawah tekanan ‘kepentingan investor’ : Kita semua mendengar ancaman yang dihadapi ratusan kepala keluarga warga sipil di Rempang, yang dipaksa untuk meninggalkan tanah adatnya untuk menyediakan tempat bagi investment besar-besaran. Kepentingan investor diprioritaskan, sedangkan masyarakat adat dikorbankan[63].

 

[b] soal dwi fungsi pihak keamanan: Selama tahun-tahun terakhir berulang kali diminta perhatian pada kenyataan bahwa pihak keamanan makin ber dwi-fungsi seperti di zaman Orde Baru. Perkembangan ini dikritik pelbagai pihak, namun trend peningkatan ‘adanya dwi-fungsi’ ini makin nyata. Di tengah dinamika itu mungkin penting bahwa mulai ada catatan seperti dibuat Menkopolhukam, Mahfud MD, dimana beliau mengusulkan demi reformasi hukum supaya pejabat Polri di lembaga-lembaga pemerintahan lain dibatasi[64]

 

Internasional

[c] soal mengatur informasi: Menyangkut soal penyaluran informasi yang benar dan tepat ada dua berita yang cukup memprihatinkan. Yang pertama menyangkut pernyataan bahwa seorang wartawan dari Selandia Baru ditawarkan uang oleh seorang staf delegasi Indonesia waktu Pertemuan MSG berkaitan dengan rencananya menyiarkan suatu wawancara dengan seorang pejabat pemerintah Indonesia[65]. Yang kedua adalah berita hawa Menteri Keuangan meminta kepada komisi Penganggaran 2024 untuk menyediakan 4 juta dolar ekstra demi kampanye melawan disinformasi mengenai Papua di wilayah Pasifik[66] 

 

[d] Isyu Papua kurang diangkat dalam Sidang Umum PBB: berbeda dengan tahun-tahun yang lalu, selama Sidang Umum PBB tahun ini ‘soal Papua’ tidak diangkat. Semua negara agak diam. Sudah tentu Indonesia bergembira atas perkembangan ini dan menyimpulkan bahwa gerakan diplomatik selama tahun-tahun terakhir ini mulai membawa hasil[67].

   

[11] SERBA -SERBI

[a] Kantor Pemerintahan di Dogiyai terbakar: Sekali lagi ada gedung yang terbakar di Dogiyai, Provinsi Papua Tengah. Kantor Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) terbakar habis (3/9). Sebelumnya 18 Maret kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terbakar; 8 April kantor sementara Bupati terbakar; 23 Mei, kantor Dinas Pendidikan terbakar; 31 Juli, kantor Dinas Usaha Kecil dan Menengah dan kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik terbakar; 15 Agustus, kantor Distrik Kamu Timurterbakar. Mengenai sebabnya untuk sebagian besar masih teka-teki[68].  

 

[b] Pimpinan ULMWP diganti: Seusai pertemuan MSG di Vanuatu, ULMWP menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri 50 wakil organisasi-organisasi yang ada di bawah organisasi Payung, yakni ULMWP. Selama KTT ini juga diadakan pemilihan pimpinan umumnya.  Tugas selaku Presiden ULMWP dipercayakan kepada Menase Tabuni, yang akan memimpin ULMWP dari Papua sendiri. Sebagai Wakil Presiden  Oktovianus Mote dipilih; ia berdomisili di Amerika Serikat. Sedangkan Markus Haluk akan tetap bertindak sebagai Sekretaris. Benny Wenda diminta memperhatikan urusan luar negeri, sedangkan Buchtar Tabuni akan berfungsi sebagai Ketua Dewan Legislatif dan Apolos Sroyer akan memimpin Dewan Kehakiman. Menase Tabuni menyatakan bahwa ia akan melanjutkan kebijakan yang sudah disepakati, dan menerangkan juga bahwa tidak ada lagi ‘Pemerintahan Sementara’. [69]

[c] Keuskupan Timika boycott MRP Provinsi Tengah: Dalam suatu konferensi pers pimpinan Keuskupan Timika (Gereja Katolik) telah memutuskan untuk tidak mengambil bagian dalam Majelis Rakyat Papua (MRP) periode 2023-2028. Keputusan ini diambil karena menurut penilaian pimpinan Gereja Katolik di Timika, proses dan hasil penyeleksian anggota MRP dijalankan dengan tidak betul dan terpengaruh kepentingan politik. Selama bulan-bulan terakhir mereka sudah berulang kali memberitahukan bahwa mereka tidak menyetujui gaya penyeleksian yang dijalankan, namun keberatan Gereja Katolik tidak pernah ditanggapi secara benar. Maka, Gereja Katolik di Timika akhirnya mengambil sikap yang jelas, dan menolak menjadi bagian dari MRP susunan baru[70]

Sebenarnya kritik mengenai penyeleksian MRP sudah terdengar di pelbagai provinsi lain juga, namun tidak pernah ditanggapi secara memuaskan. Sementara ada pihak lain yang mendesak Menteri Dalam Negeri untuk melantik MRP-MRP dengan segera. (TvdB)

 

[d] Demo masal di Wamena melawan peningkatan kriminalitas: Karena banyak pihak menilai bahwa kota Wamena tidak aman lagi, antara lain karena kemabukan dan main judi, tercapai suatu kesepakatan antar Paguyuban di daerah untuk beraksi. Lumpuhnya perekonomian di Kota Wamena dari pagi sampai sore. Senin (25/9) adalah bentuk solidaritas yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Solidaritas tersebut sebagai bentuk dukungan dalam aksi demo damai oleh Aliansi Masyarakat Jayawijaya (AMJ) dalam menuntut keadilan dan rasa aman di kota Wamena. Salah seorang Koordinator aksi, Arman Pontoh mengungkapkan penutupan kios dan tempat usaha lainnya bukan karena adanya tekanan, melainkan hal tersebut bentuk kepedulian para pelaku usaha akan kondisi kota Wamena saat ini yang marak akan tindak kriminal. Aksi penutupan tempat usaha ini akan berlanjut, jika DPRD dan Pimpinan tidak merespons apa yang menjadi tuntutan para demonstran[71].

 

Jayapura, 30 September 2023



[25] Laporan lengkap diterbitkan oleh Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) dan berjudul: Laporan Investigasi Penolakan Penempatan Pembangunan Kawasan Provinsi Papua Pegunungan Di Lahan Perekonomian Rakyat Wouma Welesi dan Assolokobal. Sentani, 28 Agustus 2023.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.