Saturday, August 20, 2022

Reflection on the situation in Papua. (In Bahasa)

refleksi KHUSUS

 

 

‘suara orang Papua ditolak, 

martabat manusia dipermainkan’

 

Sejarah penderitaan dibiarkan terulang-ulang

 

 

Oleh Theo van den Broek

 

Pemekaran wilayah Papua, yakni tambahan 3 provinsi baru di Papua, disahkan secara resmi di DPR RI tgl 30 Juni 2022. Tindakan ini hanya merupakan pembulatan formal suatu keputusan yang sebenarnya sudah diambil hampir 2 tahun sebelumnya. “Keputusan terdahulu” diambil dalam rapat tertutup tanggal 11 September 2020. Maka, jauh sebelum UU Otsus Jilid II disahkan oleh DPR RI. Pertemuan tertutup itu dihadiri sejumlah terbatas pejabat tinggi saja. Yakni: Menkopolhukam, Mahfud, Mendagri (mantan Kapolri), Tito Karnavian, Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, perwakilan TNI-Polri, dan dilengkapi dengan Ketua Komite DPD RI, Yorrys Raweyai.[1] Dengan kata lain: dalam pertemuan itu para penentu kebijakan utama dalam hal pemekaran di Papua -menurut UU 21 Tahun 2001- tidak dihadirkan, yakni: MRP, DPRP dan Gubernur Papua. Menurut para pejabat tinggi yang hadir dalam rapat tertutup ini pemekaran ini sudah menjadi amanat UU 21 Tahun 2001 (UU Otsus Papua), dan tujuannya “menyejahterakan rakyat Papua, karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan Indonesia bukan Indonesia tanpa Papua”, kata Ketua MPR dalam konperensi pers seusai pertemuan.

Keputusan para pejabat dalam rapat tertutup itu selanjutnya dijadiikan bahan pe-lobby-an terarah hingga akhirnya DPR RI mengesahkannya menjadi UU Daerah Otonom Baru (DOB) Papua. Walau protes massal muncul di Papua, proses lobby oleh pejabat-pejabat tinggi di Jakarta berjalan terus dengan melibatkan pun sejumlah ‘tokoh masyarakat’ di Papua untuk mengoalkannya. Sementara itu protes MRP maupun masyarakat umum di Papua diabaikan secara sistematis dan terstruktur. 

 

Catatan Kritis

Beberapa hal yang penting dalam proses pengambilan keputusan tadi patut diberikan perhatian, sebagai berikut:

[1] seusai pengambilan keputusan (11 Sept 2020Menkopolhukam, Mahfud Md, menyatakan bahwa keputusannya didasarkan atas isi pasal 76 dalam UU Otsus 2001. Pasal itu yang berjudul Ketentuan Penutup dan berbunyi:“Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang”. Ternyata dalam pasal ini tidak ada amanat untuk mengadakan pemekaran, namun isinya adalah: ‘seandainya pemekaran mau diadakan sejumlah kriteria perlu dipenuhi’. Yang justru menjadi keraguan besar sejauh mana kriteria dalam pasal 76 sungguh-sungguh diindahkan oleh pejabat-pejabat yang mengambil keputusan itu. Dalam Pasal 3 yang khususnya menyangkut Pembagian Daerah juga tidak dapat temukan amanat pemekaran provinsi, karena semua catatan disitu ada hubungan saja dengan pemekaran Kabupaten/Kota atau/dan kampung. Secara sangat umum dikatakan – Pasal 3 (4) - : “pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Provinsi Papua” (Pasal 3,(4). Itu saja.

 

[2] termasuk dalam isi pasal 76 juga (dan sebenarnya juga dalam Pasal 3 tadi) ditekankan: demi pemekaran perlu ada persetujuan dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua. Apakah lembaga-lembaga kenegaraan yang bersangkutan itu sudah secara resmi memberikan persetujuan untuk pemekaran provinsi sewaktu ‘keputusan terdahulu’ itu diambil? Dimana naskah persetujuan ini? Apalagi ternyata MRP dan DPRD yang paling berhak untuk ‘menentukan pemekaran’ tidak diundang hadir dalam pertemuan itu, sedangkan kehadiran pihak TNI-Polri dalam pertemuan ini sangat menonjol. Kenapa begitu?

 

[3] salah satu langkah dalam proses pe-lobby-an adalah desakan kepada DPR RI untuk mengubah pasal 76 dalam revisi UU Otsus. Maka, dalam UU Otsus Jilid II pasal 76 dilengkapi dengan catatan bahwa ‘pemerintah pusat dapat memutuskan pemekaran wilayah tanpa perlu berurusan dengan yang berhak di wilayah yang bersangkutan’. Tindakan revisi ini sangat meremehkan substansi Otonomi Khusus Papua dan merongrong suasana demokrasi secara sangat signifikan. Sangat memprihatinkan bahwa partisipasi serta hak suara pihak yang paling berkepentingan dan utama dalam soal ini, rakyat Papua serta perwakilannya, secara sistematis dan struktural ditiadakan.

 

[4] menurut ungkapan dalam pertemuan dengan media seusai pertemuan tertutup tadi, dijelaskan bahwa pemekaran ini akan diadakan dengan tujuan “menyejahterakan rakyat Papua, karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan Indonesia bukan Indonesia tanpa Papua”. Perumusan tujuan pemekaran, yakni: ‘peningkatan kesejahteraan rakyat’ memang sudah menjadi ungkapan standar waktu membicarakan soal pemekaran. Yang kurang lazim adalah tambahan “karena Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia dst.” Terselubung dalam tambahan ini adalah motivasi lainnya yang sebenarnya lebih dekat dengan apa yang diberitahukan sebelumnya, yakni pernyataan Mendagri/Mantan Kapolri, Tito Karnavian (Oct-Nov 2019), bahwa pemekaran dibutuhkan berdasarkan ‘info BIN’. Ternyata kemungkinan besar bahwa hanya “info BIN” itu menjadi dasar utama pengambilan “keputusan terdahulu” itu, dan bukan: “setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang” (Pasal 76). 

 

[5] pada tahap akhir, proses pengesahan masih dipercepat. DPR RI sangat ditekan merampungkan RUU Pemekaran secara cepat dan tanpa menunda, supaya RUU DOB Papua dinyatakan sah sebelum hasil gugatan MRP pada Mahkamah Konstitusi (MK) diketahui. MRP telah meminta judicial review UU Otsus Jilid II (secara khusus isi pasal 76) pada MK. MRP sangat berupaya melalui beberapa kunjungan ke Jakarta untuk menunda segala diskusi mengenai pemekaran sampai hasil penilaian MK diketahui. Namun semuanya sia-sia saja dan pada 30 Juni 2022 secara terburu-buru DPR RI mengesahkan RUU Pemekeran tanpa suatu diskusi yang berarti. 

 

[6] melihat prosesnya yang de facto ini, penjelasan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengenai faktor-faktor yang menentukan tepatnya UU Pemekaran Papua, patut dibaca dengan cukup kritis. Dalam keterangannya, pejabat Kemendagri, Bapak Sudarjanto, menyebut 5 faktor pendukung pemekaran di Papua, sbb:[2] [1]  faktor pertama berkaitan dengan konfigurasi politik lokal, khususnya di Provinsi Papua, di mana terjadi polarisasi antara masyarakat pegunungan dan masyarakat pesisir; [2] kondisi geografis Papua dan Papua Barat yang sangat luas dan rumit, maka sulit melayani masyarakat; [3] adanya aspirasi masyarakat Papua yang menginginkan pemekaran; [4] secara antropologis dan etnografis  sudah adanya pembagian wilayah berdasarkan tujuh karateristik dan kesukuan; [5] keberhasilan sejumlah pemekaran wilayah terdahulu di Tanah Papua (Manokwari-Sorong). Dalam kesempatan yang sama, Pares l. Wenda (Jaringan Damai Papua), menyatakan bahwa pemekaran Papua tidak bisa dilihat sebagai resolusi atas konflik Papua, karena bukan aspirasi-aspirasi murni masyarakat Papua. Wenda menerangkan bahwa pemekaran tiga provinsi ini diinisiasi pemerintah pusat bersifat sangat politis, sebab merupakan aspirasi tokoh elit lokal maupun nasional.

 

[7] kemudian, melihat sepintas lalu saja hasil pemekaran di Papua di masa lalu, kami secara spontan hanya mengingat {a} bahwa ternyata ‘marginalisasi komunitas asli Papua’ sangat meningkat; {b} bahwa terdorong ‘penghancuran pola hubungan tradisional yang harmonis karena perebutan kedudukan politik’; {c} bahwa membawa serta ‘penambahan signifikan masuknya migran’ sehingga masyarakat asli Papua makin menjadi minoritas penduduk di tanahnya sendiri, dan {d} bahwa ‘masyarakat asli makin kehilangan kekuatannya di bidang baik ekonomi maupun politik’ (bandingkan saja jumlah orang non-Papua yang menduduki kursi di DPR lokal dengan jumlah orang asli yang memperoleh kursi). Jelas gambaran pengalaman masa yang lalu kelihatan lain sekali daripada isi slogan “pemekaran demi menyejahterakan rakyat Papua”. Apalagi kegagalan pemekaran bukan saja di Papua, namun di seluruh Indonesia, maka ditetapkan suatu Moratorium Pemekaran (2014) yang sebenarnyua masih berlaku sampai hari ini. Ternyata dalam proses perencanaan pemekaran di Papua, berlakunya Moratorium ini tidak dihiraukan. Kenapa begitu? Dalam keadaan politik dewasa ini suatu tahap pemekaran lagi hanya akan mempercepat proses yang sangat destruktif tadi dan hanya dapat menyuburkan lahan untuk muncullah konflik horizontal maupun vertikal yang mematikan. 

 

Refleksi lanjut.

Dengan ditetapkan UU DOB Papua, masyarakat Papua, terutama bagian Orang Asli Papua, untuk kedua kali dalam dua tahun terakhir ini, mengalami bahwa partisipasi serta suara mereka secara sistematis disangkal. Segala protes masyarakat dinilai sebagai ‘pelanggaran hukum’, hingga segala bentuk protes ditindaki dengan represi dan kekerasan oleh pihak yang sebenarnya berwajib melindungi hak-hak masyarakat. Ternyata suasana sejak pengintegrasian dalam Republik Indonesia terus diwarnai saja oleh gaya/nafsu penguasaan dan kekerasan, daripada diwarnai oleh suatu pengakuan atas segala hak otentik Orang Asli Papua (OAP) sebagai penghuni asli dan pemilik tanahnya secara sah. 

Pengambilan sikap Indonesia ini juga makin diketahui ‘dunia internasional’, sampai makin sering komunitas internasional berupaya untuk menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk membanting stir di Papua dan menghentikan segala bentuk penguasaan disertai kekerasan. Namun upaya internasional ini terus dijawab dengan suatu penyangkalan kenyataan oleh Indonesia. Ternyata Indonesia merasa cukup kuat posisinya di dalam ‘kerangka geopolitik dewasa ini’ untuk tidak peduli dengan keprihatinan internasional yang disampaikan padanya. 

 

Akar Segala Persoalan.

Akar permasalahan di Papua sebenarnya tidak lain daripada pengalaman pahit para penduduk asli Papua sewaktu mereka mengalami bahwa tanahnya/habitatnya begitu saja dituntut orang lain, oleh ‘tamu mereka’. Pengalaman pahit ini mulai dengan segala bentuk penjajahan yang mereka alami sejak kedatangan orang Belanda yang mulai menduduki Papua. Tanah leluhur mereka dirampas menjadi hak milik para penjajah dan sumber daya alamnya dirampas dan dijadikan sumber kekayaan para penjajah. Kehadiran bangsa Papua sebagai pemilik tanah itu tidak diakui dan martabatnya diremehkan, dinilai di bawah standar peradaban. Tindakan demikian atas dasar apa? Orang Belanda mungkin merasa lebih berhak karena kulit putihnya dan/atau merasa lebih pintar/superior? Mereka berpikir bahwa tanah itu kosong? Para penduduk seakan-akan tidak perlu dipedulikan; kenapa demikian? Pengalaman pahit ini adalah akar segala masalah di Papua sampai saat ini. Pengalaman pahit ini berkelanjutan selama masa mengadministrasi pemerintah Belanda maupun selama masa mengadministrasi pemerintah Indonesia. 

 

Bukan saja bangsa Papua yang melalui pengalaman yang sangat pahit itu. Ada banyak contoh sejenisnya. Diantarnya contoh di tetangganya Australia, di mana bangsa Aborigines digeser dari kedudukannya sebagai pemilik otentik tanahnya oleh 'para pendatang'. Dan contoh lain di Selandia Baru di mana nasibnya bangsa Maori sama. Atau contoh para bangsa Indian di Amerika dan Kanada yang mencatat sejarah pahit yang sama. Hanya perlahan-lahan saja, selama dekade-dekade yang terakhir ini, 'dosa besar' di masa lampau mulai disadari dan diakui para 'kekuatan penjajah tempo dulu'. Kenyataan itu sekarang ramai terungkap dengan 'meminta maaf atas dosa masa yang lampau'. Contoh yang paling baru adalah 'perjalanan berziarah pertobatan' Bapak Paus Fransiskus yang ke Kanada untuk meminta maaf sebesar-besarnya kepada para bangsa Indian di Kanada itu. Juga penjajah Belanda meminta maaf kepada Indonesia atas 'tindakan penjajahan yang penuh kekerasan' selama 1940-an. Perlahan-lahan semua 'kekuatan penjajahan' mulai sadar dan menarik pelajaran dari sejarah yang sangat menyedihkan dan sangat tidak manusiawi itu. 

 

Dalam konteks itu, sangat sulit dapat dimengerti bahwa Indonesia sendiri, yang telah melalui pengalaman pahit yang sama, kurang memanfaatkan pelajaran dari sejarahnya sendiri dalam penentuan kebijakan pemerintahan dewasa ini. Indonesia sendiri berjuang secara heroik/pahlawan melawan para penjajah dalam tahun 1940-an, karena merasa identitas dan martabatnya tidak diakui, malahan diinjak oleh para penjajah Belanda dan Jepang. Kenapa pengalaman ini tidak dibawa serta dalam kebijakan sebagai 'Indonesia Merdeka' terhadap bangsa Papua hari ini? Pada masa kini bangsa Papua mengalami hal yang sama seperti Indonesia hampir seabad lalu. Mereka pun merasa tidak diakui dan diinjak identitas serta martabatnya. Tanah milik mereka didatangi 'orang luar', dalam hal ini orang Indonesia, dan dirampasnya seakan-akan para 'tamu ini' merasa lebih berhak memilikinya. Lebih berhak karena apa? Karena mereka lebih pintar? atau, karena warna kulit lebih cerah? atau, karena mereka menilai bahwa hasil PEPERA memenuhi nilai keadilan yang sejati? Kita semua tahu dan bisa sadar bahwa PEPERA 1969 merupakan suatu proses yang menolak segala partisipasi oleh bangsa Papua secara sistematis dan terstruktur, hingga sangat bercacat hukum. Kenyataan demikian juga disadari oleh Rapat Paripurna PBB sewaktu mereka 'meng-arsip-kan' hasil PEPERA sebagai 'sudah dicatat' (has taken note), namun sangat menghindari untuk menyatakan secara terang benderang bahwa mereka menilai hasil PEPERA sebagai hasil sah ungkapan pendapat bangsa Papua. Pokoknya, sudah tentu malahan dalam pelaksanaan proses demokratis pengungkapan pendapat, Indonesia pada saat itu menyangkal ‘hak anak sulung’ di Papua, dan martabatnya sangat diremehkan. 

 

Dewasa ini 'suasana tidak diakui identitas serta martabatnya' masih sangat terasa oleh Orang Asli Papua. Secara khusus dalam seluruh proses menuju pengesahan baik UU Otsus Jilid II maupun UU DOB Papua. Seperti dulu, semuanya diselenggarakan tanpa mendengar suara ratusan ribu orang Papua. Hak mengungkapkan pendapatnya secara damai dihilangkan secara efektif dengan membubarkan paksa segala demo. Malahan selama tahap persiapan demo, para penyelenggara dan relawan (seperti penyebar lembar undangan demo) sudah ditangkap dan dibawa ke markas kepolisian untuk diinterogasi dan diintimidasi.    

Seandainya situasi di Papua sekarang ini tidak diubah dengan segera, makin banyak pemantau berpendapat bahwa situasi akan berkembang ke arah lebih kejam lagi. Pemakaian kekerasan baik dari pihak pejuang hak penentuan nasib sendiri maupun dari pihak keamanan akan meningkat. Kekacauan makin massal dan makin banyak korban akan jatuh di Bumi Cenderawasih yang indah ini. Dalam suatu laporan yang berjudul “JANGAN ABAIKAN KAMI” mencegah kekejaman massal di Papua, Indonesia yang diterbitkan oleh “Simon-Skjodt Center for the Prevention of Genocide” diberikan suatu analisa mengenai situasi di Papua. Analisa itu dilengkapi dengan gambaran scenario-scenario kekejaman yang kemungkinan besar akan muncul selama setahun sampai satu setengah tahun ke depan. 

Laporan ini[3] dikirim kepada pemerintah Indonesia sebagai “early warning” (suatu peringatan dini). Laporan ini juga mengandung sejumlah saran untuk mencegah terjadinya scenario-scenario yang sangat destruktif itu. Mungkin ‘peringatan dini’ ini dapat membantu kita semua untuk lebih sadar mengenai keadaan yang sangat gawat yang diciptakan selama tahun-tahun terakhir ini. Mungkin juga dapat membantu untuk menyadari sejauh mana suasana demokrasi di Indonesia sudah merosot sampai sejumlah hak dasar seperti pengungkapan pendapat dan hak berpartisipasi dalam penentuan kebijakan dihilangkan. Mungkin juga dapat membantu untuk lebih terbuka hati akan pelajaran dari sejarah bangsa Indonesia sendiri dan memanfaatkannya untuk ‘tidak mengulangi sejarah yang buruk’. 

Pokoknya: seruan banyak orang memang tepat :

“Stop segala kekerasan. Stop mengirim pasukan lagi. Mengaku bahwa Orang Asli Papua adalah Tuan Rumah Papua. Duduk bersama dalam saling menghargai. Cari suatu solusi bersama dalam damai dan sesuai martabat setiap orang”.

Pesan ini sedang terungkap dalam variasi bermacam-macam. Mendengar seruan ini dengan terbuka hati adalah langkah pertama untuk mengubah sejarah penderitaan di Papua dan di Indonesia. Tolonglah supaya generasi masa depan di Indonesia tidak perlu “mengadakan perjalanan berziarah ke Papua untuk meminta maaf dan ampun atas ‘dosa besar’ para pendahulunya”!

Jayapura, 17 Augustus 2022



[2] Sudarjanto menjadi salah satu pembicara dalam diskusi webinar “Pemekaran Sebagai Resolusi Konflik”, yang diselenggarakan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada, 6 Juli 2022. Lihat: JUBI, edisi 11-12 Juli 2022, hlm. 3.

[3] https://earlywarningproject.ushmm.org/storage/resources/2346/Jangan%20Abaikan%20Kamis_BahasaIndonesia.pdf  (49. Pages)  

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.